• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD) dengan kegiatan sebagai berikut:

1. Pemaparan Perwakilan Pelaku Usaha Herbal mengenai kesulitan dalam produksi dari hulu hingga hilir.

2. Pemaparan Industri Herbal Rumah Tangga yag sudah sesuai dengan GMP oleh dosen Prodi Farmasi UII bidang Formulasi Obat Herbal

3. Pemaparan melakukan prosedur identifikasi keamanan obat herbal pada uji laboratorium sebelum release ke pasar, oleh Dosen Prodi Farmasi UII bidang Farmakologi.

4. Pemaparan Keamanan limbah dari bahan baku obat tradisional dari Dosen Ilmu Kimia. Hasil luaran `Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang Deperidagkop, Prodi Farmasi Universitas Islam Indonesia, perwakilan pelaku industri rumah tangga herbal di Kabupaten Sleman.

1. Mengidentifikasi peta agroindustri, bahan baku obat tradisional, jamu instan dan mengetahui potensi agroindustri herbal (peringkat) di Jogjakarta.

analisis SWOT dengan terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor strategis (kekuatan- kelemahan-peluang-ancaman) dari perajin obat tradisonal (herbal).

Data mengenai faktor strategis dari setiap agroindustri jamu instan kemudian diolah menggunakan alat analisis matriks SWOT untuk mendapatkan rumusan strategi pengembangan agroindustri jamu instan. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi oleh agroindustri jamu instan disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis matriks SWOT digambarkan ke dalam Matriks dengan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi kelemahan-peluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies) (Nuning, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan pendampingan wirausaha pengusaha herbal se-Kabupaten Sleman difasilitasi oleh Deperidagkop Kabupaten Sleman dengan pemateri yaitu Ibu Dr. Farida Hayati, M.Si., Apt., Bapak Hady Anshory, M.Sc., Apt. sebagai perwakilan dari Farmasi UII. Selain itu, perwakilan dari Dinas Pertanian Kabupaten Sleman juga hadir sebagai pemateri pada kegiatan ini.

(a) (b)

Gambar 1. Kunjungan ke (a) Laboratorium Tanaman Obat, dan (b) Laboratorium Biologi Farmasi milik Prodi Farmasi UII

Workshop pengrajin herbal se-Kabupaten Sleman dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi dan Laboratorium Mikrobiologi Farmasi Program Studi Farmasi UII didampingi oleh Dosen Program Studi Farmasi UII. Dalam kegiatan workshop ini dilakukan kunjungan ke Laboratorium Tanaman Obat Herbal Farmasi UII serta laboratorium-laboratorium lain yang

dimiliki Prodi Farmasi UII. Workshop ini merupakan kolaborasi antara Pemerintah yang diwakili oleh Deperindagkop Kabupaten Sleman, akademisi yang diwakili oleh Dosen Prodi Farmasi UII, serta industri yang diwakili oleh para pengrajin herbal se-Kabupaten Sleman.

Kunjungan ke Museum Jamu Sidomuncul dilakukan untuk memberikan gambaran cara pengolahan simplisia menjadi jamu. Pada kunjungan tersebut dilakukan praktik pembuatan jamu menggunakan metode sederhana yang dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat yang membutuhkan banyak biaya untuk mengoperasikannya. Para peserta juga dilibatkan langsung dalam praktik tersebut agar memberikan gambaran kepada peserta terkait cara pembuatan jamu. Setelah melakukan kunjungan tersebut, peserta memiliki bekal pengetahuan untuk merintis industri jamu.

(a) (b)

(c)

Gambar 2. Kegiatan kunjungan ke Museum Jamu Sidomuncul

Produk yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan ini adalah terbentuknya struktur organisasi industri herbal yang dalam kegiatan ini yang berperan sebagai pihak industri adalah

tanaman herbal yang digunakan sebagai tempat penanaman tanaman herbal yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku pembuatan produk herbal.

(a) (b)

Gambar 3. (a) Miniatur taman Tanaman Obat Keluarga (TOGA), dan (b) kegiatan penanaman tanaman di miniatur taman TOGA

Pendekatan Pemecahan Masalah

Selama ini, para pelaku industri herbal mengalami banyak permasalahan yang dihadapi dalam pengembangannya. Diantarnya keterbatasan sumber bahan baku yang akan diolah menjadi produk jamu atau herbal serta kurangnya dukungan kelembagaan produksi yang mencukupi untuk pengembangan bahan baku herbal. Petani juga menghadapi kendala struktural berupa keterbatasan penguasaan keterampilan dan pengetahuan, ketiadaan sumber rujukan dan informasi produksi, budidaya dan pengolahan yang akan mencirikan kualitas tanaman herbal, serta kurangnya dukungan kelembagaan produksi (supporting institutions) yang mencukupi untuk pengembangan tanaman herbal.

Untuk mengatasi berbagai hal di atas, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan (institutions empowerment and development) petani dipilih sebagai pendekatan pokok untuk mempromosikan dan sebagai usaha untuk ‘membuka’ jaringan pasar tanaman herbal bagi para petani. Jaringan kemitraan dan kerjasama para petani dengan Industri Obat Tradisional (IOT) atau industri lainnya, merupakan prioritas pendekatan yang dilakukan, dengan tidak mengabaikan peran dari pemerintah (Glover dan Kusterer 1990). Proses penguatan kapasitas dan kelembagaan harus dilakukan secara berkesinambungan hingga mampu mengembangkan sistem agribisnis tanaman herbal secara mandiri. Oleh karena itu pendekatan pendampingan dipilih sebagai cara penting dalam upaya memberdayakan petani tanaman herbal.

Gambar 4. Kegiatan Focus Group Discussion (FGD)

Pengetahuan Petani Terkait Jenis dan Kegunaan Tanaman Herbal

Seluruh petani diharapkan mengetahui berbagai rimpang dari tanaman-tanaman seperti jahe, kunyit, lengkuas, dan temulawak, yang merupakan tanaman yang menjadi sasaran utama untuk dikembangkan. Dari semua jenis rimpang tersebut, hampir semua petani tidak mengetahui cara mengolahnya. Selain itu, sebagian besar petani mempersepsikan kegunaan rimpang tersebut sebagai bumbu atau rempah, dan sebagian yang lain untuk obat terutama tanaman jahe yang sudah banyak dikenal dan ditanam oleh petani.

Mekanisme Pemasaran Tanaman Herbal

Ketika hasil panen telah ada, petani langsung menghubungi pedagang pengumpul yang berada di desa tempat program dilaksanakan. Pedagang pengumpul ini pada umumnya juga adalah petani yang menjadi anggota kelompok tani. Sebagian pedagang pengumpul kemudian menjual hasil panen kepada ketua Kelompok Tani yang merangkap sebagai tengkulak besar atau kepada tengkulak besar lainnya di luar kecamatan. Pengawasan dan pembinaan pemasaran telah dilakukan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan Peternakan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Sleman. Namun pengawasan dan pembinaan pemasaran tersebut masih terbatas pada penyuluhan dan pengikutsertaan Kelompok Tani dalam pameran pembangunan baik di dalam maupun di luar kabupaten.

Gambar 1. Existing pemasaran model tanaman herbal yang akan dikembangkan (modifikasi dari Sundawati, dkk, 2012).

Analisis Potensi Pengembangan Tanaman Herbal

a. Peningkatan kemampuan produsen dalam diversifikasi produk herbal dengan harga yang terjangkau pasar.

Kemampuan produsen herbal dalam hal diversifikasi produk masih perlu ditingkatkan, terutama untuk produk-produk herbal dengan harga yang relatif terjangkau di pasar. Upaya- upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan produsen dalam diversifikasi produk herbal, antara lain dengan mengembangkan berbagai produk herbal yang sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen.

b. Peningkatan akses pasar bagi diversifikasi produk herbal

Kemampuan akses pasar untuk produk diversifikasi oleh produsen herbal selama ini masih relatif rendah, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan akses pasar produk diversifikasi herbal, oleh karena produk herbal ini masih belum banyak dikenal dan

dijadikan pilihan oleh masyarakat luas. Hal tersebut dimungkinkan dapat tercapai mengingat produk herbal semakin lama semakin banyak produk substitusi di masyarakat.

c. Peningkatan akses permodalan melalui akses lembaga pembiayaan

Produsen herbal selama ini masih mengandalkan modal untuk usahanya dari modal sendiri, belum banyak produsen herbal yang mengajukan ke lembaga pembiayaan seperti bank, koperasi, dan lembaga pembiayaan lain. Hal tersebut dikarenakan produsen jamu instan selama ini masih merasa cukup dengan modal sendiri untuk membiayai usahanya.

Tabel 1. Matrik SWOT pengembangan bahan baku industri herbal (Setyowati, dkk, 2012).

d. Pengembangan diversifikasi produk dengan tetap menjaga kualitas produk

Produk herbal yang selama ini dikembangkan oleh produsen produk herbal masih monoton, sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan aneka ragam jenis produk, yang semakin lama akan semakin banyak produk substitusi lain. Selain dengan diversifikasi produk herbal, menjadi berbagai macam produk herbal, juga perlu tetap menjaga kualitas produk

e. Peningkatan kemampuan produsen dalam akses bahan baku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau

Ketersediaan untuk bahan baku lokal masih kurang terpenuhi dalam jumlah yang besar, dan kualitas bahan baku herbal juga masih relatif rendah, sehingga produk herbal yang dihasilkan kurang dapat memberikan hasil produk yang berkualitas tinggi. Masalah bahan baku selain dari kurangnya ketersediaan bahan baku, juga kualitas bahan baku lokal yang juga masih kurang baik. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan produsen herbal dalam mengakses bahan baku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau, melalui lembaga atau kelompok tani yang berperan dalam penyediaan dan distribusi bahan baku herbal. Sementara itu perlu dilakukan juga upaya dari penanaman varietas bahan baku herbal seperti lengkuas, jahe, dan lain-lain, yang berkualitas tinggi.

f. Peningkatan kualitas produk dengan bahan baku lokal

Produsen herbal selama ini masih memproduksi secara monoton, sehingga belum ada variasi produk herbal. Kualitas herbal yang diproduksi masih cukup baik, dengan masih mengandalkan bahan baku lokal, yang harganya tergantung waktu panen tanamanan bahan baku herbal. Hal tersebut menyebabkan produk herbal yang dihasilkan juga berfluktuasi. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas produk herbal dengan kualitas bahan baku yang baik.

g. Perkuatan permodalan terutama dalam hal pengadaan bahan baku

Produsen herbal selama ini masih mengandalkan modal sendiri dalam penyediaan modal bagi usahanya, sehingga dalam pengembangan usahanya memerlukan modal dari luar modal sendiri untuk mengembangkan usaha jamu instan. Selama ini dengan modal sendiri, produsen herbal masih kesulitan dalam hal pembelian bahan baku terutama bahan baku dengan kualitas baik, yang harganya relatif tinggi, terutama pada saat harga bahan baku herbal yang berfluktuasi. Apabila pada saat harga bahan baku meningkat cukup banyak, produsen kesulitan untuk membeli, karena keterbatasan modal sendiri. Oleh karena itu, perlu upaya untuk memperkuat modal usaha bagi produsen herbal, terutama dengan meningkatkan akses produsen herbal kepada lembaga pembiayaan, terutama perbankan. Selain itu juga dengan pola kredit bahan baku bisa dilakukan melalui koperasi atau kelompok produsen untuk memudahkan produsen herbal dalam mengakses bahan baku.

h. Pengembangan kemitraan usaha dalam hal pengadaan bahan baku

Upaya mengembangkan jejaring kemitraan usaha dengan pihak-pihak lain perlu dilakukan, terutama dalam hal pengadaan bahan baku herbal, misalnya dengan lembaga formal

yang khusus menangani tata niaga bahan baku jamu instan (koperasi/KUD, kelompok tani, dan lain-lain). Hal ini dikarenakan ketersediaan bahan baku produk herbal selama ini masih berfluktuasi.

KESIMPULAN

Kegiatan pengembangan industri obat tradisional yang dilakukan dengan menggunakan metode

Focus Group Discussion (FGD) memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan industri obat tradisional di Kecamatan Harjobinangun, Kabupaten Sleman dengan dibentuknya struktur organisasi kepengurusan industri obat herbal dan terbentuknya miniatur taman tanaman herbal di kawasan Kecamatan Harjobinangun.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini didanai oleh skema Pengabdian Masyarakat Kolaborasi Nasional Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Warta Ekspor Obat Herbal Tradisional No.5 tahun 2014, Deperindag.

Disca, C.A. 2014. Kajian Etnobotani Tanaman Obat (Herbal) Dan Kemanfaatannya Dalam Usaha Menunjang Kesehatan Keluarga Di Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Skripsi, Fakultas Biologi, UIN.

Glover, D., Kusterer, K. 1990. Small Farmers Big Business: Contract Farming and Rural Development. Macmillan. Basingstoke and London.

Leonardus, B. 2013. Kemitraan Global Dalam Penelitian dan Pengembangan Bahan Baku Obat Untuk Mencapai Tujuan Milenium Indonesia, Pusat Penelitian LIPI.

Setyowati, N., Fajarningsih, R.U., Adi, K. 2012. Analisis potensi dan strategi pengembangan jamu instan di Kabupaten Karanganyar.

Sundawati, L., Purnaningsih, N., Purwakusumah, E.D. 2012. Pengembangan model kemitraan dan pemasaran terpadu biofarmaka dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar hutan di Kabupaten Sukabumi, propinsi Jawa Barat. Seminar Nasional Ekspose Hasil Insentif Riset. 1-7.