• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM sambutannya pada pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, di hadapan gubernur dan bupati Indonesia, Presiden Joko Widodo mengungkapkan potensi sumber daya nasional yang serba paradoksal. Misalnya, potensi pariwisata Indonesia yang tinggi, ternyata tidak mampu mengalahkan negara tetangga. Kamboja yang baru aman dari gejolak, mampu menyedot sekitar tujuh juta wisatawan per tahun, sedikit di bawah Indonesia, dengan ikon Angkor Watt nya. Sudah tentu presiden juga menyinggung persoalan potensi kelautan Indonesia yang dua per tiga wilayahnya terdiri dari air. Dan yang cukup memberikan harapan adalah bahwa soal beras. Presiden sendiri mengkritisi bahwa Indonesia masih mengimpor beras. Karena itu dalam waktu tiga tahun, diharapkan Indonesia sudah tidak mengimpor lagi. Presiden menugaskan menteri pertanian untuk mencapai keinginan ini.

Persoalan kemandirian beras, nampaknya merupakan hal penting yang harus dilihat dalam konteks keindonesiaan. Nasi merupakan makanan pokok dari rakyat Indonesia. Keperluan dasar dari rakyat adalah tersedianya makanan pokok itu agar mereka dapat berinteraksi secara sosial. Maka, dalam konteks kemandirian beras, itu merupakan pilihan pertama bagi Indonesia, yang kalau digabungkan dengan pilihan mengembangkan perikanan kelautan, menjadi kombinasi yang paling bagus. Para ahli menyebutkan bahwa mengkonsumsi ikan akan mencerdaskan. Indonesia pernah menyatakan diri sebagai negara berswasembada beras pada tahun 1984, tetapi pada saat itu sektor perikanan kelautan belum diperbincangkan. Jika sekarang Indonesia mampu berswasembada beras, dengan perikanan laut yang mendukung, hasil ini jauh melampaui dari apa yang didapatkan tahun 1984. Sebagai negara pertanian, mayoritas masyarakat Indonesia tidak terlalu sulit mencari buah dan sayuran sebagai pelengkap konsumsi makanan sehari-hari.

Menjadikan negara yang berswasembada beras dalam waktu tigaa tahun, mungkin mudah secara teori. Misalkan, asal tersedianya bendungan, penyuluh

pertanian handal, tidak menganaktirikan petani, dalam waktu tiga tahun hal itu bisa dilakukan. Saat memberikan pidato pembukaan itu, Presiden Joko Widodo juga menyebut-nyebut soal pembangunan bendungan sebanyak 49 di seluruh Indonesia. Namun yang sering menjadi penghambat pembanguna itu adalah tidak adanya saling pemahaman antar kementerian. Seolah tidak ada saling mendukung rencana kerja dalam waktu yang ditetapkan. Atau bisa jadi, perintah proyek yang dilakukan itu tidak dipahami dengan baik.

Modelnya bisa dilihat pada tataran paling bawah. Bagaimana mungkin bisa meningkatkan produksi beras apabila lahan-lahan persawahan secara mudah dibolduser untuk dijadikan perumahan. Air untuk persawahan mati sekibat dihambat oleh pembangunan hotel, atau sumber air sengaja disedot untuk suplai air hotel. Sungai pun dieksploatasi untuk kepentingan bisnis, juga bibir jurang. Sementara tidak ada proyek untuk membuat persawahan baru atau proyek untuk pembuatan irigasi sangat lambat. Ini merupakan paradox dari cita-cita pembangunan yang memprioritaskan menghasilkan beras sebagai hasil utama Indonesia di masa depan. Sepertinya ongkos, upah dan penghasilan untuk menghancurkan alam itu jauh lebih tinggi dan menjanjikan ketimbang ongkos, upah, dan penghasilan untuk memperbaiki kondisi alam agar berfungsi baik. Fenomena ini tidak saja terjadi di Bali, tetapi di daerah-daerah lain di Indonesia, terutama di wilayah yang berdekatan dengan kota.

Disamping kerakusan, penyebabnya adalah tidak adanya saling pengertian antara kementerian, terutama pada jajaran paling bawah.

Dengan demikian, agar keinginan Presiden Joko Widodo tersebut mampu tercapai, kalaupun tidak tiga tahun tetapi minimal dalam masa lima tahun pemerintahannya, ia harus mengingatkan menteri dan kementerian terkait.

Satu kesaktian yang dimiliki oleh Bapak Presiden, adalah hobinya blusukan itu. Sebagai sebuah metode untuk menjalankan pemerintahan, blusukan itu tangguh. Sektor pertanian, “lahan” penghasil beras (seperti yang dicita-citakan presiden) itu ada pada basis blusukan presiden. Ia ada pada tingkat paling bawah, bahkan bersentuhan dengan kemiskinan dan kemarginalan. Banyak petani yang miskin di Indonesia dan sektor pertanian seolah terpinggirkan.

Karena itu, orientasi blusukan presiden sekarang haruslah pada petani sawah ini, menanyakan tentang masalah-masalah yang ada di lapangan, “ketidakadilan bolduser” yang meratakan sawah menjadi perumahan, penghentian air sawah

dan penyedotan sumber air untuk mengaliri hotel. Dengan cara blusukan juga presiden akan tahu sejarah sebuah lahan persawahan yang kemudian berubah menjadi kompleks kantor pemerintahan. Dengan metode yang sama juga presiden tahu bagaimana latar belakang kompleks perumahan. Di Bali bagian selatan banyak ada contoh-contoh seperti ini sehingga pantaslah presiden datang incognito ke wilayah ini. Bali juga bisa dilihat sebagai “percontohan”

krisis persawahan sekaligus bisa dipakai model untuk menyetopnya kelak apabila presiden berhasil melakukan itu. Blusukan dalam hal ini dipakai sebagai survey yang sangat berguna sebagai masukan, bukan saja kepada presiden sebagai pemimpin negara, tetapi juga para meneterinya untuk membuat kebijakan secara tepat.Bukan tidak mungkin hal ini akan ditiru oleh bawahan presiden. Secara akademis, blusukan itu merupakan metode kualitatif, yang bermakna melihat secara langsung ke masyarakat, merasakan kehidupan sosial mereka dan mencoba memahami bagaimana cara masyarakat berfikir.

Akan lebih komplit apabila misalnya, presiden mau datang, bermalam, sambil ikut melakukan aktivitas sosial.

Ada satu hal yang juga dapat digunakan disamping blusukan sebagai metode mencari masukan, yaitu memanfaatkan secara maksimal Undang Undang No 6 Tahun 2014 tentang desa. Dalam undang-undang ini, desa didayagunakan untuk mandiri agar mampu mencapai cita-cita nasional, sesuai dengan karekter desa tersebut. Bagi desa yang mayoritas sumber dayanya dari pertanian sawah, harus dimaksimalkan dan diberikan rangsaangan untuk meningkatkan hasil swadaya tersebut. Undang-undang ini juga memungkinkan adanya kerjasama antar desa yang berkaitan dengan wilayah kabupaten atau kota, lewat apa yang disebut dengan kawasan perdesaan. Satu yang ditekankan disini adalah soal desa yang mempunyai lahan pertanian.

Jadi pemerintah bisa memanfaatkan hal ini dengan baik. Tetapi yang harus diingat, tenggang waktu 3 tahun sebagai target, mungkin agak susah dicapai.

Undang Undang ini akan mampu mencapai cita-cita tersebut dalam jangka panjang.****

Ditulis, 18 Desember 2014

UNTUK MANDIRI, HARUS DISERTAI