• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya yang diyakininya. Hal ini, sejalan dengan strategi pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (2005-2025), menyebutkan perlunya upaya pemberdayaan masyarakat. Artinya, keberadaan peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting, sehingga masalah kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah.

Keberhasilan pembangunan kesehatan, terletak pada penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan harus berangkat dari masalah dan potensi spesifik daerah termasuk di dalamnya sosial budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat berbasis pada masyarakat artinya pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan masyarakat yang sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan permasalahan serta potensi masyarakat (modal sosial).

Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang dihuni ratusan etnik bangsa dengan berbagai ragam budaya telah memberikan suatu kekhasan tersendiri. Perilaku masyarakat khususnya masyarakat tradisional tercermin dari perilaku memanfaatkan kekayaan intelektual masyarakat lokal berupa pengetahuan tradisional mereka dan keanekaragaman hayati di lingkungannya.

Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai etnik bangsa yang tersebar di Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan ini dapat berupa pelayanan konvensional, tradisional dan komplementer yang menyangkut kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.

2

Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, yang didalamnya termasuk pengobatan dengan cara tradisional(terjamin keamanan dan khasiatnya).

Dengan demikian, masalah kesehatan terkait sosial budaya masyarakat menjadi permasalahan yang memerlukan kajian lebih mendalam dan spesifik di setiap daerah pada etnis tertentu. Wujud budaya dapat berupa suatu ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lainnya, yang sering diistilahkan sebagai adat istiadat. Wujud budaya yang lain, berupa sistem sosial yaitu aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

Wujud budayaini merupakan refleksi dari identitas sosial dari masyarakat. Adanya pengembangan atau inovasi dengan melibatkan sosial budaya lokal yang bermanfaat bagi upaya kesehatan itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui intervensi yang dapat diterima oleh masyarakat pelakunya.

Untuk itu, perlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar sehingga dapat segera dilakukan perbaikan yang berdampak positif bagi kesehatan. Sehingga, kekayaan budaya Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan dan dimanfaatkan secara lokal bahkan bila memungkinkan secara nasional.

Pemahaman budaya masyarakat yang terkait masalah kesehatan sangat penting untuk diperhatikan sebagai faktor penentu keberhasilan program kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Gambaran itu bisa dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami apa yang berlaku di masyarakat.

Berdasar budaya yang sudah terpantau tersebut, maka program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam hal ini,

3 pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang penting dan tidak bisa diabaikan.

Dalam arti luas, keberadaan budaya di suatu daerah tidak bisa diabaikan dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Untuk itu, adanya riset tentang budaya kesehatan masyarakat dalam upaya peningkatan status kesehatan sangat penting untuk dilakukan. Konsekuensi logis ini harus disadari, apalagi betapa beragamnya budaya yang ada di wilayah Indonesia. Hal ini, tentu memerlukan pemahaman yang cermat untuk setiap daerah terkait etnis yang ada di wilayah tersebut. Artinya, melalui pemahaman budaya secara spesifik, yaitu dengan cara menggali kearifan lokal yang ada, tentu akan membantu dalam strategi upaya kesehatan secara lokal spesifik di daerah.

Secara obyektif tiap masyarakat mempunyai persepsi kesehatan (konsep sehat-sakit) yang berbeda-beda. Hal ini sangat ditentukan budaya masyarakat yang bersangkutan. Setiap orang yang terganggu kesehatannya akan mencari jalan untuk proses penyembuhan dirinya dengan cara mencari pengobatan dengan self treatmentmaupun upaya mencari tenaga kesehatan.

Dalam hal ini, keberadaan budaya masyarakat yang khas dan telah menjadi tradisi turun temurun itu, tentunya memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi kesehatan, baik pengaruh positif dan negatif. Sehingga tidak berlebihan, bila dikatakan upaya memahami status kesehatan masyarakat itu harus berdasarkan budaya. Dengan kata lain, kesehatan itu merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Begitu pula sebaliknya, bahwa kebudayaan bisa juga menjadi pedoman masyarakat dalam memahami kesehatan.

Untuk itu, memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi, kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa, 2005:16).

4

Hasil penelitian yang dilakukan Emiliana Mariyah dan Mohammad Hakimi (2005), menyebutkan bahwa:1

“Masih kuatnya sistem kepercayaan dan praktek pantangan yang dilakukan ibu hamil. Pada saat hamil, secara medis ibu dan bayi memerlukan makanan yang bergizi dan zat besi lebih banyak. Namun dalam praktek, yang terjadi sebaliknya. Ibu menghindari bahkan mengurangi jumlah dan jenis makanan tertentu yang mengandung gizi tinggi, serta mengabaikan zat besi yang sangat dibutuhkan selama kehamilan, karena berbagai alasan yang berkaitan dengan nilai budaya setempat dan kepercayaan.”

Berdasarkan penjelasan sekilas mengenai penelitian itu, dapat dipahami bahwa kesehatan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan kebudayaan. Untuk itu, perlu adanya pemahaman mengenai kebudayaan dalam memahami kondisi kesehatan masyarakat.

Dalam hal ini, menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra (2005:16) menyebutkan bahwa dalam pandangan para ilmuwan sosial budaya, masalah kesehatan dalam suatu masyarakat sangat erat kaitannya antara fasilitas kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat dengan kepercayaan, jenis mata pencaharian serta lingkungan fisik tempat masyarakat tersebut berada. Dilihat dari perspektif ini, masalah kesehatan tidak lagi dapat dipahami dan diatasi hanya dengan memusatkan perhatian pada kesehatan tubuh. Sebab, kesehatan tubuh ini adalah hasil dari proses interaksi antara unsur internal tubuh dengan unsur eksternalnya.

Sementara itu, berdasarkan data Riskesdastahun 2007 kondisi kesehatan secara nasional menyebutkan bahwa masalah kesehatan

1

Emiliana Mariyah dan Mohammad Hakimi. 2005. “Hambatan Budaya dalam

Interaksi Bidan-Ibu Hamil: Studi Ketaatan untuk Meningkatkan Suplemen dan Status Besi di Puskesmas Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah”

5 tidak hanya pada status kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk juga masalah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), penyakit menular dan tidak menular.”

Pada aspek lainnya, didasarkan data Susenas 2007 menunjukkan bahwa:

“Hanya 35% penduduk yang sakit mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, ada 55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan 43,2% melahirkan di rumah. Kondisi tersebut membuktikan bahwa masih cukup banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan.”

Menyikapi data tersebut, kalau dianalisis lebih jauhternyata dari jumlah ibu yang melahirkan di rumah tersebut, berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 sebanyak 51,9% ditolong bidan dan masih ada 40,2% yang ditolong dukun bersalin.

Padahal setahun sebelum survei, ada 82,2% persalinanditolong tenaga kesehatan namun masih ada kesenjangan antara pedesaan (72,5%) dan perkotaan (91,4%). Kondisi masih tingginya pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di rumah tersebut, ternyata sangat terkait dengan faktor-faktor sosial budaya yang ada di masyarakat.

Apalagi berdasarkan hasil riset etnografi kesehatan tahun 2012 pada 12 etnis yang ada di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan hasilnya sangat memprihatinkan. Yakni masalah kepercayaan tentang hal-hal mistis masih melekat kuat pada budaya mereka, seperti:

“Mitos kalau ibu hamil itu rentan untuk diganggu oleh roh jahat, sehingga ibu hamil harus menjalani ritual dan memakai jimat serta mematuhi pantangan dan larangan agar terhindar dari gangguan roh jahat. Termasuk adanya

6

pantangan mengkonsumsi makanan tertentu saat hamil justru mengurangi asupan pemenuhan gizi ibu hamil, sehingga mempengaruhi status gizi ibu hamil tersebut.”

Pada sisi lain, adanya keharusan tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan bagi ibu hamil juga sangat membahayakan bagi ibu hamil maupun janinnya. Mereka beranggapan, kalau ibu yang bekerja keras saat hamil akan memudahkan dan melancarkan persalinannya. Pilihan utama untuk persalinan dilakukan di rumah dan dibantu oleh dukun karena ibu merasa aman dari gangguan roh jahat serta nyaman karena ditunggui oleh keluarga. Pemotongan tali pusat dengan sembilu (bambu yang ditipiskan dan berfungsi seperti pisau) masih banyak digunakan pada bayi yang baru dilahirkan.

Begitu juga, adanya ramuan yang berasal dari berbagai tumbuhan, baik yang diminum maupun dimasukkan dalam liang vagina, juga dipercaya dapat mempercepat kesembuhan dan mengeringkan vagina ibu yang habis bersalin.

Selain itu, kebiasaan pijat pada ibu setelah melahirkan maupun pada bayi baru lahir juga masih dilaksanakan pada etnis tertentu. Termasuk adanya kepercayaan masyarakat yang memandikan bayi baru lahir dengan menggunakan air dingin, di sungai, dan danau atau sumber air lain itu akan menjadikan bayi lebih kuat, baik fisik maupun mentalnya.

Dengan demikian, membicarakan masalah kesehatan masyarakat, tentu tidak akan terlepas dari faktor sosial budaya dan lingkungan yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, adanya faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya mengenai berbagai pantangan, hubungan antara makanan dengan kondisi sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan, tentu dapat membawa dampak positif dan negatif terhadap kesehatan seseorang. Keberadaan faktor-faktor itu merupakan potensi dan kendala yang perlu digali. Apalagi untuk Indonesia yang kondisi Angka Kematian Ibu

7 (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) saat ini masih cukup tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Keberadaan AKI ini menjadi indikator penting dalam penentu derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan maupun penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup.

AKI juga dapat digunakan dalam pemantauan kematian terkait dengan kehamilan. Indikator ini dipengaruhi oleh status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan. Sensitifitas AKI terhadap perbaikan pelayanan kesehatan menjadikannya indikator keberhasilan pembangunan sektor kesehatan.

Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 32 per 1000 kelahiran hidup. Lebih dari tiga perempat kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus.2Padahal berdasarkan kesepakatan global MDGs(Millenium Development Goals) tahun 2000, diharapkan pada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup.

Untuk Kabupaten Tapanuli sendiri, bila dilihat dari tren jumlah kematian ibu terlihat penurunan yang cukup signifikan.Pada tahun 2009(133 kasus), 2010 (17 kasus), 2011 (15 kasus), 2012 (5 kasus), dan 2013 (3 kasus).3Sedangkan tren Angka Kematian Bayi (AKB)

2Badan Pusat Statistika. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistika, Macro International, Bappenas. 2012.

3

Sumber Seksi Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2013.

8

Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2008-2010 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2008 (12,37), 2009 (8,54), 2010 (7,03). Kemudian, AKB pada tahun 2011 naik lagi menjadi 7,68 orang kematian bayi. Untuk tahun 2012 pun AKB naik lagi mencapai 9 per 1.000 Kelahiran Hidup(sedikit meningkat dari tahun 2011) dan pada tahun 2013 menurun kembali menjadi 5 per 1.000 kelahiran hidup.4

Sehingga walausudah menunjukan pencapaian yang baik, namun upaya penurunan tidak boleh berhenti disini, kematian ibu harus diturunkan sampai tidak ditemukan lagi, baik adanya kematian ibu karena penyakit, gangguan kehamilan, persalinan dan masa 40 hari nifas.5

Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan 95,4% kelahiran mendapat pemeriksaan kehamilan atau Ante Natal Care (ANC). Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trisemester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trisemester 1 hingga trisemester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator K4. Untuk data K1 ideal secara nasional mencapai 81,6%. Adapun cakupan K4 secara nasional adalah 70,4%. Selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional terdapat 12% dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4).6

Dalam arti lain, cakupan K1ini merupakan gambaran besaran ibu hamil yang telah melakukan kunjungan pertama ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Sedangkan cakupan K4 ibu hamil adalah gambaran besaran ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan ibu hamil sesuai dengan standard

4

Ibid.

5Dinas Kesehatan Kab. Tapanuli Tengah. Profil Kesehatan Kabupaten Tapanuli

Tengah Tahun 2013. Tapanuli Tengah: Dinas Kesehan Tapanuli Tengah. 2014. 6

Kementerian Kesehatan RI. Laporan Nasional Riset Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014.

9 serta paling sedikit empat kali kunjungan dengan distribusi, sekali pada triwulan pertama, sekali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga umur kehamilan. Angka ini dimanfaatkan untuk melihat kualitas pelayanan kesehatan kepada ibu hamil.

Untuk Kabupaten Tapanuli Tengah sendiri, tren cakupan kunjungan K1 ibu hamil dari tahun 2009-2013 seperti terlihat dari grafik berikut ini.

Grafik 1.1. Tren Cakupan Pelayanan K1 Ibu Hamil Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2009-2013

Sumber: Seksi Kesehatan Ibu dan AnakDinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2013.

Dari grafik garis diatas memperlihatkan tren kunjungan K1 ibu hamil tahun 2009-2013 yang fluktuatif. Cakupan kunjungan K1 ibu hamil pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 83,42%. Pada tahun 2011, terjadi peningkatan walaupun kecil yaitu menjadi 85,53%. Begitu pula pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 91,52% dari 88% pada tahun 2012.7

7

Dinas Kesehatan Kab. Tapanuli Tengah. Profil Kesehatan Kabupaten Tapanuli

10

Adapun, cakupan Kunjungan ibu hamil K4 dalam 5 tahun terakhir di Kabupaten Tapanuli Tengah dapat dilihat pada grafik berikut.

Grafik 1.2.Tren Cakupan Pelayanan K4 Ibu Hamil Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2009-2013

Sumber: Seksi Kesehatan Ibu dan AnakDinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2013.

Berdasarkan tren grafik garis tersebut, dapat terlihat bahwa cakupan kunjungan K4 ibu hamil di Kabupaten Tapanuli Tengahmasih bersifat fluktuatif. Pada tahun 2009 cakupan kunjungan K4 ibu hamil adalah 91,6% dan pada tahun 2010 cakupan kunjungan K4 menurun menjadi 60,45%. Pada tahun 2011, cakupan meningkat sedikit sebesar 3,66% menjadi 64,11%. Dan meningkat kembali pada tahun 2012 menjadi 75%. Begitu pun meningkat kembali pada tahun 2013 menjadi 83,3%. Mengacu pada target Standar Pelayanan Mininal (SPM) Bidang Kesehatan (95%), ini menunjukan masih rendahnya cakupan pelayanan Antenal (ANC) ibu hamil di Tapanuli Tengah, padahal indikator ini

11 merupakan salah satu acuan dasar daripada percepatan MDGs ke-5 yaitu mengurangi ¾ AKI (MMR) dalam kurun waktu 1990-2015.8

Dari kedua grafik K1 dan K4 diatas, terlihat pada tahun 2009 cakupan meningkat K1 sebesar 94,9% dan K4 sebesar 91,6%. Pada tahun 2010 terjadi penurunan cakupan keduanya dan kesenjangan yang cukup signifikan sebesar 23%. Pada 2011 juga terjadi penurunan cakupan keduanya dan kesenjangan yang cukup signifikan sebesar 21%. Pada 2012 terjadi penurunan cakupan sebesar 13%.

Di sini, munculnya kesenjangan antara cakupan K1 dan K4tersebut menunjukkan angka drop out K1-K4. Dengan kata lain, jika kesenjangannya kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan kunjungan pertama pelayanan antenatal meneruskan hingga kunjungan yang keempat pada triwulan3, sehingga kehamilannya dapat terus dipantau oleh petugas kesehatan.

Dengan demikian, harus dievaluasi semua pihak yang terkait dalam rangka memperbaiki pencapaian indikator ini. Disamping itu, perlu juga adanyaevaluasi peningkatan kinerja dengan upaya-upaya yang lebih komprehensif dan tepat guna untuk meningkatkan cakupan K4 seperti case finding, upaya home visit oleh bides, peningkatan dan evaluasi distribusi serta penggunanaan buku KIA oleh sasaran ibu hamil, dsb.

Walau secara umum, kondisi AKB Kabupaten Tapanuli Tengah itu, sebenarnya telah melampaui dari target MDGs tahun 2015 yaitu 23 per1.000 kelahiran hidup. Namun, mencermati fenomena AKB di Kabupaten Tapanuli Tengah yang belum stabil. Di sini, banyak faktor yang dapat menyebabkan kematian bayi, diantaranya tingkat ekonomi, pengetahuan keluarga, pemerataan pelayanan kesehatan

8

Dinas Kesehatan Kab. Tapanuli Tengah. Profil Kesehatan Kabupaten

Tapanuli Tengah Tahun 2013. Tapanuli Tengah: Dinas Kesehan Tapanuli