• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperbaiki Ujian Nasional

Dalam dokumen jurnal No22 Thn13 Juni2014. pdf (Halaman 110-112)

Menurut Linn (2000) yang diperkuat oleh Herman (2008), dampak ujian negara atau ujian nasional cenderung menumpukkan kurikulum dengan penekanan yang lebih besar pada hapalan daripada keahlian berpikir dan

memecahkan masalah. Kebanyakan ujian nasional lebih fokus pada pengetahuan dan keahlian yang cenderung mudah ketimbang pada keahlian kognitif yang lebih kompleks. Hal ini akan mempersempit kurikulum dan menjadikannya lebih fokus pada keahlian kognitif

rendah. Lebih lanjut, menurut Gallagher (2000) dampak ujian nasional adalah guru akan mengajar demi mengejar ujian. Guru akan mengajar pengetahuan dan keahlian yang akan diujikan saja, bukan pada apa yang menjadi standar kompetensi atau tujuan belajar serta

mengabaikan apa yang tidak ikut diujikan. Seluruh peserta didik akan diarahkan untuk menghabiskan banyak waktu dalam berlatih soal ujian saja. Menurut Popham (2003), ujian akan meningkatkan rasa bosan dalam ruang kelas, karena dalam masa

persiapannya, seluruh peserta didik diminta untuk

mencurahkan segenap waktunya guna berlatih pada item-item yang lebih kurang sama dengan yang akan mereka hadapi nantinya pada ujian. Tentu saja hal itu memadamkan sukacita belajar

di sekolah atau dengan kata lain tidak menyenangkan belajar di sekolah. Menurut Quality Counts (2001), dalam sebuah survei yang

dilakukan, lebih dari enam dari sepuluh guru sekolah negeri mengatakan bahwa ujian nasional memaksa mereka untuk lebih banyak berkonsentrasi kepada informasi yang akan diujikan saja dan karenanya mereka mengabaikan informasi lain yang tidak kalah penting. Kebanyakan ujian nasional hanya memberikan informasi umum tentang posisi siswa dibandingkan siswa lainnya atau apakah siswa itu tidak berprestasi baik di bidang tertentu, misal berprestasi di bawah rata-rata kelas untuk pelajaran matematika atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Tes-tes semacam itu tidak memberikan informasi mengenai apakah peserta didik menggunakan strategi yang keliru untuk

memecahkan masalah atau konsep mana yang tidak dipahami peserta didik. Ringkasnya, kebanyakan ujian nasional tidak

memberikan informasi tentang intervensi yang dapat

dilakukan untuk

meningkatkan kinerja peserta didik atau tidak memberikan informasi tentang kekuatan dan kelemahan siswa, sehingga bagi pendidik tidak ada feedback yang berarti untuk melakukan modifikasi pembelajaran di kemudian hari guna peningkatan prestasi dan mutu lulusan. Peningkatan pengajaran dan pembelajaran di sekolah tidak

semata-mata tercapai melalui ujian nasional yang

dilakukan. Jika hanya

mengacu pada satu jenis ujian saja, tentu tidak dijadikan acuan yang tepat guna membuat keputusan penting mengenai peserta didik atau untuk mengevaluasi sekolah. Berbagai indikator lain, seharusnya patut dipertimbangkan seperti kualitas guru, kehadiran peserta didik di dalam kelas, penilaian kinerja peserta didik, prosentase lulusan yang melanjutkan ke sekolah lanjutan atau perguruan tinggi, dan lain sebagainya.

Menurut Stansfield dan Rivera (2002), jika ujian yang diwajibkan oleh negara itu akan tetap digunakan, maka ujian itu perlu dimodifikasih agar dapat merefleksikan keterampilan berpikir tingkat tinggi, bukan malah

mendorong guru untuk mengajarkan materi yang diujikan saja. Namun demikian, bangsa kita sangat mengagung-agungkan penilaian seperti Ujian Nasional (UN). Bahkan Wamendikbud Musliar Kasim dalam Sindonews

menyatakan pada tahun 2015, rencananya Kemendikbud akan meningkatkan

pelaksanaan UN secara online. Lebih lanjut Sindonews melansir bahwa UN akan diterapkan dengan metode computer based test. Pemerintah akan menunjuk satu sekolah sebagai pusat tempat ujian. Tidak hanya di provinsi, namun ada yang di kecamatan. Ia mengatakan, bahwa “UN

Isu Mutakhir: Menimbang Ulang Proses Penilaian di Sekolah

akan online dan offline. Soalnya akan dibuat lebih canggih tanpa perlu ada kertas-kertas yang dicetak”.

Pihak pengelola UN memilih menggunakan soal pilihan ganda (PG) di dalam UN dan tidak menggunakan soal uraian. Mereka memilih soal yang berbentuk PG, bukanlah tanpa alasan. Berikut beberapa keuntungan menurut situs

gurupembaharu.com, jika menggunakan soal pilihan ganda, dalam tes: (1) Objektif, artinya pasti ada jawaban yang benar atau paling tepat; (2) Efisien, lebih banyak bagian dari silabus yang dapat di uji; (3) Mudah dalam penilaian, bisa secara online, menggunakan software, optical reader atau orang lain; (4) Hasil penilaian dapat

dikembalikan dengan cepat ke siswa; (5) Hasil dapat

dihitung, jadi memungkinkan untuk menganalisis sejauh mana pencapaian siswa dalam setiap pertanyaan; (6) Dapat mengidentifikasi kesulitan siswa atau soal yang menjadi problematika siswa, (7) Ketetapan umpan balik (feedback) dapat ditargetkan secara lebih efisien, karena terdapat batasan yakni  kesalahan siswa dalam menjawab; dan (8) Menghindari kebosanan dan penyusunan soal yang  memakan waktu,  karena dapat mendaur ulang soal yang sudah ada. Walau memiliki berbagai kelebihan, namun soal tes jenis PG juga mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya: (1) kurang dapat

menggambarkan sebuah proses, (2) secara umum yang diujikan kepada peserta didik hanya pada tingkatan proses berpikir rendah (3) tanpa analisa, (4) kurang dapat menggambarkan kemampuan siswa secara utuh, (5) dapat menyebabkan peserta didik berpikir untung-untungan, (6) kurang memberikan peluang menjawab dengan benar pada siswa (hanya 20% - untuk lima opsi jawaban), (7) kurang memacu siswa untuk

memberikan analisis dan memberikan jawaban, (8) tidak dapat menjawab secara analisa atau kesimpulan, serta (9) tidak dapat mendeteksi langkah siswa dalam mengerjakan soal. Dengan mengkaji beberapa kelemahan penggunaan soal jenis pilihan ganda pada UN, maka dapat diusulkan pengembangan penggunaan soal-soal, sebagai berikut: (1)

menggunakan variasi soal PG yang tidak saja menguji tingkat berpikir rendah, namun juga pengetahuan serta konsep yang bersifat High order Thingking (HOT) dengan variasi metode seperti: Benar-Salah (true - false) dan menjodohkan (matching) serta tentu saja pilihan ganda (multiple choice). Butir-butir soal tersebut harus

dikembangkan sesuai karakteristiknya masing- masing, dan (2) melengkapi soal obyektif dengan menggunakan tes non- obyektif atau yang dikenal dengan tes subyektif, yang mencakup: Isian atau

melengkapi, jawaban singkat dan uraian atau esai yang

disesuaikan dengan karateristik soal yang akan dikembangkan.

Tes subyektif patut dipertimbangkan untuk digunakan dalam UN, karena penggunaannya: (1) dapat melihat proses berpikir siswa, (2) dapat mengukur cara penyampaian gagasan siswa, (3) dapat mengemukakan pendapat dengan bebas, (4) mampu mengukur kedalaman materi, serta (5) mudah membuat konstruksi soal. Dengan demikian, tidak hanya menggunakan soal dengan bentuk PG, namun dapat juga dilengkapi dengan soal tes subyektif seperti esai. Dampaknya, hasil tidak dapat diperoleh secara instant. Namun, pendidikan seyogyanya lebih

menekankan pada proses daripada fokus pada hasil. Oleh karena itu, hasil UN yang menentukan siswa lulus atau tidak, patut

dipertanyakan serta dipertimbangkan. Karena proses panjang yang dilalui peserta didik selama 12 tahun di bangku sekolah jauh lebih bermakna dibandingkan hanya memiliki selembar ijazah kelulusan.

Dengan membuat ujian nasional berbentuk tes obyektif yang diperkaya dengan penggunaan soal-soal subyektif, maka peserta didik akan dibiasakan untuk berpikir bukan saja secara konvergen, namun juga secara divergen. Soal-soal pilihan ganda yang hanya

mempunyai satu jawaban benar cenderung membuat siswa berpikir secara

konvergen atau fokus hanya pada satu jawaban paling benar. Padahal di dunia ini tidak ada satu kebenaran yang paling mutlak, kecuali Tuhan saja. Pepatah mengatakan banyak jalan menuju Roma. Maknanya, setiap orang mungkin saja memiliki berbagai cara yang berbeda dalam memecahan masalah agar sampai pada tujuannya. Tidak pantas memaksakan hanya satu cara saja dalam setiap problem atau masalah. Dengan demikian, peserta didik dimampukan menjadi manusia yang produktif dan kreatif. Albert Einstein mengatakan “hanya orang gila saja yang mengharapkan hasil berbeda dengan

menggunakan cara-cara yang sama.”

Pemilihan menggunakan soal nonobyektif seperti soal uraian atau esai mampu mengembangkan siswa untuk berpikir open-ended.

Pendekatan open-

ended membuat siswa untuk belajar menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya benar sesuai dengan

kemampuannya sendiri untuk mengelaborasi permasalahan. Tujuannya agar kemampuan berpikir siswa dapat

berkembang secara optimal. Inilah yang menjadi pokok pembelajaran dengan open- ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif, sehingga

mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi. Menurut Sawada (2007)

Peserta didik yang

diperhadapkan dengan open- ended problem, tujuannya bukan untuk mendapatkan jawaban benar, tetapi lebih dititikberatkan pada cara bagaimana sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian bukan hanya satu pendekatan atau metode untuk memperoleh jawaban, namun bisa saja beberapa atau bahkan banyak cara. Metode inilah yang mampu membuat peserta didik berkembang dengan pola berpikir divergen.

Sebagai jawaban atas perbaikan dan peningkatkan mutu pendidikan, sejak awal tahun pelajaran 2013 – 2014 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan Kurikulum 2013 (K-13). Salah satu dokumen K-13 yang telah diterbitkan itu adalah

dokumen No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Di dalamnya dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik meliputi tiga aspek, yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Untuk memperoleh nilai dalam ketiga aspek tersebut diperlukan berbagai metode atau teknik yang berbeda- beda. Penilaian kompetensi sikap dapat dilakukan dengan metode observasi, penilaian diri, penilaian antar peserta didik dan jurnal, sedangkan penilaian untuk aspek pengetahuan dapat dilakukan dengan: (1) instrumen tes tulis, yang berupa soal pilihan ganda, isian, jawaban singkat,

benar-salah, menjodohkan, dan uraian. Instrumen uraian dilengkapi pedoman

penskoran, (2) instrumen tes lisan berupa daftar

pertanyaan, serta (3)

instrumen penugasan berupa pekerjaan rumah dan/atau projek yang dikerjakan secara individu atau kelompok sesuai dengan karakteristik tugas. Untuk menilai aspek keterampilan, maka penilaian dapat dilakukan melalui penilaian kinerja, yaitu: penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek, dan penilaian portofolio. Setiap guru dan pendidik harus dilengkapi melalui pelatihan-pelatihan guna menguasai metode- metode di atas. Demikian pula dengan para calon guru agar mereka dipersiapkan menjadi calon pendidik yang bukan saja menguasai kurikulum pendidikan, namun juga terampil menerapkan sistem penilaiannya. Jika

diterapkan secara tepat, benar dan konsisten, maka

penilaian dengan metode- metode di atas akan

berdampak pada peningkatan kualitas peserta didik yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu lulusan.

Penutup

Dalam dokumen jurnal No22 Thn13 Juni2014. pdf (Halaman 110-112)