• Tidak ada hasil yang ditemukan

LITERATURE REVIEW:FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMANDIRIAN KELUARGA DALAM PERAWATAN PASIEN TUBERCULOSIS

Dalam dokumen M01891 (Halaman 67-78)

KESEHATAN KELUARGA DALAM PEMENUHAN NUTRISI DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH

LITERATURE REVIEW:FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMANDIRIAN KELUARGA DALAM PERAWATAN PASIEN TUBERCULOSIS

PARU

Ns. Kastuti Endang Trirahayu., S.Kep.

Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Email : Fiida Zahra@gmail.com

Abstrak

Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit kronis yang menjadi salah satu fokus permasalahan dalam bidang kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. Teori Orem dan beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa keluarga adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam perawatan pengobatan dan kesembuhan pasien Tuberkulosis Paru. Hasil survey menunjukkan bahwa kebanyakan pasien TB paru lebih memilih untuk dirawat di rumah bersama dengan keluarga mereka. Oleh karena itu, kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru adalah hal yang sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru.

Metode: Metode yang digunakan tinjauan sistemik (systemic review) yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal publikasi yang berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru mulai tahun 2009-2015. Penelusuran dilakukan melalui media online seperti Googlesearch, Sciencedirect.com, Proquest.com, EBSCO, dll. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh.

Hasil: Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang berbasis klinis (Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014). Selain edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan pasien TB (Palinggi dkk., 2013) dan teknik komunikasi yang tepat (Kaulagekar- Nagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013) harus dimiliki oleh keluarga. Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga harus dihapuskan agar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien TB paru bisa meningkat (Anand dkk., 2013). Dan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru, keluarga dapat dilibatkan dalam proses medis seperti konsultasi dan pemeriksaan ke dokter, yang rutin berjalan pada pasien (Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004).

Kesimpulan: Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara lain program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru, teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru.

Keywords: Kemandirian Keluarga, Perawatan Pasien TB Paru

Latar Belakang

Secara global, Beban TB masih sangat besar, bahkan WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Pada tahun 2013, 9 juta jiwa terinfeksi penyakit ini, dan 1,5 juta diantaranya meninggal dunia. Berbagai upaya dikerahkan, meliputi diagnosa dan pengobatan yang efektif, untuk menurunkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit TB. Terbukti semenjak tahun 2000-2013, ada sebanyak 37 juta jiwa berhasil diselamatkan karena adanya diagnosa dan pengobatan dini (WHO, 2014). Indonesia sendiri, sejak tahun 2010 menempati urutan kelima Negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insiden berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas

“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015

51 per tahunnya (Kemenkes RI, 2011). Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, berdasarkan laporan dari Kemenkes RI (2011), Indonesia merupakan Negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama. Salah satu wilayah di Indonesia yang berhasil dalam mendekati target deteksi kasus TB paru adalah Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, Kabupaten Banyumas menempati peringkat ke-4 jumlah penduduk terbanyak di Jawa Tengah dengan jumlah sebanyak 1.570.598 orang (BPS 2012). Penemuan penderita TB paru di kabupaten Banyumas tahun 2012 sebanyak 1.161 kasus case detection rate (CDR) sebesar 69,0% (target >70%) menempati urutan ke-10 kabupaten terbanyak di Jawa Tengah (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012). Penemuan penderita TB Paru anak tahun 2012 sebanyak 427 kasus dan tahun 2013 sebanyak 448 kasus dengan proporsi 14,1% . Case notification rate (CNR) tahun 2011 sebesar 176/100.000 penduduk, tahun 2012 sebesar 179/100.000 penduduk dan tahun 2013 sebesar 195/100.000 penduduk. CNR Nasional adalah sebesar 85/100.000 penduduk (Dinkes Kabupaten Banyumas, 2014). Kesuksesan dalam penyembuhan penderita TB Paru tentunya tidak terlepas dari pola perawatan yang sesuai. Orem menyebutkan bahwa faktor kondisi dasar yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam merawat dirinya sendiri diantaranya adalah usia, jenis kelamin, orientasi sosial-budaya, status kesehatan, dan sistem keluarga (Orem, 2001). Faktor kondisi dasar semacam ini dan partisipasi perawatan diri dari individu pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan individu tersebut, termasuk persepsi mengenai kualitas hidup personal dan pencapaian kontrol metabolisme. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yani (2012) diketahui bahwa kepatuhan pasien Tuberkulosis paru terhadap perilaku hidup sehat meningkat secara signifikan setelah menerima perawatan dengan dukungan keluarga berbasis program DOTS.

Dari hasil survei prevalensi TB oleh Kemenkes pada tahun 2004 mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis. Agar proses penyembuhan pasien TB paru bisa berjalan dengan efektif dan efisien dalam perawatan keluarga, tentunya kemandirian serta kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru sangat dibutuhkan. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam melakukan perawatan pada pasien TB paru.

Tujuan

Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru. Memberikan rekomendasi tentang apa saja yang

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas

“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015

52 bisa dilakukan untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru.

Metoda

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan sistematik (systemic review). Tinjauan sistemik adalah sebuah sintesis dari studi-studi penelitian primer yang menyajikan topik yang terkait dengan formulasi pertanyaan dan tujuan penelitian. Metode tinjauan sistematik ini yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal publikasi yang berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru. Penelusuran jurnal- jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian dilakukan melalui Website publikasi jurnal penelitian resmi yaitu ProQuest, EBSCO, dan PubMed, dengan menggunakan kata kunci yang dipilih. Pencarian hanya dibatasi pada terbitan 2007-2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Jurnal yang terpilih kemudian ditelaah untuk kemudian dibahas dan ditarik kesimpulannya dalam makalah. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh.

Hasil

Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang berbasis klinis (Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014). Program DOTS berbasis keluarga terdiri dari tiga tahap yaitu: estimasi, transitif, dan operatif, yang melibatkan partisipasi keluarga. Faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan pengobatan salah satunya adalah adanya program pengarahan. Dalam rangka mengimplementasikan program DOTS yang baik, ada empat metode utama yaitu pengajaran, pengarahan, pemberian dukungan, dan penyediaan lingkungan. Selain itu, buku panduan juga dibutuhkan untuk mengembangkan kemandirian keluarga dalam perawatan pasien TB paru (Yani et al., 2012).

Selain edukasi melalui program DOTS, hal lain yang juga berpengaruh terhadap kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru adalah adanya tujuan yang jelas. Ketika anggota keluarga memiliki tujuan atau target untuk terlibat dalam perawatan, maka keinginan mereka untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien akan berubah kedalam sebuah tindakan konkrit (Palinggi dkk., 2013).

Faktor lainnya yang juga dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru adalah teknik komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memberikan rasa dukungan bagi pasien. Komunikasi yang terbuka dalam keluarga mengenai manajemen perawatan penyakit, respon keluarga yang sehat terhadap situasi penyakit yang membuat stress (terterkan), dan dukungan keluarga terhadap kemandirian pasien berhubungan dengan perilaku manajemen pribadi pasien yang lebih baik. Selain itu, komunikasi langsung antara tenaga medis dengan anggota keluarga dapat membantu menyelesaikan kekhawatiran keluarga tentang pasien dan membantu anggota keluarga untuk menyusun tujuan yang tepat dalam perawatan pasien (Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013). Dengan komunikasi yang baik, anggota keluarga juga akan bisa mengatasi permasalahan atau tekanan yang ada sehingga mereka menjadi lebih termotivasi untuk secara mandiri merawat pasien TB paru. Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga harus dihapuskan agar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien TB paru bias meningkat (Anand dkk., 2013)

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas

“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015

53 Terakhir, melibatkan keluarga dalam proses perawatan klinis juga merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru. Perawatan penyakin kronis adalah hal yang kompleks dan sering kali dalam satu pertemuan klinis pasien akan mendapatkan banyak sekali informasi yang baru. Oleh karena itu, dengan melibatkan keluarga dalam proses perawatan klinis (ikut dalam proses pemeriksaan/konsultasi rutin ke dokter) akan dapat membantu pasien dalam menyerap dan memahami informasi yang didapat. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan kemampuan dan kemandirian keluarga dalam merawat pasien. Keluarga dapat membantu pasien untuk menjaga rutinitas pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter. Keluarga juga dapat memberikan informasi tambahan yang dibutuhkan kepada tenaga medis (dokter) tentang manajemen dan gejala penyakit yang dialami pasien di rumah. Keluarga dapat membantu mengkomunikasikan kekhawatiran pasien. Dan ketika di rumah pun keluarga dapat membantu perawatan pasien dengan lebih baik berdasarkan pada hasil pemeriksaan dan konsultasi yang telah dijalani (Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004).

Diskusi

Dari jurnal-jurnal penelitian yang dipilih, dapat diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru. Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh adalah edukasi tentang penyakit dan manajemennya; adanya tujuan yang jelas dan spesifik; pengembangan teknik komunikasi yang efektif dan mendukung; dan keterlibatan dalam proses perawatan klinis. Keseluruhan faktor tersebut tentunya tidak dapat dikembangkan sendiri oleh keluarga. Untuk dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru, tentunya keterlibatan dari lembaga-lembaga terkait diperlukan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan membuat sebuah rancangan program yang dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru. Sebagai catatan keterbatasan makalah ini adalah bahwa makalah ini disusun berdasarkan hasil penelitian pustaka-pustaka yang beragam dari sisi obyek penelitiannya dan tidak semuanya berkaitan langsung dengan tujuan makalah ini. Jurnal-jurnal terkait topik makalah masih sangat sedikit, namun di lain sisi ini adalah sebuah peluang penelitian yang berarti di masa mendatang akan sangat baik untuk bisa meneliti lebih mendalam tentang aplikasi perancangan program asuhan keperawatan keluarga untuk pasien TB paru dengan pengembangan berlandaskan pada penelitian-penelitian yang ada sebelumnya.

Kesimpulan

Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara lain program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru, teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru. Untuk dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien, lembaga terkait (lembaga keperawatan) atau tenaga medis harus bisa mengidentifikasi faktor yang berpengaruh, kemudian membuat sebuah rancangan, mengaplikasikan, dan terakhir melakukan evaluasi dan pengembangan.

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas

“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015

54

Daftar Pustaka

Abreu, W., et.al. (2015). Promotion of Self-Care in Clinical Practice: Implications for Clinical Supervision in Nursing. International Journal of Information and Education Technology, 5(1).

Anand T, D.Arun K, Nandini S, Renuka S, Laxmi K, S.V.Singh, GK Ingle. (2013). Perception on Stigma Towards TB Among Patients on Dots & Patients Attending General OPD in Delhi. Indian Journal of Tuberculosis. 61.

Duangrithi D, Kampl P, Vipa T, Varunee D, Yuthichai K, Pasokarn J, Duangjai Sahassanada, Punnee Pitisuttithum. (2014). Family Based Directly Observed Therapy on Culture Conversion in Newly Diagnosed Pulmonary Tuberculosis Patients. American Journal of Public Health Research. 2(4).

Howyida, S., et.al. (2012). Effect of Counseling on Self-Care Management among Adult Patients with Pulmonary Tuberculosis. Life Science Journal. 9(1).

Kemenkes RI. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kardas P, Pawel L dan Michal M. (2013). Determinants of Patient Adherence: a Review of Systematic Reviews. Journal of frontiers in pharmacology. 4(91).

Kaulagekar-Nagarkar A, Deepali D, dan Preeti J. (2012). Perspective of Tuberculosis Patients on Family Support and Care in Rural Maharashtra. Indian Journal of Tuberculosis. 5.

Kaur S, D Behera, D Gupta, SK Verma. (2009). Evaluation of a Supprotive Educative Intervention on Self Care in Patients with Bronchial Asthma. Nursing and Midwifery Research Journal. 5(2).

Munawaroh, S. (2012). Penerapan Teori Dorothea E. Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Nursasi AY. (2014). Peningkatan Kemandirian Perawatan Klien TB Paru Melalui

Pemberdayaan Dalam Kelompok Keluarga Mandiri. Jurnal Universitas Indonesia. Orem, D. (2001). Nursing concepts of practice (6th edition). St. Louis: Mosby.

Palinggi, Y., dkk. (2013). Hubungan Motivasi Keluarga Dengan Kepatuhan berobat Pada Pasien Tb Paru Rawat Jalandi RSU A. Makkasau Pare-Pare. Jurnal STIKES Nani Hasanuddin Makassar. 2(3).

Rosado-Quiab U, Roberto MC, David AC, Alfredo V. (2014). Influence of Family System Characteristics on Adherence to Directly Observed Treatment, Short-Course (Dots) in Pulmonary Tuberculosis-A Cohort Study. J Mycobac Dis. 4(5).

Shin S, Jennifer F, Jaime B, Kedar M, Jim YK, Paul F. (2004). Community-based Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis in Lima, Peru: 7 Years of Experience. Journal of Social Science & Medicine. 59.

WHO. (2014). Global Tuberculosis Report Fact Sheet. Retrieved from http://www.who.int/tb/publications/factsheet_global.pdf.

Yani DI, Sang-arun I, dan Charuwan K. (2012). Development of Family-Based DOTS Support Program for Enhancing Adherence to Health Behaviors of Patients With Pulmonary Tuberculosis. Journal of 4th International Conference on Humanities and Social Sciences.

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas

“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015

55 KOMPLEMENTER TERAPI: AROMATERAPI DALAM AUTIS

Kartika Setia Purdani

Mahasiswa Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Abstrak

Latar belakang. Data tahun 2014 tentang angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68 kelahiran hidup anak. Dengan pemanfaatan caring perawat kepada pasien melalui konsep holistik, dan dengan perkembangan ilmu keperawatan, terapi komplementer bisa menjadi salah satu pilihan dalam merawat pasien. Berdasar pembagian NCCAM (National Center for Complementary and Alternative Medicine) terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi masuk pada terapi biologi, dengan cara kerja adalah memanfaatkan zat yang ditemukan di alam. Banyak terapi kesehatan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan peran anak dengan autisme, termasuk aromatrapi, kandungan essensial oil dalam aromaterapi terbukti dapat meningkatkan proses interaksi dan peningkatan pola tidur, sehingga beberapa gangguan yang mendominasi anak dengan autisme bisa terminimalisir dengan pemanfaatan aromaterapi.

Tujuan. Paparan diatas menjadi dasar bagi penulis untuk melakukkan literature review terhadap salah satu aplikasi komplementari terapi yakni aromaterapi untuk penanganan autisme.

Metoda. Metode yang dipilih ialah literature review, dengan 5 jurnal yang di peroleh, dengan penelusuran artikel publikasi PROQUEST menggunakan tahun 2005-2015 serta penelusuran manual menggunakan Google Search dengan kata kunci aromatherapy, autism, complementhary therapy. Pencarian hanya dibatasi pada jurnal yang dapat diakses fulltext dalam format pdf dan berbahasa Inggris.

Hasil. Kelima artikel menggunakan desain penelitian qualitatif dengan responden sasaran primer dan sekunder anak dengan autisme, terapi dilakukan dengan membaui aromaterapi dan juga penggabungan dengan pijatan menggunakan minyak aromatherapi. Empat artikel memiliki kulaitas yang tinggi dan 1 artikel memiliki kualitas sedang.

Kesimpulan. Hasil pembahasan bahwa dari 5 gangguan yang biasa terjadi pada anak autisme, hanya 4 gangguan autisme yang bisa ditangani dengan aromaterapi. Dan 1 jurnal menjelaskan bahwa tidak ada perubahan dalam pemanfaatan aromaterapi pada anak dengan autisme.

Kata Kunci : Aromaterap, Autism, Complementhary Therapy

Pendahuluan

Anak adalah titipan Illahi dengan berbagai karakteristiknya, dan anak tentunya akan menjadi tumpuan masa depan orang tua, dengan harapan anak yang terlahir tidak memiliki kekurangan, baik secara fisik maupun psikis. Namun kita sebagai manusia tetap memiliki keterbatasan dalam perwujudan seorang anak, karena akan banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, misalnya saja dalam kesehatan anak, proses dari periode perinatal dan natal akan sangat berpengaruh pada kehidupannya kelak, konsumsi makanan, pskikis dan fisik ibu, kesehatan ibu dan pengetahuan ibu juga akan memiliki pengaruh dalam perwujudan buah hatinya kelak.

Bila kita dihadapkan dengan pilihan mengenai anak, pasti kita akan berangan memiliki anak yang tidak memiliki kekurangan dalam hal apapun, tetapi pernahkah kita

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas

“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015

56

membayangkan apabila kita dikaruniai anak dengan kemampuan minimal (difabel) atau kemampuan yang tidak selayaknya diperoleh anak disesuaikan dengan usia.

World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10) mendefinisikan autisme khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang (World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10) (American Psychiatric Association, h. 75, 2000). Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan. Awal tahun1990-an, kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 : 2.000 kelahiran.(Synopsis of Psychiatry). Di Amerika Serikat pada th 2000 angka ini meningkat menjadi 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita autisme (Sutism Research Institute). Di Inggris, datanya lebih mengkhawatirkan. Data terakhir dari CDC (Center for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat pada tahun 2002 juga menunjukkan prevalensi autisme yang semakin membesar, sedikitnya 60 penderita dalam 10.000 kelahiran. Berdasarkan data International Congress on Autismem tahun 2006 tercatat 1 dari 150 anak punya kecenderungan autisme. Pada tahun yang sama data dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat menyebut, prevalensi penyandang autisme di beberapa negara bagian adalah 1 dari 88 anak usia 8 tahun. Sedangkan data tahun 2014 tentang angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68 kelahiran hidup anak.( Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network, 2014)

Betty Neuman (dalam, Marriner-Tomey, 1994) mengubah istilah holistik menjadi holistik yang makna dan pengertiannya sama, yaitu memandang manusia (klien) sebagai suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling mempengaruhi dan berinteraksi secara dinamis. Bagian-bagian tersebut meliputi fisiologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual. Perubahan istilah tersebut untuk meningkatkan pemahaman terhadap manusia secara keseluruhan.( Marriner-Tommey, A., 1994) Kozier (1995), mengemukakan bahwa dalam holistik, memandang semua kehidupan organisme sebagai interaksi. Gangguan pada satu bagian akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Dengan kata lain adanya gangguan pada salah satu bagian akan menimbulkan dampak pada keseluruhan.( Kozier, E.B, Erb, G. L, et. All, 1995) Keperawatan dengan caring bio, psiko, sosio, kultural dan psikososial tentunya tidak terlepas dari konsep holistik, dengan tidak mengesampingkan keseluruhan sistem caring, maka perkembangan terbaru di sistem kesehatan dalam ranah keperawatan adalah pemanfaatan terapi komplementer. Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder, M. & Lindquist, R., 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional (Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C., 2004). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Snyder, M. & Lindquist, R., 2002).

Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson, P.H., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas

“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015

57

menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan. Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C., 2004).

Berdasar pembagian NCCAM (National Center for Complementary and Alternative Medicine) terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi yang nantinya

Dalam dokumen M01891 (Halaman 67-78)