BAB IV ALTERNATIF
K. Anggaran
2. Batas Luar Kawasan
Masalah 2. Apakah tapal batas yang ada dapat menjamin perlindungan jangka panjang atas keragaman hayati serta dukungan lokal terhadap taman nasional?
Alternatif A. Mengubah batas taman nasional untuk memberikan perlindungan jangka panjang yang lebih mantap terhadap keragaman hayati yang ada di dalam taman nasional dan meningkatkan dukungan dari masyarakat setempat.
Alternatif B. Mempertahankan batas seperti adanya saat ini, karena batas yang ada sudah memberikan jaminan yang cukup untuk perlindungan jangka panjang atas keragaman hayati serta dukungan lokal yang memadai terhadap TNKM.
Alternatif A adalah pilihan yang cocok. Pada tahun 1996 Departemen Kehutanan menyatakan bahwa batas kawasan akan diubah setelah WWFI menyelesaikan survei keragaman hayati dan pemetaan desa partisipatif, yang telah diselesaikan akhir 1999.
Dua masalah pokok mengenai perubahan batas kawasan yang mungkin adalah apakah menambahkan lahan yang terletak di luar batas resmi, dan apakah akan mengeluarkan lahan yang ada di dalam batas resmi, khususnya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat.
Lahan yang saat ini tidak termasuk dalam batas resmi TNKM:
Masalah ini menyangkut daerah Kayan, Tubu dan perluasan Krayan-Mentarang. PKA dianjurkan untuk bernegosiai dengan berbagai pihak yang berkepentingan (masyarakat setempat, pemerintah daerah, pemegang HPH dll.) untuk melihat apakah bagian dari daerah-daerah tersebut dapat ditambahkan ke dalam kawasan taman nasional untuk meningkatkan peluang konservasi keragaman hayati dan perlindungan lingkungan jangka panjang. Langkah-langkah khusus yang direkomendasikan untuk tiap perluasan adalah sebagai berikut:
• Perluasan Kayan - Menganalisis ulang apakah semua atau sebagian area cocok untuk usaha penebangan berdasarkan peraturan yang berlaku, di samping menentukan apakah daerah ini memang memiliki kayu dalam jumlah komersial.
Jika analisis tersebut menunjukan bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk penebangan, akan lebih mudah untuk membatalkan daerah ini dari pemegang HPH.
Jika daerah tersebut memang cocok untuk usaha pembalakan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan mungkin tetap memutuskan memasukan daerah tersebut ke dalam kawasan taman nasional dengan mempertimbangkan nilai keragaman hayatinya yang tinggi. Hutan produksi di bawah HPH aktif telah ditambahkan ke dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Sumatra. Debt-for-Nature atau Carbon Sequestration, dua program yang baru dimulai di Indonesia, khususnya melalui USAID NRMII, CIFOR dan “The Nature Conservacy”, merupakan cara yang mungkin dilakukan untuk ‘membeli’ HPH. Jika pembalakan diizinkan di daerah tersebut, mungkin dibatasi hanya berlaku untuk penebangan pertama, dan selanjutnya menjadi kawasan taman nasional. Program Debt-for-Nature Swaps dan Carbon Sequestration dapat digunakan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat setempat atas pembebasan lahan yang dimasukkan ke dalam kawasan taman nasional. Jika masyarakat setempat tertarik untuk pengusahaan hutan kemasyarakatan, Dephutbun dapat mencari lokasi alternatif untuk usaha tersebut,
kemungkinan di tepi bagian selatan Sungai Kayan. Alternatif lain adalah sebagian dari perluasan yang diusulkan menjadi hutan masyarakat setempat, dan sebagian lagi menjadi bagian TNKM, berdasarkan rencana tata-guna lahan yang terperinci.
• Perluasan Tubu: Dibahas dengan INHUTANI II, CIFOR dan khususnya masyarakat setempat di mana sebagian daerahnya cocok untuk dimasukan ke dalam kawasan taman nasional. Perencanaan tata-guna lahan yang lebih terperinci dapat digunakan untuk melihat berbagai faktor seperti kelerengan, tanah, kekayaan keragaman hayati, apakah terdapat pohon dengan jumlah komersial di seluruh daerah, rencana dan kebutuhan masyarakat setempat dan faktor-faktor lainnya untuk menentukan bagian lahan yang terbaik yang tetap dipertahankan sebagai hutan dan menjadi bagian dari TNKM.
Kemungkinan penggunaan dana dari Debt-for-Nature dan Carbon Sequestration dapat dilakukan untuk menggantikan biaya operasi penebangan atau kesempatan berusaha masyarakat setempat.
• Koridor Krayan-Mentarang: Sebaiknya mengupayakan kembali negosiasi dengan masyarakat Wilayah Adat Krayan Tengah dan Wilayah Adat Krayan Hilir untuk mempertimbangkan beberapa bagian dari wilayah adatnya masuk dalam Zona Pemanfaatan Tradisional dalam taman nasional. Untuk Krayan Tengah dimungkinkan menambah kawasan taman nasional dengan lahan di antara garis perbukitan utara- selatan dan batas Hutan Lindung bagian timur. Pemanfaatan lahan ini oleh masyarakat setempat sudah resmi dibatasi karena statusnya sebagai Hutan Lindung, yang memiliki persamaan dengan pembatasan pada Zona Pemanfaatan Tradisional, dan paling tidak berjarak setengah sampai satu hari perjalanan kaki dari desa,ditambah lagi dengan adanya pegunungan yang curam pada bagian barat. Untuk Krayan Hilir, penambahan lahan harus cukup untuk mempertahankan hubungan antara bekas hutan lindung dengan lahan di Wilayah Adat Mentarang dan Lumbis yang diinginkan masyarakat untuk tetap masuk dalam kawasan taman nasional. Namun masyarakat Wilayah Adat Krayan Tengah sangat menentang taman nasional dan Wilayah Adat Krayan Hilir hanya mengizinkan sebagian kecil lahannya masuk ke dalam TNKM. Untuk mendapatkan penerimaan masyarakat sangat sulit bahkan tidak mungkin, kecuali jika masyarakat yakin bahwa pemerintah mengakui hak masyarakat adat untuk mengelola wilayah adat dan sumber daya alamnya. PKA juga harus menegosiasikan pengalihan tersebut dengan Pemerintah Daerah Malinau dan Nunukan, karena kemungkinan desentralisasi akan menyebabkan pengelolaan dan perlindungan hutan akan berada di bawah wewenang pemerintahan daerah.
Melepas Lahan yang saat ini Berada dalam Kawasan TNKM:
Masalah ini terutama mencakup lahan yang diminta masyarakat setempat untuk dikeluarkan dari kawasan TNKM. Seperti yang telah digambarkan pada Bagian IV, Wilayah Adat telah mengajukan berbagai permintaan sebagai berikut:
Wilayah Adat Apo Kayan, Long Pujungan, Mentarang dan Lumbis:
Wilayah-wilayah Adat tersebut telah meminta hanya sedikit perubahan pada batas TNKM, khususnya untuk mengeluarkan lahan yang sudah digarap secara intensif di dalam TNKM
V-189 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)
seperti pemukiman, lahan pertanian (termasuk ladang dan bekas ladang yang berumur sampai 20 tahun), dan hutan dekat desa yang digunakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saat ini dan masa yang mendatang. Batas yang diusulkan oleh masyarakat umumnya telah mengikuti keadaan geografis seperti sungai atau batas antara dua daerah aliran sungai.
Permintaan di atas dirasa cukup realistik dan direkomendasikan agar secara garis besar permintaan tersebut sebaiknya dipenuhi melalui jalur PKA dan proses Tata Ruang yang tepat. Walaupun hutan dataran rendah TNKM akan lebih banyak dilepas, hal ini tidak dapat dicegah mengingat keberadaan desa dan kebutuhan hidup masyarakat setempat. PKA dapat meminta agar areal yang dilepas, khususnya hutan untuk kebutuhan sehari-hari, tidak dapat dijual dan dimanfaatkan dan dikembangkan dengan cara-cara yang tidak merugikan.
Wilayah Adat Tubu, Krayan Hulu, Krayan Hilir, Krayan Tengah dan Krayan Darat:
Wilayah Adat Tubu dan Krayan Tengah telah meminta agar PKA mengeluarkan seluruh lahan mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saat ini dan masa mendatang.
Wilayah Adat Krayan Hulu, Krayan Hilir dan Krayan Darat juga telah meminta kepada PKA agar hampir seluruh lahannya dilepas dengan alasan yang sama.
Untuk daerah tersebut direkomendasikan PKA mengambil tindakan berikut:
a. Bekerja sama dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengembangkan perencanaan tataguna lahan jangka panjang yang terperinci untuk menentukan bagian lahan yang dapat dikembangkan dan bagian yang tetap sebagai hutan. Faktor- faktor utama untuk dianalisis termasuk kemiringan lahan, komposisi tanah, kekayaan keragaman hayati, perlindungan daerah aliran sungai, pemeliharaan koridor keragaman hayati dan rencana pembangunan untuk masyarakat lokal. Penelitian RePPProT menunjukkan bahwa ada sangat sedikit areal dalam Kecamatan Krayan dan Wilayah Adat Tubu yang sesuai untuk pengembangan pertanian (gambar 23 dan 24) dengan definisi ‘sesuai’ didiskripsikan sebagai ’Lahan yang digunakan secara terus menerus untuk jenis yang dipertimbangkan, diharapkan menghasilkan keuntungan yang cukup untuk memenuhi pemasukan yang diperlukan tanpa resiko kerusakan terhadap sumber daya lahan yang tak dapat diterima’.
b. Daerah-daerah yang dinilai lebih baik dipertahankan sebagi hutan dan tidak dibuka untuk pembangunan, dapat dimasukkan ke dalam kawasan TNKM. Lahan lainnya, terutama yang telah digarap secara intensif dapat dilepas seperti yang dilakukan di Wilayah Adat lainnya.
Beberapa daerah yang diusahakan tetap dalam TNKM adalah:
• Daerah Sungai Tubu, sebagian atau sebagian besar daerah sungai Kalun dan Menabur bagian hulu dapat dimasukkan ke dalam kawasan taman nasional. Daerah- daerah tersebut terletak bersebelahan dengan lahan TNKM yang merupakan bagian dari Wilayah Adat Hulu Bahau.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) V-190
Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)
• Wilayah Adat Krayan Hilir, sebagian besar lembah sungai Kemaluh dapat dinegosiasikan dengan masyarakat untuk dipertahankan sebagai hutan dan dimasukkan kedalam kawasan TNKM sementara pembangunan dipusatkan pada lembah Sungai Pa’ Raye.
Lahan tersebut terletak di sebelah TNKM yang merupakan bagian dari Wilayah Adat Lumbis Hulu. Daerah ini masih terpencil, belantara dan dilaporkan menjadi habitat bagi beberapa badak yang masih bertahan dan jenis flora dan fauna lainnya yang tidak umum ditemukan pada bagian TNKM lainnya.
• Wilayah Adat Krayan Hulu, PKA dapat bernegosiasi dengan masyarakat untuk tetap mempertahankan lebih banyak bagian hulu sungai Bulu’, Sungai Ibang dan Sungai Rungan sebaiknya tetap tertutup oleh hutan dan idealnya masuk kawasan TNKM.
Daerah-daerah tersebut berbatasan dengan kawasan TNKM dalam Wilayah Adat Hulu Bahau. Bagian hulu sungai Rungan terdapat daerah tertutup dan hutan vegetasi rendah yang unik. Sungai Bula (atau Ibang?) adalah jalan setapak ke selatan menuju hulu Sungai Bahau, yang berpotensi untuk jalur perjalanan melintasi hutan sehingga sebaiknya dilestarikan di dalam TNKM.
Sebagian besar lahan di Wilayah Adat Krayan Darat sudah dilepas, tetapi daerah ini berpenduduk padat. Sisa-sisa lahan yang tertutup hutan tersebar secara terpecah-pecah diantara pemukiman dan telah manfaatkan secara intensif oleh masyarakat.
Kemungkinan kendala terberat untuk perencanaan tata-guna lahan semacam ini,bahkan dalam lingkup satu Wilayah Adat, adalah adanya keinginan otonomi yang kuat dari masing- masing desa yang berada dalam satu Wilayah Adat untuk mengatur sendiri desa dan wilayah desanya masing-masing. Masyarakat yang pernah bermukim, atau nenek moyangnya pernah bermukim pada daerah paling hulu sebuah lembah sungai tidak setuju daerahnya terpilih untuk dijadikan hutan permanen, sementara masyarakat yang meninggalkan desanya di bagian hilir aliran sungai dapat menggunakan lahan mereka dengan lebih mudah. PKA dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan pemimpin dan masyarakat di Wilayah Adat untuk mendapatkan izin dari desa-desa di bagian hilir sungai untuk memukimkan kembali masyarakat yang pernah tinggal, atau nenek moyangnya yang pernah tinggal di bagian hulu. Keuntungan untuk masyarakat bagian hilir adalah sumber air yang lebih lebih aman, hak memanen hasil hutan pada daerah hulu secara berkelanjutan, dan mungkin pelayanan pemerintah daerah yang lebih baik akibat peningkatan jumlah penduduk. Meyakinkan Wilayah Adat dan pedesaan untuk mendapatkan kesepakatan atas pengaturan tersebut akan sulit ditempuh.
c. Peluang menambahkan sebagian lahan untuk TNKM dapat ditingkatkan jika PKA setuju dengan sistem pengelolaan bersama (Ko-managemen) yang kuat dengan lembaga- lembaga masyarakat setempat. Hal ini juga mutlak diperlukan untuk mendapatkan keputusan terakhir yang menyatakan bahwa masyarakat setempat memang ingin tetap tinggal di dalam kawasan taman nasional. Cara ini juga sangat membantu dalam diskusi dengan masyarakat mengenai pemasukan Perluasan Kayan dan Tubu serta koridor Krayan-Mentarang ke dalam TNKM.
Ada kemungkinan sebagian besar wilayah kecamatan Krayan akan dikeluarkan dari TNKM karena jumlah penduduk yang besar, penggunaan lahan yang intensif, dan
kurang tergantung dengan hasil hutan. Namun, karena daerah tersebut tetap berada dalam daerah penyangga TNKM, sangat dianjurkan PKA bekerja sama dengan masyarakat dan pemerintah setempat dalam usaha konservasi keragaman hayati dan perlindungan lingkungan. Hutan perbukitan dan pegunungan secara luas terdapat di antara lembah sungai berpenduduk, merupakan cadangan keragaman hayati dan dapat membantu memelihara koridor habitat untuk penyebaran satwa. Daerah tersebut mempunyai pemandangan yang bagus, dengan petak sawah padi di bawah hutan lereng gunung. Suhu udara yang sejuk, pemandangannya dan kondisi cocok untuk hiking merupakan potensi besar sebagai tempat rekreasi bagi wisatawan asing maupun dalam negeri.
PKA disarankan berdiskusi dengan masyarakat dan pemerintah daerah tentang kemungkinan membuat daerah tersebut menjadi Daerah Dilindungi Kategori VI IUCN, yang secara umum dikelola untuk konservasi bentang alam dan rekreasi. Daerah seperti ini menunjukan interaksi antara manusia dengan alam dalam kurun waktu yang lama telah membentuk “karakteristik yang khas”. Beberapa kegiatan manusia terbatas di daerah ini, namun tetap memerlukan pengelolaan oleh manusia secara terus menerus untuk mempertahankan ciri khas yang telah terbentuk. Daerah tersebut mungkin tergolong dalam Situs Warisan Dunia yang meliputi TNKM.
Permintaan untuk bermukim kembali di beberapa desa dalam TNKM.
Ada keinginan yang dinyatakan oleh beberapa kelompok orang untuk bermukim kembali di bekas desa dalam TNKM, untuk menangani masalah ini sebaiknya pengelola taman nasional bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membentuk kesatuan posisi.
Kesatuan posisi tersebut harus mempertimbangkan kepentingan taman nasional, sumber daya pemerintah yang terbatas untuk menyediakan pelayanan untuk pedesaan, perlindungan daerah aliran sungai, dan rencana pembangunan ekonomi pemerintah dan masyarakat.
Setelah pemerintah yakin akan posisinya dalam masalah ini, kemudian dapat dibahas dengan masyarakat. Beberapa unsur utama dalam menghadapi masyarakat adalah:
• Mengakui hak-hak masyarakat atas lahan dan menyetujui masyarakat mengelola sumber daya alam di Wilayah Adat yang berada di dalam TNKM. Jika masyarakat telah yakin bahwa pemerintah dengan jujur tidak akan mengambil alih wilayah adatnya, mereka akan mempertimbangkan lebih banyak lahannya berada dalam TNKM. Di daerah Sungai Tubu, beberapa masyarakat mengatakan bahwa bermukim kembali di bekas desa adalah satu-satunya jalan untuk dapat mengklaim lahan milik mereka.
• Dalam beberapa kasus alternatif lokasi pemukiman kembali dapat dicari. Masyarakat Saben telah mempertimbangkan bermukim kembali di daerah Sungai Menabur Icit dalam Wilayah Adat Tubu. Karena daerah ini berada di pinggiran TNKM, dampak yang timbul akan lebih kecil dibandingkan dengan bermukim di daerah bagian dalam TNKM.
• Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan hak-hak masyarakat atas wilayah adatnya yang telah meninggalkan desanya secara sukarela dari dalam kawasan taman nasional atas permintaan pemerintah. Salah satu alasan mengapa suku Punan Tubu berencana kembali ke desanya adalah karena ditekan oleh masyarakat di pemukiman barunya untuk berpindah. Karena mereka merasa bahwa pemerintah tidak memperhatikan
V-193
hak untuk tinggal di lokasi yang baru, mereka khawatir suatu saat akan diusir.
• Pemerintah dapat meningkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan lainnya pada tempat seperti Respen, yang banyak ditempati masyarakat Punan Tubu dari Sungai Tubu bagian hulu yang telah berpindah atas permintaan pemerintah. Jika kesehatan, pendidikan dan program serta pelayanan pemerintah ditingkatkan dan dikembangkan, maka akan sulit bagi masyarakat untuk berpindah dan bermukim kembali di pedalaman.
Sehubungan dengan ini adalah pentingnya pembangunan daerah penyangga taman nasional, sesuai petunjuk dan rencana dalam Bab III C dokumen ini.
Terdapat peluang bahwa salah satu dampak dari negosiasi mengenai pelepasan, penambahan lahan atau pengembalian ke dalam kawasan TNKM akan mengakibatkan desa-desa menjadi enklav, yang seharusnya dihindari jika dilihat dari kepentingan taman nasional. Jika hal tersebut tidak dapat dihindari, para ahli menganjurkan beberapa aturan untuk meminimalkan dampaknya:
• Untuk pemeriksaan laju perkembangan, imigrasi orang luar ke dalam desa tersebut dilarang. Dilarang pembelian atau pembukaan lahan, pendirian rumah, oleh orang luar atau imigran kecuali yang terikat perkawinan dengan masyarakat setempat.
• Batasan pengembangan pertanian yang dapat ditolerir harus ditentukan dengan jelas di lapangan. Mengembangkan pertanian melebihi batas tersebut tidak diperbolehkan.
• Jalan masuk maupun keluar dari desa-desa terbatas pada jalur tradisional yang sudah ada (dilarang membuat jalan yang baru) dan dilarang membuka lahan di pinggir jalan tersebut.
Di dalam TNKM, kemungkinan terbentuknya enklav adalah di desa Masyarakat Punan di daerah hulu Sungai Tubu. Jika hulu Sungai Tubu dimasukkan ke dalam taman nasional maka diperlukan sebuah enklav di sekitar desa Long Pada.
Jika negosiasi pengembangan kawasan TNKM dengan masyarakat tidak berhasil, dan TNKM tetap terpisah, maka beberapa masalah yang harus dipertimbangkan PKA adalah sebagai berikut:
• Memelihara satu taman nasional; membuat taman nasional kedua yang lebih kecil di bagian utara; atau satu taman nasional dengan alternatif memberi status dilindungi untuk taman nasional bagian utara yang lebih kecil. Walaupun taman nasional di bagian utara berukuran sangat kecil dibandingkan dengan taman nasional bagian selatan, namun luasnya yang mencapai 85000 hektar membuatnya lebih besar dari beberapa taman nasional lainnya. Pengajuan status perlindungan beberapa hutan di daerah Ulu Padas di sebelah perbatasan dengan Malaysia perlu dikonfirmasi, dan dapat membuat hutan lindung lintas-batas yang lebih besar.
• Keputusan membuat satu atau dua taman nasional sangat berpengaruh terhadap lokasi infrastruktur kawasan, khususnya kantor pusat. Sebuah pertanyaan yang muncul adalah dapatkah dua taman nasional mempunyai satu kantor pusat untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi? Masalah ini akan dibahas pada sub-bab Infrastruktur Taman Nasional.
V-195 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)
• Masalah yang mungkin dihadapi PKA adalah apakah masyarakat setempat akan menerima TNKM menjadi permanen. Banyak yang ingin tetap mempunyai hak penarikan lahannya dari TNKM pada masa yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan keturunannya. Jika masyarakat setempat tidak dapat menerima status TNKM yang permanen di atas lahannya, alternatif lain adalah merundingkan kesepakatan jangka panjang dengan masyarakat dan lembaganya mengenai lahannya dijadikan taman nasional selama 50 sampai 100 tahun. Alternatif ini telah diterapkan oleh negara lain seperti Australia dengan masyarakat Aboriginnya.
d. Masalah Batas Eksternal Lainnya
Sehubungan dengan usulan perubahan terhadap batas dan ukuran taman nasional, dianjurkan untuk menggambarkan kembali batas taman nasional dan membuat draft untuk Keputusan Menteri yang baru yang akan menghapus ketentuan yang lama.
Ketentuan yang baru sebaiknya melingkup seluruh luas taman nasional. Penggantian batas yang lama sering tidak jelas dan tidak lengkap, dengan batas baru yang jelas dan tidak diragukan mengenai batas yang baru berdasarkan ciri-ciri geografis utama seperti sungai, lembah drainasi dan pegunungan, dilengkapi dengan sebuah peta yang bagus, akan sangat menentukan perlindungan taman nasional.
Batas taman nasional dan batas negara dengan Sabah dan Serawak dilaporkan ditandai dengan tiang-tiang beton pada interval 100 meter. Batas taman nasional dalam wilayah Indonesia belum ditandai.
Jika memungkinkan, batas sebaiknya mengikuti pinggiran sungai atau bukit dan puncak yang memisahkan daerah aliran sungai. Karena sifat alami tersebut sudah umum dan mudah dikenal masyarakat lokal, dan karena terdapat berbagai masalah lainnya yang lebih penting untuk beberapa tahun mendatang, penandaan batas dengan tanda, tumpukan batu, tiang beton atau ‘pagar’ tumbuhan bukan prioritas utama. Alternatif lain adalah menempatkan peta tahan cuaca yang menggambarkan batas taman nasional pada tempat yang sederhana dan mudah terlihat oleh semua desa, serta mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan batas.
HPH di sekitar kawasan harus dijelaskan mengenai perubahan batas dan dicocokkan dengan peta perusahaan. Batas antara HPH dengan taman nasional harus ditandai oleh sebuah tim terdiri dari karyawan taman nasional dan perusahaan. Jika terdapat perbedaan peta perusahaan dengan peta taman nasional, masalah tersebut diselesaikan dengan mengacu pada ketentuan Menteri Kehutanan.
Terdapat beberapa batas buatan yang tidak mengikuti tanda-tanda alami, terutama batas yang diajukan oleh masyarakat di Krayan Hulu dan Krayan Hilir. Batas seperti ini memerlukan tanda-tanda yang lebih jelas. Namun, hal ini bukanlah prioritas pada lima tahun pertama, karena adanya berbagai masalah lain yang lebih penting dan dana dari sumber luar sangat terbatas. Lagipula belum adanya ancaman yang berarti dari luar, serta batas kawasan harus menunggu sampai sebagian dari rencana pemanfaatan lahan dan kegiatan yang berhubungan dengan perundingan bersama masyarakat dapat diselesaikan.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) V-196
Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)
Yang dapat dilakukan pada lima tahun pertama adalah membuat daftar prioritas batas buatan yang ditandai serta memilih jenis tanda yang cocok. Pada batas buatan yang berdekatan dengan areal penebangan, diperlukan kunjungan ke kantor dan penjelasan mengenai batas. Petugas taman nasional dan HPH dapat berjalan di sepanjang batas, membuat pembatasan sementara dengan memberi tanda menggunakan pita berwarna cerah pada batang pohon atau tumbuhan.
Ketika batas ditandai, masyarakat setempat diperlukan partisipasinya semaksimal mungkin. Proyek GTZ “Social Forestry” di Kalimantan Timur dan institusi lainnya tengah mengembangkan metode-metode penandaan batas untuk digunakan oleh perusahaan penebangan dan masyarakat setempat. Metode seperti ini dapat diterapkan pada taman nasional.
Jika tumbuhan digunakan, misalnya, masyarakat lokal dapat dikontrak untuk menanam benih dan penanamannya. Karena kegiatan yang dapat meningkatkan ekonomi berkembang cukup lambat karena letak lokasi dari taman nasional yang jauh dan terpencil, kontrak semacam ini merupakan cara yang penting untuk menggunakan uang sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Tumbuhan yang digunakan sebagai tanda batas sebaiknya jenis lokal dan, jika memungkinkan, yang umum digunakan oleh masyarakat untuk menandai batas.
Ada masalah mengenai batas yang perlu segera diselesaikan. Menurut peta resmi tahun 1996 SK Taman Nasional Kayan Mentarang, seluruh bagian sungai Tubu ke arah hulu dari muara Sungai Menabur sampai bagian hulu Sungai Kalun, terletak di dalam kawasan taman nasional. Menurut peta Tata Ruang, daerah tersebut terletak di luar TNKM. Di samping itu, peta SK Taman Nasional Kayan Mentarang menunjukkan lebih banyak bagian Sungai Menabur yang terletak dalam kawasan TNKM jika dibandingkan dengan peta Tata Ruang dan peta INTAG tahun 1992, yang telah digunakan untuk menentukan batas usaha HPH pada daerah tersebut. Perbedaan seperti ini harus segera diselesaikan.