• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang dan Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Bagaimana proses mengkonstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh setiap subjek, dijelaskan dengan jalan pikiran Piaget, sebagai berikut:

Menurut Piaget, manusia tumbuh, beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosio-emosional, dan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada tiga aspek perkembangan intelektual menurut Piaget (Depdiknas, 2004) yaitu: struktur, isi, dan fungsi. Struktur atau “skemata” merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual. Fungsi terdiri dari organisasi dan adaptasi.

Organisasi memberikan organisme kemampuan untuk mengorganisasi proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi adalah kecenderungan organisme untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan dengan dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Sedangkan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan

Sub Unit 1

Latar Belakang dan Karakteristik

Pembelajaran Kontekstual

DUMMY

modifikasi struktur mental (skemata) yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungannya.

Sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang dinamakan “skemata” yang terbentuk karena pengalaman. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skemata yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skemata dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skemata; dan akomodasi adalah proses mengubah skemata yang sudah ada hingga terbentuk skemata baru. Semua proses asimilasi dan akomodasi terbentuk berkat pengalaman siswa. Sebelum seseorang mampu menyusun skemata baru, ia akan dihadapkan pada posisi ketidakseimbangan (disequilibrium) yang akan mengganggu psikologisnya. Manakala skemata telah disempurnakan atau organisme telah berhasil membentuk skemata baru, ia akan kembali pada posisi seimbang (equilibrium), untuk kemudian ia akan dihadapkan pada perolehan pengalaman baru. Berikut dikutip satu ilustrasi (Sanjaya, 2008):

Pada suatu hari anak merasa sakit karena terpercik api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk skema pada struktur kognitif anak tentang “api”, bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari. Dengan demikian, ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin anak dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya memasak pakai api; ketika anak melihat bapaknya merokok menggunakan api, maka skema yang terbentuk itu disempurnakan, bahwa api bukan harus dihindari tetapi dapat dimanfaatkan. Proses penyempurnaan skema tentang api yang dilakukan oleh anak itu dinamakan asimilasi. Semakin anak dewasa, pengalaman itu semakin bertambah pula. Ketika anak melihat bahwa pabrik-pabrik memerlukan api, setiap kendaraan memerlukan api, dan lain sebagainya, maka terbentuklah skema baru tentang api, bahwa api bukan harus dihindari dan juga bukan hanya sekadar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Proses penyempurnaan skema itu dinamakan proses akomodasi. Simak lagi contoh di bawah ini.

Misalkan, berkat pengalamannya seorang anak memiliki skema tentang burung merpati sebagai binatang yang bersayap dan bisa terbang, sehingga ia akan mengatakan setiap binatang yang memiliki sayap adalah burung dan setiap burung pasti dapat terbang. Selanjutnya proses asimilasi terbentuk, ketika ia melihat burung-burung yang lain yang sama-sama bisa terbang misalnya burung yang lebih kecil dari burung merpati yaitu burung pipit dan burung yang lebih besar seperti burung elang. Dengan demikian, ia akan menyempurnakan skema tentang burung yang telah terbentuknya, bahwa burung itu ada yang besar dan ada yang kecil. Kemudian proses akomodasi

Bab-3: Pembelajaran Kontekstual

88

DUMMY

akan terbentuk, misalnya ketika anak tersebut melihat seekor ayam. Anak akan menjadi ragu sehingga ia akan ada pada posisi ketidakseimbangan. Sebab, walaupun binatang tersebut bersayap, anak akan menolak kalau ayam yang dilihatnya dimasukkan pada skema burung yang telah ada, sebab ayam memiliki karakteristik lain, misalnya badannya lebih besar dan tidak bisa terbang. Melalui pengalamannya itulah anak memaksa untuk membuat skema baru tentang binatang yang bersayap, yaitu skema tentang ayam. Inilah yang dinamakan proses akomodasi, yakni proses pembentukan skema baru berkat pengalaman. Kemudian pengalaman anak pun bertambah pula. Ia melihat ada itik, ada bebek, ada angsa, dan lain sebagainya, semua binatang yang ia lihat itu bersayap, akan tetapi memiliki atribut-atribut yang sangat berbeda dengan ayam, dengan demikian ia akan membentuk konsep baru tentang binatang yang bersayap, yaitu tidak setiap binatang yang bersayap adalah burung dan dapat terbang. Jadi, dengan demikian konsep tentang burung dan binatang bersayap itu adalah sebagai hasil proses asimilasi dan akomodasi yang dibentuk dan dikonstruksi oleh anak yang bersangkutan, bukan hasil pemberitahuan orang lain. Demikianlah, selama hidupnya anak akan memperbaiki dan menyempurnakan skema-skema yang telah terbentuk (Sanjaya, 2008).

Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran, di antaranya model pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual, pengetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.

2. Latar Belakang Psikologis

Dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif, sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek. Menurut pandangan psikologi kognitif, proses belajar terjadi karena interaksi individu dan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respons. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi, dan kemampuan atau pengalaman. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada di belakang gerakan fisik itu , yakni kebutuhan manusia. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku.

DUMMY

Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus anda pahami tentang belajar dalam konteks CTL (Sanjaya, 2008).

a. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkontsruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.

b. Belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir.

c. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi setiap persoalan.

d. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu, belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa. e. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan.

Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (real word learning).

B. Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada keterlibatan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Berdasarkan konsep di atas, ada tiga hal yang harus kita tekankan.

Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk

menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Bab-3: Pembelajaran Kontekstual

90

DUMMY