• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1 Lokasi Waduk Cirata

Waduk Cirata merupakan waduk kaskade di Jawa Barat yang terletak diantara Waduk Saguling (hulu) dan Waduk Jatiluhur (hilir). Waduk Cirata merupakan Waduk yang terdalam di Jawa Barat dan memiliki peran yang penting sekaligus strategis. Secara administratif, lokasi Waduk Cirata mencakup 3 wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur. Sebelum adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat, lokasi Waduk Cirata sebagian masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung.

Kabupaten Bandung Barat memiliki topografi dataran tinggi dengan luas wilayah 1.305,77 km2. Ketinggian terendah adalah 110 m dpl dan tertinggi adalah 2.249 m dpl. Kemiringan wilayah Bandung Barat beragam, mulai dari 0-8% hingga di atas 40%. Kabupaten Bandung Barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur di sebelah Barat, Kabupaten Subang dan Purwakarta di sebelah Utara, dan Kabupaten Bandung di sebelah Timur. Satu-satunya kecamatan di Bandung Barat yang sebagian wilayahnya terendam oleh Waduk Cirata dalah Kecamatan Cipeundeuy. Luas wilayah Kecamatan Cipeundeuy yang terendam Waduk Cirata adalah sekitar 38%. Pada saat pembangunan Waduk Cirata, jumlah desa yang terendam di Kecamatan Cipeundeuy mencapai 5 desa dan ada sekitar 1.652 KK yang terpaksa direlokasi serta 596 KK yang memiliki lahan garapan di wilayah genangan. Dengan demikian, ada 2.248 KK di wilayah Bandung Barat yang mengalami kerugian akibat pembangunan Waduk Cirata. Pemerintah melakukan dua pilihan untuk mengatasi persoalan tersebut; pertama melalui program transmigrasi, dan kedua mendapatkan ganti rugi serta kesempatan untuk melakukan usaha budidaya ikan di kawasan Waduk Cirata. Karena kondisi inilah maka sebagian besar penduduk Kecamatan Cipendeuy memiliki mata pencaharian sebagai pembudidaya ikan dengan menggunakan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Berdasarkan data BPWC (2011), sebanyak 1.198 KK di Kabupaten Bandung Barat memiliki mata pencaharian utama sebagai petani KJA di Waduk Cirata.

Wilayah genangan terluas Waduk Cirata berada di wilayah Kabupaten Cianjur atau setara dengan 60% dari luas keseluruhan waduk. Karena Kabupaten Cianjur merupakan wilayah genangan terluas, maka Waduk Cirata seringkali dikenal berada di Kabupaten Cianjur. Wilayah genangan Waduk Cirata di Kabupaten Cianjur tersebar di 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Cikalong Kulon, Mande, Sukaluyu, dan Ciranjang. Genangan di 4 kecamatan tersebut menyebabkan 3.818 KK harus direlokasi dan 2.984 KK yang harus kehilangan mata pencaharian karena lahan garapannya dijadikan genangan. Oleh karena itu, tidak heran jika ada 12 desa sekitar kawasan genangan yang penduduknya bermatapencaharian sebagai pembudidaya ikan dengan sistem KJA di Waduk Cirata. Pada tahun 2011, BPWC mencatat ada sekitar 821 KK di Kabupaten Cianjur yang menjadikan usaha KJA di wilayah Waduk Cirata sebagai mata pencaharian utama.

Kabupaten Purwakarta merupakan kabupaten dengan wilaya genangan Waduk Cirata yang paling kecil, yaitu sekitar 21%. Kecamatan yang menjadi wilayah genangan adalah hanya Kecamatan Maniis dan tersebar di 4 desa, yaitu

Desa Tegal Datar, Citamiang, Pasir Jambu, dan Sinar Galih. Jumlah penduduk yang terkena genangan adalah sekitar 856 KK, sedangkan yang harus kehilangan mata pencaharian adalah sebanyak 186 KK. Hasil pencatatan BPWC pada tahun 2011, di zona Kabupaten Purwakarta ini terdapat 492 rumah tangga petani yang memiliki mata pencaharian utama sebagai petani KJA.

Waduk Cirata berada pada ketinggian 200 mdpl dengan luas permukaan waduk adalah 603.200 Ha dan volume rata-rata sekitar 2.165 juta m3. Waduk Cirata memiliki kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m dan kedalaman maksimum mencapai 106 m. Peta lokasi objek penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan 5.2 berikut.

Sumber: Google Earth (2016)

Gambar 5.1 Lokasi Waduk Cirata

Sumber: BPWC (2010)

37

Ketiga waduk kaskade tersebut memanfaatkan Sungai Citarum sebagai sumber air. Waduk Jatiluhur merupakan waduk yang tertua dan terletak di bagian hilir. Tujuan utama pembangunan Waduk Jatiluhur yaitu sebagai PLTA, irigasi, bahan baku air minum dan industri. Untuk menjaga kualitas air yang masuk ke Waduk Jatiluhur kemudian dibuat Waduk Saguling. Waduk Saguling yang berada di daerah hulu diharapkan dapat menjadi filter limbah dari sungai-sungai yang alirannya masuk ke Waduk Jatiluhur. Seiring berjalannya waktu, aktivitas ekonomi seperti budidaya perikanan dan pertanian di Waduk Saguling menyebabkan semakin menurunnya kualitas air yang masuk ke perairan Jatiluhur. Oleh karena itu maka dibangunlah Waduk Cirata di tengah-tengah DAS Citarum yang diharapkan dapat menjadi filter kedua bagi air yang akan masuk ke Waduk Jatiluhur. Sungai yang mengairi Waduk Cirata adalah Sungai Citarum sebagai sumber air utama serta beberapa anak sungai lainnya seperti Sungai Cicendo, Cimeta, Cisokan, Cibiuk, Cibagalung, Ciangsana, Cikundul, dan Cigede. Gambar aliran sungai yang masuk ke Waduk Cirata dapat dilihat pada Gambar 5.3 sebagai berikut:

Sumber: BKSDA Provinsi Jawa Barat (2016)

Gambar 5.3 Aliran sungai yang masuk ke Waduk Cirata 5.2 Waduk Cirata sebagai Pembangkit Tenaga Listrik

Tujuan utama pembangunan Waduk Cirata adalah sebagai sumber air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Pembangunan Waduk Cirata dimulai pada tahun 1983 dan selesai tahun 1987. Waduk Cirata pertama kali beroperasi pada tahun 1988. Seiring berjalannya waktu, pemanfaatan Waduk Cirata tidak hanya

untuk PLTA saja namun telah melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan. Diantaranya adalah budidaya KJA, pemanfaatan lahan surutan dan area greenbelt untuk kegiatan pertanian, serta usaha ikutan lainnya. Waduk Cirata telah menjadi sentra kegiatan sosial ekonomi bukan hanya bagi masyarakat setempat tetapi juga para pendatang dari luar kota, bahkan luar Pulau Jawa. Akibat perkembangan yang kurang terkendali, kondisi Waduk Cirata harus menanggung beban pencemaran berat. Pendangkalan karena erosi, populasi KJA yang melampaui batas yang disyaratkan, limbah industri maupun domestik serta gulma air (eceng gondok) merupakan permasalahan akut yang memerlukan penanganan serius oleh berbagai pihak. Pemanfaatan Waduk Cirata oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingan masih bersifat sektoral, dimana masing-masing sektor melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sebatas kepentingannya tanpa mempertimbangkan kepentingan sektor lain sehingga sangat potensial menimbulkan konflik kepentingan.

PLTA UP Cirata memiliki total daya terpasang sebesar 1.008 MW (Mega Watt). PLTA ini mampu memproduksi energi listrik rata-rata 1.428 GWh per tahun yang kemudian dislurkan melalui jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi 500 kV ke sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali) melalui Gardu Induk Tegangan Tinggi (GITET Cirata). UP Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara, memiliki power house 4 lantai di bawah tanah. Dalam usahanya, PT. PJB memiliki badan tersendiri yang membantu UP Cirata dalam mengelola waduk, yaitu Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) sesuai dengan SK Direksi No. 026.K/023/Dir/2000 tentang Pembentukan BPWC.

BPWC bertugas untuk melaksanakan pengelolaan secara profesional (mengelola, ememlihara, dan mengembangkan potensi ekonomi) asset berupa waduk dan lahan-lahan di sekitarnya untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan tanpa mengabaikan kepentingan unit pembangkitan dan masyarakat yang memanfaatkan waduk tersebut. Dalam rangka pengelolaan Waduk Cirata, BPWC diharapkan dapat menjaga kualitas air agar tetap bersih sehingga tidak mempengaruhi alat-alat pembangkit dan mampu menjaga umur waduk sesuai dengan life-time. BPWC juga diharapkan mampu menjaga pasokan air tetap cukup untuk memenuhi PT. PJB dalam memproduksi listrik. Untuk itu berbagai kegiatan pembersihan lingkungan waduk, penghijauan di sekitar waduk, dan penataan kegiatan budidaya perikanan masyarakat ditertibkan dan diatur sedemikian rupa agar fungsi utama pembangunan waduk ini tetap bisa optimal. BPWC telah melakukan beberapa upaya pengelolaan lingkungan untuk pengendalian kualitas air waduk, diantaranya pemantauan kualitas air secara rutin, koordinasi dengan Badan Pengelola Sampah Regional (BPSR) TPA Sari Mukti, penyusunan zonasi ekosistem untuk KJA, pembersihan dan pembuangan sampah, gulma, serta eceng gondok dari daerah perairan waduk.