• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJ

LANDASAN TEOR

A. Kajian Pustaka

3. Perkembangan Anak

Pada umumnya, perkembangan meliputi proses perubahan secara sistematis tentang fungsi fisik dan psikis. Menurut Yusuf dan Sugandhi (2011:1-2) mendefinisikan perkembangan sebagai proses perubahan dalam diri manusia baik fisik maupun psikis menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan. Proses perkembangan juga terjadi pada anak-anak. Menurut Meggit (2013:1), perkembangan anak merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh seorang anak sepanjang hidupnya. Senada dengan Meggit, Somantri (2007:3), perkembangan anak merupakan proses pematangan dan perubahan hasil belajar sebagai hasil dari pertumbuhan yang dialami anak. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak adalah proses perubahan dalam diri anak baik fisik maupun psikis yang terjadi secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa perkembangan anak meliputi sebuah proses yang bersifat progresif dan berkelanjutan. Beberapa ahli pun juga memaparkan tentang tahap perkembangan anak, salah satunya adalah Maria Montessori. Montessori dalam Holt (2013:xii) memaparkan bahwa fase perkembangan anak dibagi menjadi 3 tahapan yaitu (1) fase pertama (0-6 tahun), fase kedua (6-12 tahun), dan fase ketiga (12-18 tahun).

Fase pertama terjadi pada usia nol hingga enam tahun. Tahap ini, anak mengalami pembentukan inteligensi yang sangat penting dan merupakan penentu bagi tahap perkembangan selanjutnya. Selain itu, pada tahap ini anak mengalami

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

periode sensitif, masa peka, atau usia emas. Pada usia ini, anak berada pada periode absorbent mind (pikiran yang menyerap). Dalam hal ini, anak mengalami periode perkembangan sensitif (periode peka), periode perkembangan inteligensi, periode pembelajaran tentang keteraturan, periode pembelajaran bahasa (menulis dan membaca) yang terjadi pada usia tiga hingga lima tahun, periode perkembangan untuk berjalan, bersikap dan bertindak untuk kepentingan sendiri (egosentrik), dan memiliki energi diri untuk fokus terhadap pengembangan diri. Oleh karena itu, fase pertama ini merupakan fase yang tepat untuk membangun perkembangan anak secara optimal.

Fase kedua terjadi pada rentang usia enam hingga dua belas tahun. Tahap ini memungkinkan anak untuk bermain logika dan pembenaran, pembentukan imaginasi, perkembangan moral dan mental, pengenalan budaya, serta perkembangan kekuatan fisik. Selain itu, pada usia ini anak sudah memiliki ketertarikan dalam bersosialisasi dengan teman sebaya, memiliki energi ekstra secara fisik, kondisi fisik yang lebih sehat, dan periode belajar mendalam

(intellectual period).

Fase selanjutnnya adalah fase ketiga yang terjadi pada usia dua belas hingga delapan belas tahun. Tahap ini, remaja sudah mulai mengarahkan kematangan fisik, pencarian identitas seksual, pemodelan ideal yang diikuti perasaan bebas, dan pencarian nilai-nilai spiritual.

Teori perkembangan pun juga dipaparkan oleh beberapa ahli yang lain. Salah satunya adalah Jean Piaget. Dalam hal ini, Piaget memaparkan pendapatnya tentang teori perkembangan kognitf. Piaget membagi perkembangan kognitif anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

dalam 4 tahap yaitu sensorimotorik, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal.

Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada saat bayi berusia dua tahun. Selama tahap ini, inteligensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungan, seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau, dan sebagainya. Selain itu, pada tahap ini anak belajar mengenali suatu benda dengan berbagai tindakan inderawi tersebut. Pada tahap ini pula, konsep anak mengenai kausalitas (sebab akibat) juga mulai berkembang terlebih berkaitan dengan konsep ruang dan waktu. Beberapa perkembangan mengenai benda, ruang, waktu, dan kausalitas membantu anak membangun pengetahuan tentang lingkungannya (Suparno, 2001:26-27). Oleh karena itu, tahap ini menjadi dasar bagi perkembangan tahapan selanjutnya.

Tahapan perkembangan kognitif selanjutnya adalah pra-operasional. Tahapan ini terjadi pada umur dua sampai tujuh tahun. Periode ini merupakan periode peralihan dari periode sensorimotorik. Pada akhir periode sensorimotorik, anak mengembangkan tindakan yang efisien dan terorganisasi dalam menghadapi lingkungan. Selain itu, anak pun menggunakan kemampuan yang sudah diterima pada periode sebelumnya walaupun sekarang berada pada peiode pra-operasional (Crain, 2007:182). Anak juga menggunakan simbol maupun tanda untuk menyatakan atau menjelaskan suatu objek. Berdasarkan cara berpikir tersebut, anak mampu mengungkap dan membicarakan hal yang sudah terjadi (Suparno, 2001:49). Oleh karena itu, perkembangan kognitif anak semakin berkembang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

yang terorganisir dengan penggunaan simbol dan bahasa dalam mengungkapkan objek maupun hal yang terjadi.

Tahap perkembangan kognitif selanjutnya disebut dengan tahap operasional konkret. Tahap ini, anak sudah mulai mengembangkan pemikiran yang didasarkan pada aturan dan operasi yang logis. Operasi yang dikembangkan bersifat reversibel (operasi yang bersifat dua arah). Salah satu sifat tersebut terdapat pada mata pelajaran matematika. Matematika memiliki sifat reversibel, hal tersebut tampak pada operasi hitung penjumlahan dan pengurangan seperti A+B=C maka dapat dikatakan bahwa C-B=A. Selain itu, operasi yang juga dikembangkan pada tahap ini mengandung sifat kekekalan (konservasi) (Suparno, 2001:69-73). Hal tersebut juga dapat dijelaskan dengan menggunakan perumpamaan 2 gelas yang besarnya berlainan. Kedua gelas tersebut selanjutnya diisi dengan air yang volumenya sama. Berdasarkan percobaan tersebut, anak mampu mengetahui bahwa volume dalam kedua gelas tersebut sama, meskipun bentuk dan ukuran gelas berbeda. Selain itu, perkembangan kognitif yang lain adalah kemampuan anak untuk mengurutkan dan mengklasifikasikan objek (Crain, 2007:187). Kemampuan-kemampuan tersebut juga digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan konkret dalam kehidupan sehari-hari.

Hal lain yang menjadi ciri dalam tahap ini adalah adanya sistem operasi berdasarkan objek nyata/ konkret. Anak menggunakan logika berpikir pada benda konkret dan belum dapat menggunakan logika berpikir abstrak pada tahap ini (Suparno, 2001:70). Oleh karena itu, walaupun perkembangan kognitif semakin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

maju, namun cara berpikir anak masih menggunakan logika berpikir yang didasarkan pada hal konkret.

Tahap kognitif selanjutnya adalah tahap operasi formal. Tahap operasi formal ini merupakan tahap terakhir dalam tahap perkembangan kognitif menurut Piaget. Tahap ini terjadi pada umur sekitar sebelas atau dua belas tahun ke atas. Dalam tahap ini, anak dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan tanpa mengamati terlebih dahulu (Piaget dalam Suparno, 2001:88). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa cara berpikir abstrak mulai berkembang dan digunakan.

Menurut Ginsburg dan Opper mengatakan bahwa anak dalam tahap ini sudah mempunyai tingkat ekuilibrium yang tinggi, dapat berpikir fleksibel dan efektif, serta mampu memecahkan persoalan yang kompleks. Selain itu, anak juga dapat berpikir secara efektif tentang permasalahan dan penyelesaian yang tepat akan hal tersebut. Anak pun dapat memikirkan banyak kemungkinan tentang penyelesaian dari suatu permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri dalam tahap operasi formal adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif saintifik, dan abstraksi refleksi (Suparno, 2001:88-89).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan anak usia SD umumnya terjadi pada fase kedua yang umumnya berusia 6-12 tahun. Selain itu, anak berada pada intellectual period atau periode belajar secara mendalam pada rentang usia ini. Periode ini menuntut anak untuk belajar secara lebih dari pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Selain itu, siswa SD pun juga termasuk pada tahap operasional konkret. Salah satu ciri pada tahap ini adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

anak menggunakan logika berpikir dengan menggunakan benda konkret dan belum dapat menggunakan logika berpikir abstrak. Hal ini berarti siswa SD memerlukan bantuan berupa benda konkret atau alat peraga dalam memahami materi yang abstrak. Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk melakukan pengembangan tentang alat peraga yang disesuaikan dengan perkembangan siswa SD karena alat peraga mampu membantu siswa memahami materi yang abstrak. 4. Alat Peraga Montessori

Uraian dalam subbab ini memaparkan beberapa hal tentang alat peraga yaitu pengertian alat peraga, fungsi alat peraga, kriteria alat peraga, alat peraga berbasis metode Montessori, dan alat peraga penjumlahan dan pengurangan berbasis metode Montessori.

a. Pengertian Alat Peraga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:27), alat dapat didefinisikan sebagai benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu, sedangkan peraga (2005:920) adalah alat media pengajaran untuk memperagakan sajian pelajaran. Dari dua pengertian tersebut, alat peraga dapat diartikan sebagai alat yang digunakan untuk memperagakan materi pembelajaran agar dapat menyampaikan materi dengan baik kepada siswa.

Senada dengan pengertian di atas, Ali (dalam Sundayana, 2014:7) berpendapat bahwa alat peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan pesan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan serta perhatian, dan kemauan siswa agar dapat membantu proses pembelajaran. Seperti halnya dengan pendapat sebelumnya, menurut Ruseffendi (dalam Sundayana, 2014:7),

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

alat peraga adalah alat yang menerangkan atau menyampaikan konsep pelajaran kepada siswa. Sama dengan paparan pendapat di atas, Simak Yaumi dan Syafei (dalam Arsyad, 2014:10) pun merumuskan pengertian alat peraga. Alat peraga merupakan alat yang digunakan guru untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, alat peraga adalah alat yang dapat digunakan untuk membantu menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa.

Berbagai pendapat di atas menyatakan bahwa alat peraga memiliki fungsi untuk membantu dan mempermudah siswa dalam memahami materi pembelajaran. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Maria Montessori, Montessori juga beranggapan bahwa siswa membutuhkan seperangkat peralatan pendidikan (didactic apparatus) yang berguna untuk perkembangannya. Alat peraga menurut Montessori merupakan kesatuan bahan-bahan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan anak secara individu dan mendukung pengembangan kemampuannya (Hainstock, 1997:80). Selain itu, alat peraga yang dibuat oleh Montessori ditujukan untuk membantu siswa dalam mencapai pengetahuan yang abstrak dan mengembangkan cara berpikir yang kreatif dengan memvisualisasikan simbol-simbol nyata (Lillard, 1996:80-81). Oleh sebab itu, alat peraga selalu tersedia di kelas-kelas Montessori sebagai lingkungan yang terstruktur dan mendukung perkembangan siswa dalam aktivitas sehari-hari.

Berdasarkan pendapat tokoh-tokoh di atas, peneliti menarik kesimpulan secara umum tentang pengertian alat peraga. Alat peraga merupakan alat bantu untuk memperagakan suatu materi dalam pembelajaran dengan mengaktifkan panca indera siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

b. Fungsi Alat Peraga

Siswa memperoleh pengalaman belajarnya dengan menggunakan benda konkret seperti alat peraga. Montessori menegaskan bahwa semua material atau alat peraga tersebut berguna untuk mendorong perkembangan anak secara intelektual dan melatih keterampilan anak (Hainstock, 1997:82). Melalui alat peraga, siswa dapat melihat secara langsung, memperagakan atau menggunakannya, dan membentuk konsep yang abstrak serta pemikiran yang kreatif. Fungsi lain yang dapat diperoleh dari alat peraga yang dibuat oleh Montessori antara lain adalah memberikan kontrol pada pergerakan siswa, mengembangkan kemandirian, kehendak, serta mengembangkan kebahasaannya (Lillard, 1996:80-85).

Selain itu, alat peraga juga memiliki fungsi untuk mempermudah pemahaman siswa tentang materi pembelajaran. Materi yang sifatnya abstrak, pada umumnya sukar dipahami oleh siswa tanpa bantuan alat peraga. Melalui alat peraga, siswa dapat memahami materi yang abstrak dengan melihat, meraba, dan menggunakan alat peraga tersebut (Asyhar, 2012:13). Sama halnya dengan paparan pendapat tersebut, Pramudjono (dalam Sundayana, 2014:7) juga memaparkan fungsi alat peraga yaitu untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep pembelajaran. Fungsi mengenai alat peraga juga dipaparkan oleh Asyhar. Menurut Asyhar (2012:11) alat peraga pembelajaran berfungsi untuk 1) membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan dan pengetahuan, 2) mengilustrasikan dna memantapkan pesan dan informasi, serta 3) menghilangkan ketegangan dan hambatan serta rasa malas yang dialami oleh siswa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

Bermacam alat peraga dapat digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa. Dalam usaha memanfaatkan alat peraga sebagai alat bantu agar siswa dapat mendapatkan pengalaman yang langsung. Edgar Dale mengklasifikasikan pengalaman dari yang paling konkret sampai abstrak. Klasifikasi tersebut dikenal sebagai kerucut pengalaman (cone of experience). Berikut merupakan kerucut pengalaman menurut E. Dale.

Bagan 2.1 Kerucut Pengalaman Menurut E. Dale (Sadiman, 2009:8)

Berdasarkan kerucut tersebut dapat terlihat bahwa pengalaman belajar konkret yang secara langsung dialami siswa terletak di bagian bawah. Menurut Dale, bahwa pengalaman langsung mendapatkan tempat utama dan terbesar, sedangkan belajar melalui abstak berada di puncak kerucut. Hal ini berarti bahwa setiap pengalaman belajar siswa yang dialami secara langsung merupakan cara belajar yang berkualitas dan dapat memahami simbol-simbol yang abstrak (Munadi,

verbal simbol visual visual radio film tv wisata demonstrasi partisipasi observasi pengalaman langsung abstrak konkret

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

2010:19-20). Oleh karena itu, pengalaman langsung menggunakan alat peraga dapat membantu siswa membantu hal yang abstrak.

Berdasarkan uraian tersebut, penggunaan alat peraga memang diperlukan dalam pembelajaran. Keberadaan alat peraga dapat membantu proses pembelajaran terutama pada pembentukan pengetahuan siswa. Uraian tersebut menegaskan bahwa pengembangan alat peraga dalam penelitian ini memang diperlukan dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa melalui benda-benda konkret.

c. Kriteria Alat Peraga

Tidak semua benda dapat dikatakan sebagai alat peraga. Ruseffendi (dalam Sundayana, 2014:18-19) berpendapat bahwa benda harus memenuhi berbagai syarat tertentu untuk disebut sebagai alat peraga terutama alat peraga matematika. Berikut merupakan berbagai kriteria dari alat peraga matematika.

1. Tahan lama

2. Bentuk dan warnanya menarik 3. Sederhana dan mudah dikelola

4. Ukurannya sesuai dengan karakteristik siswa

5. Dapat menyajikan konsep matematika dengan baik dalam bentuk real/ nyata, gambar, atau diagram.

6. Sesuai dengan konsep matematika

7. Dapat memperjelas konsep matematika dan bukan sebaliknya.

8. Peragaan dapat digunakan sebagai dasar bagi tumbuhnya konsep berpikir abstrak bagi siswa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

9. Menjadikan siswa dapat belajar aktif dan mandiri dengan menggunakan alat peraga.

d. Alat Peraga Berbasis Metode Montessori

Alat peraga Montessori mempunyai empat ciri khusus (Montessori, 2002:171-175). Hal tersebut akan dipaparkan dalam uraian berikut.

Ciri alat peraga Montessori yang pertama adalah menarik. Alat peraga Montessori dirancang sangat menarik bagi siswa agar dapat menarik minat siswa dalam belajar. Alat peraga dibuat menarik dari segi warna, bentuk, dan sebagainya. Jika dilihat dari warnanya, alat peraga yang menarik dapat mengaktifkan sensorial anak pada saat anak menyentuh, meraba alat peraga menggunakan indera perabanya, serta mendengarkan bunyi yang ditimbulkan oleh alat peraga menggunakan indera pendengarnya. Melalui alat peraga tersebut anak pun dapat menemukan hubungan satu hal dengan yang lain (Montessori, 2002:174).

Ciri alat peraga Montessori yang kedua adalah bergradasi. Alat peraga Montessori mempunyai gradasi rangsangan warna, bentuk, maupun usia anak. Alat peraga Montessori tidak hanya bergradasi dalam arti dapat melibatkan sebanyak mungkin penggunaan panca indera, tetapi juga pada gradasi penggunaaan untuk berbagai usia perkembangan anak maupun materi yang dapat diperoleh dari alat peraga yang sama (Montessori, 2002:174).

Gradasi warna dapat diperkenalkan dengan menggunakan kotak warna yang memiliki beberapa warna, misalnya warna biru tua hingga biru muda. Gradasi ukuran tinggi ke rendah dapat diperkenalkan dengan menggunakan alat peraga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

seperti inkastri silinder. Inkastri silinder dapat menunjukkan gradasi ukuran dari tinggi ke rendah dengan jelas. Gradasi bentuk dapat diperkenalkan dengan menggunakan alat peraga seperti pada permainan pink tower. Pink tower terdiri dari 10 kubus dengan kubus paling besar memiliki ukuran sisi 10 cm, sedangkan kubus yang lebih kecil berikutnya memiliki perbedaan ukuran sisi 1 cm lebih kecil dari sebelumnya. Melalui permainan ini, anak mencoba menyusun menara mulai dengan kubus yang paling besar sampai paling kecil. Berdasarkan pengalaman ini, anak belajar untuk membeda-bedakan konsep besar-kecil dan berat-ringan dari suatu objek (Montessori, 2002:175).

Ciri alat peraga Montessori yang ketiga adalah auto-correction. Alat peraga Montessori mempunyai pengendali kesalahan pada setiap alat peraga itu sendiri. Hal tersebut bertujuan agar anak dapat mengetahui secara mandiri benar atau salah aktivitas yang dilakukannya tanpa ada orang lain yang mengoreksi. Ciri tersebut dapat digambarkan dari penggunaan alat peraga inkastri silinder. Inkastri silinder memperkenalkan ukuran yang berbeda-beda, yaitu tinggi-pendek, gemuk- kurus, tinggi kurus-gemuk pendek, dan tinggi gemuk-pendek kurus. Pengendali kesalahan dari alat tersebut adalah lubang pada inkastri. Oleh karena itu, anak dapat mengetahui benar/salah dari ketidaksesuaian inkastri yang diletakkan pada masing-masing lubang (Montessori, 2002:171).

Ciri alat peraga Montessori yang keempat adalah auto-education. Alat peraga Montessori dirancang untuk menumbuhkan kemandirian anak serta pengembangan kemampuan secara mandiri tanpa ada campur tangan dari orang dewasa. Lingkungan belajar dirancang sedemikan rupa agar tidak ada orang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

dewasa yang mengintervensi hal-hal yang dilakukan anak. Hal tersebut dikarenakan setiap alat sudah mempunyai pengendali kesalahan (Montessori, 2002:172-173).

Selain keempat ciri tersebut, penelitian ini juga mengembangkan ciri tambahan yaitu kontekstual. Berdasarkan beberapa prinsip pendidikan Montessori yang telah dipaparkan, belajar hendaknya juga disesuaikan dengan konteks (Lillard, 2005:32). Salah satu hal yang dilakukan Montessori adalah merancang lingkungan belajar bagi siswa. Montessori menyediakan beberapa peralatan di kelas dengan memanfaatkan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar anak. Hal ini bertujuan agar anak mengalami dengan sendirinya tentang lingkungan di sekitarnya, bukan karena orang lain (Hainstock, 1997:83). Oleh sebab itu, ciri alat peraga yang selanjutnya adalah kontekstual.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontekstual berarti berhubungan dengan konteks (2005:522), sedangkan konteks merupakan pola hubungan di dalam lingkungan langsung seseorang (Johnson, 2010:34). Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan kondisi nyata siswa. Selain itu, pembelajaran kontekstual dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari (Trianto, 2010:107). Oleh karena itu, kontekstual dalam pembelajaran memungkinkan terbentuknya pengalaman sosial, budaya, fisika, dan psikologi.

Melalui penggunaan alat peraga, siswa mengalami pembelajaran yang kontekstual karena alat peraga memberikan pengalaman yang relevan bagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

siswa. Tambahan ciri kontekstual dalam penelitian ini bermaksud menggunakan bahan-bahan atau potensi lokal yang tersedia di lingkungan sekitar siswa. Hal ini bertujuan memunculkan makna/hubungan antara isi pembelajaran dan konteks yang ada di lingkungan siswa. Selain itu, siswa juga mulai tertarik dan termotivasi untuk menggunakan beragam alat peraga tersebut karena sesuai fakta dan konteks yang saling berhubungan (Lillard, 1996:81). Penggunaan alat peraga yang sesuai dengan konteks dapat membantu siswa selama proses belajar. Selama kegiatan belajar, siswa dapat berperan aktif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kelima ciri-ciri tersebut menjadi pertimbangan bagi peneliti dapat mengembangan alat peraga. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa alat peraga Montessori adalah alat peraga yang memiliki ciri gradasi, menarik, auto-education, dan auto-correction. Oleh sebab itu, alat peraga yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan bahan-bahan yang sering dijumpai siswa, seperti kayu dan manik-manik.