• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Mutu Organisasi

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 112-116)

Unsur budaya 5: Jaminan Keamanan Kerja

Karyawan harus memperoleh jaminan keamanan kerja. Dalam hal ini harus mengetahui bahwa pekerjaannya aman. Ini berarti bahwa mereka jangan sampai diberhentikan begitu saja seperti peralatan yang sudah using.

Unsur budaya 6: Keadilan

Harus terdapat keadilan. Setiap anggota organisasi harus mempunyai persepsi bahwa di dalam organisasinya terdapat iklim keadilan, berdasarkan tata-laku dan tindakan para manajer pada semua tingkat.

Unsur budaya 7: Kompensasi

Kompensasi harus adil. Hal ini berarti bahwa sistem gaji dan imbalan apapun harus wajar sesuai tugas, wewenang, dan tanggung jawab.

Unsur budaya 8: Rasa ikut memiliki

setiap anggota organisasi harus mempunyai rasa ikut memiliki organisasi. Ini dimaksud agar setiap anggota organisasi mempunyai kebanggaan akan pekerjaannya dan berusaha meningkatkan kinerjanya demi pencapaian tujuan organisasi.

Unsur budaya 5: Jaminan Keamanan Kerja

Karyawan harus memperoleh jaminan keamanan kerja. Dalam hal ini harus mengetahui bahwa pekerjaannya aman. Ini berarti bahwa mereka jangan sampai diberhentikan begitu saja seperti peralatan yang sudah using.

Unsur budaya 6: Keadilan

Harus terdapat keadilan. Setiap anggota organisasi harus mempunyai persepsi bahwa di dalam organisasinya terdapat iklim keadilan, berdasarkan tata-laku dan tindakan para manajer pada semua tingkat.

Unsur budaya 7: Kompensasi

Kompensasi harus adil. Hal ini berarti bahwa sistem gaji dan imbalan apapun harus wajar sesuai tugas, wewenang, dan tanggung jawab.

Unsur budaya 8: Rasa ikut memiliki

setiap anggota organisasi harus mempunyai rasa ikut memiliki organisasi. Ini dimaksud agar setiap anggota organisasi mempunyai kebanggaan akan pekerjaannya dan berusaha meningkatkan kinerjanya demi pencapaian tujuan organisasi.

C. Budaya Mutu Organisasi

Perkembangan selanjutnya dari konsep budaya diteruskan oleh banyak pakar organisasi. Sehingga kata budaya akhirnya menjadi bagian yang erat dengan beragam aspek pengembangan organisasi. Dewasa ini dikenal istilah budaya organisasi. Budaya organisasi adalah perwujudan sehari-hari dari nilai-nilai dan tradisi yang mendasari organisasi tersebut. Hal ini terlihat pada bagaimana karyawan berperilaku, harapan karyawan terhadap

organisasi dan sebaliknya, serta apa yang dianggap wajar dalam hal bagaimana karyawan melaksanakan pekerjaan.

Brown (1988) menyimpulkan bahwa budaya organisasi merujuk pada rumusan kepercayaan, nilai-nilai, dan cara belajar dari pengalaman yang dibangun sepanjang sejarah organisasi dan dimanifestasikan dalam setiap pengaturan material dan prilaku dari setiap anggota organisasi tersebut.

Sedangkan The Jakarta Consulting Group mendefinisikan budaya organisasi sebagai ‘nilai-nilai yang menjadi pegangan sumberdaya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan juga perilakunya di dalam organisasi”. Nilai –nilai inilah yang akan memberi jawaban apakah suatu tindakan benar atau salah dan apakah suatu perilaku dianjurkan atau tidak. Nilai-nilai inilah yang berfungsi sebagai landasan untuk berperilaku (Susanto, 2008).

Kotter dan Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu: (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi.

Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat.

Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahan nya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi.

Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang

dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.

Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.

Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superior sepanjang waktu. Budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.

Ada empat mazhab yang dipaparkan oleh para pakar berkaitan dengan budaya organisasi (Susanto, 2008) yaitu;

a. Mazhab hubungan antar manusia

Mazhab ini populer di penghujung tahun 1950 sampai 1960an yang dipopulerkan pertama kali oleh Chris Argyris dan Warren Bennis (Brown, 1998). Konsep ini membangun fondasi konsepnya berdasarkan motivasi dan dinamika kelompok, dan mengadopsi kerangka referensi yang mempunyai penekanan pada organisasi hadir untuk melayani kebutuhan manusia yang tergabung di dalamnya. Pandangan akan budaya terbentuk akibat adanya kerja keras dari aspek kepercayaan, nilai-nilai, dan perilaku yang biasa dilakukan seseorang.

b. Mazhab struktur modern

Mazhab ini populer pada tahun 1960an, dipopulerkan oleh banyak pakar seperti Lawrence dan Lorsch. Pada konsep ini organisasi diposisikan rasional, berorientasi hasil, mekanistik, dan dimanifestasikan dalam bagan organisasi. Berbeda dengan konsep sebelumnya, konsep ini kurang menekankan pada pengaruh dan terbangunnya persepsi tentang budaya itu sendiri dari dalam diri seseorang.

c. Mazhab sistem

Konsep ini mulai dikembangkan pada tahun 1940an, namun baru pada tahun 1960an konsep ini mulai digunakan secara luas. Konsep ini berkembang luas sejak adanya publikasi dari Katz dan Kahn dalam buku “The Social Psychology of Organizations” yang diterbitkan pada tahun 1966. Dalam konsep ini dikemukakan bahwa organisasi merupakan sebuah sistem lingkar (loop) yang terdiri dari input, proses, dan output.

d. Mazhab kekuatan dan politik

dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.

Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.

Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superior sepanjang waktu. Budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.

Ada empat mazhab yang dipaparkan oleh para pakar berkaitan dengan budaya organisasi (Susanto, 2008) yaitu;

a. Mazhab hubungan antar manusia

Mazhab ini populer di penghujung tahun 1950 sampai 1960an yang dipopulerkan pertama kali oleh Chris Argyris dan Warren Bennis (Brown, 1998). Konsep ini membangun fondasi konsepnya berdasarkan motivasi dan dinamika kelompok, dan mengadopsi kerangka referensi yang mempunyai penekanan pada organisasi hadir untuk melayani kebutuhan manusia yang tergabung di dalamnya. Pandangan akan budaya terbentuk akibat adanya kerja keras dari aspek kepercayaan, nilai-nilai, dan perilaku yang biasa dilakukan seseorang.

b. Mazhab struktur modern

Mazhab ini populer pada tahun 1960an, dipopulerkan oleh banyak pakar seperti Lawrence dan Lorsch. Pada konsep ini organisasi diposisikan rasional, berorientasi hasil, mekanistik, dan dimanifestasikan dalam bagan organisasi. Berbeda dengan konsep sebelumnya, konsep ini kurang menekankan pada pengaruh dan terbangunnya persepsi tentang budaya itu sendiri dari dalam diri seseorang.

c. Mazhab sistem

Konsep ini mulai dikembangkan pada tahun 1940an, namun baru pada tahun 1960an konsep ini mulai digunakan secara luas. Konsep ini berkembang luas sejak adanya publikasi dari Katz dan Kahn dalam buku “The Social Psychology of Organizations” yang diterbitkan pada tahun 1966. Dalam konsep ini dikemukakan bahwa organisasi merupakan sebuah sistem lingkar (loop) yang terdiri dari input, proses, dan output.

d. Mazhab kekuatan dan politik

layanan yang ditawarkan. Tampilan fisik lebih pada cara berpakaian dalam organisasi, pembagian ruangan, besarnya ruangan, dan hal-hal yang bersifat fisik lainnya. Teknologi yang dimaksud adalah perangkat-perangkat teknologi yang digunakan dalam organisasi bersangkutan, seperti komputer, telepon, faksimili, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan bahasa adalah lelucon-lelucon, cerita-cerita, metafora, dan jargon-jargon yang digunakan dalam organisasi. Pola prilaku yang termasuk di dalamnya adalah upacara dan tata-cara (rites and rituals) dan perayaan-perayaan (ceremony and celebrations). Simbol adalah kata-kata , kondisi, atau karakteristik seseorang yang signifikan yang mempunyai arti tertentu bagi tiap-tiap individu dan kelompok, seperti kata-kata yang diucapkan oleh pendiri organisasi. Peraturan – sistem – prosedur – dan program, misalnya peraturan dan program kompensasi, promosi, dan penghargaan yang berlaku dalam organisasi.

Kedua adalah espoused values atau nilai-nilai pendukung, mencakup strategi, tujuan, dan filosofi dasar yang dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan. Nilai tersebut mencakup kepercayaan, nilai-nilai, dan perilaku. Nilai-nilai pendukung ini dapat difahami jika kita sudah lama dalam organisasi. Nilai – nilai ini lebih mengarah pada kode-kode moral dan etika dan menjadi penentu bagi setiap anggota organisasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan (tinjauan normatif). Misalnya budaya sebuah organisasi menyatakan bahwa kejujuran, keterbukaan, dan integritas merupakan nilai-nilai yang dianut dan diaplikasikan untuk melakukan segala macam aktivitas organisasi. Contoh aplikasinya adalah seperti penyusunan laporan keuangan secara transparan dan akuntabel. Kepercayaan lebih mengarah pada apa yang dipikir oleh organisasi berikut seluruh anggotanya benar atau tidak benar. Sedangkan perilaku adalah hal yang menghubungkan Konsep ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970an.

Konsep ini menyatakan bahwa organisasi terdiri dari kumpulan individu dan koalisi dengan nilai-nilai, kepentingan, dan kesukaan (preferensi) yang berbeda bahkan tidak jarang bertentangan.

Pandangan tentang kekuatan dan politik berkaitan erat dengan pandangan budaya seseorang. Kedua pandangan ini berpendapat bahwa organisasi kadang bertindak tidak rasional (irrational), sasaran dan tujuan organisasi berkembang melalui sebuah proses negosiasi dan saling mempengaruhi. Juga organisasilah yang membentuk kelompok-kelompok, baik koalisi atau sub kulturnya.

Keempat konsep yang berkembang ini menyiratkan bahwa konsep tentang budaya telah lama berkembang. Keempat mazhab tersebut merupakan dasar dari bagi pengembangan konsep budaya organisasi oleh pakar organisasi saat ini.

D. Elemen, Karakteristik dan Fungsi Budaya Organisasi

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 112-116)