• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Taman Nasional

Dalam dokumen Buku II RPTN Taman Nasional Kayan Mentarang (Halaman 57-61)

BAB I KEADAAN UMUM

E. Pengelolaan Taman Nasional

1. Sejarah Penetapan Sebagai Taman Nasional

Sejarah Taman Nasional Kayan Mentarang dimulai pada tahun 1977. Sebuah tim gabungan PPA/FAO melakukan survey di daerah hulu Daerah Aliran Sungai Kayan/Bahau yang menghasilkan sebuah proposal untuk menunjuk satu kawasan cagar alam seluas 800.000 ha di hulu Sungai Kayan. Kawasan hutan tersebut sebelumnya telah ditetapkan sebagai areal konsesi HPH namun belum pernah dilakukan penebangan. Departemen Pertanian (Departemen yang saat itu bertanggung jawab terhadap pengelolaan hutan) menolak untuk membatalkan HPH tersebut. Pada tahun 1980, Departemen Pertanian menetapkan kawasan pegunungan di sebelah utara kawasan hutan yang sebelumnya diusulkan sebagai cagar alam sebelumnya, ditetapkan sebagai Cagar Alam Kayan Mentarang. Dalam kawasan cagar alam tersebut terdapat sedikit hutan dataran rendah. Alasan utama adanya usulan cagar alam di hulu Sungai Kayan adalah untuk melestarikan kawasan hutan dataran rendah yang luas sebab hanya hutan dalam kawasan Taman Nasional Kutai satu-satunya hutan dataran rendah yang luas yang dilindungi di Kalimantan Timur, dan merupakan salah satu dari sebagian kecil yang ada di Borneo. T.N Kutai telah terdegradasi berat akibat penebangan liar dan perambahan hingga akhir 1970-an (Blower et al., 1981), kemudian sejak itu kebakaran besar serta perambahan telah menghancurkan sebagian besar hutan yang tersisa.

Kayan Mentarang awalnya ditunjuk sebagai cagar alam seluas 1,6 juta hektar berdasarkan SK No. 847 Kpts/Um/II/25 November 1980 mengingat tingginya keanekaragaman hayati seperti yang diidentifikasi dalam National Conservation Plan for Indonesia (UNDP/FAO 1982). Pentingnya Kayan Mentarang sebagai unit kunci dalam sistem kawasan konservasi Indonesia untuk Kalimantan telah ditegaskan dalam Review of the Protected Areas System in the Indo-Malayan Realm (MacKinnon dan MacKinnon, 1986) serta dalam edisi terbaru dari dokumen tersebut (MacKinnon, 1997).

Pada tahun 1989, PHPA, LIPI serta WWF Indonesia Programme menandatangani Memorandum of Understanding untuk memulai proyek kerjasama penelitian dan pengembangan untuk Kayan Mentarang yang bertujuan untuk mengembangkan sistem pengelolaan yang mengintegrasikan konservasi dengan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar cagar alam. Fase permulaan tersebut berlangsung hingga tahun 1994. Para mitra menyadari bahwa status cagar alam merupakan hambatan karena secara hukum ada aturan yang melarang masyarakat adat untuk melanjutkan cara hidup tradisional mereka yang telah berabad- abad bermukim di dalam cagar alam. WWF menyatakan bahwa hak-hak masyarakat adat patut dilindungi, bahwa kegiatan tradisional masyarakat untuk mencari nafkah tidak membahayakan keanekaragaman hayati cagar alam, dan juga bahwa masyarakat adat dapat menjadi mitra yang penting dalam menjaga Kayan Mentarang dari gangguan lainnya.

Pada tahun 1992, WWF mengusulkan perubahan status Kayan Mentarang dari cagar alam menjadi taman nasional mengingat status taman nasional memungkinkan pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional di zona yang telah ditentukan. Tahun 1993,

I-70 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)

Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)

Departemen Kehutanan membentuk sebuah tim untuk mengevaluasi rekomendasi tersebut.

Anggota tim tersebut adalah wakil-wakil dari instansi pemerintah daerah, perusahaan swasta dan instansi Kehutanan. Tim tersebut membuat rekomendasi yang tegas bahwa Kayan Mentarang perlu ditetapkan sebagai taman nasional. Menteri Kehutanan kemudian menyetujui serta menunjuk Kayan Mentarang menjadi taman nasional pada tanggal 7 Oktober 1996 (SK Menteri Kehutanan No.631/Kpts-II/1996) dengan luas kawasan sekitar 1,35 juta hektar. Surat keputusan menteri tersebut diyakini merupakan yang pertama di Indonesia yang menyatakan bahwa masyarakat asli harus diperbolehkan mencari nafkah secara tradisional di dalam areal tertentu dari taman nasional. Pengurangan area seluas 250.000 hektar dari cagar alam diakibatkan karena kesalahan koreksi dalam batas yang asli serta dikeluarkannya beberapa lahan pertanian, yang telah dikelola secara intensif oleh masyarakat.

Sejak penetapannya pada tahun 1980 sebagai cagar alam, pengelolaan Kayan Mentarang telah menjadi wewenang Sub Balai KSDA Kalimantan Timur. Namun karena kekurangan staf dan dana, personil Sub Balai KSDA tidak pernah ada yang ditempatkan di lapangan.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 menyebabkan kecilnya kemungkinan untuk terjadi perubahan dalam waktu dekat. WWF Indonesia telah menjalankan peran yang cukup besar dalam penelitian serta perencanaan taman nasional selama dekade yang lalu, namun belum mendapatkan mandat dan kurangnya sumberdaya manusia untuk ikut dalam kegiatan pengelolaan.

2. Perencanaan Taman Nasional

Upaya perencanaan taman nasional telah difokuskan pada penataan batas taman nasional dan zona pemanfaatan melalui proses partisipatif untuk mendokumentasikan pola penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat di dalam dan sekitar taman nasional, pendokumentasian karakteristik fisik maupun biologis dari taman nasional serta mengumpulkan masukan dari pemerintah daerah serta pihak terkait lainnya.

Batas taman nasional, seperti yang digambarkan dalam peta lampiran SK Menteri Kehutanan No.631/Kpts-II/1996 (lihat Gambar 3), dimaksudkan untuk memaksimalkan perlindungan daerah aliran sungai, mengeluarkan lahan pertanian hingga seluas mungkin, mengeluarkan konsesi HPH yang ada serta mengikuti bentuk alam yang mudah dikenal seperti punggung bukit dan sungai. Ditjen. PHPA menyadari bahwa batas tersebut hanyalah batas awal dan sementara. Batas final harus ditentukan setelah penelitian lebih lanjut mengenai biologi dan sosial, serta konsultasi dengan pihak terkait lainnya (semua stakeholder). Semua batas luar belum ditata batas baik dengan tanda, patok atau tanda batas lainnya.

Perumusan rekomendasi batas dan zonasi taman nasional merupakan kegiatan perencanaan penting di akhir dasawarsa 1990-an. Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia bekerja sama dengan masyarakat adat melalui proses perencanaan partisipatif mengembangkan rekomendasi batas dan zonasi yang memperhatikan pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam secara tradisional serta untuk memperbaiki ketidaktepatan tata batas awal TNKM.

Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) I-71

Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)

Informasi tersebut kemudian digabungkan dengan hasil dari survey keanekaragaman hayati serta informasi biologi lainnya untuk merumuskan rekomendasi zonasi yang muncul dalam rencana tersebut. Proses tersebut mencakup kegiatan di bawah ini:

• Melakukan pemetaan tentang pemanfaatan lahan tradisional oleh masyarakat adat di dalam maupun di luar taman nasional, pengklasifikasian lahan secara spesifik menjadi beberapa kategori termasuk berbagai tipe lahan pertanian, bekas ladang, hutan yang sehari-hari dimanfaatkan oleh masyarakat serta hutan yang lebih terbatas pemanfaatannya. Informasi tersebut digunakan untuk menggambarkan zona pemanfaatan tradisional taman nasional;

• Survey cepat keanekaragaman hayati (rapid biodiversity survey), analisa tipe habitat serta informasi lainnya untuk mengembangkan rekomendasi zonasi berdasarkan faktor konservasi biologi;

• Konsultasi dengan masyarakat secara luas untuk memperoleh rekomendasi mereka untuk deliniasi batas dan zonasi;

• Perumusan usulan batas dan zonasi menurut WWF berdasarkan proses yang disebutkan di atas, serta;

• Penyampaian usulan-usulan tersebut kepada masyarakat untuk didiskusikan dan negosiasi. Hasil dari negosiasi tersebut merupakan rekomendasi akhir yang tercantum dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional.

3. Pengelolaan Sumber Daya Alam Taman Nasional

Balai KSDA Kalimantan Timur belum cukup mampu untuk mengelola sumberdaya taman nasional karena kurangnya anggaran dan staf. Selama ini, satu-satunya kegiatan yang memiliki keterkaitan dalam pengelolaan adalah kegiatan yang tergabung dalam Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia. Kegiatan tersebut dipisahkan menjadi kategori perencanaan pengelolaan atau persiapan pengelolaan, sebagai berikut:

Pengumpulan informasi untuk melengkapi Rencana Pengelolaan:

a. Kegiatan peningkatan kesadaran dan pendidikan lingkungan dengan sasaran masyarakat adat, instansi pemerintah serta masyarakat umum. Media yang digunakan termasuk surat kabar, brosur, pamflet mengenai pengelolaan taman nasional (misalnya, Manfaat Taman Nasional, Pentingnya Taman Nasional Kayan Mentarang, Zonasi, Pengelolaan Taman Nasional dan Pengembangan Ekonomi), kunjungan serta pertemuan dengan masyarakat, penyuluhan melalui radio dan poster-poster (mengenai pariwisata dan jenis satwa serta burung-burung yang terancam). Brosur dan pamflet diterjemahkan ke dalam empat bahasa daerah yang paling umum digunakan di sekitar taman nasional;

b. Pemberdayaan masyarakat setempat serta institusi lokal untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional melalui proses pemetaan partisipatif bersama masyarakat;

c. Pengumpulan data dasar biologi untuk pengelolaan dan pemantauan; dan

d. Pemantauan ancaman terhadap taman nasional dan bekerjasama dengan pemerintah serta pihak swasta untuk mencegah gangguan tersebut.

4. Pemanfaatan Taman Nasional

Sejauh ini pemanfaatan taman nasional yang paling besar adalah oleh masyarakat setempat yang berburu dan mengumpulkan hasil hutan di dalam wilayah adat mereka. Kegiatan tersebut dijelaskan secara lebih rinci dalam Bab I-D, Kondisi sosial ekonomi dan adat masyarakat setempat.

Pemanfaatan taman nasional untuk rekreasi sangat rendah. Meskipun data statistik yang memadai belum ada, tampaknya kurang dari 25 pengunjung datang setiap tahunnya.

Fotografer dan pembuat film mengunjungi taman nasional dalam kesempatan untuk membuat foto satwa liar guna penulisan buku atau pembuatan film dokumenter.

5. Penelitian dan Pengembangan

Penelitian di wilayah hulu serta Sungai dan penelitian yang berkaitan dengan masyarakat telah dilakukan di kawasan taman nasional selama 10 sampai 20 tahun. Peneliti independen biasanya melakukan penelitian di dalam kawasan taman nasional selama periode beberapa minggu hingga beberapa bulan, namun biasanya bersifat sporadik. Stasiun Penelitian Hutan Lalut Birai, dibangun WWF pada tahun 1992, merupakan satu-satunya fasilitas penelitian jangka panjang yang ada di taman nasional. Staf Lalut Birai melakukan pemantauan serta beberapa pengukuran berkala, sebagai berikut :

• Pengamatan fenologi bulanan di plot vegetasi permanen,

• Pengukuran produktifitas hutan,

• Pengukuran tingkat dekomposisi seresah,

• Sensus primata, mamalia, burung serta amfibia/reptilia,

• Pengkoleksian kumbang pemakan kotoran dan serangga,

• Pengumpulan data suhu, kelembaban serta curah hujan, dan

• Pemantauan kerusakan lingkungan,

• Percobaan penanaman gaharu dan ulin.

Tim WWF Indonesia melakukan survey cepat keanekaragaman hayati di 15 area dalam taman nasional. Tiap survey dilakukan untuk mengetahui tipe-tipe vegetasi, tanah, penutupan tajuk, mamalia, burung, amfibia maupun reptilia, serangga serta kerusakan lingkungan. Tim Wildlife Conservation Society-CIFOR, juga telah melaksanakan survey yang sama di bagian hulu Sungai Tubu, tepat di sebelah luar batas taman nasional.

Penelitian mengenai kebudayaan suku Dayak dan ekologi manusia telah banyak dilakukan melalui program Kebudayaan dan Pelestarian Alam (Culture and Conservation Program) WWF Kayan Mentarang yang didanai oleh Ford Foundation. Proyek tersebut secara khusus ditujukan pada masalah-masalah budaya yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan konservasi alam dan pengembangan masyarakat adat.

Hasil dari kegiatan penelitian yang tercakup dalam program tersebut terdapat di dalam buku Kebudayaan dan Pelestarian Alam yang disunting oleh Eghenter dan Sellato (1999).

Upaya WWF untuk membantu masyarakat adat dalam memetakan wilayah adatnya, telah banyak menyediakan data mengenai pemanfaatan lahan serta pemahaman yang mendalam mengenai berbagai cara masyarakat Dayak berinteraksi dengan lahan dan hutan. Pemetaan partisipatif bersama masyarakat dikembangkan dengan menggunakan analisa kecenderungan sejarah untuk mengestimasi populasi dan tingkat pemanfaatan tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan secara teratur oleh masyarakat adat. Pada tahun 1996, CIFOR dan WWF bekerjasama melaksanakan survey mengenai Pemanfaatan Hutan Ekonomi Rumah Tangga di Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang (Wollenberg dan Asung, 1998).

Staf Proyek WWF telah melakukan survey terhadap masyarakat untuk menentukan pilihan pengembangan ekonomi yang diinginkan oleh masyarakat. Sebuah Tim dari Universitas Gadjah Mada membuat sebuah tulisan tentang analisa pengembangan ekonomi yang direkomendasikan/proyek peningkatan pendapatan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan taman nasional. Staf WWF juga mempelajari mengenai institusi lokal dan peranannya dalam mengelola sumberdaya alam, sebagai langkah awal untuk menganalisa jenis pelatihan yang mungkin diperlukan untuk meningkatkan kemampuan mereka agar dapat berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional.

Studi-studi dan kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan taman nasional lainnya antara lain:

• Studi berjudul Pengembangan dan Pengelolaan Wisata Alam (Ekoturisme) di Taman Nasional Kayan Mentarang (Cochrane, 1999).

• Studi yang dilaksanakan bersama oleh PHKA, WWF, Proyek NRM II yang didanai USAID serta Dinas Kehutanan Amerika untuk membuat pengkajian awal mengenai kebutuhan sarana prasarana Kayan Mentarang (Terzich dkk., 1999).

• Bersama CIFOR dan proyek NRM II, WWF Indonesia telah melaksanakan lokakarya yang mempertemukan masyarakat adat dengan pemerintah pada bulan Oktober 1998 untuk mengupayakan pengakuan pemerintah akan hak masyarakat adat terhadap wilayah adatnya yang berada di sekitar taman nasional.

6. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan

Proyek Kayan Mentarang WWF telah melakukan beberapa kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung membantu menjaga taman nasional dari ancaman, sebagai berikut:

• Survey udara terhadap batas taman nasional;

• Kegiatan peningkatan kesadaran dan pendidikan yang ditujukan kepada masyarakat adat yang memanfaatkan sumberdaya alam dari taman nasional;

• Menghentikan usaha pengumpulan gaharu ilegal oleh pendatang dan pengusaha dari luar daerah sekitar kawasan taman nasional pada tahun 1994;

• Menghentikan penebangan liar yang dilakukan oleh perorangan maupun perusahaan;

I-74 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)

Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)

• Bekerja sama dengan para perencana daerah di tingkat Kabupaten dan Propinsi melalui survey udara serta konsultasi untuk memilih rute jalan dengan tingkat kerusakan yang minimal dan yang paling efisien khususnya untuk rencana jalan Kalimantan poros Utara jalur dari Malinau ke Long Bawan;

• Pembangunan empat pos lapangan di desa Data Dian, Long Pujungan, Malinau serta Long Bawan.

Hukum adat kelompok-kelompok suku Dayak setempat memiliki ketentuan-ketentuan (peraturan adat) yang dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi sumberdaya alam.

Masyarakat setempat secara adat melarang perburuan dan pengumpulan hasil hutan non- kayu di tempat-tempat tertentu dalam wilayah adatnya. Beberapa waktu lalu, sebuah lembaga adat mengeluarkan peraturan yang melarang penangkapan salah satu jenis burung yaitu Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), karena kekhawatiran masyarakat bahwa jenis tersebut sudah terancam akibat penangkapan yang berlebihan.

7. Pengembangan Kelembagaan

Hingga saat ini belum ada Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dibentuk untuk mengelola Taman Nasional Kayan Mentarang. Taman nasional saat ini merupakan wewenang Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Samarinda, namun BKSDA masih belum mampu menugaskan stafnya secara penuh di TNKM. Kantor propinsi KSDA berada di Samarinda dan kantor unit KSDA terdapat di Berau serta Tarakan.

Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia saat ini memiliki 45 orang staf yang bekerja di kantor Samarinda, di empat pos lapangan dan di Stasiun penelitian Hutan Lalut Birai.

Proyek dikelola sesuai dengan peraturan pegawai WWF Indonesia. Staf proyek WWF telah dilatih untuk kegiatan pemetaan partisipatif bersama masyarakat serta metode PRA (Participatory Rural Appraisal) lainnya, penyadaran dan pendidikan konservasi, survey cepat keanekaragaman hayati, taksonomi serangga, taksonomi tumbuhan, penggunaan komputer serta administrasi. Pengetahuan tersebut dapat dialihkan kepada staf taman nasional ketika mereka diangkat dan ditugaskan di TNKM.

Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia berupaya untuk meningkatkan kemampuan lembaga adat di kawasan taman nasional untuk secara efektif berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional. Telah dilaksanakan satu survey mengenai keberadaan lembaga- lembaga tersebut, peranannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan jenis pelatihan yang dibutuhkan. WWF mendukung lembaga adat untuk mengadakan pertemuan bagi penyelesaian masalah konflik batas antara desa-desa serta antara wilayah adat mereka.

Sebagian masyarakat setempat yang dilatih teknik pemetaan partisipatif dan sebagian telah dilatih metode dasar peningkatan kesadaran dan pendidikan konservasi. Proyek juga telah membentuk Panitia Pengarah untuk Pengelolaan Terpadu Taman Nasional serta Forum Musyawarah Masyarakat Adat TNKM. Lembaga tersebut akan dijelaskan pada bab berikutnya.

Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) I-75

Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)

8. Koordinasi

Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia mengkoordinasikan kegiatannya kepada Balai KSDA Kalimantan Timur yang berkantor di Samarinda.

Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia bersama Pemda TK II Kabupaten Bulungan telah membentuk suatu Tim Formatur untuk menyusun pedoman bagi Tim Pengarah Pengelolaan Terpadu Taman Nasional. Tim tersebut terdiri dari WWF Indonesia, perwakilan Pemda Tk. I (Propinsi) dan Tk. II (Kabupaten), dan perwakilan masyarakat adat serta tokoh masyarakat dan telah melakukan pertemuan sebanyak 3 kali untuk menyusun kerangka acuan dan rancangan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Timur.

Panitia Pengarah Pengelolaan Terpadu Taman Nasional dimaksudkan untuk menjadi Badan Pengarah yang terdiri dari perwakilan masyarakat, instansi pemerintah dari kecamatan, kabupaten serta propinsi, pihak swasta, LSM serta lembaga penelitian. Tujuan dari panitia pengarah tersebut adalah untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi, mengidentifikasi topik penelitian, membuat prioritas kegiatan pembangunan yang dibutuhkan di TNKM serta menghindari pengulangan atau tumpang tindih antar proyek pembangunan di kawasan taman nasional. Meskipun demikian upaya untuk membentuk panitia semacam itu tergantung pada dua alasan. Pertama, pemulaan proses desentralisasi. Ketidakpastian hasil akhir proses ini membuat sulit mengambil keputusan mengenai struktur terbaik Tim Pengarah Pengelolaan Terpadu Taman Nasioanal. Alasan lain adalah keputusan pada bulan September 2000 untuk membentuk Dewan Penentu Kebijakan (DPK), yang merupakan Institusi Pengelola bersama Taman Nasional Kayan Mentarang yang mewakili masyarakat adat, PHKA dan pemerintah daerah. Sebagian besar atau bahkan seluruh kebutuhan koordinasi taman nasional dapat dilaksanakan dengan biaya murah melalui DPK.

Proyek telah bekerja dengan para wakil masyarakat adat untuk mengembangkan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) yang terdiri dari perwakilan 10 wilayah adat yang sebagian wilayah adatnya masuk dalam taman nasional. Badan Musyawarah FoMMA telah dikukuhkan oleh Bupati Kabupaten Malinau pada bulan Oktober 2000. Keberadaan FoMMA dimaksudkan untuk menjadi sarana bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional. Forum tersebut mewakili keinginan 16.000 orang, memberikan wewenang dan tanggung-jawabnya dalam bekerjasama dengan pengelola taman nasional serta pegawai pemerintahan lainnya. Forum tersebut juga akan menjadi penghubung utama dalam komunikasi antara pengelola taman nasional dengan lembaga adat di tingkat wilayah adat dan desa. FoMMA berharap pada akhirnya dapat menjadi lembaga pengelola taman nasional, dengan dukungan dan pengawasan PHKA dan masyarakat adat di Malinau dan Nunukan. Sebuah tim kerja yang terdiri dari wakil beberapa wilayah adat telah mengadakan dua kali pertemuan untuk mengembangkan panduan dasar untuk pembentukan FoMMA dan panduan operasionalnya (Lampiran 12)

9. Pengembangan Sarana dan Prasarana

Stasiun Penelitian Hutan Lalut Birai merupakan satu-satunya sarana permanen yang dikembangkan khusus untuk mendukung taman nasional, meskipun landasan pesawat

(bandara kecil), jalan setapak dan pelabuhan (dermaga) kecil telah dibangun untuk melayani masyarakat adat. Stasiun tersebut meliputi bangunan untuk penelitian, rumah tinggal staf (asrama), wisma tamu, dapur, ruang makan serta rumah tempat perahu. Peralatan yang tersedia meliputi pembangkit listrik tenaga matahari, generator, komputer, printer, peralatan penelitian lainnya, perahu, motor, radio SSB, mesin ketik dan peralatan kantor.

WWF menyewa bangunan yang dipergunakan sebagai pos lapangan di desa Data Dian, Long Pujungan, Malinau dan Long Bawan. Tiap pos memiliki pembangkit tenaga matahari sederhana, sebuah radio SSB, sebuah mesin ketik, peralatan kantor, juga sebuah perahu atau sepeda motor.

Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia juga menyewa dua kantor , kantor utama di Samarinda dan kantor kecil di Tanjung Selor. Masing-masing kantor memiliki beberapa komputer dan printer, mesin fax serta peralatan lainnya. Kantor Samarinda memiliki sebuah sistem GIS dengan sebuah plotter untuk mencetak peta.

Balai KSDA juga memiliki kantor unit KSDA di Tanjung Selor, Berau dan Tarakan.

10.Pengembangan Peranserta Masyarakat

Partisipasi masyarakat telah menjadi bagian yang penting dan keberhasilan dari Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia. Hal itu merupakan langkah penting dalam mempersiapkan masyarakat serta lembaga adat untuk menjadi mitra pengelola taman nasional. Kegiatan kunci mengenai partisipasi masyarakat meliputi:

a. Pemetaan desa partisipatif masyarakat terhadap wilayah adatnya sebagai alat penting dalam membuat keputusan tentang batas luar serta zonasi taman nasional. Masyarakat melakukan pemetaan sendiri dengan bimbingan dari staf WWF Indonesia.

b. Kembali ke desa-desa untuk berdiskusi dengan masyarakat dan melakukan negosiasi mengenai batas luar dan zonasi setelah staf proyek membuat kesimpulan awal berdasarkan hasil dari pemetaan masyarakat serta analisa dari sudut pandang biologi konservasi.

c. Penyertaan perwakilan masyarakat dalam Tim yang menyusun usulan peraturan dan kerangka acuan untuk pembentukan FoMMA.

d. Pembentukan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) yang terdiri atas perwakilan dari 10 wilayah adat.

e. Diskusi dan negosiasi mengenai usulan peraturan pemanfaatan tumbuhan dan satwa di zona pemanfaatan tradisional dalam taman nasional.

f. Mendapatkan informasi dari masyarakat adat mengenai proyek peningkatan pendapatan yang menurut masyarakat memiliki kemungkinan besar untuk berhasil.

g. Menggunakan pengetahuan lokal untuk menentukan perkiraan tingkat populasi serta kecenderungan populasi jenis tumbuhan dan satwa yang terancam menurut IUCN, dilindungi undang-undang dan/atau yang paling banyak dimanfaatkan.

h. Lebih dari 50% staf proyek adalah suku Dayak yang berasal dari kawasan taman nasional.

11.Pemantauan dan evaluasi

Citra satelit, radar, topografi serta peta lainnya telah didigitasi dan dimasukkan ke dalam sistem GIS proyek untuk membangun sebuah basis data keruangan (spasial) untuk pemantauan. WWF telah mengumpulkan informasi dasar serta menggabungkannya ke dalam dokumen proyek dan sistem GIS, yang meliputi:

• Hasil-hasil pemetaan partisipatif masyarakat serta kegiatan pengembangan masyarakat lainnya.

• Hasil-hasil pembuatan jalur saat survey cepat keragaman hayati.

• Hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan di Stasiun Penelitian Hutan Lalut Birai.

12.Pendanaan

Kantor Balai KSDA di Samarinda tidak memiliki dana khusus untuk kegiatan TNKM.

Semua kegiatan di taman nasional secara langsung didanai oleh Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia. Saat ini pendanaan untuk proyek meliputi:

• Bantuan sebesar 1,5 juta Dollar Amerika dari DANIDA, Badan Pengembangan Internasional Pemerintah Denmark, yang telah berakhir pada bulan November 2000.

Bantuan tersebut merupakan dana terbesar dan digunakan untuk membiayai kegiatan proyek yaitu GIS, peningkatan kesadaran dan pendidikan konservasi, penyusunan/

pengembangan Rencana Pengelolaan, kebijakan, koordinasi serta pemberdayaan masyarakat.

• Bantuan tahunan dari WWF Jerman sebesar kurang-lebih 116.000 Dollar Amerika yang berakhir pada bulan Juni 2002, bila evaluasi tahunan proyek memuaskan. Bantuan tersebut diutamakan untuk penelitian biologi konservasi di Stasiun Penelitian Hutan Lalut Birai, survey cepat keanekaragam hayati dan penelitian lainnya.

• Bantuan tahunan dari TOTAL Foundation sebesar 50.000 Dollar Amerika, yang berakhir pada bulan Desember 2001. Bantuan tersebut digunakan untuk penyediaan peralatan, renovasi dan pemeliharaan Stasiun Penelitian Hutan Lalut Birai.

Lembaga donor sebelumnya adalah Ford Foundation yang mendanai Program Kebudayaan dan Konservasi, Uni Eropa yang menyediakan dana untuk perencanaan, manajemen dan koordinasi, serta MacArthur Foundation dan USAID (United States Agency for International Development), keduanya mendanai kegiatan pemetaan desa partisipatif bersama masyarakat serta kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan masyarakat.

Bantuan dari Alton Jones Foundation digunakan untuk membangun Stasiun Penelitian Hutan Lalut Birai.

Proyek Kayan Mentarang WWF Indonesia telah mendapatkan dana tambahan untuk empat tahun, US$ 2 juta dari DANIDA untuk membantu memulai pelaksanaan Rencana Pengelolaan, sejak Desember 2000.

I-78 Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)

Kayan Mentarang Periode 2001-2025 (Buku II)

PHKA, KSDA dan WWFI juga telah mendapatkan bantuan 863.000 Dolar Amerika dari ITTO untuk mendukung usaha konservasi lintas batas antara TNKM dan Sabah dan Serawak selama dua tahun, analisa dampak lingkungan berbagai alternativ untuk meningkatkan transportasi menuju kawasan taman, dan pengembangan prasarana. Bantuan ini akan mulai pada bulan Januari 2001.

Dalam dokumen Buku II RPTN Taman Nasional Kayan Mentarang (Halaman 57-61)