• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI SATRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI SATRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRATIFIKASI SOSIAL PADA KALANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIL DI JEPANG

NIHON NI BAISHUN NI OKERU SHAKAI KAIKYUU NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu

Sastra Jepang Oleh : RAI WEGUDANI

160708024

PROGRAM STUDI SATRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur diucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkat dan kuasa-Nya telah diberikan kesehatan selama mengikuti perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Usaha yang diiringi dengan doa adalah hal yang membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Stratifikasi Sosial Pada Kalangan Prostitusi Di Jepang” ini disusun sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, dukunga, doronga, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini disampaikan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D., selaku ketua pada Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Nandi S., M.Si. selaku dosen pembimbing yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu dan pikiran serta tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini dari awal hingga akhir skripsi ini selesai walaupun sedang dalam masa pandemi.

4. Dosen penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu membaca dan

menguji skripsi ini.

(6)

5. Para dosen pengajar beserta staf pegawai di Fakultas Ilmu Budaya, khususnya pada Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pendidikan selama perkuliahan sampai penulisan skripsi ini selesai.

6. Secara khusus untuk orang tua yang sangat dicintai dan dihormati, yaitu kepada ayah dr. Suba Jaido Naidu dan ibu dr. B. Teinmalar atas dukungannya, kasih sayang, kesabaran, dan tidak pernah lelah mendidik dan memberikan perhatian yang ikhlas.

7. Terkhusus untuk abang Gunalan Anggirasa, yang selalu memberikan arahan dan nasihat seputar keluarga dan perkuliahan dan orang yang sangat mendukung dan menghargai dalam proses pengambilan keputusan dan langkah untuk ke depan. Juga kepada adik tercinta Lovelyn Partiba yang selalu memberikan perhatian dan menolong tanpa mengeluh selama proses penulisan skripsi ini hingga selesai.

8. Untuk keluarga sekaligus sahabat dalam organisasi HMPM yang telah memberikan doa dan dukungannya. Terima kasih atas kebersamaan dalam susah maupun senang dan canda tawa juga cerita di kampus, terutama di rumah kedua, Pendopo Mini.

9. Kepada keluarga dan para senior dari kost GH, bang Fauzan, bang Ibeb,bang

Randu, bang Jaya, bang Amry, dan bang Anmar dari Program Studi Sastra

Inggris yang selalu memberikan tempat untuk menghibur diri dan

menghilangkan stress selama masa pandemi selama proses penulisan skripsi

ini.

(7)

10. Secara khusus untuk wanita yang selalu menamani mulai dari pertengahan masa perkuliahan hingga semester akhir, Sarah Mitha Auliani. Terima kasih atas kebersamaan dalam susah maupun senang dan terima kasih untuk telah menerima dan menyambut kedatangan penulis di kampung halaman untuk berlibur, yaitu kota Sibolga.

11. Untuk teman-teman stambuk 2016, para senior dan junior dari Sastra Jepang, teman-teman panitia PKKMB FIB USU 2019, dan sekaligus teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kebersamaan dan perjuangan selama empat tahun ini, setiap harinya akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan.

12. Dan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki kesalahan pada masa yang akan datang.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat, untuk penulis sendiri dan bagi para mahasiswa Sastra Jepang.

Medan, September 2020 Penulis

Rai Wegudani

NIM : 160708024

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………..1

1.2 Rumusan Masalah………4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……….6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...10

1.6 Metode Penelitian………...11

BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP PROSTITUSI DAN STRATIFIKASI SOSIAL DI JEPANG 2.1 Konsep Prostitusi di Jepang………14

2.1.1 Pengertian Prostitusi………...14

2.1.2 Sejarah Prostitusi di Jepang………15

2.1.3 Faktor Penyebab Prostitusi……….21

2.1.4 Jenis-Jenis Prostitusi………...25

(9)

2.2 Konsep Stratifikasi Sosial………...33

2.2.1 Pengertian Stratifikasi Sosial………..33

2.2.2 Penyebab Terbentuknya Stratifikasi Sosial………34

2.2.3 Jenis-Jenis Stratifikasi Sosial………..38

2.2.4 Dampak Positif dan Negatif Stratifikasi Sosial…………...43

BAB III STRATIFIKASI SOSIAL PADA KALANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIL DI JEPANG 3.1 Penyebab Terbentuknya Stratifikasi Sosial pada Kalangan PSK di Jepang………46

3.1.1 Tingkat Pendapatan………47

3.1.2 Popularitas………..49

3.1.3 Senioritas………52

3.2 Jenis-Jenis Stratifikasi Sosial pada Kalangan PSK di Jepang……….54

3.2.1 Sistem Kelas………...55

3.2.2 Stratifikasi Sosial Terbuka……….……58

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan……… 63

4.2 Saran……….. 66

(10)

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

LAMPIRAN

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum, kebudayaan mengacu kepada kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian “kebudayaan” sehari-hari yang hanya merujuk pada bagian-bagian tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan santun dan kesenian (D’Andrade, 2000 : 1999). Namun, dalam berkembang dan berpengaruhnya kebudayaan sudah pasti melibatkan sebuah lingkup sosial yang memberikan peran penting terhadap unsur-unsur kebudayaan yang dijalankan oleh individu – individu yang terlibat di dalamnya.

Aspek sosial yang terdapat dalam kebudayaan dapat dilihat dari identifikasi

yang dilakukan oleh Keesing (1984 : 73) yang memberikan pendekatan terhadap

kebudayaan, yaitu memandang kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan

perilaku yang fungsi primernya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik

dan sosialnya. Kebudayaan tidak hanya muncul dari sebuah sistem kebiasaan atau

adat istiadat yang diciptakan dan diwariskan dalam lingkup masyarakat tertentu,

namun kebudayaan dapat tercipta dari sebuah pola interaksi dan perilaku sosial

yang berkembang secara sengaja atau tidak sengaja dari proses belajar dan

observasi.

(12)

Di beberapa negara masih banyak yang melestarikan kebudayaan yang merupakan warisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan ada pula yang menciptakan sebuah kebudayaan baru yang dapat mengikuti perkembangan zaman dan kebudayaan tersebut dapat disebarluaskan baik di dalam negeri atau pun secara internasional. Salah satu negara yang memiliki ragam kebudayaan yang bersifat heterogen dan tersebar di dalam negeri atau pun luar negeri yaitu Jepang.

Banyak budaya tradisional Jepang yang tetap terlestarikan walau zaman tetap berkembang dengan pesat dan budaya modern yang dapat dijadikan trend baru dalam lingkup internasional. Budaya-budaya tersebut masih bertahan hingga sekarang dan tidak banyak yang mengalami perubahan yang signifikan dalam proses penerapannya. Lebih dari 400 tahun telah berlalu bahkan hanya dihitung mulai dari periode Edo, sebuah waktu di mana budaya itu berkembang.

Dengan variasi kebudayaan yang berkembang di Jepang, negara tersebut

tidak lepas dari sistem sosial yang berlaku dan mengikat sejumlah individu dan

kelompok individu. Budaya Jepang adalah kelompok yang berorientasi dan orang-

orang cenderung untuk bekerja bersama-sama daripada menunjukkan individualitas

mereka. Mereka menyesuaikan diri untuk melayani dan menyelaraskan diri dengan

orang lain. Orang Jepang cenderung untuk menempatkan diri mereka dalam

komunitas mereka sendiri yang eksklusif dan tertutup. Dengan demikian, mereka

memilih kepribadian tertutup dan memberikan perhatian serius terhadap harmoni

serta bersifat kooperatif dalam kelompok. (https://obaradai.com).

(13)

Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat banyak lingkungan kerja di Jepang yang menerapkan sistem yang mengutamakan sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Salah satu pekerjaan berbentuk komunitas dan berorientasi dalam bidang pelayanan yang sangat populer baik di Jepang dan di seluruh dunia adalah prostitusi (pelacuran). Prostitusi merupakan bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan (Koentjoro , 2004 : 36).

Bagi masyarakat Jepang budaya seks bebas bukanlah suatu aktivitas yang dianggap tabu. Berhubungan badan atau melakukan seks tanpa menikah tidak dianggap sebagai aib bagi sebagian besar masyarakat Jepang. Mulyadi juga menuliskan bahwa Tokyo memiliki lebih dari 5.000 bisnis seks. Di luar Tokyo, angka fantastis ini turun drastis di sebagian kota-kota kecil luar distrik Tokyo bahkan nyaris tidak ditemukan sama sekali bisnis seks. Hal tersebutlah yang kemudian menjadikan Tokyo sebagai pusat bisnis seks komersil atau prostitusi.

Dalam prakteknya, bisnis seks atau prostitusi di Jepang ini terdiri atas

beberapa jenis pekerjaan dimulai dari pekerja seks komersil atau dikenal dengan

istilah baishun ( 売春 ), sampai ke tingkatan jenis pekerja seks dengan bayaran

termahal yaitu Host atau Hostess. Sebagai pekerja dengan orientasi dalam bidang

seksual yang bertujuan menghasilkan pendapatan, para pekerja seks ini mengalami

persaingan yang sangat ketat dari segala sisi. Dari mulai bentuk pelayanan,

penampilan fisik, hingga harga dari pelayanan tersebut. Persaingan ini secara tidak

langsung menciptakan pemisah antar sesama pekerja seks dengan tingkatan yang

(14)

berbeda-beda atau biasanya disebut dengan “kasta”. Kasta ini terbentuk secara tidak sengaja oleh para pekerja seks, agensi atau manajemen yang menaungi para pekerja, dan para pengguna layanan prostittusi. Namun, kasta ini tidak dibentuk secara sengaja seperti yang berkembang di India, tetapi hanya menjadi pandangan subjektif dari mayoritas pihak yang terlibat dalam bisnis prostitusi ini.

Pemisah yang membentuk tingkatan-tingkatan tertentu di kalangan pekerja seks komersil ini disebut sebagai “stratifikasi sosial”. Menurut Narwoko & Suyanto (2010 :175), dengan berpikir membanding-bandingkan kemampuan dan apa yang dimiliki anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya, sadar atau tidak pada saat kita mulai membedakan kemampuan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya ke dalam suatu golongan tertentu pada saat itu pula kita sudah dapat membagi masyarakat ke dalam golongan lapisan- lapisan sosial tertentu.

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah tersebut akan dibahas dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Stratifikasi Sosial Pada Kalangan Pekerja Seks Komersil Di Jepang “.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah ini pada hakikatnya adalah deskriptif tentang ruang

lingkup masalah, pembatasan dimensi dan analisis variabel yang tercakup di

dalamnya. Dengan demikian rumusan masalah tersebut sekaligus menunjukkan

(15)

Praktek prostitusi di Jepang sudah menjadi ladang uang bagi para pelakunya.

Pemerintah Jepang sendiri telah mengeluarkan undang-undang yang mengharuskan pekerja seks mendaftar untuk fasilitas keamanan. Bisnis seks yang berkembang di Jepang bukanlah tanpa campur tangan dari pemerintahnya. Pelaku bisnis yang menjalankan bisnis prostitusi dan bisnis industri di Jepang diwajibkan membayar pajak sebagai wujud kompensasi bagi pemerintah. Namun, dalam sebuah video dari channel Nobita from Japan pada platform YouTube yang berjudul The Truth about Japan’s Prostitution, seorang pengacara dengan spesialisasi dalam bidang industri seks dan hiburan bernama Sho Wakabayashi, menyatakan bahwa pekerja seks komersil dengan pendapatan yang terlalu tinggi tidak terlalu diperhatikan oleh kantor pajak, melainkan manajer perusahaan atau agensi yang menjadi target dalam penagihan pajak sehingga sering dilakukan penangkapan manajer-manajer yang menghindar dari pembayaran pajak bisnis.

Tingkat penghasilan adalah salah satu contoh yang menimbulkan lapisan sosial antar pekerja seks komersil yang berkaitan dengan pembayaran pajak, gaya hidup, dan berbagai aspek yang dipengaruhi oleh kondisi keuangan lainnya.

Lapisan yang terbentuk antar pekerja seks komersil di Jepang tidak begitu menjadi sorotan secara luas melainkan sebuah hal yang dianggap “sisi gelap” dari dunia prostitusi. Berbagai aspek yang sangat menyokong pergerakan dari industri seks yang berputar di Jepang dapat menjadi penyebab timbulnya stratifikasi sosial pada kalangan pekerja seks komersil.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

(16)

1. Apa saja yang menyebabkan terbentuknya stratifikasi sosial pada kalangan pekerja seks komersil di Jepang ?

2. Bagaimana jenis-jenis stratifikasi sosial pada kalangan pekerja seks komersil di Jepang ?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, perlu adanya pembatasan masalah, karena dalam penlitian batasan ditentukan agar pembahasan tidak melebar dan tetap mengacu pada konteks sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah dijelaskan. Batasan masalah ini diperlukan juga untuk tidak mempersulit pembaca dalam memahami pokok permasalahan yang dibahas.

Dalam penelitian ini, ruang lingkup pembahasannya difokuskan kepada stratifikasi sosial yang terbentuk pada kalangan pekerja seks komersil di Distrik Kabukicho yang terletak di Shinjuku, Tokyo. Kabukicho disebut juga sebagai red light district atau ‘distrik lampu merah’ yang diartikan sebagai area dimana bisnis seputar prostitusi dan seks berpusat. Kabukicho juga menjadi pusat hiburan malam terbesar di Jepang dan menjadi sorotan utama dunia dalam bisnis hiburan dan industri seks yang sering menjadi sasaran wisatawan asing maupun lokal.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

(17)

Wakabayashi (2003) pada penelitiannya mengemukakan :

The majority of these prostitutes started the occupation not because of hard living but rather because they sought a quick route to a more luxurious life. Many of the younger prostitutes, especially teenagers, chose prostitution to pay for clothes, entertainment, and travel.

Wakabayashi mengemukakan bahwa mayoritas dari para PSK memulai pekerjaan ini bukan karena kehidupan yang sulit namun mereka melihat jalan pintas untuk hidup lebih mewah. Banyak dari PSK muda, khususnya remaja, memilih prostitusi untuk membayar pakaian-pakaian, hiburan, dan jalan-jalan. Maka, sudah jelas bahwa prostitusi merupakan salah satu pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang cukup tinggi dan mampu meningkatkan status sosial seseorang.

Mulyadi (2018) pada penelitiannya menuliskan bahwa budaya seks bebas bukanlah suatu aktivitas yang dianggap tabu. Berhubungan badan atau melakukan seks tanpa menikah tidak dianggap sebagai aib bagi sebagian besar masyarakat Jepang. Bahkan muncul trend terkini di kalangan anak muda Jepang yang menganggap seseorang yang belum pernah berhubungan seks sangatlah kuno bahkan sampai dikucilkan dari pergaulan.

Dikaitkan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Wakabayashi

sebelumnya, melepas keperawanan merupakan salah satu upaya dalam peningkatan

status sosial pada kalangan remaja di Jepang, sehingga berdasarkan pandangan

masyarakat Jepang secara umum mendefinisikan keperjakaan sebagai sebuah aib

yang memalukan bagi seseorang.

(18)

Yokoyama (1995) pada penelitiannya mengemukakan :

With its rapid economic growth, Japan became a consumer’s society, in which the demand for prostitution increased. In response to this trend, more prostitutes committed financially compensated sexual acts in disguised brothels or in other various call-girl systems.

Yokoyama menuliskan bahwa dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jepang masyarakat menjadi konsumen yang membuat permintaan terhadap prostitusi meningkat. Sebagai jawaban trend ini, banyak PSK yang menggunakan berbagai cara untuk menghasilkan uang dengan berbagai jenis layanan seks yang dilakukan di tempat-tempat tersembunyi.

Untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak dan meningkatkan taraf hidup menjadi lebih tinggi, satu agensi atau pun perusahaan yang menjadi wadah untuk menyalurkan prostitusi sangatlah kurang bagi beberapa pekerja seks yang ingin meningkatkan status sosialnya dalam lingkungan tertentu dimana ia berada.

Dengan tingginya tingkat permintaan dari pengguna jasa prostitusi ini, pendapatan yang dihasilkan seorang pekerja seks yang memiliki jam terbang yang cukup padat adalah sangat besar dibandingkan yang bekerja pada satu agensi atau perusahaan pewadah.

Arita (2017) pada penelitiannya mengemukakan :

For instance, the seniority-based wage and promotion systems and

the practice of long-term employment are strong in Japan but non-

standard workers who are not recognized as the core members of

company organizations are not entitled to benefit from them in many

cases.

(19)

Arita mengemukakan bahwa perhitungan gaji yang diukur berdasarkan senioritas, sistem kenaikan jabatan, juga pekerja yang sudah lama bekerja sangatlah kuat di Jepang, tetapi pekerja yang bukan merupakan anggota inti dari perusahaan atau tempat kerja mereka sudah tentu tidak akan mendapatkan keuntungan dalam banyak kasus.

Dalam keterkaitannya dengan bisnis prostitusi, tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam tangga kedudukan pekerja dalam satu agensi atau perusahaan yang menjadi wadah penyalur prostitusi. Sehingga, sistem stratifikasi sosial yang terbentuk pada kalangan PSK mengacu kepada senioritas, lama bekerja, jumlah pelanggan, gaji, dan berbagai unsur lainnya yang berhubungan.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang membahas terkait permasalahan

praktek prostitusi dan sistem stratifikasi sosial di Jepang, dapat dikaitkan bahwa

dalam industri seks, prostitusi merupakan salah satu pekerjaan yang menjadi trend

bagi pria maupun wanita untuk meningkatkan kualitas hidup. Dalam proses

meningkatkan status sosial terdapat persaingan yang cukup ketat pada kalangan

PSK di Jepang. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang sudah dipaparkan

di atas, dapat ditemukan keterkaitan yang bermanfaat dalam proses analisis

terbentuk hingga berkembangnya sistem stratifikasi sosial pada kalangan PSK di

Jepang yang dapat ditinjau dari beberapa aspek yang sudah dikutip untuk

mendukung analisis terkait. Penelitian – penelitian ini mendukung proses

pengolahan data untuk menghasilkan analisis terhadap fenomena yang diteliti

(20)

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini digunakan teori sosiologi. Menurut Soekanto (2010), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan sosial dan masalah sosial. Teori sosiologi digunakan untuk memperdalam fokus terhadap sistem stratifikasi sosial yang terbentuk pada kalangan PSK di Jepang

Selain itu digunakan juga teori psikologi sosial. Menurut Robert dan Donn (2003 : 5), psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami asal usul dan sebab-sebab terjadinya perilaku dan pemikiran individual dalam konteks situasi sosial. Maka, teori psikologi sosial ditujukan untuk memahami pola pemikiran dan perilaku para pelaku dan pengguna jasa prostitusi di Jepang dalam pembentukan stratifikasi sosial.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan penyebab terbentuknya stratifikasi sosial pada kalangan PSK di Jepang.

2. Mendeskripsikan bentuk-bentuk stratifikasi sosial pada kalangan PSK

di Jepang.

(21)

1.5.2 Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai bisnis prostitusi di Jepang.

2. Menjadi referensi bagi pembaca yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut terkait prostitusi di Jepang.

3. Memberikan pemahaman objektif dan membantu memberikan pemikiran objektif mengenai prostitusi di Jepang.

4. Meluruskan segala opini subjektif dan non akademis yang bersifat tidak valid terhadap situasi sosial antara prostitusi di Jepang.

5. Memberikan informasi tambahan kepada para pelajar khususnya yang mempelajari bahasa dan budaya Jepang di Indonesia.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk mendapatkan suatu informasi

yang dapat menjadi bahan penelitian yang diambil. Metode penelitian yang

digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Menurut Suryana (2010 : 18),

penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual,

dan akurat mengenai fakta-fakta, dan sifat-sifat populasi daerah tertentu. Oleh

karena itu, data-data yang diperoleh dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan,

sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada

sumber data yang sudah dan informasi yang sudah tersedia.

(22)

Dalam mengumpulkan data-data penelitian, digunakan teknik : 1. Wawancara

Menurut Afifuddin (2009 : 131), wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau responden.

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan pada tanggal 19 Desember 2019 pada saat mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi negara Jepang. Wawancara dilakukan kepada beberapa prostitusi yang bekerja di Distrik Kabukicho, Shinjuku, Jepang dengan permohonan berupa kerahasiaan identitas dari responden sesuai dengan konteks penelitian menggunakan pertanyaan-pertanyaan singkat.

2. Studi Kepustakaan

Penelitian ini menggunakan acuan dari beberapa referensi pustaka berupa buku, yang berkaitan dengan masalah sosial, masyarakat, dan lain- lain seperti Enjokosai in Japan : Rethinking the Dual Image of Prostitutes in Japanese and American Law, Patologi Sosial, On The Spot : Tutur dari Sang Pelacur, dan website seperti YouTube, Wikipedia, dan lain-lain.

Dalam penelitian ini dimanfaatkan juga berbagai fasilitas yang tersedia di

Perpustakaan Umum Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Program Studi

Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya. Selain itu, eksplorasi dari buku-buku pribadi,

pengamatan lapangan, dan berbagai informasi dari situs-situs internet yang

(23)

membahas tentang bisnis prostitusi di Jepang dan masalah sosial yang terbentuk di dalamnya.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Pemilihan topik dan judul penelitian.

2. Merumuskan masalah yang ingin diteliti.

3. Menyusun kerangka teori.

4. Melakukan studi pustaka.

5. Mengumpulkan data.

6. Menganalisis data.

7. Menggunakan referensi.

8. Menulis laporan penelitian.

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM KONSEP PROSTITUSI DAN STRATIFIKASI SOSIAL DI JEPANG

2.1 Konsep Prostitusi di Jepang

2.1.1 Pengertian Prostitusi

Kata prostitusi berasal dari bahasa latin prostitution (em), kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi prostitution, yang memiliki arti pelacuran, persundalan, ketuna-susilaan, dan kemudian menjadi ‘prostitusi’ dalam bahasa Indonesia.

Kartono (2005 : 214) mengemukakan definisi pelacuran sebagai berikut : 1) Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi

impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa terkendali dengan banyak orang, disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

2) Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

3) Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang meyerahkan badannya

untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

(25)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat empat elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan, yaitu : bayaran, perselingkuhan, ketidakacuhan emosional, dan mata pencaharian. Dari keempat elemen utama tersebut, pembayaran uang sebagai sumber pendapatan dianggap sebagai faktor yang paling umum dalam pelacuran.

Mulyadi (2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa di Jepang sendiri memiliki istilah khusus dalam menyebut praktek prostitusi, yaitu fuzoku. Fuzoku berarti seks, dalam kata lain meminta uang sebagai imbalan. Fuzoku sendiri merupakan aktivitas industri seks yang legal, dimana aktivitas yang ditawarkan hanyalah sebatas pada seks oral. Selain daripada oral, misalnya berhubungan badan tidak diperbolehkan atau ilegal.

Maka, dapat dipahami bahwa prostitusi atau pelacuran adalah praktek hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Para pria atau wanita yang melakukan pelacuran sekarang ini dikenal dengan istilah PSK (Pekerja Seks Komersil) yang diartikan sebagai wanita atau pria yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang di luar perkawinan yang sah dan mendapatkan uang, materi, atau jasa.

2.1.2 Sejarah Prostitusi di Jepang

Menurut Mulyadi (2018), abad ke-15 menjadi sejarah awal para pendatang

luar negeri mengunjungi pelacuran di Jepang. Di antaranya, Cina, Korea, dan

(26)

negara-negara lain di wilayah Asia Timur, serta beberapa negara Barat datang ke Jepang untuk mencari hiburan dari para wanita yang bekerja di bidang ini. Wanita dan gadis muda Jepang dijual dan dibawa untuk dijadikan budak pelacuran melalui sebuah komunitas perdagangan dan perbudakan pada awal abad ke-17.

Blakemore (2018) menuliskan sebagai berikut :

Recruiting women for the brothels amounted to kidnapping or coercing them. Women were rounded up on the streets of Japanese- occupied territories, convinced to travel to what they thought were nursing units or jobs, or purchased from their parents as indentured servants.

Blakemore mengemukakan bahwa merekrut wanita dari rumah-rumah bordil sama dengan penculikan atau pemaksaan. Para wanita ditangkap di jalan- jalan wilayah pendudukan Jepang, diyakinkan untuk melakukan perjalanan ke tempat yang mereka anggap sebagai unit perawat atau pekerjaan, atau dibeli dari orangtua mereka sebagai pelayan kontrak. Para wanita ini umumnya adalah mayoritas penduduk Cina, Korea, dan beberapa negara Asia Timur lainnya yang dikirimkan ke Jepang untuk memuaskan nafsu para prajurit Jepang pada masa Perang Dunia II. Para wanita ini “dibeli” oleh oknum-oknum yang mengambil bagian dalam kepemerintahan Jepang pada saat itu tanpa jejak sedikitpun.

Rowley (2002 : 39) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pada sekitar

tahun 1950-an, pemerintah Jepang memberikan legalisasi terhadap para PSK dan

mengizinkan mereka beroperasi pada distrik lampu merah. Tetapi, ada sebuah

pergerakan yang mencanangkan untuk menghapus prostitusi, yang digerakkan oleh

penduduk kelas menengah beragama Kristen yang sudah dimulai sejak tahun 1880.

(27)

Namun, respon yang diberikan oleh para PSK yang sudah bekerja aktif pada masa itu adalah sebuah aksi penolakan. Para PSK ini membentuk sebuah kesatuan dan memulai pergerakan untuk menolak penghapusan prostitusi. Banyak dari mereka yang menuliskan artikel dan opini pada koran-koran menjelaskan bahwa mereka bekerja sebagai prostitusi untuk membiayai adik-adik atau saudaranya, bahkan untuk orangtuanya.

Melihat uraian di atas mengenai sejarah praktek prostitusi yang mengacu kepada jual-beli jasa berhubungan badan yang befokus hanya pada materi berupa uang, para prajurit Jepang pada masa Perang Dunia II hanya mengacu kepada pemuasan birahi yang berujung kepada penyiksaan batin dan fisik para pelaku prostitusi yang seluruhnya adalah wanita. Para wanita ini diperjualbelikan dengan cara ditipu oleh oknum-oknum organisasi yang menampung para wanita yang berlatarbelakang ekonomi ke bawah, namun memiliki paras dan fisik yang menawan. Para penulis jejak rekam sejarah dan para pengamat sosial pada waktu itu memberikan perhatian khusus terhadap tindakan para oknum yang mengeksploitasi hak asasi perempuan sebagai manusia. Praktek prostitusi pada masa ini dianggap sebagai industri kriminal sehingga menjadi pemicu munculnya berbagai gerakan dengan konteks kemanusiaan untuk menghapuskan praktik prostitusi ini. Pada prosesnya, gerakan ini diprakarsai oleh petinggi atau pemuka agama yang sangat menentang keras praktek prostitusi dalam bentuk apapun, walau mendapatkan penolakan dari mayoritas prostitusi.

Mulyadi (2018) mengemukakan bahwa ajaran agama yang diakui

masyarakat Jepang sejak zaman nenek moyangnya, yakni ajaran Shinto dan Buddha

(28)

menganggap seks sebagai sebuah kesucian yang wajib dijalankan. Dalam konotasi agama, Shinto dan Buddha tidak menganggap seks bebas sebagai suatu hal yang tabu. Ajaran Shinto pernah mengajarkan prostitusi suci yang dipraktekkan oleh seorang miko (巫女) atau ‘wanita kuil’ dalam masa sebelum Meiji pada ajaran Shinto tradisional. Sedangkan menurut ajaran Buddha, kesucian itu wajib bagi para pengikutnya.

Bernkastel (2018) mengemukakan bahwa dalam ajaran Shinto, seks dan tubuh-tubuh manusia tidak dilihat sebagai sesuatu yang buruk, salah, atau memalukan. Itu adalah bagian dari alam, itu adalah salah satu cara untuk menunjukkan kebahagiaan, untuk megekspresikan cinta dengan dalam, sebagaimana tindakan yang menciptakan kehidupan. Menjelajahi tubuh sendiri dan seksualitas dengan bantuan orang lain membantu manusia untuk lebih mengerti dirinya lebih baik dan membantuk kita untuk belajar mencintai dan merawat diri masing-masing. Dalam ajaran Shinto, hal ini dinyatakan di berbagai mitologi dan tradisi-tradisi kuil lain juga.

Namun, lingkup individu yang boleh melakukan hubungan seks dalam ajaran Shinto berbeda dengan ajaran Buddha. Dalam ajaran Buddha, hubungan seks adalah salah satu ungkapan untuk membahagiakan pasangannya. Ada banyak cara untuk mengungkapkan cinta, seperti halnya sentuhan lembut, pandangan penuh perhatian, ucapan yang menyejukkan serta berbagai hal lain. Hubungan seks hanya boleh dilakukan antara pasangan yang telah terikat menjadi suami istri.

(https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/cinta-seks-dan-agama-buddha-2/)

(29)

Berdasarkan kedua ajaran yang dianut oleh masyarakat Jepang tersebut, maka pada zaman modern ini, sepertinya Jepang memang tidak pernah lepas dari kebiasaan mereka di masa lalu. Anggapan yang mengatakan bahwa Jepang selalu mengikuti tradisi dan menjaga budaya mereka sepertinya juga menjadi pendorong perilaku masyarakatnya dalam hal seks. Budaya seks yang didasari oleh kepercayaan yang dianut mayoritas penduduk Jepang tersebut, para pelaku-pelaku bisnis dan industri memanfaatkan hal tersebut untuk membuka bisnis seks di pusat- pusat kota di Jepang dengan mendasari kebahagiaan sebagai hal yang utama dalam hubungan seks.

Mulyadi juga mengemukakan bahwa bisnis hiburan malam dilindungi secara undang-undang oleh pemerintah. Pemerintah Jepang memberlakukan regulasi untuk menjamin keamanan dan keselamatan para pekerja bisnis ini. Para pelaku bisnis ini pun dituntut untuk menaati aturan negara dengan membayarkan pajak mereka kepada negara. Di balik payung hukum tersebut, banyak pelaku bisnis nakal yang mulai melakukan bisnis prostitusi terselubung untuk menjaring lebih banyak pelanggan demi menghasilkan keuntungan yang lebih banyak. Mulai dari membuka salon, bisnis fashion, hingga pekerja promosi yang di dalamnya memiliki praktek prostitusi terselubung.

Berdasarkan uraian tersebut, para pelaku bisnis yang memula dan

menyebarluaskan industri seks ini umumnya adalah orang-orang yang

berpendidikan tinggi dan memiliki ketertarikan lebih dalam bidang seks

bermodalkan pengetahuan sejarah prostitusi secara sosial dan dasar kepercayaan

yang membahas mengenai seks dan prostitusi. Namun, tetap pada orientasinya yaitu

(30)

sebuah bisnis, maka tetap dibutuhkan pengetahuan yang memadai mengenai bisnis terutama yang memperdagangkan jasa manusia untuk kepuasan sesama manusia.

Para pelaku bisnis ini sembari menjalankan bisnis menggunakan kreativitas dan inovasi mereka dalam membentuk ragam bentuk dari praktek prostitusi untuk memperbesar keuntungan agensi atau perusahaan dan menambah pendapatan para pekerja seks tersebut. Tidak terlepas dari hal tersebut, para pelaku bisnis prostitusi yang mematuhi aturan pemerintah tetap memperhatikan kesehatan baik fisik maupun mental dari para pekerja seks untuk tetap berada dalam performa terbaik dan tidak membuat kekecewaan terhadap pelanggan yang menjadi tujuan utama dari praktek prostitusi ini.

Di Jepang sudah banyak budaya Barat yang masuk mulai dari makanan, cara

berpakaian, pola bisnis, pendidikan bahasa, hingga gaya hidup. Termasuk gaya

hidup seks yang tidak terikat oleh perkawinan, meskipun sudah ada sejak zaman

dahulu. Keterbukaan Jepang terhadap pengaruh dalam berbagai aspek dari negara

Barat menghasilkan berbagai macam pola pikir baru terutama dalam perkembangan

bisnis prostitusi. Hal tersebut yang dianggap mendasari para pelaku bisnis yang

memperbesar pengaruh bisnis seks hingga masuk ke sebagai salah satu penghasil

wisatawan dan devisa negara Jepang hingga saat ini. Demikian pula perlakuan para

pelaku bisnis terhadap para PSK yang sudah mulai membaik dan terorganisisr

membuat pengaruh besar dalam pola pikir para wanita Jepang bahwa prostitusi

merupakan salah satu pekerjaan untuk meningkatkan taraf hidup seseorang yang

hingga saat ini tidak hanya dilakukan oleh wanita, namun pria juga sudah banyak

(31)

melakukan kegiatan prostitusi kepada para wanita yang membutuhkan pemuas nafsu.

2.1.3 Faktor Penyebab Prostitusi

Berlangsungnya proses globalisasi dan modernisasi yang begitu cepat dan perkembangan yang tidak sama dengan nilai kebudayaan mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Hal tersebut berdampak pada konflik-konflik internal dan eksternal dalam masyarakat. Peristiwa tersebut memudahkan seorang individu untuk berperilaku menyimpang dari pola perilaku masyarakat normal pada umumnya. Salah satu yang menjadi fokus dalam perilaku menyimpang ini adalah perilaku seks bebas dan komersialisasi terhadapnya untuk mempertahankan hidup di tengah-tengah pembangunan dan perkembangan ekonomi.

Menurut Kartono (1981 : 243-244), ada 10 poin penyebab prostitusi antara lain sebagai berikut :

1) Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum menikah atau di luar pernikahan ;

2) Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan ;

3) Komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita ataupun mucikari dan oknum –

oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks ;

(32)

4) Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat orang mengenyam kesejahteraan hidup dan ada pemutarbalikan nilai-nilai pernikahan sejati ;

5) Semakin besarnya penghinaan orang terhadap kaum wanita dan harkat manusia ;

6) Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengeksploitasi kaum lemah (wanita) dan tujuan-tujuan komersil ;

7) Ekonomi laissez-faire (ekonomi pasar bebas) menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum “jual dan permintaan”, yang diterapkan pula dalam relasi seks ;

8) Peperangan dan masa-masa kacau (dikacau oleh gerombolan-gerombolan pemberontak) di dalam negeri meningkatkan jumlah prostitusi ;

9) Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah-daerah pertambangan dengan konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan adanya ketidakseimbangan rasio pria dan wanita ;

10) Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan masyarakat setempat.

Mengacu kepada poin-poin yang sudah dikemukan oleh Kartono, maka penyebab prostitusi dapat dibagi dalam dua faktor, yaitu :

1) Faktor internal

Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita atau pria itu sendiri,

yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan

(33)

sebagainya. Tidak sedikit dari para PSK ini merupakan korban seks secara paksa, sehingga mereka berpikir bahwa mereka sudah kotor dan profesi sebagai prostitusi merupakan satu-satunya yang pantas bagi mereka. Namun, hal ini berdasarkan sejarah bermulanya kriminalisasi terhadap wanita pada zaman Perang Dunia II.

Apabila dilihat dari masa sekarang, para PSK yang tidak didasari oleh kekerasan seksual ataupun sejenisnya, mereka melihat prostitusi sebagai pekerjaan yang memiliki pendapatan yang cukup tinggi, karena mampu memberikan mereka uang yang cukup untuk membiayai diri sendiri dan keluarga mereka dalam tingkatan perekonomian kelas bawah untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. Faktor internal utama dalam hal ini adalah tingkat perekonomian individu, walau pada hal berikutnya kembali kepada kepuasan seks diri sendiri yang tidak terpenuhi sesuai dengan keinginan para PSK tersebut.

2) Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita atau pria itu sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini dapat berbentuk desakan ekonomi (hutang, cicilan, dan sebagainya), pengaruh lingkungan, kegagalan percintaan, dan sebagainya. Faktor eksternal dapat juga berupa promosi dari agensi-agensi ataupun organisasi yang mengolah bisnis seks untuk meningkatkan kualitas hidup wanita atau pria tersebut.

Di Jepang, faktor penyebab timbulnya prostitusi tidak jauh dari kondisi

sosial individu dan tingginya pendapatan dari pekerjaan tersebut. Mulyadi (2018)

(34)

mengemukakan bahwa masyarakat Jepang terkesan sangat individualis dan tidak suka memperhatikan orang lain. Hal ini juga disebabkan karena orang Jepang tidak mau merepotkan atau mengganggu orang-orang di sekitarnya, jadi mereka lebih memilih untuk mengurus diri mereka sendiri dibandingkan harus mencampuri urusan orang lain.

Pandangan bahwa keperawanan di usia remaja adalah sebuah aib merupakan salah satu pendorong dari seseorang terjerumus dalam seks bebas sampai ke dalam komersialisasi sehingga seks tersebut tidak terbatas kepada pemuasan hasrat saja di Jepang. Jika dibandingkan dengan Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Kartono, masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap isu prostitusi yang ada di lingkungannya. Masyarakat Indonesia bisa saja langsung berpartisipasi dalam kegiatan yang dikenal dengan istilah “menggerebek” tempat- tempat yang dinilai tidak sesuai dengan norma. Namun, berbeda dengan masyarakat Jepang, mereka cenderung membiarkan hal – hal tersebut walaupun mereka sendiri memahami jika praktek tersebut dinilai negatif. Ditambah dengan masyarakat Jepang yang dapat dikatakan kurang memiliki perhatian terhadap pernikahan dengan berbagai alasan. Lalu, untuk memenuhi kebutuhan seks mereka, akhirnya mereka lebih memilih untuk menggunakan jasa prostitusi.

Mulyadi juga menuliskan dalam artikelnya bahwa Jepang adalah negara

maju dengan ekonomi yang tergolong baik di dunia. Jepang dengan pendapatan

perkapita lebih dari 38.000 Dollar Amerika, tentu saja menjamin warganya untuk

hidup sejahtera. Dengan pendapatan masyarakat Jepang yang terbilang tinggi,

(35)

masyarakat Jepang hampir dapat melakukan apa saja yang mereka suka, termasuk di dalamnya adalah urusan seks.

Hal ini ditambah dengan jam kerja yang padat, membuat para pekerja ingin meluangkan waktu untuk bersenang-senang, salah satu tujuannya adalah mengujungi tempat-tempat yang menyediakan layanan seks. Dengan tingginya tingkat pendapatan, harga yang mahal tidak menjadi masalah. Oleh karena itu, bisnis layanan seks terus berkembang di Jepang akibat semakin tingginya permintaan yang memunculkan para pekerja seks baru dengan kemampuan memikat yang beragam dan notabene tidak mengecewakan pelanggan.

2.1.4 Jenis-Jenis Prostitusi

Prostitusi dalam prakteknya tidak terlepas dari variasi pelayanan yang diberikan untuk menyesuaikan terhadap kebutuhan seksual pelanggan. Variasi ini dapat menggambarkan status sosial dan kedudukan sosial seorang prostitusi dalam pekerjaanya.

Menurut Kartono (1981 : 251), jenis prostitusi dibagi menjadi 2 berdasarkan aktivitasnya, yaitu :

1) Prostitusi yang terdaftar

Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari Kepolisian, yang dibantu

dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada

umumnya mereka dilokalisasi dalam suatu daerah tertentu.

(36)

2) Prostitusi yang tidak terdaftar

Termasuk ke dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok.

Perbuatannya tidak terorganisasi, tempatnya pun tidak tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri pada pihak yang berwajib

Hal ini dapat dikaitkan dengan bentuk prostitusi di Jepang yang didominasi oleh prostitusi yang terdaftar sehingga para pekerja ini dikenakan pajak oleh pemerintah untuk tetap dijamin keamanannya dalam masa bekerja. Umumnya para pekerja ini diwadahi oleh agensi-agensi ataupun organisasi yang mengelola bisnis pelayanan seks secara variatif. Agensi-agensi dan berbagai macam organisasi ini ditempatkan pada sebuah komplek atau kawasan khusus yang biasa disebut dengan istilah “lokalisasi”.

Penempatan dari pewadah ini dikemukakan oleh Kartono (1981 : 254) yang menggolongkan lokasi atau tempat prostitusi dijalankan, yaitu :

1) Segregasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Kompleks ini dikenal sebagai daerah lampu merah, atau petak-petak daerah tertutup ;

2) Rumah-rumah panggilan ;

3) Di balik front organisasi atau di balik bisnis-bisnis terhormat.

Pada kaitannya dengan prostitusi di Jepang, lokalisasi atau distrik lampu

merah yang paling terkenal di seluruh Jepang sebagai pusat industri hiburan malam

adalah Kabukichou (歌舞伎町) yang umumnya praktek pelayanan prostitusi pada

(37)

wilayah ini masih banyak yang berstatus legal. Pada tahun 1984, di Shinjuku dibangun pusat bisnis dan perbelanjaan sebagai bagian dari proyek rekonstruksi pasca Perang Dunia II. Salah satu lokasi bisnis itu dibuat untuk memamerkan pertunjukkan Kabuki ( 歌 舞 伎 ) atau teater klasik Jepang dan diberi nama

“Kabukichou” (kota Kabuki). Meski pertunjukkan Kabuki telah berhenti digelar di sini, nama Kabukichou tetap melekat hingga sekarang. Kawasan ini bahkan mendapatkan julukan distrik hiburan terbesar se-Asia. Terkait dengan bisnis seks yang berputar di kawasan ini, terdapat berbagai bentuk pelayanan seperti host / hostess club, bar, karaoke, love hotel, hingga tempat prostitusi yang dikuasai oleh para yakuza atau ‘mafia elit Jepang’. (https://matcha-jp.com/id/1301)

Berdasarkan batasan masalah yang ditetapkan, maka jenis atau bentuk praktek prostitusi yang sangat besar tersebar di seluruh Jepang dan terkenal hingga seluruh dunia adalah sebagai berikut :

1) Enjokousai ( 援助交際 )

Wakabayashi (2003) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa

enjokousai atau compensated-dating dapat dideskripsikan sebagai wanita yang

berkencan dengan pria tidak dikenal, dan kadang melibatkan hubungan seksual,

sebagai imbalan atau alat pertukaran dengan uang dan atau hadiah-hadiah bernilai

mahal. Prostitusi ini mengacu kepada prostitusi anak, karena saat ini istilah tersebut

mengacu pada remaja putri Jepang yang berkencan dengan pria yang lebih tua atau

paruh baya. Kebanyakan enjokousai dilakukan oleh gadis remaja sekolah

menengah. Enjokousai melibatkan gadis sekolah yang belum cukup dewasa untuk

(38)

membuat keputusan sendiri, dan juga karena karakter istimewa yang membedakan enjokousai dengan prostitusi lain.

2) Host dan Hostess

Dalam sebuah channel pada platform YouTube bernama Asian Boss, dilakukan wawancara kepada salah satu hostess termahal di Jepang bernama Hoshino Kurumi pada video berjudul Meet The Number 1 Hostess In Japan. Pada video ini Kurumi menjelaskan dengan jelas bagaimana pekerjaan dari para hostess.

Menurut Kurumi, pada dasarnya pelanggan dari hostess menghabiskan waktu dengan wanita-wanita cantik dengan membayar uang dan meminum alkohol bersama di tempat yang biasa disebut host/hostess Club. Berdasarkan perhitungan Kurumi, per bulannya ia bisa menghasilkan sampai 4 juta Yen (sekitar 600 juta Rupiah) terhitung dengan tip dan nilai-nilai pemberian di luar uang oleh klien yang menyukai pelayanannya dengan pendapatan per hari sekitar 60 ribu Yen (sekitar 9,3 juta Rupiah).

Penyebutan host dan hostess hanya memiliki perbedaan dari jenis kelamin

pekerja yang melakukan pelayanan, dimana host merupakan para pria tampan yang

melayani perempuan, sedangkan hostess merupakan para wanita cantik yang

melayani pria. Kurumi juga menyebutkan bahwa banyak juga klien yang membayar

lebih untuk berhubungan seks sehingga membuat pekerjaan ini dapat dikategorikan

sebagai prostitusi. Pelanggan atau klien yang mampu merayunya sampai ia

menyukai rayuannya akan diterima oleh Kurumi untuk melakukan seks tanpa

bayaran tambahan, namun bagi yang kurang beruntung harus membayarnya sampai

(39)

sekitar 1 juta Yen (sekitar 150 juta rupiah) karena ia adalah prostitusi dengan pelayanan terbaik dan termahal di wilayah tersebut, yaitu wilayah Roponggi.

Dengan demikian hal tersebut menunjukkan bahwa host atau hostess merupakan salah satu jenis prostitusi yang memiliki pendapatan tertinggi dibandingkan prostitusi lainnya.

3) Joshi Kosei (JK)

Mulyadi (2018) menuliskan bahwa joshi kosei merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh gadis-gadis remaja SMA di Jepang yang bekerja sebagai sales promotion girl. Gadis-gadis ini membagikan selebaran di pinggir jalan kepada calon pelanggan. Pekerjaan yang dilakukan gadis-gadis joshi kosei sendiri mulanya hanya sebagai teman mengobrol atau teman kencan, namun dalam prakteknya terjadi banyak kecurangan-kecurangan dimana para pekerja remaja ini bisa dibayar untuk melayani hubungan seks.

Prostitusi jenis ini bersifat ilegal karena mempekerjakan remaja SMA yang notabene adalah masih di bawah umur, merupakan sebuah pelanggaran hukum, maka umunya agensi-agensi pewadah prostitusi ini bergerak secara ilegal dan tidak sedikit yang sering ditutup oleh pihak kepolisian yang menemukannya.

Berbeda dengan enjokousai, joshi kosei biasanya memiliki organisasi atau

pewadah yang menangani sistem jual beli atau transaksi, sedangkan para enjokousai

didasari oleh dorongan diri sendiri dan umumnya tidak memiliki agensi tertentu

sebagai pewadah.

(40)

4) Baishun ( 売春 ) atau ‘Pekerja Seks Komersil’

Baishun atau yang biasa dikenal dengan istilah ‘PSK’, adalah golongan prostitusi yang bekerja dengan sistem jual beli secara terang-terangan seperti PSK pada umumnya, yaitu transaksi pembayaran untuk langsung melakukan hubungan badan. Namun, variasi dari pelayanan terkhusus seks ini tidak hanya sekedar berhubungan badan, seperti contoh yang dituliskan oleh Mulyadi (2018) di antaranya ada jasa tekoki, yaitu jasa masturbasi menggunakan tangan, serta fashion herusu, di mana pelayan wanita dengan menggunakan pakaian tertentu, seperti pelaut atau perawat yang memberikan layanan seks kepada pelanggannya, dan sebagainya.

Para baishun ini terorientasi khusus untuk berhubungan badan, namun tidak memliki bentuk pelayanan dan tingkat pendapatan seperti ketiga bentuk prostitusi yang udah dijelaskan sebelumnya.

2.1.5 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Prostitusi

Dalam sebuah video pada platform YouTube oleh channel Asian Boss yang berjudul What The Japanese Think Of Prostitution terdapat berbagai pandagan yang dilontarkan oleh beberapa orang-orang yang diwawancara pada video tersebut.

Beberapa pendapatnya adalah sebagai berikut :

Pria A : Normal people can go to brothels, but they can’t ? That’s nonsense,

that’s why I feel bad.

(41)

Terjemahan : ‘Orang-orang normal dapat pergi ke rumah-rumah bordil, tetapi mereka tidak bisa ? Itu tidak masuk akal, itu mengapa saya merasa kasihan.’

Pria B : Basically, people see prostitution as something absolutely forbidden. But since there’s a big demand, shops operate secretly.

Terjemahan : ‘Pada dasarnya, orang-orang melihat prostitusi sebagai sesuatu yang sangat terlarang. Tetapi, karena ada permintaan yang besar, toko-toko beroperasi dengan rahasia.’

Wanita A : I think people accept it, since there’s a big demand. But if someone finds out that his or her partner visited prostitutes then that person probably wouldn’t like it.

Terjemahan : ‘Saya pikir orang-orang menerimanya, selagi ada permintaan yang besar. Tetapi jika seseorang menemukan pasangannya mengunjungi prostitusi, maka orang tersebut mungkin tidak menyukainya.’

Wanita B : It’s not as though the man likes the girl and is paying her. Maybe I think men have a lot of stress in their daily lives, so I think they go there to relax, but not to cheat.

Terjemahan : ‘Itu tidak seperti laki-laki menyukai perempuan itu dan

membayarnya. Mungkin saya pikir pria-pria mempunyai

banyak beban stress di kehidupan sehari-hari mereka, jadi saya

(42)

pikir mereka pergi ke sana untuk bersantai, bukan untuk selingkuh.’

Berdasarkan beberapa pendapat pria dan wanita mengenai prostitusi pada wawancara tersebut, tidak sepenuhnya masyarakat Jepang membuka diri terhadap prostitusi. Namun, sebagian orang juga menganggap prostitusi adalah hal yang sudah wajar di Jepang yang modern ini, walau orang-orang yang beranggapan hal tersebut tidak melakukannya. Masyarakat Jepang cenderung menganggap prostitusi ini juga salah satu pelengkap kebutuhan nafsu manusia. Dalam pandangan beberapa laki-laki di Jepang berdasarkan wawancara tersebut, permintaan yang tinggi dari banyak penikmat jasa tersebut yang didominasi oleh pria menyebabkan prostitusi dianggap sebagai hal yang sudah lumrah dan menjadi kebutuhan banyak orang terutama pria. Sedangkan pada sisi wanita, mereka menganggap bahwa prostitusi merupakan sebuah fenomena yang tidak baik namun dibutuhkan oleh para pria dan para wanita tersebut masih mampu berpikir positif bahwa pria-pria yang umumnya menggunakan jasa prostitusi tidaklah melakukan perselingkuhan melainkan hanya sekedar bersantai dan menghilangkan stres.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Jepang menganggap prostitusi sebagai hal yang sudah wajar dan berkembang seiring bertambahnya permintaan untuk memenuhi kebutuhan seks manusia.

Namun, walau praktek prostitusi tersebut dianggap terlarang bagi sebagian orang,

banyaknya pengguna jasa tersebut mampu menutup pemikiran negatif yang

berlebihan dari pandangan masyarakat Jepang terhadap prostitusi. Sehingga,

(43)

praktek prostitusi berjalan dan berkembang dengan sangat pesat hingga besar sampai sekarang ini.

2.2 Konsep Stratifikasi Sosial

2.2.1 Pengertian Stratifikasi Sosial

Dari berbagai kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan mereka yang menonjol adalah fenomena stratifikasi (tingkatan-tingkatan) sosial. Perbedaan itu tidak semata-mata ada, tetapi melalui proses suatu bentuk kehidupan (dapat berupa gagasan, nilai, norma, aktivitas sosial, maupun benda-benda) akan ada dalam masyarakat karena mereka menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna untuk mereka. Fenomena dari stratifikasi sosial ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia, sesederhana apapun kehidupan mereka, tetap bentuknya mungkin berbeda satu sama lain, semua tergantung bagaimana mereka menempatkannya.

Moeis (2008) menyatakan bahwa stratifikasi sosial berasal dari istilah social stratification yang berarti sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Kata stratification berasal dari stratum (jamaknya : strata) yang berarti lapisan.

Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-

kelas secara bertingkat (hierarkis). Selama dalam masyarakat itu ada sesuatu yang

dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, maka

sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang

(44)

berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau mungkin keturunan orang terhormat.

Menururt Sorokin (1957), sistem berlapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga itu dalam jumlah yang sangat banyak, suatu keadaan tidak semua orang bisa demikian bahkan hanya sedikit orang bisa dianggap oleh masyarakat berkedudukan tinggi atau ditempatkan pada lapisan atas masyarakat, dan mereka yang hanya sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut, dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.

Meninjau dari pernyataan para peneliti di atas, dapat disimpulkan bahwa stratifikasi sosial atau pelapisan sosial tebentuk secara sengaja atau pun tidak sengaja berdasarkan sebuah pencapaian paling rendah hingga paling tinggi dalam satu lingkungan tertentu atau pun sebuah siklus sosial tertentu. Stratifikasi sosial merupakan sebuah pemisah status dan kedudukan dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya untuk berlaku di dalam suatu lingkaran masyarakat.

2.2.2 Penyebab Terbentuknya Stratifikasi Sosial

Telah diketahui sebelumnya bahwa dasar pokok timbulnya sistem pelapisan

dalam masyarakat itu karena adanya sistem penilaian atau penghargaan terhadap

(45)

kemampuan manusia yang tidak sama satu dengan yang lain, dengan sendirinya sesuatu yang dianggap bernilai atau berharga itu juga menjadi keadaan yang langka, orang akan senantiasa meraih penghargaan itu dengan sekuat tenaga baik melalui persaingan bahkan tidak jarang dengan melalui konflik fisik.

Menurut Moeis (2008), setidaknya ada dua proses timbulnya pelapisan sosial dalam masyarakat, yaitu :

1) Proses pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya a. Umur (Age Sratification)

Dalam sistem ini masing-masing anggota menurut klasifikasi umur mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk masyarakat tertentu, ada keistimewaan dari seorang anak sulung dimana dengan nilai-nilai sosial yang berlaku mereka mendapat prioritas dalam pewarisan atau kekuasaan. Azas senioritas, yang ada dalam sistem pelapisan ini dijumpai pula dalam bidang pekerjaan, ada hubungan yang erat antara usia seorang karyawan dengan pangkat atau kedudukan yang ditempatinya. Ini terjadi karena dalam organisasi tersebut pada azasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka waktu tertentu. Karyawan yang dipertimbangkan untuk mengisinya ialah mereka yang dianggap paling senior.

b. Kepandaian atau kecerdasan (Intellegentsia)

Pada umumnya masih dipakai sebagai tolok ukur untuk membedakan satu

orang dengan orang lainnya walau tidak dikatakan mutlak benar. Karena dalam

penelitian modern ternyata faktor kecerdasan ini tidak sekadar hanya bias

(46)

dibangkitkan, dikembangkan bahkan juga bisa ditingkatkan yaitu dengan melalui latihan-latihan tertentu sehingga kedua belah bagian otak kiri dan kanan terangsang untuk berpikir, kreatif secara benar.

c. Kekerabatan

Biasanya faktor kekerabatan di sini berhubungan dengan kedudukan dalam keluarga atau menyangkut sistem pewarisan. Semakin jauh hubungan kerabatnya dalam keluarga atau bahkan semakin kecil pula kesempatannya untuk memperoleh seperangkat fasilitas yang diwariskan oleh keluarganya.

d. Jenis kelamin (Gender)

Bentuk lain dari pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya adalah gender. Fenomena ini walaupun tidak mutlak menentukan suatu pelapisan, namun dalam beberapa hal juga menunjuk pada sistem itu. Dalam bidang pekerjaan misalnya, khususnya pada kehidupan masyarakat yang belum begitu modern, dominasi laki-laki terasa lebih kental dibangingkan dengan perempuan. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja relatif lebih terbatas.

2) Pelapisan sosial yang terjadi secara sengaja

Moeis (2008) menyatakan bahwa sistem pelapisan yang sengaja disusun

untuk mengejar suatu tujuan bersama. Di samping dibeda-bedakan berdasarkan

status yang diperoleh, anggota masyarakat dibeda-bedakan pula berdasarkan status

yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagai jenis stratifikasi. Di antaranya

sebagai berikut :

(47)

a. Stratifikasi berdasarkan pendidikan (Educational Stratification)

Stratifikasi berdasarkan pendidikan dapat dilihat dari sebuah pembedaan masyarakat dalam hal hak dan kewajiban warga negara sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih.

b. Stratifikasi pekerjaan (Occupational Stratification)

Di bidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya perbedaan antara manager serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif. Dalam stratifikasi pekerjaan, jabatan menentukan tinggi rendahnya status kepegawaian dan kehormatan dalam sebuah lingkup pekerjaan.

c. Stratifikasi ekonomi (Economic Stratification)

Yaitu pembedaan warga masyarakat berdasarkan peguasaan dan pemilihan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini, dapat dikenal perbedaan warga masyarakat berdasarkan penghasilan dan kekayaan mereka menjadi kelas atas, menengah, dan kelas bawah.

Mengacu kepada uraian di atas terhadap timbulnya stratifikasi sosial dalam

sebuah lingkaran masyarakat tertentu, tidak jauh berbeda dengan pelapisan sosial

yang terjadi di Jepang yang umumnya terjadi dalam lingkungan masyarakat yang

sangat modern dan pemikiran yang sangat maju.

(48)

Arita ( 2017 ) dalam penelitiannya mengemukakan sebagai berikut :

In this context, in which pay standards, wage raise potential, income and employement stability and prestige vary greatly depending on the size of the company, firms size has been considered to be the key variable for properly understanding the stratification structure in Japanese society.

Arita mengemukakan bahwa dalam konteks artikelnya yang mengacu kepada stratifikasi sosial yang berkembang dalam masyarakat di negara-negara besar di wilayah bagian Asia Timur, bahwa standar pembayaran, potensi kenaikan gaji, pendapatan, stabilitas kepegawaian dan ragam gengsi tergantung dari besarnya perusahaan, sudah menjadi variabel kunci untuk dasar dari struktur stratifikasi di masyarakat Jepang.

Hal ini menunjukkan bahwa di Jepang pelapisan sosial umumnya timbul dalam hal prestasi dan penghargaan yang sudah diterima oleh setiap orang dan mendapatkan pengakuan sehingga menimbulkan opini baru yang membeda- bedakan standar kedudukan sosial seseorang dalam lingkup-lingkup tertentu seperti yang paling sering terjadi dalam lingkup pekerjaan, keluarga, dan berbagai lingkungan sosial lainnya.

2.2.3 Jenis-Jenis Stratifikasi Sosial

Menurut Yinger (1966) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa secara

teoritis, keterbukaan suatu sistem stratifikasi diukur oleh mudah tidaknya dan sering

tidaknya seseorang yang mempunyai status tertentu memperoleh status dalam strata

(49)

yang lebih tinggi. Setiap anggota masyarakat dapat menduduki status yang berbeda dengan status orang tuanya, bisa lebih tinggi bisa lebih rendah. Sedangkan stratifikasi sosial yang tertutup ditandakan dengan keadaan manakala setiap anggota masyarakat tetap berada pada status yang sama dengan orangtuanya.

Yinger membagi jenis stratifikasi menjadi 2, yaitu : 1) Stratifikasi sosial terbuka / sistem pelapisan sosial terbuka

Dalam sistem pelapisan sosial terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan bawahnya. Pada umumnya pelapisan terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk mengembangkan kecakapannya, dan karena itu, maka sistem tersebut lebih sesuai untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat daripada sistem yang tertutup.

2) Stratifikasi sosial tertutup / sistem pelapisan sosial tertutup

Dalam sistem pelapisan sosial tertutup, kedudukan orang-orang ditentukan oleh kelahirannya. Sistem pelapisan sosial yang cukup dikenal hingga masa sekarang seperti contohnya adalah sistem keturunan pada kerajaan Inggris, sistem triwangsa pada masyarakat Bali, sistem kasta di India, dan lainnya.

Dalam kenyataanya ternyata tidak mudah menemukan lapisan masyarakat yang sistem pelapisannya benar-benar tertutup atau pun benar-benar terbuka.

Yinger juga memperkirakan bahwa dalam bentuk masyarakat yang paling terbuka,

yaitu masyarakat industri modern, hanya sepertiga anggota masyarakat yang

(50)

statusnya lebih tinggi atau lebih rendah dari orang tuanya, sedangkan dua per tiganya adalah sama. Keadaan ini sebenarnya bias mengindikasikan bahwa nilai- nilai yang ditanam orang tua terhadap diri anak-anak mereka masih dijadikan sebagai sesuatu ukuran kehidupan, mereka masih mengidentifikasikan diri terhadap segala gagasan, sikap, dan tindakan orang tuanya, walaupun mungkin prosesnya berlangsung tanpa secara disadari.

Menurut Nakane (1970) pada awal kebudayaan zaman Yayoi di Jepang, interaksi dengan alam diwujudkan dengan pemeliharaan dan penyeimbangan segala mahluk hidup. Dalam proses interaksi antara manusia, diwujudkan dengan penegakan nilai-nilai moral untuk saling memahami satu sama lainnya. Kemudian setelah masuknya agama Buddha sekitar abad ke-6, hubungan antar manusia tidak sekadar mengacu pada alam saja, tetapi juga kesinambungan antara manusia dengan manusianya. Lalu, dalam perkembangan berikutnya sistem stratifikasi semakin jelas, terutama setelah masuknya sistem pemerintahan Bakufu (pemerintahan yang dijalankan dari tenda, pada saat itu sistem komando dipegang oleh seorang jendral daitai shogun yang berada di medan perang). Pemerintahan ini berlangsung sejak zaman Kamakura (1185-1336). Pada zaman ini golongan sosial bangsa Jepang dibagi dalam empat golongan yang dikenal sebagai Shinoukoshou, yaitu :

a. Shi berasal dari kata bushi ( golongan militer )

b. Nou berasal dari kata noumin ( golongan petani )

c. Kou berasal dari kata kouin ( golongan pegawai )

d. Shou berasal dari kata shounin ( pedagang )

(51)

Kouin dan shouin walaupun dianggap sebagai golongan yang berkasta rendah, namun pada masa pemerintahan setelah zaman Meiji (1868) menjadi golongan yang paling berpengaruh karena sangat berperan dalam kemajuan perdagangan dan kemampuan bangsa Jepang. Pemaparan Nakane yang menjadi dasar penelitian terhadap stratifikasi sosial adalah jenis-jenis stratifikasi sosial di Jepang yang bersifat vertical. Struktur masyarakat Jepang yang menggunakan hubungan atas- bawah ini sangat mempengaruhi sikap, tindakan, kebiasaan dan etos kerja bangsa Jepang. Hubungan tersebut dideskripsikan melalui beberapa konsep berikut : 1) Hubungan oyabun-kobun ( Bapak dan anak )

Prinsip hubungan bapak dan anak, manajer dan bawahan, bos dan anak buah, penguasa dan rakyat, ini mengandung filosofi pengayom dan orang yang diayomi, pelindung dan yang dilindungi. Konsepsi oyabun-kobun ini diterapkan dalam kerjasama perusahaan yang saling menguntungkan. Sebuah perusahaan besar akan memelihara perusahaan kecil, demikian juga perusahaan kecil akan menyediakan kebutuhan perusahaan besar. Maka tidak heran jika perusahaan Jepang dimana pun selalu bisa bertahan dalam menghadapi krisis, karena adanya keterikatan integral antar perusahaan besar dengan perusahaan kecil.

2) Hubungan senpai-kohai ( Senior dan junior )

Hubungan senioritas bagi orang Jepang adalah sesuatu yang harus

dipertahankan demi menjaga dan memelihara kepatuhan, penghormatan, dan

disiplin kerja. Senioritas tidak dimaknai sebagai arogansi terhadap junior,

melainkan sebagai pembelajaran yang harus dipatuhi secara moral. Sistem

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan perkuliahan untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Bahasa Arab Fakutas Ilmu Budaya USU, maka penulis mengajukan skripsi

Keraf (1996:90) membagi perubahan-perubahan bunyi menjadi beberapa macam antara lain:.. 1) Metatesis yaitu suatu proses perubahan bunyi yang berujud pertukaran tempat dua

Wujud nilai moral yang terdapat dalam teks cerita keramat kubah terbang memiliki tiga bagian yaitu, wujud nilai moral dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang memiliki bentuk

Sikap toleransi tidak diterapkan dalam cerita HRP dapat dipaparkan oleh pengarang dalam pengambaran tokoh yaitu ketika Raja Siam mengutus Talak Sejang untuk

Ornamen tumbuhan biasanya di temukan pada ukiran-ukiran kayu, pahatan, dan media-media lainnya. Ornamen tumbuhan mengambil bentuk dari berbagai segala

Hal ini dapat diintrepretasikan bahwasanya sub indikator sense of perzonalition terhadap situs web Perpustakaan USU sudah baik, dan juga dapat dinyatakan sebagai

Seperti yang telah terjadi, gaya hidup pada zaman modern ini telah mendorong orang mengubah gaya hidupnya seperti makan makanan siap saji, makanan kalengan, sambal botolan,

65 4.3 Sebaran Penggunaan Metode Penerjemahan Kata demi Kata (word-for Word Translation) yang Efektif dalam Subtitle Film Berbahasa Prancis “Comme un Chef”