• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menimbang Ulang Proses Penilaian di Sekolah

Dalam dokumen jurnal No22 Thn13 Juni2014. pdf (Halaman 105-107)

S

Isu Mutakhir

pekerjaan rumah, dan ulangan harian. Pada hakekatnya guru perlu memberikan tugas, PR serta ulangan kepada peserta didik. Namun demikian, dalam memberikan tugas itu, guru perlu memperhatikan karakteristik dan kebutuhan anak untuk bersosialisasi dengan keluarga, teman dan masyarakat. Guru hendaknya bijaksana sehingga tugas dan pekerjaan yang diberikan kepada anak tersebut jangan sampai membebani mereka dan tetap merasakan belajar itu kegiatan yang

menyenangkan dan menggembirakan.

Mengapa ada anak yang senang bersekolah, namun tidak sedikit yang “merana” dan “tersiksa” di sekolah? Anak-anak Taman Kanak- kanak (TK) tampak senang dan bahagia berada di sekolah, karena sebagian besar waktunya dilalui dengan bermain atau dengan kata lain ke sekolah sama dengan bermain. Hal itu senada dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (SE Mandikdasmen) No. 1839/ C.C2/TU/2009 yang menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan di TK menganut prinsip: “Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Bermain merupakan cara terbaik untuk

mengembangkan potensi anak didik. Sebelum bersekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri, sehingga di TK tidak dikenal yang namanya mata pelajaran Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial apalagi Matematika. Demikian pula, tidak ada ulangan harian, serta tidak ada pekerjaan rumah yang menumpuk dan membebani. Lebih lanjut SE Mandikdasmen di atas menyatakan bahwa pada usia 4 - 6 tahun, kebutuhan anak untuk bermain dan

bersosialisasi lebih penting dibandingkan dengan kemampuan skolastik.

Pada prinsipnya bermain mengandung makna yang menyenangkan,

paksaan dari luar diri anak, dan lebih mementingkan proses mengeksplorasi potensi diri daripada hasil akhir. Sementara itu, ketika anak masuk ke Sekolah Dasar (SD), orientasi tidak lagi sama. Anak-anak SD sudah mulai dituntut menguasai sejumlah kompentensi tertentu.

Penguasaan kompetensi itu secara berkala harus diuji dan dibuktikan oleh guru melalui serangkaian tugas-tugas, pekerjaan rumah serta tes-tes atau ulangan-ulangan harian, ulangan tengah semester (UTS) dan ulangan akhir semester (UAS). Beban anak menjadi semakin berat, manakala anak itu berada di SD unggulan yang tuntutan pengguasaan kompetensinya lebih tinggi dibandingkan dengan SD non unggulan. Jadilah anak-anak terbebani dengan keharusan menguasai sejumlah kompetensi. Pada- hal kalau mau jujur, tidak semua kompetensi itu

dibutuhkan di masa sekarang dan tidak semua kompetensi itu akan terpakai pada era abad 21.

Rotherdam & Willingham (2009) mencatat bahwa suksesnya seorang siswa sangat bergantung pada keterampilan atau kecakapan abad 21. Setiap peserta didik wajib belajar dan berlatih untuk memperolehnya.  Partnership for 21st Century

Skills mengidentifikasi beberapa kecakapan abad 21 yang meliputi: berpikir kritis, pemecahan

masalah, komunikasi, dan kolaborasi. Berpikir kritis

berarti peserta didik mampu menyikapi ilmu dan

pengetahuan dengan kritis serta mampu memanfaat- kannya untuk kemanusiaan. Terampil memecahkan masalah berarti mampu mengatasi permasalahan yang dihadapinya dalam proses kegiatan belajar sebagai wahana berlatih menghadapi permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya. Sepaham dengan hal di atas menurut Zhaou (2005) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui lembaga United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mencanangkan empat pilar pendidikan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do(3) learning to be, dan (4) learning to live together. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui (learning to know), tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat/bekerja sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupannya. Pendidikan juga diharapkan dapat membantu peserta didik untuk membentuk dan mengembangkan dirinya (learning to be) dan dengan jati dirinya itu dia dapat hidup bersama dengan orang lain secara damai (learning to live together). Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar sudah seharusnya memfasi- litasi siswanya untuk meng- aktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya sehingga keempat pilar itu dapat terwujud.

Ketrampilan komunikasi merujuk pada kemampuan mengidentifikasi, mengakses, memanfaatkan serta

mengoptimalkan perangkat dan teknik komunikasi untuk menerima dan menyampaikan informasi kepada pihak lain. Terampil kolaborasi berarti mampu menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk meningkatkan sinergi dalam berbagai proses pembelajaran atau dalam berbagai proyek yang dilakukan.

Keterampilan tersebut jauh lebih bermanfaat dan bermakna dibandingkan hanya menghapalkan isi buku pelajaran dan berbagai fakta ilmu pengetahuan di

dalamnya. Dewasa ini, mencari dan memperoleh fakta ilmu pengetahuan dapat dengan mudah dilakukan melalui media internet. Namun, keterampilan yang dibutuhkan peserta didik seperti halnya berpikir kritis, pemecahan

masalah, komunikasi, dan kolaborasi, tidak serta merta diperoleh melalui internet, melainkan harus dipelajari, dilatihkan serta dibiasakan. Di sinilah peran sekolah yang sesungguhnya. Sekolah bukan saja sekedar tempat untuk menimba ilmu

pengetahuan, namun sekolah dapat menjadi wadah

pelatihan bagi peserta didik untuk menjadi pemikir yang kritis, problem solver,

komunikator ulung serta mampu berkolaborasi atau bekerja sama secara handal.

Selaras dengan

Isu Mutakhir: Menimbang Ulang Proses Penilaian di Sekolah

live together salah satu dari empat pilar pendidikan UNESCO, menyatakan setiap peserta didik harusbelajar untuk memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu

dikembangkan di sekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama.  Tugas- tugas yang diberikan guru di sekolah sebaiknya dirancang dengan seksama, sehingga tidak sekedar menambah ilmu, namun juga dapat meningkatkan soft skill peserta didik. Misal, tugas dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), tidak hanya mencari data dan fakta tentang katakan

Pangeran Diponegoro, tetapi merancang tugas dengan pertanyaan yang memicu siswa untuk berpikir kritis. Misalnya, “Jika kamu hidup pada era Pangeran

Diponegoro, apa yang akan kamu anjurkan untuk dilakukannya menghadapi kolonialisme penjajah Belanda?” Atau, “Jika Pangeran Diponegoro hidup di masa kini, apa yang akan dilakukannya menghadapi krisis kebangsaan yang kita hadapi?” Selain itu tugas tersebut juga harus mampu membawa peserta didik untuk menemukan nilai-

nilai kemanusiaan, keberanian, kepeloporan, perjuangan menjadi manusia merdeka  dan arti

pengorbanan yang sesungguhnya. Dengan demikian, diharapkan peserta didik kelak mampu hidup arif bersama orang lain serta mampu bekerja sama di dalam lingkungan masyarakat. Bahkan mereka terlatih untuk peka akan permasalahan yang dihadapi orang lain dan berperan aktif menolong sesamanya, karena mereka juga adalah bagian dari masyarakat. Saat itulah mereka dapat dikatakan menjadi “manusia yang berjati diri” yang menurut Zhaou (2005) bahwa Learning to be mengandung makna belajar menjadi manusia yang menguasai dan

mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai secara utuh baik fisik, intelektual, moral, dan budaya.

  

Penilaian di Dalam

Dalam dokumen jurnal No22 Thn13 Juni2014. pdf (Halaman 105-107)