• Tidak ada hasil yang ditemukan

Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata

DAFTAR LAMPIRAN

VIII. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA

6. Balai Pelestarian Perikanan Perairan Umum dan Ikan Hias (BP3UIH)

8.6 Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata

Banyak stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Cirata, sehingga kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang kompleks. Berbagai kepentingan diantara stakeholder yang terlibat menimbulkan kepentingan yang berbeda-beda pula, dan tak jarang menimbulkan benturan kepentingan. Padahal, untuk mewujudkan Cirata yang berkelanjutan diperlukan visi yang seragam diantara para stakeholder. Kondisi Cirata yang saat ini sudah begitu ‘chaotic’,

memerlukan penanganan secepatnya untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan. Kelembagaan yang sudah terbentuk sebenarnya sudah memiliki dasar dan payung hukum yang jelas, namun implementasinya di lapangan masih belum optimal. Hal ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, stakeholder masih belum memahami peran yang seharusnya dilakukan. Stakeholder hanya sebatas mengetahui saja namun tidak memahami perannya sehingga saat impelemnetasi banyak hal yang terlewatkan, sehingga perannya menjadi tidak optimal. Contohnya yaitu kelompok petani ikan KJA. Mereka hanya sebatas tahu jika peran mereka adalah untuk membudidayakan ikan di Waduk Cirata, namun belum memahami jika sebagai petani ikan juga harus ikut menjaga kelestarian Waduk Cirata. Perlu kerjasama dari stakeholder lain untuk membantu petani KJA agar memahami perannya. Jika mereka paham betul akan perannya, maka mereka akan melakukan usaha KJA dengan baik dan sesuai prosedur, demi menjaga kelestarian Waduk Cirata. Kedua, informasi yang tidak sampai kepada sasaran. Keberadaan informasi dan tukar menukar informasi sangat penting dalam kelembagaan, khususnya yang melibatkan banyak stakeholder. Jika infomasi tidak sampai ke sasaran, tidak menutup kemungkinan permasalahan yang akan dicari solusinya justru malah semakin parah. Contoh dalam kasus Cirata ini adalah informasi mengenai jumlah KJA yang sangat berlebih dari jumlah yang dipersyaratkan dalam Pergub yang tidak sampai ke satpol PP. Berdasarkan penelusuran lapangan, pihak satpol PP menyatakan jika mereka miskin informasi mengenai Waduk Cirata sehingga tidak mengetahui jika jumlah KJA telah jauh melebihi peraturan yang ada dan harus ditertibkan. Satpol PP tidak akan bisa bergerak tanpa ada laporan ataupun perintah. Seharusnya pihak yang terlibat langsung dengan Waduk Cirata melaporkan kondisi terkini Waduk Cirata kepada semua stakeholder, sehingga dapat segera bergerak jika terjadi permasalahan. Ketiga, tingkat koordinasi yang masih rendah. Dalam pengelolaan Waduk Cirata, koordinasi masih sebatas formalitas saja, belum dilakukan dengan sebaik mungkin. Koordinasi yang minim mengakibatkan pergerakan yang tidak terintegrasi satu sama lain, sehingga stakeholder yang terlibat terkesan bergerak secara sendiri- sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing. Ini yang menyebabkan visi yang tidak seragam diantara para stakeholder dalam pengelolaan Waduk Cirata. Sebagai contoh yaitu kegiatan pengangkatan eceng gondok di Waduk Cirata. Kegiatan ini rutin dilakukan namun stakeholder yang terlibat tidak bekerja sama sehingga hasilnya tidak optimal. Alangkah lebih baik jika para stakeholder melakukan koordinasi sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan dapat terintegrasi satu sama lain namun tidak saling overlapping. Overlapping yang berkepenajangan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dampak lanjutan yang merugikan bagi semua pihak.

Kondisi ‘chaotic’ yang terjadi di Waduk Cirata akan dapat diatasi apabila

83

seharusnya. Merupakan sebuah tantangan besar untuk dapat menjalankan kelembagaan yang sudah ada sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selama ini sebagian besar peraturan belum berjalan dengan optimal, bahkan terjadi pembiaran dari banyak pelanggaran. Padahal pelanggaran yang terjadi sudah jelas sanksi dan penegakan hukumnya. Namun lagi-lagi kebanyakan peraturan hanyalah peraturan semata dan menjadi ‘mandul’ dalam impelmentasinya. Sebagai langkah awal perlu dilakukan identifikasi untuk memperjelas dan mempertegas peranan maupun kepentingan masing-masing stakeholder untuk terwujudnya keberlanjutan Waduk Cirata kemudian menggambarkannya dalam sebuah struktur kelembagaan. Identifikasi peran dan kepentingan stakeholder tersaji dalam Tabel 8.4. Selanjutnya untuk struktur kelembagaan yang menggambarkan koordinasi antara stakeholder sesuai dengan aturan yang berlaku dapat dilihat pada Gambar 8.4 sebagai berikut: Tabel 8.4. Peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan Waduk Cirata

No. Stakeholder Peran dan Kepentingan

1. Dinas Perikanan Kelautan Provinsi Jawa Barat

1) Pemanfaat SDA untuk kegiatan perikanan, baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya

2) Memiliki kewajiban bertanggung jawab kepada Gubernur terkait dengan kegiatan yang diselenggarakan di Waduk Cirata

3) Mengatur pemanfaatan Waduk Cirata untuk kegiatan perikanan, baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya

4) Memiliki Unit Pelaksana Teknis di lapangan, yaitu BP3UIH yang menerima perintah dari Dinas Perikanan Kelautan Provinsi Jawa Barat 5) Koordinasi dengan BPWC sebagai pemegang

otoritas kawasan Waduk Cirata

6) Koordinasi dengan Satpol PP dalam hal pengawasan, penindakan, dan penegakan Perda maupun Keputusan Gubernur

7) Koordinasi dengan BPMPT Provinsi Jawa Barat dan BPWC terkait dengan perizinan pemanfaatan Waduk Cirata untuk kegiatan perikanan

8) Menyelenggarakan konservasi kawasan Waduk Cirata

9) Menyelenggarakan pembinaan petani sebagai pemanfaat perikanan Waduk Cirata

10) Koordinasi dengan Dinas terkait tingkat kabupaten terkait dengan pembinaan petani 2. Dinas Perikanan

Kabupaten

1) Pemanfaat SDA untuk kegiatan perikanan, baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya

2) Memiliki kewajiban bertanggung jawab kepada Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat terkait dengan kegiatan yang diselenggarakan di Waduk Cirata

No. Stakeholder Peran dan Kepentingan

3) Mengatur pemanfaatan Waduk Cirata untuk kegiatan perikanan di tiap zona masing-masing, baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya

4) Melakukan koordinasi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat

3. PT. PJB (PT. PJB) 1) Sebagai pemilik aset atas nama Kementerian BUMN

4. Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC)

1) Pemegang otoritas pengelolaan kawasan waduk untuk keperluan produksi energi listrik

2) Pemeliharaan kawasan dan penerbitan surat penentuan lokasi (SPL) untuk kegiatan perikanan

3) Koordinasi dengan Dinas Perhubungan dan Dinas Perikanan dan Kelautan dalam penentuan zonasi KJA

4) Berwenang untuk menindak setiap pelangaran dalam pemanfaatan kawasan

5) Koordinasi dengan dinas terkait dan Satpol PP terkait dengan penindakan/penegakan aturan 6) Koordinasi dengan BBWS Citarum yang juga

memiliki kewenangan terhadap badan air dalam pengelolaan kawasan

7) Dalam kegiatan pengawasan, BPWC bisa dibantu oleh masyarakat (MPC, Pokmaswas, kelompok tani)

5. Balai Pengelolaan Perairan Umum Perikanan dan Ikan Hias (BP3UIH)

1) Menerbitkan rekomendasi teknis berdasarkan kajian ilmiah

2) Melakukan pembinaan petani KJA maupun nelayan

3) Melakukan pembinaan pengelolaan termasuk pembersihan eceng gondok, gulma, dkk

6. Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu

1) Pemanfaatan permukaan air terkait dengan transportasi

2) Penataan lokasi/zona KJA agar tidak menggangu transportasi

3) Penentuan zona berkoordinasi dengan DKP dan BPWC

4) Dalam pemanfaatan permukaan air untuk transportasi melakukan koordinasi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat

7. Satpol PP 1) Melakukan penindakan dan penertiban terkait dengan penegakan perda dan peraturan kepala daerah

2) Melakukan patroli dalam rangka penegakan perda dan peraturan daerah

3) Dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan TNI (Kodam Siliwangi) dan Polisi (Polda

85

No. Stakeholder Peran dan Kepentingan

Jabar), serta Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan BPWC

4) Berkoordinasi dengan Satpol PP tingkat kabupaten dalam rangka meminta bantuan pasukan

5) Dalam melakukan tindakan tersebut bertanggung jawab terhadap Gubernur

8. Gubernur 1) Merupakan penanggung jawab pemanfaatan kawasan Waduk Cirata untuk keperluan terkait dengan SKPD (Satuan Kerja Pemerintahan Daerah)

2) Gubernur melaksanakan Perda terkait dengan pemanfaatan Waduk Cirata

3) Gubernur mengalokasikan anggaran terkait dengan pemanfaatan Waduk Cirata

4) Dalam penegakan perda, Gubernur berkoordinasi dengan TNI (Pangdam Siliwangi) dan Polri (Kapolda Jabar)

5) Pelaksanaan penertiban perda dilakukan oleh Satpol PP dengan perintah/instruksi dari Gubernur

: Garis Koordinasi : Garis Perintah

: Garis Pertanggungjawaban : Garis Pembinaan

: Garis Komunikasi Personal

Gambar 8.4. Redesign struktur kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata Jawa Barat

POKMASWAS

Kementerian PU Kementerian

BUMN

Gubernur Polda Polri

PT. PJB BPWC BBWS Citarum DKP BPMPT Dishub BPLHD Satpol PP Provinsi Satpol PP Kabupaten BP3UIH Dinas Perikanan Kabupaten

87

Balai Besar Wilayah (BBWS) Sungai Citarum merupakan instansi yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum. BBWS Sungai Citarum memiliki otoritas dalam pengelolaan wilayah Sungai Citarum yang menjadi sumber air bagi Waduk Cirata. Sehingga dalam tata kelola Waduk Cirata, BBWS memiliki hubungan koordinasi dengan pihak pengelola Waduk Cirata yaitu Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC). BPWC merupakan perpanjangan tangan dari PT. Pembangkitan Jawa dan Bali (PT. PJB) yang merupakan pemilik aset Waduk Cirata dan berada di bawah kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sehingga BPWC menerima perintah dari PT. PJB dan melakukan pertanggung jawaban kepada PT. PJB terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata, khususnya dalam mengelola waduk dan lingkungan waduk sehingga ketersediaan energi listrik dapat terjaga. BPWC merupakan pihak pengelola yang berhubungan langsung dengan Waduk Cirata dan memegang peranan sentral saat eksekusi di lapangan. Dengan demikian BPWC melakukan koordinasi dengan stakeholder lain yang terkait, diantaranya Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT), Dinas Perhubungan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK), BP3UIH, dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Dinas-dinas terkait menerima perintah langsung dari Gubernur dan melakukan pertanggung jawaban terhadap Gubernur.

BP3UIH merupakan perpanjangan tangan dari DPK yang bertugas melakukan urusan teknis di lapangan. DPK Provinsi melakukan koordinasi dengan DPK kabupaten, mengingat keberadaan Waduk Cirata yang lintas kabupaten. DKP Provinsi, BP3UIH, dan DPK kabupaten melakukan pembinaan kepada petani ikan/kelompok tani KJA yang dilakukan secara rutin untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan petani dalam mengusahakan KJA. DPK juga melakukan koordinasi dengan Pokmaswas, dan Pokmaswas melakukan koordinasi dengan petani ikan/kelompok tani KJA. Gubernur melakukan koordinasi dengan Polda dan Polri, khususnya dalam penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata. Gubernur memberikan perintah kepada instansi di bawahnya yang ikut berperan dalam pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata. Selanjutnya instansi tersebut harus bertanggung jawab dan memberikan laporan terhadap Gubernur tentang kegiatan yang telah dilakukan. Satpol PP provinsi sebagai penegak peraturan daerah melakukan koordinasi dengan satpol PP kabupaten terkait dengan penindakan ataupun penertiban yang akan dilakukan. Jika akan dilakukan penindakan kepada pihak yang melakukan pelanggaran, satpol PP dapat bekerjasama dengan satpol PP kabupaten. Untuk kasus berlebihnya KJA di Waduk yang telah melebihi aturan yang berlaku, satpol PP dapat melakukan penindakan atau penertiban terhadap petani KJA melalui komunikasi personal. Penindakan atau penertiban petani KJA dapat dilakukan apabila pihak yang terlibat meminta bantuan kepada satpol PP ataupun satpol PP mendapat perintah langsung dari Gubernur. Kriteria siapa saja petani KJA yang ditertibkan/ditindak dapat mengacu kepada perizinan, kriteria kepemilikan, dan hal-hal lain yang telah disepakati oleh stakeholder terkait.

IX. ESTIMASI BIAYA DAN MANFAAT KELEMBAGAAN