• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROGRAM REVITALISASI PASAR TRADISIONAL DI KOTA SURAKARTA. Studi Kasus Pasar Gading Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI PROGRAM REVITALISASI PASAR TRADISIONAL DI KOTA SURAKARTA. Studi Kasus Pasar Gading Surakarta"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

IMPLEMENTASI PROGRAM REVITALISASI PASAR TRADISIONAL DI KOTA SURAKARTA

Studi Kasus Pasar Gading Surakarta

Disusun Oleh :

CAROLINA DUTA OMEGA D0108049

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Administrasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2012

(2)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semakin meningkatnya dinamika kehidupan masyarakat di Kota Surakarta telah menimbulkan berbagai alternatif kegiatan ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya daya beli masyarakat, berkembangnya kemampuan produksi barang dan jasa, baik dari segi kuantitas, kualitas, waktu pelayanan yang sesingkat mungkin, serta tuntutan masyarakat konsumen atas preferensi lainnya. Sehingga dalam menghadapi tuntutan masyarakat Kota Surakarta tersebut, timbul fenomena baru dengan munculnya di sektor perekonomian berupa pasar swasta atau modern seperti mall, supermarket, department store, shopping center dan pasar swasta lainnya yang dalam perkembangannya kurang mendukung dan terencana utamanya dalam pengaturan terhadap pengelolaan, lokasi dan membentukan sinergi dengan pedagang kecil dan menengah, koperasi serta pasar pemerintah (tradisional) dan atau pasar yang didalamnya terdapat pertokoan yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil dan menengah. Fenomena pasar modern dan pasar swasta seperti mall, supermarket, departement store, pusat grosir, waralaba dan

shopping center berkembang begitu pesat ke Kota Surakarta dan tumbuhnya kurang terkoordinasi sehingga apabila tidak diarahkan secara dini akan dapat mengakibatkan tergusurnya pedagang kecil dan menengah, koperasi dan pasar tradisional.

(3)

Untuk menghindari dampak kehadiran pasar swasta atau modern, serta guna memberikan perlindungan bagi pedagang kecil dan menengah serta pasar pemerintah atau tradisional maka pertumbuhan dan perkembangan pasar tradisional perlu ditata agar para pedagangnya dapat tumbuh dan berkembang dalam mengisi peluang usaha yang terbuka di Kota Surakarta.

Hingga saat ini jumlah pasar tradisional yang ada di Surakarta terdapat 43 pasar. Yang masing-masing pasar tersebut tersebar hampir di seluruh Kelurahan yang ada di Kota Surakarta. Sehingga diharapkan dengan adanya pasar tradisional di setiap Kelurahan membuat warga dapat menjangkau lokasi pasar dengan mudah. Sehingga eksistensi pasar tradisional tetap terjaga di tengah persaingan dengan pasar modern yang terus berkembang. Semua pasar tersebut masih dapat dilihat eksistensinya hingga saat ini, walaupun terdapat pasar yang mengalami penurunan kuantitas pembeli. Berikut adalah nama-nama pasar yang ada di Kota Surakarta beserta tingkatan klas dari masing-masing pasar.

Tabel I.1

Nama dan Klas Pasar di Kota Surakarta

NO NAMA PASAR KLAS

LUAS

(m2) ALAMAT

1. Pasar Legi 1A 16.640 Jl. Jend. S. Parman No. 30 Kel. Setabelan Kec. Banjarsari

2. Pasar Klewer IA 13.461,68 Jl. Dr. Radjiman No. 5 Kel. Gajahan Kec. Pasar Kliwon 3. Pasar Singosaren IA 4.900 Jl. Gatot Subroto No. 128 Kel.

Kemlayan Kec. Laweyan

(4)

5. Pasar Notoharjo IB 10.800 Jl. Serang No. 8 Kel. Semanggi Kec. Pasar Kliwon

6. Pasar Jongke IB 12.250 Kampung Jongke, Kel. Sondakan, Kec. Laweyan

7. Pasar Gede IB 5.820,5 Jl. Urip Sumoharjo No. 1 Kel. Sudiroprajan Kec.Pasar Kliwon 8. Pasar Nusukan IB 6.531 Jl. Piere Tendean No. 95 Kel.

Nusukan Kec. Banjarsari

9. Pasar Harjodaksino IB 8.997 Jl. Yos Sudarso No. 318 Kel.

Danukusuman Kec. Serengan 10. Pasar Ngarsopuro IB 2.825 Jl. Ronggowarsito No. 130 Kel.

Timuran Kec. Banjarsari

11. Pasar Rejosari II A 247,7 Jl. Sindutan No. 10 Kel. Purwodiningratan Kec. Jebres 12. Pasar Turisari II A 2.750 Jl. RM. Said No. 186 Kel.

Mangkubumen Kec. Banjarsari 13. Pasar Purwosari II A 1.272 Jl. Slamet Riyadi No. 405 Kel.

Sondakan Kec. Laweyan

14 Pasar Sidodadi II A 1.640 Jl. Slamet Riyadi No. 657 Kel. Karangasem Kec.Laweyan 15. Pasar Ledoksari II A 494 Jl. Urip Sumohardjo No. 136 Kel.

Purwodiningratan Kec. Jebres 16. Pasar Panggung

Rejo II A 1.600

Jl. Panggung Rejo Kec. Jebres 17. Pasar Pucang

Sawit II A 2.755

Jl. Ir. Juanda Kel. Pucang Sawit Kec Jebres

18. Pasar Kadipolo II B 149,6 Jl. Dr. Radjiman No. 250 Kel. Panularan Kec. Laweyan

19. Pasar Tanggul II B 2.400 Jl. RE. Martadinata No. 20 Kel. Sewu Kec. Jebres

20. Pasar Depok II B 4.480 Jl. Depok No. 10 Kel. Manahan Kec. Banjarsari

21. Pasar Kabangan II B 1.833 Jl. Dr. Radjiman No. 522 Kel. Sondakan Kec. Laweyan

22. Pasar Penumping II B 1.200 Jl. Sutawijoyo No. 20 Kel. Penumping Kec. Laweyan 23. Pasar Ayam II B 11.200 Jl. Serang No. 10 Kel. Semanggi

Kec. Pasar Kliwon

24. Pasar Kliwon II B 2.301 Jl. Kapt. Mulyadi No. 98 Kel. Kedunglumbu Kec. Jebres

25. Pasar Jebres II B 2.684 Jl. Prof. W.Z. Yohanes Kel. Purwodiningratan Jebres

26. Pasar Kembang II B 1.409 Jl. Dr. Radjiman 245. Kel. Sriwedari Kec. Laweyan

(5)

27. Pasar Mebel II B 6.820 Jl. A. Yani Kel. Gilingan Kec. Banjarsari

28. Pasar Ayu

Balapan II B 1.375

Jl. Monginsidi No. 24 Kel. Kestalan Kec. Banjarsari

29. Pasar Elpabes II B 1.704 Jl. R. Saleh Kec. Banjarsari 30.

Pasar Triwindu II B 1.530,5 Jl. Diponegoro No. 49 Kel. Keprabon Kec. Banjarsari 31. Pasar Ngemplak III A 947 Jl. Ahmad Yani No. 79 Kel.

Gilingan Kec. Banjarsari

32. Pasar Mojosongo III A 1088 Jl. Brigjend. Katamso No. 68 Kel. Mojosongo Jebres

33. Pasar

Bangunharjo

III A

1.116 Jl. KS. Tubun No. 1 Kel. Manahan Kec. Banjarsari

34. Pasar Sidomulyo III A 840 Jl. S. Parman No. 169 Kel. Gilingan Kec. Banjarsari

35. Pasar Gading III A 2.283 Jl. Veteran No. 40 Kel. Gajahan Kec. Pasar Kliwon

36. Pasar Sangkrah III A 1.122 Jl. Sungai Sambas No. 15 Kel. Sangkrah Kec. P.Kliwon

37. Pasar Tunggulsari

III A

740 Jl. Untung Suropati No. 1 Kel. Semanggi Kec. P. Kliwon

38. Pasar Buah Jurug III A 600 l. KH. Maskur No. 91 Kel. Gendingan Kec. Jebres

39. Pasar Mojosongo

Perum III B 1.458

Jl. Sibela Timur I No. 5 Kel. Mojosongo Kec. Jebres

40. Pasar Ngumbul III B 450 Jl. RM. Said No. 252 Kel. Manahan Kec. Banjarsari

41. Pasar Bambu III B 450 Jl. Nayu No. 1 Kel. Nusukan Kec. Banjarsari

42. Pasar Besi Tua III B 15.120 Jl. Serang No. 9 Kel. Semanggi Kec. Pasar Kliwon

43. Pasar Joglo III B 100,5 Jl. Kol Sugiono No. 1 Kel. Kadipiro Kec. Banjarsari

Sumber : Dinas Pengelolaan Pasar

Pembagian klas pasar didasarkan pada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 4 Tahun 2011. Pasar ditinjau dari klasifikasi dibedakan menjadi 3 (tiga) klas yaitu klas I, klas II dan klas III. Dalam menentukan klasifikasi harus memperhatikan letak strategis pasar, luasan lahan, kualitas bangunan, jumlah

(6)

pedagang, terkait dengan pendapatan pedagang, jumlah kios dan los, pedagang oprokan, waktu efektif, fasilitas yang ada di tiap-tiap pasar.

Walaupun Pemerintah Kota sudah membuat pasar tradisional hampir di setiap kelurahan, namun masih terdapat masalah yang muncul. Di era pasar modern saat ini semakin terjadi peningkatkan persaingan dagang antar pasar tradisional dan pasar modern. Perlahan-lahan masyarakat mulai meninggalkan pasar tradisional hal ini disebabkan sebagian dari pasar tradisional kumuh,

semrawut, becek, kotor dan minimnya fasilitas seperti terbatasnya tempat parkir, tempat sampah yang bau dan kotor, lorong yang sempit dan sebagainya. Kondisi ini yang seringkali menyebabkan masyarakat cenderung memilih berbelanja di pasar modern walaupun harga barang di pasar modern lebih mahal dibandingkan harga barang di pasar tradisional. Terlebih pasar modern memiliki tempat berbelanja yang lebih bersih dan praktis.

Pencitraan negatif pada pasar tradisional ini tidak terlepas dari lemahnya manajemen dari pasar tradisional itu sendiri, antara lain masih rendahnya kesadaran terhadap kedisiplinan pada aspek kebersihan dan ketertiban sehingga kurang memperhatikan pemeliharaan sarana fisik, adanya premanisme, tidak ada pengawasan terhadap barang yang dijual dan standarisasi ukuran dan timbangan, terbatasnya masalah fasilitas umum, pemahaman rendah terhadap perilaku konsumen, dan penataan los/kios/lapak yang tidak teratur. Manajemen pasar yang lemah ini disebabkan karena pengelola pasar belum berfungsi dan bertugas secara efektif dan belum didukung Standard Operation Procedure (SOP) yang jelas (Pekalongankab, Kamis, 14 Januari 2010).

Kondisi semacam ini menggambarkan bahwa pasar tradisional di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Di balik beberapa kelemahan, pasar tradisional menyimpan peran penting bagi masyarakat luas yang tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh pasar-pasar modern. Oleh Karena itu Pemerintah

(7)

mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Sebagai upaya untuk mengelola dan melindungi pasar tradisional dari tekanan pasar modern maka Pemerintah Kota Surakarta menetapkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional.

Pemeritah Kota Surakarta berupaya untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan dari masyarakat Surakarta melalui program peningkatan ekonomi kerakyatan, dengan adanya program tersebut melatarbelakangi Pemerintah Kota Surakarta untuk menetapkan program revitalisasi pasar tradisional.

Dalam atsmofir modernitas, tentunya kebijakan kota Solo yang menganut sistem ekonomi tradisional menjadi suatu kebijakan yang langka. Ditengah banyaknya kota besar berlomba menggusur pasar-pasar tradisional dan menjadikannya bangunan-bangunan modern demi kepentingan dan keuntungan kapitalis, maka sekali lagi dibawah kepemimpinan Jokowi, Solo mencoba menyelamatkan perekonomian tradisionalnya dengan melindungi dan menjaga pasar-pasar tradisional dari gempuran pasar-pasar modern, toko-toko retail yang saat ini sedang menjamur di kota-kota besar (bulletin penataan ruang, edisi 3b, hal 4). Setelah adanya gagasan tersebut, Pemerintah mulai membuat kebijakan untuk mengatur pengelolaan pasar tradisional. Sehingga dibentuklah program revitalisasi pasar tradisional. Revitalisasi pasar tradisional merupakan upaya untuk memvitalkan kembali pasar tradisional yang dahulunya vital atau hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran atau degradasi. Tujuan dari revitalisasi pasar tradisional adalah sebagai upaya pelestarian pasar tradisional agar tetap pada kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan.

(8)

commit to user

Program revitalisasi pasar diadakan karena kondisi bangunan yang sudah tidak layak dari beberapa pasar tradisional, selain itu revitalisasi pasar juga mempunyai tujuan untuk meningkatkan potensi dari pasar tradisional. Karena banyak pasar di wilayah Surakarta yang kondisinya kumuh, sarana prasarananya yang belum tertata, fasilitas yang belum memadai, khususnya pada bagian kamar mandi dan saluran pembuangannya, maka diadakan program revitalisasi pasar. Dari ke-43 pasar tersebut belum semuanya direvitalisasi, dari semuanya baru terdapat 7 pasar yang telah selesai di revitalisasi dan 1 pasar yang sedang dalam proses penyelesaian. Pasar-pasar tersebut diantaranya adalah Pasar Mojosongo, Pasar Kembang, Pasar Nusukan, Pasar Sidodadi, Pasar Triwindu, Pasar Gading, Pasar Legi.

Pemerintah kota tidak membenturkan antara pasar tradisional dengan pasar modern yang sedang menjamur. Menurut Kepala Bapeda Kota Surakarta, kebijakan walikota saat ini mencoba mengawinkan antara pasar modern dengan pasar tradisional, seperti mengadopsi pasar modern kedalam pasar tradisional. Seperti Pasar Gading, yang berbentuk pasar tradisional, tetapi dalam pasar tersebut mengadopsi pasar modern, dengan penataan dagangannya, layanannya, kebersihan tata letak. Tak hanya itu, Anung pun berpendapat kalau pasar modern juga banyak mengambil prinsip dasar pasar tradisional, tetapi yang membedakannya kondisi pasar, seperti ruangan ber-AC, tempatnya bersih. Sementara untuk Pasar Gading saat ini walaupun tidak berpendingin ruangan tetapi sirkulasi udara ruangannya telah baik, sehingga masyarakat yang berinteraksi dipasar tersebut menjadi lebih nyaman (bulletin penataan ruang, edisi 3b, 5).

Pasar Gading mulai direvitalisasi pada tahun 2008 dengan dana APBN sebesar 6,5 Milyar dan selesai pada bulan Februari 2009. Pasar Gading yang pembangunannya sudah selesai sekarang lebih tampak higinies. Pasar ini sekarang bagian depannya terdiri atas kios-kios permanen dan tertutup pintu

(9)

commit to user

baja anti karat. Dibandingkan dengan sebelumnya, pasar tradisional ini jauh lebih indah. Selain itu jumlah kiosnyapun bertambah, yang sebelumnya berjumlah 33 kios saat ini setelah revitalisasi bertambah menjadi 72 kios, yang masing-masing kios diisi 1-3 orang pedagang. Sedangkan Los yang dahulunya berjumlah 24 saat ini menjadi 192 dan pedagang oprokan berjumlah 198 orang. Dulu, pasar ini kumuh, tak beraturan. Pemandangan depan pasar, tertutup puluhan mobil carteran yang setiap saat ngetem di sana. Pemilik kios juga tak leluasa menggelar dagangannya karena banyak terhalang dengan penjual makanan yang malang melintang di lorong-lorong pasar. Sehingga kondisi pasar yang dahulunya semrawut menjadi lebih tertata (Suara Merdeka, 28 januari 2008).

Pasar Gading telah ditetapkan menjadi pilot project pasar tradisional secara nasional karena kondisi Pasar Gading yang lebih baik setelah selesai direvitalisasi dan juga fasilitasnya yang sudah cukup baik, sehingga diharapkan Pasar Gading dapat mendukung kepariwisataan dari kota Surakarta. Karena itulah Pasar Gading menjadi salah satu tolok ukur untuk menentukan kegagalan dan keberhasilan bagi revitalisasi pasar khususnya di wilayah Surakarta. Selain itu Pasar Gading sebagai pasar tradisional mempunyai dua sisi tidak hanya menjajakan kebutuhan dapur seperti sayur-sayuran, buah, bumbu dapur, bahan makanan, tetapi juga digunakan sebagai pasar untuk menjual barang-barang bekas yang masih layak untuk dipakai atau orang juga biasa menyebut pasar seperti ini sebagai pasar loak/pasar oprokan.

Kebijakan-kebijakan telah diupayakan oleh Pemerintah Daerah sebagai upaya untuk membendung meledaknya pasar modern di tengah-tengah pasar tradisional. Program-program yang telah dibuat tersebut diharapkan mampu

(10)

menjaga eksistensi pasar tradisional dari gempuran pasar modern. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk dapat mengetahui fakta-fakta terkait program revitalisasi pasar tradisional di Kota Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang tersebut diatas maka sebagai rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan program revitalisasi pasar tradisional di Pasar Gading Surakarta?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan program revitalisasi pasar tradisional di Pasar Gading Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan agar penelitian tersebut dapat memberikan manfaat sesuai yang dikehendaki. Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Tujuan Operasional

a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program revitalisasi pasar tradisional yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta.

b. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program revitalisasi Pasar Gading Surakarta.

(11)

2. Tujuan Fungsional

Dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah Kota Surakarta khususnya bagi Dinas Pengelolaan Pasar sebagai acuan untuk melaksanakan program revitalisasi pasar tradisional selanjutnya.

3. Tujuan Individual

Penelitian ini disusun dalam memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan Jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang diantaranya adalah: 1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memperluas ilmu pengetahuan tentang implementasi program Pemerintah Kota Surakarta terutama dalam Revitalisasi Pasar Tradisional.

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Dinas Pengelolaan Pasar dalam pelaksanaan program revitalisasi pasar tradisional berikutnya agar dapat lebih optimal.

3. Secara Individual

Menjadi bagian dari proses pembelajaran dan menambah wawasan keilmuan serta menambah pengetahuan bagi penulis dalam memahami usaha yang

(12)

dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dalam Program Revitalisasi Pasar Tradisional.

(13)

commit to user

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome) (Budi Winarno, 2007:144).

Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, Udoji dengan tegas mengatakan bahwa “the execution of policies is an important if

not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan) (Solichin Abdul Wahab, 2010 : 59).

(14)

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai

peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain (Riant Nugroho, 2009: 494-495).

Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tidakan-tindakan) oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan, implementasi mencakup banyak macam kegiatan: 1. Badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan

tanggungjawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar.

2. Badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta rencana-rencana dan desain program.

(15)

commit to user

3. Badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja (Budi Winarno, 2007:145)

Peter J. May and Soren C. Winter dalam International Journal of Public Administration Research and Theory 2009 Copyright “Politicians, managers, and street-level bureaucrats: influences on policy implementation”

mengemukakan:

One important aspect of this for street-level bureaucracy is the extent to which organizations delegate authority to make decisions to the frontlines or limit that discretion. A third set of considerations is the knowledge and attitudes of the street-level bureaucrats concerning relevant tasks, their work situation, and clients. A fourth set is the contextual factors concerning workloads, client mix, and other external pressures”. (Salah satu aspek penting dari ini untuk tingkat birokrasi

jalanan adalah sejauh mana organisasi mendelegasikan wewenang untuk membuat keputusan ke garis depan atau membatasi kebijaksanaan tersebut. Satu set ketiga pertimbangan adalah pengetahuan dan sikap birokrat tingkat jalanan tentang tugas-tugas yang relevan, situasi pekerjaan mereka, dan klien. Satu set keempat adalah faktor-faktor kontekstual tentang beban kerja, campuran klien, dan tekanan-tekanan eksternal lainnya).

Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers

untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran (AG. Subarsono, 2009:87)

Sementara itu, Grindle juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kajian (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan

(16)

commit to user

kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah UU ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut (Budi Winarno, 2007:146-147).

Rencana adalah 20 % keberhasilan, implementasi adalah 60 % sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi (Riant Nugroho, 2009: 501-502).

Dalam Int. J. Health Policy Initiative 2009 Copyright “Policy Implementation Barriers Analysis: Conceptual Framework and Pilot Test in Three Countries”, Kai Spratt mengemukakan:

“Finding a model for policy implementation does not mean that implementers then can employ a simple process, using quick fixes to create rapid change in an implementation network—long-term behavior change rarely happens that way. Instead, a simplified model provides a framework for systematically identifying and addressing factors that implementers have some chance of influencing.” (Menemukan model untuk implementasi kebijakan tidak berarti bahwa pelaksana kemudian dapat menggunakan proses yang sederhana, menggunakan perbaikan

yang cepat untuk membuat

perubahan yang cepat mengubah sebuah jaringan pelaksanaan-jangka panjang perilaku jarang terjadi seperti itu. Sebaliknya, model yang

(17)

mengatasi faktor-faktor secara sistematis dimana pelaksana mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi).

Dalam pelaksanaannya implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh model-model implementasi kebijakan. Model implementasi kebijakan sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan. Model-model kebijakan tersebut yaitu Model top down merupakan pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Efektif untuk kebijakan yang strategis dan berhubungan dengan keselamatan hidup dan keamanan negara. Model bottom up merupakan model implementasi kebijakan dimana kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya dilakukan oleh rakyat.

Pamela A. Mischen and Thomas A.P. Sinclair dalam Journal of Public Administration Research and Theory 19.1 (2009) Copyright "Making implementation more democratic through action implementation research"

menyebutkan :

“….action science allows the implementation researcher to become an interventionist in an organization although it is attempting to implement a new policy or a policy change.”

“….In these types of cases, implementation is successful when intended results are achieve--a top-down notion of democratic implementation--through the involvement of many members of the implementing agency--a bottom-up approach to democratic implementation.” (Ilmu tindakan memungkinkan peneliti pelaksanaan menjadi penemu dalam suatu organisasi meskipun itu adalah usaha untuk melaksanakan sebuah kebijakan baru atau sebuah perubahan kebijakan. Dalam kasus-kasus semacam ini, pelaksanaan berhasil ketika mencapai hasil yang dimaksudkan - gagasan atas-bawah untuk pelaksanaan demokrasi - melalui keterlibatan banyak anggota badan pelaksana - pendekatan bawah-atas untuk pelaksanaan demokrasi).

(18)

Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin (1986) dalam AG. Subarsono (2009:89) menulis sebagai berikut:

“Implementation process involve many important actors holding diffuse and competing goals and expectations why work within a contexts of an increasingly large and complex mix of government programs that require participation from numerous layers and units of government and who are affected by powerful factors beyond their control.”

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variable pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Berikut beberapa teori kebijakan yang dapat dipergunakan untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat di dalam implementasi AG. Subarsono (2009:89-101)

1. Model George C. Edward III (1980)

Dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi

(19)

tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila jumlah tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

b. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tertapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

(20)

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

Gambar II.1

Model Implementasi KebijakanGeorge C. Edward III

2. Model Merilee S. Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan ini mencakup:

a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups

termuat dalam isi kebijakan. Komunikasi

Sumber daya

Implementasi Sikap

(21)

commit to user

b. Jenis manfaat yang diterima oleh target groups.

c. Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. d. Apakah letak sebuah program sudah tepat.

e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci.

f. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup:

a. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.

b. Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa. c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Gambar II.2

Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle

Tujuan yang dicapai

Tujuan Kebijakan

Program aksi dan proyek individu yang didesain

dan didanai

Implementasi Kebijakan Dipengaruhi oleh A. Isi Kebijakan

1. Kepentingan kepentingan sasaran 2. Tipe manfaat

3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksaan program

6. Sumberdaya yang dilibatkan B. Lingkungan Implementasi

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil Kebijakan a. Dampak pada masyarakat individu dan kelompok b. Perubahan dan penerimaan masyarakat Program yang dilaksanakan sesuai rencana Mengukur keberhasilan

(22)

3. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier ( 1983 )

Menurut Mazmanian dan Sabatier ( 1983 ), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : 1. Karakteristik dari masalah ( tractability of the problem ); 2. Karakteristik kebijakan / undang-undang ( ability fo statute of structure implementation ); 3. Variabel lingkungan ( nonstatutory variables effecting implementation ).

Karakteristik Masalah :

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Disatu pihak ada beberapa masalah sosial secara teknik mudah dipecahkan, seperti kekurangan persediaan air bagi penduduk atau harga beras yang tiba-tiba naik. Di pihak lain terdapat masalah-masalah sosial yang relatif sulit dipecahkan, seperti kemiskinan, pengangguran korupsi, dan sebagainya. Oleh karena itu, sifat masalah itu sendiri akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program diimplementasikan.

b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Ini berati bahwa suatu program akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya adalah homogen. Sebaliknya, apabila kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih sulit, karena tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran terhadap program relatif berbeda.

(23)

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan relatif sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi. Sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar.

d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat.

Karakteristik kebijakan:

a. Kejelasan isi kebijakan. Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan akan mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam implementasi kebijakan.

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoretis. Kebijakan yang memiliki dasar teoretis memiliki sifat lebih mantap karena sudah teruji, walaupun untuk beberapa lingkungan sosial tertentu perlu ada modifikasi.

c. Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut. Sumber daya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial. Setiap program juga memerlukan dukungan staff

(24)

untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program, yang semuanya itu perlu biaya.

d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana. Kegagalan program sering disebabkan kurangnya koordinasi vertikal dan horisontal antar instansi yang terlibat dalam implementasi program kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

e. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.

f. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. Suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk terlibat akan relatif mendapat dukungan daripada program yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat akan merasa terasing atau teralienasi apabila hanya menjadi penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.

Lingkungan kebijakan:

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah menerima program-program pembaruan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga, kemajuan teknologi akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi program, karena program-program tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan teknologi modern.

(25)

b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. Kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik. Sebaliknya kebijakan yang bersifat disinsentif kurang mendapat dukungan publik.

c. Sikap dari kelompok pemilih (costituency groups). Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara antara lain:

1) Kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah keputusan.

2) Kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang ditujukan kepada badan legislatif.

d. Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor. Pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki ketrampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.

(26)

Gambar II.3

Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

4. Model Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)

Menurut Meter dan Horn, ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni :

a. Standar dan sasaran kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar kebijakan kabur, maka akan terjadi

Mudah / tidaknya Masalah Dikendalikan 1. Kesulitan teknis

2. Keragaman perilaku kelompok sasaran

3. Prosentase kelompok sasaran dibanding jumlah populasi 4. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

Kemampuan Kebijaksanaan untuk Menstrukturkan Proses Implementasi 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan

2. Digunakannya teori kausal yang memadai 3. Ketepatan alokasi sumber daya

4. Keterpadan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana

5. Aturan – aturan keputusan dari badan pelaksana

6. Rekrutmen pejabat pelaksana 7. Akses formal pihak luar

Variabel diluar Kebijaksanaan yang Mempengaruhi Proses Implementasi 1. Kondisi sosio – ekonomi dan teknologi 2. Dukungan publik

3. Sikap dan sumber – sumber yang dimiliki kelompok pemilih

4. Dukungan dari pejabat atasan

5. Komitmen dan keterampilan kepemimpinan pejabat – pejabat pelaksana

Tahap – tahap Dalam Proses Implementasi ( Variabel Tergantung)

Keputusan Dampak output Perbaikan Output kebijakan kelompok sasaran Dampak nyata kebijakan mendasar Dari badan-badan terhadap output output sebagaimana dalam Pelaksana kebijakan kebijakan dipersepsi undang –

(27)

multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

b. Sumberdaya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia (non-human resources), dalam berbagai kasus program pemerintah.

c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

d. Karakteristik agen pelaksana

Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

e. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di

(28)

lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

f. Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup 3 hal yang penting, yakni : a) Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan

mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan. b) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan

c) Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Gambar II.4

Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

5. Model Smith

Dalam model implementasi Smith terdapat empat variabel dalam proses implementasi:

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan

Ukuran dan tujuan kebijakan Karakteristik badan pelaksana Disposisi pelaksana Kinerja Implementasi

Lingkungan ekonomi sosial dan politik Sumberdaya

(29)

a. Idealized policy

Merupakan pola interaksi yang diinginkan perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong target group untuk melaksanakan

b. Target group

Merupakan kelompok sasaran kebijakan yang diharapkan dapat mengadopsi pola interaksi yang diharapkan perumus kebijakan atau dapat menyesuaikan pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskan.

c. Implementing organization

Merupakan badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan

d. Environmental factors

Merupakan unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik)

Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri, tapi merupakan kesatuan atau suatu sistem yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik. Proses implementasi tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka peluang terjadinya transaksi melalui proses negosiasi atau bargaining untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan berdimensi

(30)

Dalam penelitian ini guna melihat proses Implementasi Program Revitalisasi Pasar Gading, peneliti menggunakan tahapan-tahapan pelaksanaan revitalisasi pasar yang telah ditetapkan oleh Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta. Sedangkan untuk dapat mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi penghambat atau pendorong keberhasilan implementasi program, peneliti menggunakan indikator sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan (Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn)

Standar dan sasaran kebijakan merupakan tolok ukur bagi keberhasilan Implementasi Program Revitalisasi Pasar Tradisional. Apabila standar dan sasaran kebijakannya kabur maka pelaksanaan revitalisasi Pasar Gading tidak akan dapat berjalan dengan baik. Standar kebijakan yang digunakan sebagai pedoman adalah SOP yang mengatur pengelolaan dan perlindungan pasar tradisional. Sedangkan sasaran dari program ini adalah tujuan dari revitalisasi pasar tradisional.

2. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran (Merilee S. Grindle)

Kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran terhadap program revitalisasi pasar akan sangat mempengaruhi pelaksanaan program revitalisasi pasar, tanpa adanya kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran maka program akan

(31)

mengalami banyak hambatan. Selain itu, tingkat kepatuhan kelompok sasaran terhadap aturan program juga sangat mempengaruhi implementasinya. Kelompok sasaran disini adalah pedagang dan PKL Pasar Gading.

3. Sumber Daya (Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn) Sumber-sumber daya layak mendapatakan perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup Sumber-sumber daya manusia (aparat pelaksana), dana, data dan fasilitas (instrumen). Meskipun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sebaliknya jika implementornya sudah memenuhi syarat tetapi sumber dana / fasilitasnya tidak memenuhi juga akan mengalami hambatan dalam implementasi.

4. Komunikasi Antar Organisasi dan Penguatan Aktivitas (Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn)

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam memperlancar pelaksanaan suatu kebijakan atau program karena komunikasi merupakan sarana koordinasi antara sesama aparat, maupun antara aparat pelaksana dengan kelompok sasaran, dan juga untuk menyamakan pemahaman dan persepsi antara aparat pelaksana dengan apa yang menjadi tujuan program. Dengan

(32)

komunikasi maka semua pelaksana dapat memahami apa yang diharapkan oleh kebijakan yang diimplementasikan.

Dalam penelitian ini, komunikasi terbagi menjadi dua yaitu komunikasi secara horizontal dan komunikasi secara vertikal. Komunikasi vertikal dilakukan oleh aparat pelaksana dengan aparat pelaksana, yaitu antara pegawai Dinas Pengelolaan Pasar dan Kepala Pasar Gading. Sedangkan komunikasi horisontal dilakukan antara pegawai Dinas Pengelolaan Pasar dengan pedagang melalui pengurus paguyuban.

5. Karakteristik Agen Pelaksana (Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn)

Karakteristik yang dimiliki agen pelaksana dapat mendukung pelaksanaan revitalisasi pasar, apabila pola-pola hubungan yang dibentuk oleh Dinas Pengelolaan Pasar dapat dibina dengan baik. Pola-pola hubungan ini tidak saja terjadi hanya diantara aparat pelaksana pada Dinas Pengelolaan Pasar saja tetapi juga terjadi antar SKPD terkait dan juga Kepala Pasar Gading.

6. Disposisi Implementor (Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn)

Disposisi implementor menjadi pendukung keberhasilan pelaksanaan program revitalisasi pasar tradisional, karena mencakup watak dan karakteristik yang dimiliki oleh setiap implementor. Apabila setiap aparat pelaksana memiliki komitmen

(33)

dalam melaksanakan tugas dan memegang teguh komitmen tersebut maka pelaksanaan program akan dapat berjalan dengan baik. Respon dan pemahaman aparat pelaksana terhadap tujuan dari program revitalisasi pasar akan menunjang keberhasilan program.

Alasan peneliti memilih keenam indikator tersebut sebagai indikator karena keenam indikator tersebut merupakan indikator-indikator yang paling cocok untuk membantu penulis mengetahui faktor yang mendorong dan mengahambat pelaksanaan program revitalisasi pasar sehingga dapat menjadi pedoman peneliti selama di lapangan.

B. Revitalisasi

Menurut Kamus Terbaru Bahasa Indonesia (Tim Reality, 2008:555) revitalisi adalah proses, cara. Sedangkan pengertian revitalisasi secara harviahnya adalah:

Menghidupkan kembali, maknanya bukan sekedar mengadakan atau mengaktifkan kembali apa yang sebelumnya pernah ada, tetapi menyempurnakan strukturnya, mekanisme kerjanya, dan menyesuaikan dengan kondisi baru, semangatnya dan komitmennya. (www.primatani.litbang.deptan.go.id).

Revitalisasi juga dapat diartikan sebagai upaya pelestarian lingkungan binaan agar tetap pada kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan tergantung dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini biasanya disertai pula dengan upaya restorasi,

(34)

rehabilitasi dan/atau rekonstruksi. Jadi, revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (www. Pengertian Revitalisasi.com)

Revitalisasi Pasar Tradisional di Kota Surakarta merupakan usaha Pemerintah Kota melalui pembangunan pasar tradisional untuk dapat meningkatkan kinerja dari pasar tradisional yang sudah ada dan juga sebagai sarana pemberdayaan masyarakat pasar juga pedagang kaki lima. Selain kegiatan pembangunan fisik bangunan Pemerintah Kota juga mengadakan kegiatan perbaikan non fisik pada pasar tradisional melalui Program Revitalisasi Pasar Tradisional. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain:

a. Peningkatan manajemen pasar yang meliputi kebersihan, kenyamanan, promosi, keamanan, ketertiban dan kesempatan berusaha

b. Peningkatan manajemen PKL yang meliputi penataan, monitoring, penertiba dan kepastian berusaha

c. Peningkatan kualitas SDM pengelola pasar dan pedagang d. Peningkatan dan pengembangan pendapatan pasar

Adanya pelaksanaan Revitalisasi Pasar Tradisional di Kota Surakarta didasarkan pada peraturan-peraturan yang sifatnya vertikal dari pusat. Dasar Hukum dari pelaksanaan Revitalisasi Pasar Tradisional di Kota Surakarta yaitu:

(35)

a. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern

b. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional

c. Peraturan Walikota Surakarta Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional Kota Surakarta

Dasar hukum tersebut menjadi acuan dan petunjuk bagi Pemerintah Kota beserta para aparat pelaksana untuk dapat melaksanaan Revitalisasi Pasar Tradisional di Kota Surakarta. Tanpa adanya dasar hukum yang jelas maka program ini tidak akan dapat berjalan dengan baik.

Setiap program dilaksanakan guna memenuhi tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Begitu pula dengan Program Revitalisasi Pasar Gading, program ini juga mempunyai tujuan dan sasaran yang harus diwujudkan, antara lain:

a. Meningkatkan daya saing pedagang pasar tradisional dengan pasar modern. b. Meningkatkan tingkat hunian dan pengunjung.

c. Memberikan kontribusi pengelolaan dengan lingkungan dan Pemerintah setempat.

d. Menciptakan Pasar Gading yang bersih, sehat, rapi dan indah serta berkeadilan (Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta)

(36)

C. Pasar Tradisional

Pasar adalah sekumpulan pembeli dan penjual dari sebuah barang atau jasa tertentu. Para pembeli sebagai sebuah kelompok menentukan permintaan terhadap produk dan para penjual sebagai kelompok menentukan penawaran terhadap produk (Mankiw, 2003:82). Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya (Perpres No. 112 Tahun 2007 Pasal 1).

Dalam Kamus Terbaru Bahasa Indonesia (Tim Reality, 2008:495), pasar adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi atas barang yang di perdagangkan, tempat berjual beli, pekan, kekuatan penawaran dan permintaan, tempat penjual yang ingin menukarkan barang atau jasa dengan uang.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh AG. Subarsono, bahwa pasar adalah instrument yang sangat diperlukan untuk lingkungan tertentu. Ia merupakan alat yang efektif dan efisien untuk menyediakan barang-barang privat yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pasar juga akan menjamin adanya kompetisi dalam penyediaan barang dan jasa kemudian masyarakat dapat memilih barang dan jasa dengan harga yang paling murah.

Pasar muncul sebagai pusat tukar-menukar, perdagangan sebagai kegiatan tukar-menukar yang sebenarnya, dan uang sebagai alat penukar. Pasar adalah pranata pembangkit sedangkan perdagangan dan uang adalah fungsi-fungsinya. (Mahendra Wijaya, 2007: 83)

(37)

Sementara itu, Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar (Perpres No. 112 Tahun 2007 Pasal 1).

Menurut Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional menjelaskan, Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Pasar Tradisional Daerah yang selanjutnya disebut pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah Daerah dengan tempat usaha berupa kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal.

Pasar lokal pada dasarnya adalah pasar di daerah yang bertetangga, dan walaupun penting bagi kehidupan komunitas, sama sekali tidak menunjukkan

(38)

adanya pengurangan sistem ekonomi yang sudah merupakan pola dasar komunitas tersebut. Karakteristik pasar lokal sebagai berikut:

1. Kelompok yang menyediakan dan kelompok yang membutuhkan kalau salah satu kelompok di atas tidak ada maka disebut pranata jenis pasar dan bila kedua-duanya ada maka disebut pasar.

2. Unsur setara yaitu nilai tukar menurut kesetaraan pasar merupakan pasar harga tetap atau pasar pencipta harga.

3. Persaingan adalah ciri lain pranata seperti pasar pencipta harga dan lelang. Dia tidak terdapat di pasar harga tetap tetapi hanya terbatas pada pasar. 4. Unsur-unsur fungsional: Lokasi fisik dan barang, adat istiadat, hukum. 5. Harga pada mulanya adalah jumlah yang telah ditetapkan dengan tegas

terlebih dahulu dan bahwa tanpa ini kegiatan dagang tidak dapat dimulai. Harga berubah-ubah/berfluktuasi karena persaingan harga adalah perbandingan kuantitatif antara barang berbagai jenis yang lahir melalui barter atau tawar menawar harga adalah bentuk ekuivalensi yang khas dijumpai pada ekonomi yang terintegrasi melalui perilaku tukar-menukar (Mahendra Wijaya, 2007:95).

(39)

D. Kerangka Pemikiran

Untuk memberikan pedoman dan mempermudah dalam kegiatan penelitian pengolahan data, juga untuk menganalisa agar hasil penelitian yang diperoleh benar, maka dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut:

Revitalisasi Pasar Gading

Perda No. 1 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional

Terdesaknya pasar tradisional oleh pasar modern

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program revitalisasi Pasar Gading

Indikator:

a.Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter & Van Horn)

b.Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran

(Grindle)

c.Sumberdaya (Van Meter & Van Horn)

d.Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas (Van Meter & Van Horn)

e.Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn) f.Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn) Proses Pelaksanaan program revitalisasi

Pasar Gading Indikator: a. Tahapan awal b. Tahapan desain c. Tahapan pelaksanaan Output:

a. Kondisi fisik bangunan pasar menjadi layak

b. Terciptanya pelayanan kepada konsumen

c. Pedagang lebih nyaman saat berada di

pasar

d. Pemberdayaan perekonomian pedagang

(40)

Dari kerangka pemikiran diatas, dapat diketahui bahwa semakin terdesaknya pasar tradisional karena kehadiran pasar modern yang kurang terkoordinasi menyebabkan mundurnya pasar tradisional di Kota Surakarta, oleh karena itu dengan berpedoman Perda No. 1 Tahun 2010 pada Pemerintah Kota Surakarta mengupayakan Program Revitalisasi Pasar Tradisional untuk dapat mempertahankan eksistensi pasar tradisional di tengah-tengah pasar modern.

Untuk melihat pelaksanaan program revitalisasi Pasar Gading maka digunakan tahapan proses pelaksanaan dari Dinas Pengelolaan Pasar untuk dapat mengamati pelaksanaan program revitalisasi pasar mulai dari tahapan awal (sosialisasi), tahapan desain hingga tahapan pelaksanaan. Hambatan-hambatan yang terjadi selama pelaksanaan revitalisasi akan diamati melalui beberapa indikator dari Model Van Meter dan Van Horn juga Model Grindle sehingga akan didapatkan keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan program revitalisasi Pasar Gading.

Alasan penulis untuk mengambil Model Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dan Model Merilee S. Grindle karena program revitalisasi Pasar Gading surakarta merupakan tipe kebijakan

top-down. Kebijakan top-down merupakan proses implementasi dari sisi vertikal dan terpusat; mengikuti struktur hierarki. Pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi.

(41)

Walaupun dalam proses implementasi kebijakan ini dikerjakan oleh Pemerintah, namun partisipasi masyarakat juga diperlukan dalam proses implementasi program. Karena bila kebijakan hanya dilaksanakan oleh Pemerintah dan Lembaga Pemerintah saja tanpa adanya peran serta dari masyarakat, maka kebijakan atau program tidak akan berhasil.

Dalam pelaksanaan Model Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dan Model Merilee S. Grindle dipengaruhi oleh enam variabel dalam mendukung proses implementasi. Keenam variabel tersebut adalah yaitu Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter & Van Horn), Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran (Grindle), Sumberdaya (Van Meter & Van Horn), Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas (Van Meter & Van Horn), Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn), dan Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn).

Keenam variabel tersebut tidak akan dapat berdiri sendiri, karena pada dasarnya variabel-variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi. Sehingga dapat dilihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi selama proses pelaksanaan program revitalisasi Pasar Gading Surakarta untuk dapat menciptakan Kondisi fisik bangunan pasar menjadi layak, Terciptanya pelayanan kepada konsumen, Pedagang lebih nyaman saat berada di pasar, Pemberdayaan perekonomian pedagang, dan Perlindungan UKM.

(42)
(43)

commit to user

41

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Peneliti berusaha untuk mengungkapkan suatu keadaan yang kompleks dan dinamis, juga untuk memahami situasi sosial secara mendalam. Selain itu peneliti juga akan menekankan hasil penelitian pada pemberian gambaran mengenai situasi sosial secara objektif. Oleh karena itu digunakan bentuk penelitian deskriptif, sehingga dapat memberikan gambaran kondisi objek yang alamiah.

Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Penelitian deskriptif digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Moh. Nazir, 2003: 54-55)

Jadi penelitian deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mendetail terkait dengan latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter mengenai objek yang akan diteliti dengan cara pengumpulan data di lokasi

(44)

penelitian, yang kemudian dapat memberikan gambaran tentang Implementasi Program Revitalisasi Pasar Gading di Kota Surakarta.

B. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pasar Gading Surakarta. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena Pasar Gading merupakan salah satu pasar tradisional di wilayah Surakarta dimana program revitalisasi tersebut dilaksanakan dan merupakan proyek percontohan untuk pasar tradisional setelah di revitalisasi

C. Sumber Data

Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh. Data tidak akan bisa diperoleh tanpa adanya sumber data. Betapapun menariknya suatu permasalahan atau topik penelitian, bila sumber datanya tidak tersedia, maka ia tidak akan punya arti karena tidak akan bisa diteliti dan dipahami (H.B Sutopo, 2002 : 49). Sumber data dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2010 : 156). Dalam hal ini, sumber data yang langsung memberikan data adalah narasumber atau informan. Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber) sangat

(45)

penting perannya sebagai individu yang memiliki informasinya. Peneliti dan narasumber disini memiliki posisi yang sama, dan narasumber bukan sekedar memberi tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki (H. B. Sutopo, 2002 : 50). Informan tersebut adalah:

a. Erni Susiatun, SH, M.Si, selaku Kepala Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta

b. Ir. Suhardi, MM, selaku staff Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta

c. Agus Suharto, SE selaku Kepala Pasar Gading Surakarta

d. Sumarno, selaku Sekretaris Paguyuban Pasar Gading dan sekaligus sebagai pedagang Pasar Gading Surakarta

Selain beberapa informan diatas, terdapat pula sumber lain yaitu sumber gambar yang yang berkaitab dengan aktivitas dan kondisi di lapangan dapat pula digunakan menjadi sumber informasi. Sumber gambar yang diambil penulis berupa foto-foto pedagang, los, kios, dan penzoningan yang ada di Pasar Gading

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2010 : 156). Sumber data sekunder diantaranya adalah arsip, peraturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen yang peneliti butuhkan dalam penelitian ini. Dokumen resmi dan arsip merupakan bahan

(46)

tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Banyak peristiwa yang telah lama terjadi bisa diteliti dan dipahami atas dasar kajian dari dokumen atau arsip-arsip, baik yang secara langsung maupun tidak, sangat berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Dalam mengkaji dokumen, peneliti sebaiknya tidak hanya mencatat apa yang tertulis, tetapi juga berusaha menggali dan menangkap maknanya yang tersirat dari dokumen tersebut (H.B. Sutopo, 2002:54).

Peneliti menggunakan dokumen Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional sebagai sumber penelitian. Selain itu juga terdapat dokumen resmi dan arsip-arsip termasuk juga gambar-gambar sebagai bahan tertulis yang dalam pelaksanaan pengaturan Program Revitalisasi Pasar Gading Surakarta, juga data dan artikel baik dari surat kabar maupun internet yang digunakan oleh peneliti untuk melengkapi data primer.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik: 1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Moelong, 2006 : 186). Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin

(47)

melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil (Sugiyono, 2010 : 157).

H.B. Sutopo (2002 : 58) mengemukakan:

”Tujuan utama melakukan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konsep mengenai pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi tanggapan atau persepsi tingkat dan bentuk keterlibatan dan sebagainya, untuk merekonstruksi beragam hal seperti itu sebagai bagian dari masa lampau, dan memproyeksikan hal-hal itu dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang.”

Pada penelitian ini, wawancara dilakukan Kepala Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta, Staff Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta, Kepala Pasar Gading Surakarta, Sekretaris Paguyuban Pedagang Pasar Gading Surakarta.

2. Observasi

Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda; serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung (H.B. Sutopo, 2002 : 64). Sementara Sugiyono (2010 : 166) berpendapat bahwa teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila, penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Dalam penelitian ini observasi akan dilakukan pada Pasar Gading Surakarta.

(48)

3. Dokumentasi

Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari yang tertulis sederhana sampai yang lebih lengkap, dan bahkan bisa berupa benda-benda lainnya sebagai peninggalan masa lampau. Demikian pula halnya arsip yang pada umumnya berupa catatan-catatan yang lebih formal bila dibandingkan dengan dokumen. Sebagai catatan formal arsip sering memiliki peran sebagai sumber informasi yang sangat berharga bagi pemahaman suatu peristiwa (H.B. Sutopo, 2002 : 69).

E. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini akan menggunakan teknik Purposive Sampling sebagai alat yang digunakan dalam pengambilan sampel. Purposive sampling adalah tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010 : 96). Menurut H.B Sutopo (2002: 36) pilihan sampel diarahkan pada sumber data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik purposive sampling digunakan untuk memperoleh informasi dari Kepala Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta, Staff Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta, Kepala Pasar Gading Surakarta, Sekretaris Paguyuban Pedagang Pasar Gading Surakarta.

Namun tidak menutup kemungkinan untuk penulis juga menggunakan

snowball sampling, sepanjang data data yang diperoleh belum lengkap dan mendalam. Snowball sampling merupakan teknik penentuan sampel yang

(49)

mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju menggelinding yang lama-lama menjadi besar. Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan dua orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak.

F. Validitas Data

Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu setiap peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya. Validitas ini merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsiran makna sebagai hasil penelitian (H. B. Sutopo, 2002 : 77-78). Pengembangan validitas yang digunakan oleh peneliti adalah teknik triangulasi. Cohen dan Manion dalam Andi Prastowo (2011 : 231) menyatakan bahwa triangulasi bisa dimaknai sebagai suatu teknik yang menggunakan dua atau lebih metode pengumpulan data dalam penelitian terhadap beberapa aspek dari perilaku manusia. Tujuan penggunaan teknik ini bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, melainkan lebih kepada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan. Menurut Patton dalam H.B Sutopo (2002 : 78), teknik trianggulasi dibedakan menjadi empat yaitu trianggulasi data, trianggulasi peneliti, trianggulasi

Gambar

Gambar II.1
Gambar II.2
Gambar II.3
Gambar II.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang teknologi kendali sangat pesat sekali dan telah membawa perubahan di segala bidang terutama

Dengan kata lain, guru dan siswa-siswi dapat memanfaatkan pengetahuan secara bersama-sama untuk mencapai kompetensi yang dituntut oleh mata pelajaran, serta

Konflik minangka samubarang kang dramatik, munjer marang kadadeyan ing antarane loro kekuwatan kang padha lan nuwuhake aksi lan aksi walesan (Wellek & Werren,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap hutan dan tingkat kepentingan dari penggunaan lahan serta jenis-jenis Sumber Daya Alam yang ada

Hasil dari penelitian ini adalah cluster dengan nilai terbesar pada centroid akhir merupakan cluster yang direkomendasikan dalam perencanaan penambahan koleksi

Tujuan distribusi adalah untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan yang ada diwilayah kerja puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan tepat waktu1. Penyaluran

1) Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur pembedahan yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus tengah

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan usaha yang dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika dan itu semua tidak terlepas dari usaha