• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN AKULTURASI MAHASISWA NGADA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DAN AKULTURASI MAHASISWA NGADA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

i

TO’O PENGA TO’O, REJO PENGA REJO

DAN AKULTURASI MAHASISWA NGADA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Timotius Aditya Lodo Ratu NIM : 069114083

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

“Pendidikan seharusnya dilihat sebagai hadiah berharga bukan kewajiban yang

membebani”

-Albert Einstein-

“Ojo Dumeh, Eling lan Waspada”

(5)

v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 23 Mei 2013

(6)

vi

TO’O PENGA TO’O, REJO PENGA REJO DAN AKULTURASI MAHASISWA NGADA

Timotius Aditya Lodo Ratu

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan studi deskriptif mengenai kehidupan mahasiswa asal Ngada (NTT) selama hidup di Yogyakarta. Pengalaman kehidupan mahasiswa Ngada di Yogyakarta kemudian dibingkai menurut teori akulturasi. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses akulturasi dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada di Yogyakarta. Dalam kehidupannya, mahasiswa Ngada sebagai bagian dari Mahasiswa Indonesia Timur (MIT) dipandang sebagai orang yang berwatak keras, berperangai kasar dan identik dengan perilaku kekerasan. Selain itu, mahasiswa Ngada juga dipandang sebagai mahasiswa yang eksklusif. Hal tersebut menjadi ketertarikan tersendiri untuk mengetahui bagaimana proses dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Ngada menggunakan strategi akulturasi separasi selama proses akulturasinya di Yogyakarta. Mahasiswa Ngada membawa dan melestarikan prinsip solidaritas orang Ngada yang dikenal dengan istilah To‟o penga to‟o, Rejo penga rejo selama hidup akulturasinya di Yogyakarta.

(7)

vii

TO’O PENGA TO’O, REJO PENGA REJO AND NGADA’S STUDENT ACCULTURATION

Timotius Aditya Lodo Ratu

ABSTRACT

This research is a descriptive study of the lives of students from Ngada (NTT) who live in Yogyakarta. The experience of Ngada student in Yogyakarta was framed in to the theory of acculturation. This study aims to describe the process of acculturation and acculturation strategies Ngada students in Yogyakarta. Ngada students as part of the East Indonesian Students (MIT) is seen as a person who rampart, identical to behave rude and violent behavior. In addition, students Ngada also seen as an exclusive student. It became interesting to know how the process and strategies of acculturation of Ngada student. The method used in this research is descriptive qualitative. Data collection techniques used were interviews. The results showed that during the process of acculturation in Yogyakarta, separation strategies is used by Ngada students. Ngada students carry and preserve the principle of solidarity Ngada known as To 'o penga to'o, rejo penga rejo during acculturation in Yogyakarta. This principle is manifested by a strong sense of brotherhood among fellow students Ngada.

(8)

viii

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

NAMA : TIMOTIUS ADITYA LODO RATU

NIM : 069114083

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

To’o Penga To’o, Rejo Penga Rejo dan Akulturasi Mahasiswa Ngada di Yogyakarta

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 23 Mei 2013 Yang menyatakan,

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia dan kasihNya atas terselesaikannya karya tulis ini. Segala penyertaanNya sungguh penulis rasakan dan memberikan kekuatan selama proses penyelesaian karya tulis ini.

Segala keterbatasan penulis dalam mengerjakan karya tulis ini dapat penulis atasi lewat dukungan dari semua pihak yang telah mencurahkan kritik yang membangun, saran, dan semangat kepada penulis. Semua itu membangkitkan semangat dan memunculkan inspirasi penulis. Dalam kesempatan yang baik ini, penulis memberikan penghargaan bagi semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu selama proses penelitian ini. Terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku pembimbing yang dalam setiap kesempatan yang ada bersedia memberikan tenaga, pikiran dan kesabarannya. Terima kasih untuk segala proses pembelajaran yang bisa saya peroleh selama ini.

2. Bapak Minto Istono dan Ibu A. Tanti Arini selaku dosen pembimbing akademik.

(10)

x

4. Staf Fakultas Psikologi; Bu Nanik, Mas Doni, Mas Gandung, Mas Muji dan Pak Giyono untuk bantuan dan pelayanannya.

5. Bapak Drs. Mikha Ratu dan Ibu Dra. L Ermintarsih, serta saudara-saudariku Mas David Hermantya Lomi Ratu, Sarlotha Widiatri Anita Ratu dan Eunike Merlinda Kusuma Ratu untuk segala doa, dukungan dan kasih sayang yang tak henti-hentinya dicurahkan kepada penulis. 6. Semua pihak yang memberikan data dalam penelitian ini; para subyek,

signifanct others.

7. Felicita Noviani Tyas Utami untuk waktu dan pengalaman yang bermakna yang telah dibagikan.

8. Teman-teman seperjuangan dan sepenanggungan ; Arya Primaditya, Maria Eliza, Guntur Prabawanto, Yohanes De Deo Yustiananta (Komeng), Yosephin Harsentya, Laurensia Wulan, Yohanes Dody. 9. Teman-teman ITJAS (Ikatan Tjatjat Asmara) ; Adhitya Hari Saputra,

Albertus Harimurti, Arga Yudha, Bayu Mahendra, Budi Setiyana, Dyan Martikatama, Galih Pambudi, Setya Dharma, Setyo Adi Sejati, Wahyu Kristianto, Wahyu Setia Jati.

10. Teman-teman UKF Sepakbola Psikologi Sanata Dharma, Kineta, Ska Phobia, Red Pavlov.

11. Serta semua pihak yang dalam keberadaannya turut membantu.

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Akulturasi ... 9

1. Pengertian ... 9

(12)

xii

3. Sikap terhadap Akulturasi ... 13

4. Strategi Akulturasi ... 13

B. Ngada ... 15

C. Mahasiswa Ngada di Yogyakarta ... 18

D. Akulturasi Mahasiswa Ngada di Yogyakarta ... 20

E. Batasan Konseptual ... 21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

A. Pendekatan Penelitian ... 23

B. Prosedur Penelitian ... 24

1. Tahap Pra-lapangan ... 24

2. Tahap Pekerjaan Lapangan ... 24

3. Analisis Data ... 24

C. Subyek Penelitian ... 25

D. Batasan Penelitian ... 26

E. Teknik Pengumpulan Data ... 26

F. Kredibilitas Penelitian ... 28

BAB IV. PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 30

A. Proses Penelitian ... 30

B. Hasil Penelitian ... 32

1. Data Demografi Subyek ... 32

2. Dinamika Psikologis Subyek ... 33

(13)

xiii

C. Pembahasan ... 61

1. Proses Akulturasi ... 62

2. Strategi Akulturasi ... 69

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 75

1. Bagi peneliti yang menaruh perhatian pada tema penelitian yang serupa ... 75

2. Bagi mahasiswa dan calon mahasiswa Indonesia Timur pada umumnya dan mahasiswa dan calon mahasiswa Ngada pada khususnya yang telah maupun akan melanjutkan studi. ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pedoman Wawancara ... 27

Tabel 2. Data Demografi Subyek ... 32

Tabel 3. Alasan Merantau ke Yogyakarta ... 43

Tabel 4. Pemahaman Awal Tentang Yogyakarta ... 44

Tabel 5. Harapan Kuliah di Yogyakarta ... 46

Tabel 6. Interaksi dengan Masyarakat Yogyakarta ... 47

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Yogyakarta merupakan salah satu destinasi pendidikan bagi orang Indonesia timur. Tidak heran apabila dalam perjalanan intelektualnya mahasiswa Indonesia Timur (MIT) kemudian melanjutkan kuliah di UPN Veteran, UAJY, USD, STTNAS, INSTIPER, dan UNRIYO. Kebanyakan dari mereka kemudian menetap di kawasan Tambak Bayan, Yogyakarta dengan alasan jarak tempuh yang cenderung dekat dengan perguruan tinggi.

(16)

Menurut beberapa tokoh adat Indonesia Timur, dalam kehidupan MIT masih dijumpai kesan eksklusif dan tertutup di lingkungan kampus maupun di lingkungan tempat tinggal (wawancara lapangan, 20 Mei 2011). Eksklusivitas ini dapat dijumpai maupun mewujud dalam pemilihan jenis kegiatan (cenderung mengikuti organisasi yang primordialistis), pemilihan indekos (mayoritas penghuni kos adalah MIT), dan intensitas pergaulan dengan etnis lain (sebatas urusan kuliah atau akademis belaka).

Padahal, dari wawancara terdahulu terhadap para partisipan, keinginan untuk membuka diri seluas-luasnya di lingkungan rantau menjadi motif yang cukup kuat. Tentu saja keterbukaan diri dalam wujud interaksi sosial adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan akulturasi seseorang (Sullivan, 2008). Dalam penelitian Sullivan mengenai akulturasi Mahasiswa Taiwan di Australia, ditemukan bahwa interaksi sosial yang luas dan kesediaan untuk belajar serta memperoleh pengetahuan tentang budaya setempat secara positif berhubungan dengan kualitas hidup mahasiswa perantau dalam kehidupan akulturasinya. Kualitas hidup tersebut, menurut Johnson (dalam Dayaksini & Yuniardi, 2008), akan membuat individu mengembangkan diri, mendapatkan banyak wacana baru, dan menambah lebih banyak relasi.

(17)

dengan mengembangkan hubungan dengan mahasiswa lokal, dapat mengurangi tingkat kecemasan dan keterasingan individu serta secara positif dapat mempengaruhi kesuksesan akademik mahasiswa perantau.

Kurangnya interaksi sosial antara mahasiswa perantau dengan mahasiswa dari etnis lain terutama dengan mahasiswa lokal kemudian berimplikasi pada hadirnya kesulitan-kesulitan dalam kehidupan akulturasinya. Ketidakmampuan menghadapi kesulitan yang muncul tersebut kemudian dapat membuat individu mengalami stres psikologis seperti kesepian, homesick, ketidakberdayaan dan depresi (Poyrazli dan Grahame 2006).

Lebih lanjut, Volet dan Ang (1998) dalam penelitiannya mengenai interaksi antara kelompok budaya menemukan bahwa stres yang muncul oleh karena kontak antar budaya, jaringan sosial dan pertemanan secara positif mempengaruhi akulturasi secara umum. Keadaan diri dan penyesuaian psikologis individu yang merantau kemudian menjadi hal yang vital untuk dikaji dalam dinamika hubungan/interaksi sosial dalam kontak antar budaya.

(18)

karena sudah adanya kesamaan identitas dan lepas dari kemungkinan konflik karena tidak ada perbedaan kebiasaan. Namun, dengan mengembangkan hidup hanya pada satu kelompok berarti membedakan diri dan menjadikan orang lain semakin berbeda. Fatalnya, hal tersebut pada dasarnya justru menciptakan kerentanan terhadap konflik.

Rentannya konflik terlukis dalam wawancara lapangan terhadap kapolsek Depok Barat pada tanggal 12 April 2011. Ditengarai, yang menjadi pematik konflik adalah salah paham antar individu. Salah paham antar individu ini terkadang sampai merembet menjadi masalah kelompok. Rasa kesukuan yang tinggi (etnosentrisme) juga ditengarai menjadi penyebab konflik. Rasa kesukuan ini terejawantahkan dalam paham kedaerahan yang sempit dan menganggap kelompok suku sendiri paling baik. Anggapan bahwa “suku saya yang terbaik” ini berimplikasi pada reaktivitas terhadap

pandangan rendah dari kelompok lain. Tidak kalah penting dari yang telah disebutkan, kebiasaan mengkonsumsi alkohol juga dianggap menjadi pemicu konflik (mengkonsumsi alkohol secara berlebihan). Tentu saja, konflik bernuansa kekerasan ini menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat sekitar konflik. Selain ketidaknyamanan, kerugian material seperti kerusakan bagian rumah juga dialami masyarakat sekitar (catatan lapangan Kanit Serse Polsek Depok, 19 April 2011).

(19)

sebagai orang yang berwatak keras, berperangai kasar dan identik dengan perilaku kekerasan (catatan lapangan 12 April 2011).

Tidak menutup kemungkinan pandangan ini bisa saja meluas menjadi prasangka yang sifatnya merugikan MIT secara keseluruhan. Liliweri (2002) mengklaim bahwa prasangka bisa meluas sehingga terarah pada sebuah kelompok secara keseluruhan atau kepada individu hanya karena orang itu adalah anggota kelompok. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua MIT terlibat dalam aksi kekerasan. Akibat lebih jauhnya adalah potensi munculnya sikap “menghindari” maupun

“mengucilkan” atau diskriminasi terhadap MIT oleh masyarakat.

Diskriminasi merupakan salah satu stresor akulturasi yang potensial dialami mahasiswa perantau (Smith, Rachel & Khawaja, Nigar 2011). JJ. Lee dan Rice (dalam Smith, Rachel & Khawaja, Nigar, 2011) mengungkapkan diskriminasi yang signifikan dialami mahasiswa perantau berkisar pada perasaan inferioritas, penghinaan langsung secara lisan, diskriminasi dalam mencari pekerjaan dan penyerangan fisik. Perilaku diskriminasi di lingkungan kampus terhadap mahasiswa perantau pun bergerak dari samar-samar menjadi

semakin jelas. Poyrazli dan Grahame‟s (2006) dalam penelitiannya

(20)

Salah satu etnis MIT yang merasa mengalami diskriminasi adalah etnis Ngada. Satu hal menarik dari kelompok ini adalah bahwa secara kuantitatif mahasiswa asal Ngada jarang terlibat dalam aksi kekerasan. Walaupun begitu, pengucilan dengan mudah dapat saja terjadi terhadap mahasiswa Ngada melihat kecenderungan mahasiswa Ngada seperti MIT lainya yang tertutup dalam pergaulan dan keterlibatannya dalam beberapa kasus kekerasan. Ketertutupan dan keterlibatan Mahasiswa Ngada dalam beberapa kasus kekerasan serta keresahan warga masyarakat sekitar mengindikasikan adanya permasalahan dalam proses akulturasi mahasiswa Ngada. Bahkan dalam mahasiswa yang cenderung dinilai baik oleh tokoh dari Indonesia Timur ini juga mengalami permasalahan dalam interaksi sosialnya.

(21)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana proses dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada yang hidup di Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan proses dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada yang hidup di Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai Etnis Ngada, terutama etnis Ngada di perantauan.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada masyarakat mengenai mahasiswa Indonesia timur khususnya mahasiswa Ngada.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pengetahuan lembaga terkait dalam menangani penyelesaian masalah yang melibatkan mahasiswa Indonesia timur khususnya mahasiswa Ngada. 4. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan

(22)
(23)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Akulturasi

1. Pengertian

Redfield, Linton, & Herkovits (dalam Berry, Poortiga, Segal, & Dasen, 1999) memahami akulturasi sebagai fenomena yang akan terjadi ketika kelompok-kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam kontak yang terjadi secara langsung. Pada definisi ini, akulturasi dipandang terjadi sebagai akibat dari kontak antar budaya. Akulturasi terjadi ketika kelompok individu berinteraksi dengan kelompok budaya lain, dan sebaliknya. Interaksi tersebut melibatkan posisi individu secara personal (melibatkan elemen psikologis seperti sikap dan persepsi) maupun dengan atribut yang melekat (misalnya; identitas etnis).

(24)

terjadi sebagai konsekuensi dari kontak budaya secara langsung. Perubahan bisa saja tidak berasal atauberbentuk budaya (tradisi atau ritual) misalnya perubahan lingkungan atau demografi sebagai akibat dari suatu pergeseran budaya. Perubahan bisa saja tertunda, tergantung dari penyesuaian diri dan penerimaan terhadap bentuk atau sifat dari pengaruh asing, bisa juga terjadi begitu saja lewat adaptasi dalam kehidupan sehari-hari.

Fleksibilitas dalam proses akulturasi ini menjadi sebuah proses yang dinamis dan melibatkan elemen psikologis seperti sikap dan persepsi serta elemen-elemen kebudayaan dari tiap budaya yang bertemu. Proses akulturasi ini terjadi pada dua ranah yaitu ranah individu dan ranah kelompok.

(25)

perubahan-perubahan kolektif yang sedang berlangsung dalam banyak hal ataupun dalam cara yang sama.

Dari definisi dan penjelasan di atas, akulturasi dapat dipahami sebagai proses dinamis yang terjadi terus menerus akibat adanya interaksi dengan individu atau kelompok budaya yang berbeda di konteks lingkungan budaya yang baru. Dampak dari interaksi bagi individu dalam akulturasi dapat memunculkan perubahan psikologis dan perubahan budaya. Guna memahami proses dinamis yang terjadi dalam akulturasi, maka uraian di bawah ini akan membantu pemahaman kita mengenai akulturasi.

2. Proses Akulturasi

Berry dkk (1999) menguraikan tahapan yang dilewati oleh individu atau kelompok budaya dalam proses akulturasi. Proses tersebut adalah:

a. Pra Kontak

(26)

b. Kontak

Tahap kontak menggambarkan bahwa individu atau kelompok budaya telah terlibat langsung dalam kontak/interaksi dengan budaya lain.

c. Konflik

Dalam tahap ini individu atau kelompok budaya menghadapi kendala-kendala yang muncul dari perbedaan kebudayaan, perlakuan, kondisi lingkungan, kondisi sosial, serta permasalahan lain yang muncul selama berinteraksi dengan individu atau kelompok budaya lain.

d. Krisis

Merupakan tahap individu atau kelompok yang berakulturasi mengalami masa krisis baik secara individu maupun kelompok.

e. Adaptasi

Dalam tahap ini kendala-kendala yang muncul dihadapi individu atau kelompok budaya dengan menerapkan alternatif atau strategi

(27)

3. Sikap terhadap Akulturasi

Sikap individu yang berakulturasi terhadap masyarakat dominan memiliki beberapa kaitan dengan cara individu masuk dalam proses akulturasi (Berry dkk, 1999). Jika sikap-sikap kelompok sendiri sangat positif dan sikap kelompok luar sangat negatif maka pengaruh akulturasi mungkin sudah tersaring, tertahan, tertolak atau dapat dikatakan kurang efektif. Disisi lain, jika pola sikap yang berlawanan cocok diantara individu-individu yang mengalami akulturasi maka pengaruh-pengaruh akulturatif mungkin lebih dapat ditertima. Sikap terhadap akulturasi terkait erat dengan perbedaan keinginan individu untuk berinteraksi dan bagaimana individu mempertahankan nilai budayanya. Sikap inilah yang kemudian menentukan strategi akulturasi yang dipilih individu.

4. Strategi Akulturasi

(28)

ketika respon evaluatif terhadap dua dimensi tersebut bersifat dikotomi. “Ya atau tidak” untuk menjaga budaya aslinya dan “ya atau

tidak” untuk mengadopsi budaya lain.

Ada 4 strategi yang disodorkan Berry dkk (1999), strategi itu antara lain:

a. Integrasi

Individu yang dalam berhubungan dengan individu atau kelompok budaya setempat menjaga dan mempertahankan budayanya dan mengadopsi nilai budaya setempat.

b. Separasi

Individu yang dalam berhubungan dengan individu atau kelompok lain menjaga dan mempertahankan nilai budayanya sendiri, namun relatif tidak peduli dengan nilai budaya lain.

c. Asimilasi

(29)

d. Marjinalisasi

Individu yang dalam berhubungan dengan individu atau kelompok lain tidak memperdulikan nilai budayanya sendiri maupun nilai budaya yang lain. Individu mengalami perasaan ambivalen dan terasing dari nilai budayanya sendiri maupun nilai budaya yang lain.

B. Ngada

Kabupaten Ngada terletak diantara 8-9‟ lintang selatan dan 120‟45

-121‟-50‟ bujur timur. Bagian utara berbatasan dengan laut Flores, bagian

selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Nagekeo dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai.

Ada dua kelompok budaya yang hidup di kabupaten Ngada. Pembagian ini didasari pada kelompok etnis yaitu etnis Riung dan etnis Bajawa/Ngada (kemudian akan disebut Ngada dalam penelitian ini). Kedua kelompok budaya tersebut memiliki beberapa kesamaan dan kemiripan, tetapi dalam beberapa hal nampak berbeda (Bolong, 2005). Jenis budaya yang sama antara lain seperti Para/paras yaitu suatu upacara adat pamancangan Ngadu (batu bulat atau persegi panjang) dan Nambe

(30)

yang berbeda antara lain upacara adat reba di etnis Ngada dan larik (caci) di etnis Riung.

Etnis Ngada mengenal adanya kelas sosial atau starata sosial atau kasta, dalam bahasa setempat disebut Rang (Bolong, 2005). Kelas sosial ini sangat mempengaruhi status sosial dalam kehidupan masyarakat. Status kemudian berpengaruh dalam relasi sosial dan dalam penguasaan tanah. Struktur kekuasaan adat dalam masyarakat adat Ngada juga berlaku menurut kelas sosial. Tugas dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengaturan adat istiadat dalam masyarakat dijalankan sesuai dengan strata sosial yang ada.

Selain itu, Orang Ngada memiliki kebudayaan unik terkait dengan kekerasan. Masyarakat suku Ngada memiliki satu ritual atraksi tinju tradisional yang dinamakan Caci. Bukan hanya di Ngada, tapi beberapa suku disekitar Ngada juga mengenal ritual ini. Tinju adat ini dilangsungkan ketika menyambut musim panen dan diadakan setiap setahun sekali yang diikuti oleh kaum lelaki dewasa. Jika ada petinju yang berdarah, dipercayai menandakan hasil panen akan melimpah. Bagi banyak orang, tinju merupakan olahraga keras, namun orang Ngada dan suku lain disekitarnya menjadikan Caci sebagai tarian, olahraga dan hiburan (Alo Liliweri, 2002).

(31)

solidaritas (To‟o Penga To‟o, Rejo Penga Rejo). Dalam prinsip ini ada kepercayaan orang Ngada bahwa ketika seseorang tidak sanggup melaksanakan tugas pengabdian dengan baik, maka ia sudah memiliki keyakinan untuk percaya kepada bantuan yang diatur dari sesamanya. Sebaliknya, jika ada anggota masyarakat lain dikala membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan akan kesejahteraannya, akan diadakan kumpul bersama (Utu Bhou) untuk membahas apa saja yang bisa dilakukan secara bersama untuk membantu anggota masyarakatnya yang membutuhkan bantuan tersebut.

Kedua, prinsip toleransi (Modhe Ne‟e Hoga Woe, Meku Ne‟e Doa

Delu). Toleransi dipahami sebagai sikap pribadi atau kelompok dalam menghargai keberadaan pribadi atau kelompok lain yang memiliki ciri-ciri yang berbeda agar dapat selalu hidup rukun antar sesama. Orang Ngada percaya bahwa pemaksaan kehendak bukanlah cara yang dipakai ketika terjadi masalah terkait adanya perbedaan pribadi atau kelompok.

Ungkapan adat setempat mengatakan “Ma‟e beke meze kasa kapa” atau

(32)

beragama, hidup antara umat beragama sangat rukun. Dalam sejarah Ngada sampai sekarang, belum pernah terjadi konflik yang disebabkan oleh fanatisme sempit terhadap ajaran agama. Antara umat beragama selalu saling membantu dan menghargai satu sama lain.

Ketiga, prinsip tertib budi pekerti (Sui Uwi) Masyarakat adat Ngada mengenal budi pekerti sebagai norma-norma yang bersumber pada ajaran kehidupan para leluhur sebagaimana diwariskan secara turun temurun dan masih dipatuhi oleh masyarakat adat dalam kehidupan sehari-hari. Norma-norma yang bersumber pada ajaran kehidupan para leluhur tersebut tidak tertulis dan terus berkembang sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, inkulturasi ajaran agama serta hukum tertulis pemerintah.

C. Mahasiswa Ngada di Yogyakarta

(33)

yang ada di Yogyakarta seperti KBNY (Keluarga Besar Ngada Yogyakarta).

Kesan ekslusif dan tertutup juga dijumpai di lingkungan tempat tinggal. Mahasiswa Ngada cenderung memilih untuk tinggal bersama dengan sesama mahasiswa Ngada atau mahasiswa dari wilayah yang sama (Flores/NTT). Dalam pemilihan tempat kos, mahasiswa Ngada akan membicarakannya terlebih dahulu dengan mahasiswa Ngada yang lain kemudian bersama-sama mencari kos yang sesuai. Kriteria pemilihan kos yang sesuai tidak hanya mengenai fasilitas kos yang ada, tetapi juga mengenai penghuni kos yang sudah ada, apakah mayoritas penghuni kos berasal dari etnis Ngada atau Flores/NTT ataukah dari etnis lain. Pada akhirnya mahasiswa Ngada akan cenderung memilih kos yang mayoritas penghuninya berasal dari wilyah yang sama atau daerah yang sama. Jika kemudian akhirnya memilih kos yang heterogen dimana penghuninya terdiri dari beberapa etnis, kecenderungan yang muncul adalah mereka kurang membuka diri untuk bergaul dan hanya bergaul dengan sesama orang Ngada saja.

(34)

D. Akulturasi Mahasiswa Ngada di Yogyakarta

Secara singkat, kehidupan akulturasi mahasiswa Ngada akan dijelaskan berdasarkan proses akulturasi dimulai dari latar belakang kedatangan mahasiswa Ngada ke Yogyakarta dan bagaimana interaksi dan kendala yang dihadapi mahasiswa Ngada di Yogyakarta.

Alasan utama kedatangan mahasiswa Ngada ke Yogyakarta adalah melanjutkan pendidikan. Sebelum sampai di Yogyakarta kebanyakan mahasiswa Ngada mengenal Yogyakarta sebagai tempat yang unggul dalam pendidikan. Oleh karena keunggulan Yogyakartalah mahasiswa Ngada kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Alasan lain yang mendorong kedatangan mereka ke Yogyakarta berbeda antara individu yang satu dan yang lain.

(35)

Interaksi mahasiswa Ngada dengan masyarakat Yogyakarta sendiri lebih banyak terjadi dalam urusan bisnis seperti tempat tinggal (kos atau kontrakan), makan (warung makan), laundry, ataupun kebutuhan jasa lainnya seperti rental komputer.

Sedangkan kendala yang dihadapi mahasiswa Ngada dalam kehidupan akulturasinya di Yogyakarta justru lebih terlihat ketika mereka berinteraksi dengan mahasiswa etnis lain yang berasal dari wilayah yang sama (Indonesia Timur). Berbagai konflik antara mahasiswa Indonesia timur justru terjadi ketika mereka saling berinteraksi. Konflik muncul misalya ketika pertandingan sepakbola atau saat pesta syukuran (kelulusan mahasiswa, acara keagamaan) yang diadakan oleh mereka. Konflik tersebut biasanya berujung pada kekerasan seperti perkelahian ataupun tawuran antara kelompok mahasiswa Indonesia Timur.

E. Batasan Konseptual

Dalam penelitian ini batasan pemahaman mengenai akulturasi adalah akulturasi yang terjadi pada tingkat individu atau akulturasi psikologis. Guna memahami pola dan proses akulturasi individu mahasiswa Ngada, gambaran mengenai tahap-tahap akulturasi serta strategi akulturasi yang dipilih oleh informan menjadi bagian penting yang akan diungkap untuk melihat kehidupan akulturasi mereka.

(36)
(37)

23

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti mempelajari isu atau tema tertentu secara mendalam dan komprehensif. Penelitian ini melihat suatu gejala sebagai sesuatu yang dinamis dan berkembang, dengan mendeskripsikan dan memahami proses dinamis yang terjadi berkenaan dengan gejala yang diteliti (Poerwandari, 1998).

(38)

B. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini mengaju pada tahapan penelitian kualitatif menurut Moleong (2009). Tahapan tersebut antara lain :

1. Tahap Pra-lapangan

Pada tahap ini, peneliti menyusun rancangan penelitian sebelum turun ke lapangan. Selain itu, peneliti melakukan penjajakan/orientasi lapangan melalui kepustakaan atau melalui orang dalam (significant others). Orientasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang berbagai hal terkait konteks penelitian. Pada tahap ini, peneliti juga perlu melakukan pendekatan awal secara terbuka kepada subyek penelitian.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pada tahap ini, peneliti mulai mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data yang sudah dirancang sebelumnya.

3. Analisis Data

Data yang didapat kemudian diolah dengan tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Smith (dalam Poerwandari, 1998). Tahapan tersebut antara lain :

(39)

b. Peneliti kemudian menuliskan tema-tema yang muncul maupun kata-kata kunci yang dapat menangkap esensi data dari teks yang dibaca. c. Mendaftar tema-tema yang muncul kemudian mencoba memikirkan

hubungan-hubungan antara tema.

d. Setelah peneliti melakukan proses diatas pada tiap-tiap transkip, peneliti kemudian dapat menyusun „master‟ berisikan daftar tema -tema dan kategori-kategori yang telah disusun sehingga menampilkan pola hubungan antara katagori.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian ini yaitu mahasiswa di Yogyakarta yang berasal dari Ngada (NTT). Teknik sampling yang digunakan yaitu teknik purposive sampling. Subyek penelitian dipilih sesuai dengan tujuan penelitian, dengan kriteria yang telah disusun oleh peneliti. Kriteria tersebut antara lain :

1. Mahasiswa yang berasal dari Ngada di Yogyakarta yang telah tinggal selama lebih dari 3 tahun. Mahasiswa yang telah tinggal selama lebih dari 3 tahun dianggap telah cukup banyak memiliki pengalaman berinteraksi dengan individu di sekitarnya.

(40)

Dari kriteria yang telah ditentukan, peneliti kemudian memilih subyek penelitian yang representatif. Peneliti memilih subyek yang tergabung dalam komunitas mahasiswa Ngada atau KBNY (Keluarga Besar Ngada Yogyakarta)

D. Batasan Penelitian

Batasan penelitian bertujuan untuk lebih memfokuskan penelitian pada tujuan penelitian. Batasan penelitian dalam penelitian ini adalah pada proses akulturasi mahasiswa Ngada dalam ranah individual dan strategi akulturasinya. Dari tiap subyek, diungkap bagaimana proses akulturasi yang dialami subyek mulai dari pra kontak, kontak, konflik, krisis dan adaptasi. Sedangkan strategi akulturasi diungkap dari dinamika cara tiap subyek dalam menghadapi kendala selama kontak. Varietas strategi akulturasi terdiri dari Asimilasi, Integrasi, Separasi dan Marginalisasi.

E. Teknik Pengumpulan Data

(41)

penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan topik penelitian dalam pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan. Pedoman wawancara dalam penelitian ini disesuaikan dengan tahapan dalam proses akulturasi mulai dari pra kontak sampai pemilihan strategi akulturasi sebagai tahapan terakhir dari akulturasi.

Tabel 1.

1. Bagaimana anda bisa sampai di Yogyakarta?

2. Apa yang menjadi motivasi anda keluar dari daerah, datang ke Yogyakarta?

3. Apakah sebelum pergi ke Yogyakarta anda sudah mengetahui tentang kondisi budaya dan kondisi sosial di Yogyakarta?

4. Bagaimana bentuk interaksi anda dengan etnis lain dan seberapa sering anda bergaul dengan mereka?

a. Di lingkungan kampus b. Di lingkungan tempat tinggal 5. Bagaimana proses interaksi

anda dengan etnis lain? a. Di lingkungan kampus b. Di lingkungan tempat tinggal

3 Konflik, krisis

6. Apa saja yang menjadi kendala ketika berinteraksi dengan etnis lain?

7. Permasalahan apa saja yang anda alami ketika berinteraksi dengan etnis lain?

(42)

F. Kredibilas Penelitian

Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendiskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 1998). Kredibilitas penelitian ini dicapai dengan mengacu pada konsep Poerwandari (1998) tentang cara pencapaian kredibilitas yaitu validitas komunikatif, validitas argumentatif dan validitas ekologis.

Validitas komunikatif dicapai melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya pada subyek penelitian. Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai validitas komunikatif adalah sebagai berikut. Pertama, oleh karena logat yang dipakai subyek menghasilkan verbatim yang tidak mudah dipahami, peneliti melakukan pembakuan bahasa. Pembakuan bahasa terutama dilakukan terhadap struktur bahasa subyek, struktur bahasa yang tidak sesuai dalam verbatim kemudian disesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia. Verbatim yang telah dibakukan tersebut kemudian diserahkan kepada masing-masing subyek untuk diperiksa. Dalam pemeriksaan ini, muncul beberapa koreksi dan masukan dari subyek. Kedua, peneliti menunjukkan hasil data yang telah disintesakan dalam tema-tema dan meminta penilaian dan konfirmasi dari subyek.

Validitas argumentatif tercapai saat presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan penjelasan rasional serta dapat dibuktikan dengan melihat

penyelesaian nya

ketika menghadapi

(43)

kembali data mentah. Dalam penelitian ini, analisis data dibangun dengan kerangka berpikir berdasarkan pernyataan-pernyataan subyek. Peneliti menyertakan pula pernyataan-pernyataan subyek dalam setiap tema yang dianalisis sebagai bukti dan penguat analisis data.

(44)

30

BAB IV

PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Proses Penelitian

Penelitian dilakukan di Yogyakarta dengan mengambil subyek mahasiswa tingkat akhir asal Ngada, NTT. Pada tahap awal penelitian, peneliti melakukan wawancara lapangan untuk mendapatkan informasi awal terkait subyek penelitian. Hal ini juga dilakukan dengan alasan minimnya sumber literatur terkait latar belakang kehidupan sosial mahasiswa asal Ngada ataupun Indonesia Timur secara umum. Wawancara awal dilakukan terhadap beberapa

significant others yang penulis anggap mengenal dan mengetahui informasi terkait subyek penelitian. Wawancara dilakukan terhadap Pastor dan seorang pengacara asal Ngada yang merupakan pembina KBNY (Keluarga Besar Ngada Yogyakarta) dan tokoh adat Ngada di Yogyakarta. Wawancara awal ini penulis lakukan dengan maksud untuk menelaah dan mengenal permasalahan untuk dirumuskan dalam latar belakang penelitian.

(45)

Sumber dari media massa pun, seperti koran lokal yang ada di Yogyakarta sangat minim merilis berita tentang kehidupan sosial ataupun kasus kekerasan yang melibatkan mahasiswa asal Ngada ataupun Indonesia Timur pada umumnya. Jika merilis berita terkait kasus yang terjadi, media tidak spesifik menyebutkan etnis/suku mana yang terlibat, hanya menuliskan mahasiswa luar pulau Jawa dengan alasan masalah etnisitas ataupun kesukuan sifatnya sangat sensitif sehingga tidak berani dituliskan secara spesifik. Informasi ini penulis dapatkan ketika mewawancarai salah satu wartawan koran lokal Yogyakarta yang juga sebagai significant others.

Peneliti melibatkan contact person dalam pendekatan terhadap subyek. Contact person kemudian memediasi dan mengenalkan peneliti dengan subyek penelitian dalam komunitasnya. Setelah itu peneliti melakukan pendekatan terhadap subyek penelitian dengan berbincang-bincang santai sambil mengobservasi kehidupan subyek penelitian. Pendekatan awal terhadap subyek penelitian kemudian berlanjut secara personal antara peneliti dengan masing-masing subyek penelitian. Pendekatan ini peneliti lakukan agar terjalin komunikasi yang baik dan terbangunnya relasi yang positif antara penulis dan subyek penelitian. Dalam kesempatan ini, penulis kemudian mengutarakan maksud dari penelitian yang akan dilakukan terhadap subyek dan harapan-harapan akan proses penelitian selanjutnya.

(46)

juga melakukan observasi seperlunya tentang kehidupan subyek di tempat tinggalnya.

B. Hasil Penelitian

1. Data Demografi Subyek

Berikut ini disajikan keseluruhan data demografi subyek :

Tabel 2.

Data Demografi Subyek

Keterangan Subyek 1 Subyek 2 Subyek 3 Subyek 4

Kledokan Pugeran, Maguwohar

(47)

2. Dinamika Psikologis Subyek

Secara keseluruhan, tujuan utama subyek datang ke Yogyakarta adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan dengan melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Subyek berharap dapat menyerap ilmu sebaik-baiknya serta mendapatkan pengalaman yang dibutuhkan untuk pada akhirnya kembali ke daerah untuk membangun daerah.

Berhadapan dengan konteks budaya yang berbeda memberikan pengaruh tersendiri terkait tujuan utama subyek datang ke Yogyakarta. Bertemu dan berdinamika dalam semua lingkup hidup yang baru dengan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda harus dihadapi subyek selama hidup di Yogyakarta. Setiap subyek mengalaminya sebagai proses akulturasi dan berlangsung secara unik dalam setiap personal subyek. Untuk lebih memahami bagaimana proses akulturasi pada subyek secara keseluruhan berikut ini akan digambarkan dinamika psikologis masing-masing subyek.

a. Subyek DV

(48)

itu, waktu kecil subyek pernah mengunjungi Yogyakarta dan mengetahui bahwa Yogyakarta tidak seperti kota besar yang lain yang pernah dikunjunginya, Yogyakarta termasuk kota yang aman dan nyaman.

Sebelum berangkat ke Yogyakarta orang tua dan para senior menasehatkan subyek untuk berhati-hati dalam bersikap dengan orang Yogyakarta/Jawa. Subyek diberitahu bahwa orang Jawa/Yogyakarta itu halus dan cepat tersinggung. Mereka akan menjauh jika bersikap kasar, terutama dalam berbicara sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu apa yang ingin dibicarakan jangan sebaliknya. Demikian juga saat ada masalah agar berhati-hati dalam mengambil sikap, jangan langsung mengambil tindakan kekerasan. Hal-hal tersebut yang kemudian menjadi pegangan subyek selama hidup di Yogyakarta.

(49)

bergabung karena rasa sungkan mereka terhadap penghuni kos yang lain. Demikian juga di kos sebelumnya subyek juga merasa ada jarak yang memisahkan dalam bergaul dengan teman di luar etnis Timur. Sebenarnya subyek ingin juga mendekati dan bergaul dengan penghuni dari luar NTT seperti etnis Jawa atau Kalimantan tetapi mereka seakan menutup diri dan cenderung bergaul dengan etnis mereka sendiri. Subyek menyayangkan hal itu, tinggal satu atap tapi tidak saling kenal.

Demikian juga di kampus, subyek lebih banyak bergaul dengan orang Indonesia timur. Subyek kuliah di Universitas yang mayoritas mahasiswanya berasal dari Indonesia timur . Menurut subyek, dirinya lebih terbuka dengan teman-teman satu daerah terutama ketika menghadapi masalah. Masalahnya dari sekedar masalah di kampus, masalah cewek, banyak hal yang pasti diceritakan. Akan tetapi subyek juga bergaul dengan beberapa teman etnis lain di kampus dan memiliki satu teman dekat asal etnis Jawa. Bagi subyek teman-teman kampus sudah dianggap sebagai saudara sendiri.

(50)

Oleh karena itu, subyek menjadi sungkan untuk mendekati teman-teman dari Jawa. Dari sikap dan sifat yang tertutup itu, ia merasa seakan dihindari oleh teman etnis Jawa. Oleh karena itu, subyek tidak berani untuk mendekati teman etnis Jawa apalagi karena mereka cenderung untuk bergaul dengan sesama teman mereka sendiri dan cenderung tidak mau berbaur dengan etnis yang lain.

b. Subyek DN

Awal ketertarikan subyek untuk kuliah di Yogyakarta adalah karena kesan positif subyek saat mengunjungi Yogyakarta. Waktu itu subyek langsung merasa kerasan , nyaman dan cocok dengan keadaan di Yogyakarta. Ditambah dengan fasilitas pendidikan dan hiburan yang menurutnya lengkap dibandingkan dengan di daerah asal semakin membuat subyek tertarik dan memutuskan kuliah di Yogyakarta.

(51)

secara intensitas subyek mengaku lebih banyak menghabiskan waktu dan berinteraksi dengan teman satu daerah. Ia merasa lebih nyaman tinggal dan bergaul dengan teman satu daerah.

Keputusan dengan memilih lebih banyak bergaul dengan sesama teman satu daerah dirasa sebagai alternatif yang paling tepat dalam hidup bersosialnya. Ia menemukan kenyamanan yang tinggi dan rasa persaudaraan yang semakin kuat bersama teman satu daerah. Jika mengalami suatu masalah misalnya, teman satu daerah pasti ikut membantu demikian juga sebaliknya.

Intensitas yang rendah dalam bergaul dengan teman etnis lain dikarenakan ia sadar bahwa teman etnis lain memiliki kesibukan sendiri-sendiri sehingga ia merasa takut jika menganggu kesibukan/aktifitas mereka. Selain itu, ia merasa memiliki kesibukan/aktifitas sendiri dan memilih untuk lebih banyak bergaul dengan teman satu daerah. Bukannya tidak mau bergaul karena ada masalah tertentu dengan teman dari etnis lain tetapi menurutnya ia merasa lebih nyaman, lebih merasakan perasaan sebagai teman bahkan saudara saat bergaul dengan temannya yang satu daerah. Hal tersebut bagi subyek merupakan hal yang sangat wajar.

(52)

Selama hidup di Yogyakarta, beberapa kendala dihadapinya. Saat di kos yang pertama subyek merasa terkekang dan tidak bebas karena tidak dapat melakukan beberapa kebiasaannya di daerah asal. Pada akhirnya subyek memilih untuk berpindah tempat tinggal dan mengontrak rumah bersama teman satu daerahnya. Dengan mengontrak rumah, ia merasa lebih bebas dalam melakukan sesuatu.

Masalah bahasa juga merupakan masalah yang cukup menganggu saat bertemu dengan etnis lain terutama etnis Jawa. Pembicaraannya dengan orang Jawa kadang tidak nyambung. Ia kesulitan memahami bahasa dan dialek orang Jawa, bahkan ketika mereka menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga ia menyadari orang Jawa kesulitan menangkap maksud yang dikatakannya karena dialek atau cara bicaranya dirasa terlalu cepat. Pada akhirnya subyek berusaha menyesuaikan cara bicaranya dengan lebih pelan.

(53)

dianggap teman kuliah sebagai ekspresi marah. Persepsi ini menurut subyek keliru.

c. Subyek BT

Keputusan kuliah di Yogyakarta merupakan keputusan yang dibuat subyek karena terpengaruh dengan apa yang dikatakan guru SMAnya tentang keunggulan Yogyakarta sebagai kota pelajar. Ia kemudian sangat ingin untuk melihat dan merasakan kehidupan di Yogyakarta. Selain itu, keinginan kuliah di Yogyakarta dikarenakan keinginannya untuk keluar dari daerah, keluar dari kondisi yang menurutnya tidak berubah. Sempat ada keraguan untuk kuliah di Yogyakarta karena keadaan ekonomi orang tua yang pas-pasan serta rasa berat/tidak rela dari orang tua karena ia merupakan anak pertama, anak yang memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua.

Selama hidup di Yogyakarta, subyek mengaku bergaul dengan teman dari berbagai etnis. Ia tidak pilih-pilih dalam berteman. Ia memiliki banyak teman di kampus, bergaul akrab dengan mereka dan karena itu subyek merasa nyaman saat di kampus. Perasaan nyaman karena banyak teman itu diakuinya berpengaruh terhadap prestasinya yang dirasa semakin baik. Ia juga berusaha megembangkan diri dengan mengikuti beberapa kegiatan non akademik di kampus.

(54)

Pergaulannya tidak sebatas dengan penghuni kos saja, ia juga bergaul baik dengan pemilik kos. Ia suka dengan pemilik kos yang dinilainya berjiwa muda dan bersikap terbuka, terkadang ia menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan bapak kosnya tersebut. Saat diadakan acara di rumah pemilik kos, subyek pun ikut membantu entah sebagai

sinoman ataupun membantu ibu kos mencuci piring. Ia juga bergaul dengan warga sekitar kos, beberapa kali ia mengikuti ronda malam yang diadakan oleh warga.

Namun, subyek lebih banyak bergaul dengan teman satu daerah. Ia sering menghabiskan waktu bersama-sama teman Ngada. Menurutnya, teman Ngada sudah seperti saudara/keluarga sendiri. Diantara mereka sudah saling memahami karakter masing-masing dan ia mengaku lebih terbuka dengan teman dari Ngada.

d. Subyek FA

Sebelum subyek memutuskan kuliah di Yogyakarta, ia tidak terlalu tahu tentang Yogyakarta. Ia mengetahui informasi tentang Yogyakarta setelah kakak senior yang pernah kuliah di Yogyakarta bercerita tentang Yogyakarta kepadanya. Para seniornyalah yang akhirnya berperan besar dengan memberikan masukan-masukan sampai ia memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta.

(55)

Yogyakarta termasuk baik, fasilitas umum yang menunjang dan biaya hidup yang terjangkau. Ia pun temotivasi untuk menambah pengalaman selama di Yogyakarta.

Subyek kuliah di kampus yang mayoritas mahasiswanya berasal dari Indonesia Timur. Akhirnya ia memiliki banyak teman dari Indonesia timur dan lebih banyak bergaul dengan mereka. Demikian juga di kos, subyek saat ini indekos di kos yang semua penghuninya orang Flores. Ia juga mengakui lebih banyak bergaul dengan teman dari Ngada. Ia sering mengunjungi rumah kontrakan teman Ngada, bahkan hal ini diakuinya dilakukannya hampir setiap hari saat masih sering kuliah.

Akan tetapi ia juga mengaku bergaul dengan orang dari etnis lain. Hal ini dilakukan saat subyek magang di sebuah perusahaan investasi emas dimana rekan kerjanya terdiri dari orang-orang dari berbagai kultur budaya. Ia bisa mengenal orang dengan budayanya masing-masing. Ia pun berusaha menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya dengan beberapa kali bermain di mess tempat rekan kerjanya tinggal. Pengalaman bisa mengenal orang dari latar belakang budaya yang berbeda disadarinya merupakan pengalaman yang bagus untuk dirinya.

(56)

diantara mereka dalam berkomunikasi di tempat kerja menggunakan bahasa Jawa yang tidak dimengerti olehnya. Ketidakpahaman bahasa Jawa tersebut diatasinya dengan langsung mengungkapkan ketidakpahamanya tersebut kepada rekan kerjanya, akhirnya rekan kerjanya menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan subyek.

3. Dinamika Proses dan Strategi Akulturasi

Penelitian ini berusaha mengembangkan pemahaman mengenai proses akulturasi yang dilakoni mahasiswa asal Ngada sampai pada pemilihan strategi akulturasi sebagai tahapan akhir namun tak terputus dari proses akulturasi. Sesuai dengan batasan konseptual penelitian, analisis data akan dilakukan terhadap kedua tema besar tersebut. Akan tetapi, gambaran tema tersebut akan disesuaikan dengan tema-tema yang muncul dari data. Berdasarkan pemaparan pengalaman subyek, tema-tema yang muncul akan diikat kedalam 4 kategori tema. Kategori tersebut antara lain keputusan merantau ke Yogyakarta, interaksi, kendala interaksi dan strategi akulturasi.

a. Keputusan Merantau ke Yogyakarta

(57)

Tabel 3.

Alasan Merantau ke Yogyakarta

Subyek DV Subyek 2 DN Subyek 3 BT Subyek 4 FA

Suasana Jogja lebih baik di Jogja lebih bagus dari

(58)

yang dikenal sebagai kota pelajar di Indonesia memunculkan keinginannya untuk melanjutkan studi di Yogyakarta.

“Ya awalnya dari SMA dulu,cita-citanya ya harus kuliah di Jogja. Jadi, setahu saya, teman-teman semua, banyak bilang kalau Jogja kota pelajar,bagus. Trus, biaya hidupnya murah. Jadi kita pilih di Jogja.” (DV)

Sebelum sampai di Yogyakarta, secara umum subyek tidak mengetahui atau hanya sedikit mengetahui tentang Yogyakarta. Informasi tentang Yogyakarta diperoleh dari significant other yang pernah menikmati pendidikan di Yogyakarta atau yang lebih mengetahui tentang Yogyakarta. FA mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlalu tahu mengenai Yogyakarta, ia hanya mengetahui Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar.

“Kebetulan punya kakak di sini yang kuliah juga. Dia menceritakan

tentang Jogja tapi untuk dalamnya belum paham betul…dengar dari cerita mereka kan Jogja itu kota pelajar begitu, sebatas-sebatas itu sih” (FA)

Tabel 4.

Pemahaman Awal Tentang Yogyakarta

Subyek DV Subyek DN Subyek BT Subyek FA Jogja itu aman, nyaman. Kalau tentang yang lain belum tahu. Setelah

(59)

sampai di Jogja baru tahu

 Orangnya halus, cepat tersinggung, berbicara dengan mereka harus hati-hati, kalau kasar mereka pasti menjauh

disini.

Dari sisi sosial dan agama berbeda dengan di daerah asal

Tidak mudah hidup di Jawa

walaupun belum tahu Jogja seperti apa

Sedikit informasi yang diperoleh tentang Yogyakarta malahan menjadi motivasi tersendiri untuk kuliah di Yogyakarta. Seluruh subyek pada akhirnya memutuskan untuk merantau dan melanjutkan pendidikan di Yogyakarta karena pengaruh asupan informasi yang di dapat dari orang-orang di sekitarnya. Subyek BT mengatakan bahwa keputusan memilih kuliah di Yogyakarta sangat dipengaruhi anjuran dari guru SMA-nya. Gurunya memberikan informasi tentang keunggulan Yogyakarta sebagai kota pelajar di bandingkan kota-kota lain di Indonesia sehingga ia sangat ingin untuk merasakan pendidikan di Yogyakarta.

“Saya tertarik ke Jogja itu sebenarnya bukan dorongan dari orang tua

atau teman-teman karena terpengaruh, ada guru sejarah saya tho, guru dekat dengan saya juga. Dia bilang, “BT kamu mau lanjut kuliah dimana

nanti?” “Waduh ga tau ni bu”. Trus ibunya bilang “Kamu kalo mau

kuliah mending di Jogja aja, Jogja tu nyaman, trus dia tu kota pendidikan,

kota budaya”. Akhirnya kan saya mulai terhipnotis dengan dia punya…mulai tertarik kan…keinginan saya harus di Jogja” (BT)

(60)

berharap untuk mengembangkan wawasan seluas-luasnya dan memperoleh pengalaman yang kelak itu semua dapat berguna ketika kembali ke daerah asal. Tabel berikut menggambarkan harapan-harapan subyek.

Tabel 5.

Harapan Kuliah di Yogyakarta

(61)

“Saya selesaikan sekolah di Jogja. Setelah itu mungkin langsung cari kerja di sini. Pengennya, mungkin pengennya bisa jadi orang yang berhasil di sini dulu. Sebelum kembali ke daerah sendiri...karena saya pikir kalau terus cepat-cepat pulang juga e tidak ada hal yang kita dapat to misalnya kita hanya sekolah lalu pulang pengalamannya hanya situasi sekolah

tanpa ada pengalaman kerja menurut saya itu masih ada yang minuslah.” (DN)

b. Interaksi

Interaksi atau perjumpaan subyek dengan individu ataupun kelompok dalam budaya yang baru di Yogyakarta merupakan bagian penting dari proses akulturasi yang dialami subyek. Sebagai mahasiswa, lingkup interaksi subyek dengan etnis lain lebih banyak terjadi di tempat kuliah dan tempat tinggal. Tabel berikut menggambarkan interaksi subyek.

Tabel 6.

Interaksi dengan Masyarakat Yogyakarta

(62)

sendiri

Interaksi di tempat kuliah tentunya didominasi oleh kepentingan akademik seperti interaksi di kelas ataupun dalam mengerjakan tugas. Selain itu, interaksi juga terjadi dalam aktifitas non akademik seperti kegiatan organisasi (BEM, Himpunan), kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) maupun waktu senggang sebelum maupun setelah kuliah.

(63)

saja. Subyek DV mengungkapkan bahwa teman kampus sudah seperti saudara sendiri.

“Sudah anggap saudara. Jadi mau dari Jawa, Kalimantan, itu kita sama…

kayak sudah (satu keluarga), kalau dari Jawa, ei, kalau saya nyindir atau

malu, sudah tidak lagi, kalau dari Kalimantan itu, sama saja…” (DV)

Sama dengan subyek DV dan FA, subyek DN dan BT mengakui berinteraksi dengan berbagai etnis yang ada di tempat kuliah. Subyek BT mengaku tidak pilih-pilih dalam berteman, ia bersikap terbuka terhadap teman-teman dari etnis lain.

“Kalau di kampus itu saya berinteraksi dengan banyak teman tho sehingga akrab, dekat… sering ikut kegiatan organisasi kan, teman-teman biasa maen ke kos, kadang-kadang ngobrol, diksusi sampe larut. Kadang-kadang

mereka juga curhat masalah pribadi mereka.” (BT)

Sikap terbuka subyek di kampus lebih cenderung terbatas pada interaksi pertemanan di kampus. Artinya, selepas dari kampus hubungan pertemanan di kampus tidak diteruskan dalam pertemanan yang akrab di luar kampus. Interaksi di kampus tidak kemudian menjadi interaksi yang lebih intim di luar kampus.

(64)

Tabel 7.

Interaksi dengan Teman Satu Daerah

Subyek DV Subyek DN Subyek BT Subyek FA apa saja pasti

sering cerita.” juga pada saat ada

(65)

berinteraksi dengan teman Ngada perasaan nyaman lebih terasa, ia bisa bercanda sesuka hati dengan teman Ngada.

“Ada perbedaan, kalau misalnya dengan etnis lain, kalau misalnya apa..,

pergaulannya itu tertawa-tertawa tapi…, apa ya, tidak bikin perut sampai sakit. Kalau bergaul dengan anak Ngada pasti tertawanya sampai buat perut sakit.” (BT)

Kuantitas interaksi yang lebih banyak dengan orang dari etnis sendiri didukung juga karena pemilihan tempat tinggal. Pada awalnya, keseluruhan subyek tinggal indekos dengan penghuni yang heterogen. Setelah berpindah-pindah kos, keseluruhan subyek kemudian bertempat tinggal (baik kos maupun rumah kontrakan) dengan penghuni yang didominasi orang dari satu daerah atau satu kawasan daerah. Subyek DV mengungkapkan dirinya tinggal di kos yang 75% penghuninya adalah orang NTT. Sementara itu subyek FA mengontrak rumah bersama temannya asal Flores.

(66)

khusus turnamen sepakbola juga menjadi ajang untuk berinteraksi dan berkenalan dengan etnis lain dikarenakan turnamen sepakbola diadakan dengan mengundang tim sepakbola etnis lain untuk terlibat.

Bagi subyek terutama saat mereka baru datang, keberadaan perkumpulan KBNY dengan peran para senior menjadi masa orientasi yang memudahkan mereka untuk lebih mengenal kondisi Yogyakarta dan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Perkumpulan juga menjadi ajang untuk lebih mengenal teman satu daerahnya terutama ketika mempersiapkan acara rutin perkumpulan dalam kepanitian yang dibentuk.

c. Kendala Interaksi

Dalam berinteraksi muncul beberapa kendala yang dihadapi subyek. Kendala yang dialami subyek didominasi oleh kendala akibat perbedaan-perbedaan subyek dengan orang yang dijumpainya. Kendala-kendala yang dihadapi subyek antara lain Kendala-kendala bahasa, Kendala-kendala terkait perbedaan sifat dan kebiasaan serta stereotip terhadap subyek sebagai mahasiswa Indonesia Timur (MIT).

(67)

komunikasi di tempat kerja sering menggunakan bahasa Jawa, FA mengalami kebingungan ketika ingin menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. Ia juga merasa tidak paham dengan apa yang disampaikan rekan kerjanya saat mereka berkomunikasi. Akhirnya ia pun berinisiatif untuk bertanya ketika tidak mengerti apa yang dikomunikasikan rekan kerjanya.

Soalnya kalau orang Jawa kan sesama Jawa kan mereka sering kalau

ngomongnya pasti..pake, ada Jawanya kan… kalau bicara sama mereka

mikir lagi mau bicara banyak sama mereka kan masih bingung-bingung

gitu…Biasanya saya langsung tanya ke mereka atau bilang aja bilang kurang paham bahasa Jawanya. Jadi biasanya mereka langsung bicaranya

langsung pakai bahasa Indonesia.” (FA)

Kendala ini diikuti oleh kritikan atas cara bicara atau dialek yang khas dari subyek. Perbedaan cara bicara membuat pemaknaan orang lain berbeda dengan maksud isi pembicaraan. Hal ini dialami subyek DN. Cara bicara dengan suara yang keras dianggap sebagai ekspresi marah. Saat berargumen dalam diskusi, ia berargumen dengan suara yang keras dengan maksud mendapatkan atensi akan pikirannya namun hal itu dianggap kasar. Pemasalahan yang sama dialami subyek BT. Cara bicaranya yang cepat dikritik oleh teman kampusnya. Bahkan dialek subyek dianggap ganjil, sampai ditertawakan.

“...ketika misalnya saya berbicara dengan orang Jawa suara saya besar,

suara besar gitu maksudnya sebetulnya saya tidak marah… Saya melihat mereka penilain bahwa Dn ini marah. Padahal sebenarnya tidak…Di

kampus ketika ada berdiskusi gitu kan banyak teman dari etnis-etnis yang lain, jadi saat berargumen itu kan karena kita bersuara keras. Untuk meyakinkan kita punya pikiran ini kita punya pendapat itu kan dengan

(68)

“Di kampus itu teman saya bilang „Ber, kamu itu ngomongnya cepat

banget‟ Kalau dalam bahasa itu kan dia bilang ‟Ber, kalau ngomong pelan

dikit, cepat sekali‟ Saya bilang „Ini saya punya ngomong sudah pelan ini‟

Kalau soal pemahaman saya rasa mereka bisa memahami apa yang kita bicarakan. Cuman kan ada sedikit perbedaan dialek yang mereka rasa ganjil, kadang-kadang tertawa kan kalau kita omong.” (BT)

Subyek juga berusaha untuk menyesuaikan diri menghadapi perbedaan yang mereka temui. Dalam menyesuaikan diri terkait perbedaan bahasa misalnya mereka belajar kosakata bahasa Jawa dan terkadang mencoba menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan terutama dengan orang Jawa yang sering mereka jumpai seperti pemilik warung makan langganan mereka atau pemilik kos/kontrakan. Subyek juga berusaha bersikap halus (lemah lembut) ketika berhadapan dengan orang Jawa.

Menghadapi kendala tersebut, subyek pun berusaha untuk menyesuaikan cara bicaranya ketika berkomunikasi. Walaupun merasa sulit, subyek DN bahkan mencoba menggunakan dialek Jawa saat berkomunikasi dengan orang Jawa.

“Berinteraksi dengan orang Jawa khususnya itu paling tidak saya

sesuaikan dialeg saya dengan dialeg sini kan, misalnya dengan bilang e enggak atau pokoknya ada dialeg-dialeg Jawa lah mungkin menurut saya

agak susah” (DN)

(69)

Jawa itu tidak suka dengan kebiasaan subyek dan teman-temannya yang ribut, mengobrol sampai larut malam. Rasa tidak suka itu tidak diungkapkan secara langsung kepada mereka tapi disampaikan melalui penjaga kos, hal itulah yang tidak disukai subyek.

“Cuma pergaulan anak-anak di kost pertama kemarin sama yang di bawah memang minim ya. Mereka dengan kebiasannya sendiri terus kita kadang kala ada gesekan sih. Banyakkan kalau kita di atas kan orang Timur aja kan ribut sampai tengah malam. Terus mereka itu lapornya itu ke penjaga kost. Kaminya terus dimarah-marahi penjaga kost sering terjadi

gesekan-gesekan seperti itu… palingan kalau kami ya tinggal memakluminya saja kan. Tapi kayak yang nggak enaknya kan mereka nggak langsung beri

tau… Harus lewat penjaga kost.” (FA)

Kendala ini juga dirasakan oleh subyek DN. Ia sulit memahami sifat orang Jawa yang dianggapnya tertutup. Ia mencoba membandingkan sifat orang Ngada yang cenderung terbuka dengan sifat tertutup orang Jawa yang dianggapnya sebagai sikap yang sedikit munafik. Sebagai orang Ngada ia mengidentifikasi diri memiliki sifat yang terbuka, jika tidak suka dengan seseorang akan mengatakan tidak suka demikian pula sebaliknya. Sedangkan orang Jawa dianggap tidak terbuka dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya.

“Pandangan saya orang Jawa itu mungkin artinya ada sedikit sedikit apa munafik…munafik dalam arti tidak dalam arti yang ekstrim, artinya mereka mungkin karena lebih penilaian saya itu lebih karena sifat

tertutupnya… saya kurang bisa mengerti memahami mereka karena sifat tertutupnya… beda dengan orang kita kan terbuka. Blak-blakan, saya tidak suka kau, saya tidak suka kau, saya ngomong wait sorry teman saya tidak suka kau, itu orang kita. Sementara kalau orang Jawa kita tidak pernah tau apa yang apa yang dia rasakan tentang saya, itu yang menurut saya yang kesulitan juga.”(DN)

(70)

“Tapi kalau saya tidak ada rasa nyambung, artinya tidak ada

ketersambungan misalnya dia itu terlalu santun, terlalu pendiam saya kan kalau dengan orang yang terlalu santun kan kadang-kadang saya kaku

sendiri… yang penting intinya saya merasa interaksi dengan dia itu

nyaman, nyambung. Kalau dia nyambung artinya sesuai.” (BT)

Penilaian bahwa orang Jawa tertutup berdampak pada keenganan berinteraksi lebih dekat dengan orang Jawa. Subyek DV menduga sifat tertutup orang Jawa sebagai sikap menghindar orang Jawa terhadap dirinya. Oleh karena itu, subyek menjadi sungkan untuk berkenalan lebih dekat dengan orang Jawa. Perasaan dihindari membuat subyek membatasi diri untuk berinteraksi dengan etnis lain terutama dengan etnis Jawa. Subyek DN pun merasa tidak mudah bergaul dekat dengan orang Jawa.

“Merasa sekali (dihindari orang Jawa). Orang Jawa, ada beberapa yang minder, bukan dia yang minder, tapi kita yang minder, terlalu diam atau apa jadi orangnya agak tertutup, jadi kita mau dekat juga, tidak ada

berani, itu kita rasa sekali.” (DV)

“Secara pribadi ya itu itu alasan saya karena saya tidak bisa (bergaul dengan orang Jawa), jujur karena mungkin secara pribadi saya kan orangnya terbuka. Jadi jelas saya tidak rasa nyaman ketika saya

berhadapan dengan orang yang tertutup dengan saya.” (DN)

(71)

Beberapa kasus perkelahian yang melibatkan mahasiswa Ngada seperti juga MIT lebih sering muncul saat pertandingan sepakbola dan acara pesta. Walaupun tidak terlibat secara langsung, diakui subyek permasalahan perkelahian yang melibatkan teman Ngada yang lain juga menjadi masalah mereka. Menurut subyek BT, rasa persaudaraan yang tinggilah yang membuat mahasiswa Ngada ikut melibatkan diri membela teman yang terlibat masalah. Ada rasa tidak terima jika teman dipukul atau dihina oleh orang lain. Subyek DN pun mengamini hal tersebut. Menurutnya, keterlibatan teman lain dalam kasus kekerasan dikarenakan adanya rasa solidaritas yang tinggi dari teman yang lain.

“Sebenarnya kan karakter, orang NTT kan pada umumnya kan apa ya,

jiwa sosialnya tinggi, jiwa sosialnya tinggi, persaudaraannya

tinggi…Termasuk Ngada…kenapa tadi teman-teman dari masalah bola, masalah individu ni ya dari orang perorangan meluas jadi masalah etnis. Itu karena istilahnya ada rasa empati dari teman-temannya, masak teman

saya dipukul, masak teman saya dihina…” (BT)

“Buat kita ada teman kita yang disakiti itu kau menyakiti semua kami. Tidak peduli siapa yang salah dan siapa yang benar. Kalau kau sampai menyakiti, kalau kau sampai pukul dia, dia sampai sengsara berarti kau juga harus sengsara. Artinya kalau kau menyakiti dia kau menyakiti kami

semua” (DN)

(72)

“Kalau menurut saya senior itu buat kita orang timur itu penting sekali.

Artinya yang bisa kendalikan adik-adiknya itu hanya seniornya . E di Jawa sini saya alami bahwa bahkan mungkin aparat keamanan juga susah buat kendalikan anak-anak itu. Susah, susah sekali tapi kalau senior yang datang anak-anak dengar. Makanya mungkin itu juga yang dipegang oleh aparat di sini khususnya kepolisian mungkin karena ketika sudah ada beberapa kali ada konflik itu yang selalu yang menyelesaikan itu

sesepuhnya diundang…Polisinya ya yang mediasi.”(DN)

Kasus kekerasan yang terjadi antara MIT turut memberi dampak bagi mahasiswa Ngada. Selama hidup di Yogyakarta subyek merasa muncul stereotip terhadap mereka sebagai bagian dari orang Indonesia Timur. Diakui subyek, walaupun kasus kekerasan yang terjadi antara MIT jarang melibatkan mahasiswa Ngada, stereotip yang muncul terkait adanya kasus kekerasan juga dirasakan oleh mereka. Stereotip yang muncul yaitu orang Timur dianggap keras, sering membuat kekacauan (perkelahian), sering mabuk, punya sifat yang kasar dan keras kepala.

Subyek merasa adanya stereotip ini mengarah pada sikap prasangka dan perilaku diskriminasi terhadap mereka. Subyek BT menggambarkan bentuk diskriminasi dengan adanya ungkapan “wong

ireng”.

Etnis mulai dari Ambon, Flores, Maluku, Papua, itu kan kadang-kadang, yang udah mirip-mirip warna kulit, rambutnya, bentuk rahangnya, kadang-kadang kan sama. Ha, sebenarnya yang membikin suatu permasalahan itu kan mungkin etnis yang lain. Kadang-kadang walaupun anak Ngada sebenarnya tenang, pandangannya kan jatuh ke anak-anak Ngada yang ada disekitar orang-orang Jawa itu, orang Jawa kan

Gambar

Tabel 1. Pedoman Wawancara ......................................................................
Tabel 1. Pedoman Wawancara
Tabel 2. Data Demografi Subyek
Tabel diatas memperlihatkan bahwa pendidikan menjadi tujuan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Diskusi sangat penting bagi saya ketika sedang ada konflik dengan pasangan, untuk mengamati perbedaan- perbedaan keinginan, pendapat, serta tujuan untuk dapat mencari

YOGYAKARTA 2008.. Kecemasan terhadap Penyelesaian Masalah Skripsi dan Prokrastinasi Akademik. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi

22 Dalam keadaan mendesak tanpa menunggu petunjuk atau perintah dari atasan mengambil keputusan atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya, tetapi

Konsep diri merupakan evaluasi diri dalam bidang spesifik dari diri sendiri (Santrock, 1998). Konsep diri meliputi gagasan tentang dirinya sendiri yang berisikan bagaimana

Jadi itu mungkin titik balik, tapi buka titik balik..ee..sebuah kaca atau gambaran sehingga saya bisa melakukan hal untuk lebih baik nggak..tapi..ee..walaupun selama ini

Hal ini dapat diberi pengertian bahwa karyawan yang melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan organisasi atau tidak menyesaikan tugas dan tanggung jawab yang diembannya

Saya tidak merasa cemas atau khawatir meski ada beberapa soal yang belum terjawab dan waktu ujian hampir

Kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang pemusik tradisional dalam mengenali dan mengelola perasaan diri sendiri atau orang lain, menerapkan dengan