• Tidak ada hasil yang ditemukan

Defenisi dan Unsur-unsur Budaya Mutu

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 106-112)

Kata budaya pertama kali muncul pada tahun 1871, dikemukakan oleh seorang antropolog Edward B Taylor.

Menurutnya (dalam Brown, 1998) budaya adalah that complex whole which include, knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”(sekumpulan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat, dan kapabilitas serta kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu. Sejalan dengan itu Steers & Black (1994) menyebutkan “Culture is the common set of behaviors, values, beliefs, patterns of thinking and assumptions shared by members of an organization. Culture shapes our view of the world. Culture determines how we think and behave towards others, the world, and ourselves”.

Sementara menurut Malinowski (1983) budaya adalah peralatan, adat dari kelompok sosial, buah pikiran manusia dan kepercayaan atau dengan kata lain suatu cara hidup dimana manusia berada dalam keadaan yang lebih baik untuk mengatasi masalah nyata dan tertentu yang dihadapinya semasa beradaptasi dengan lingkungan guna memenuhi kebutuhannya. Menurut Kunda (1992), Van Maanen dan Kunda (1989), budaya adalah mekanisme sosial yang menuntun atau dapat dijadikan dasar untuk menggerakkan anggota-anggotanya supaya memahami, berfikir dan merasakan berada jalan yang betul dan benar. Jadi budaya merupakan suatu pola dan mekanisme sosial yang

Bab 3









Treat people as adult. Treat them as partners, treat them with dignity, treat them with respect.

Treat them – not capital spending and automation – as the primary source of productivity gains. These are the fundamental lesson from the excellence companies’ research.

In other words, if you want productivity and financial reward that goes with it, you must treat your workers as your most important asset’

[ Peters and Waterman, (1982)

A. Pendahuluan

Kesuksesan implementasi Total Quality Management sangat bergantung pada perubahan budaya organisasi. Esensi TQM adalah perubahan budaya mutu (culture change) guna memenuhi harapan pelanggan. Sejumlah pakar berpendapat bahwa kegagalan dari program peningkatan mutu pada sebuah organisasi karena tidak dibarengi dengan perubahan budaya mutu lembaga. Perubahan budaya mutu meskipun memerlukan waktu yang tidak pendek, namun secara bertahap harus dimulai dengan menciptakan suasana dan sistem yang mengarah pada terciptanya kondisi yang mampu melahirkan pekerja yang berbudaya mutu.

Pemimpin dalam kaitan ini harus melihat dan memberdayakan karyawan pada sisi kemanusiaan, sebab ini merupakan kunci untuk melahirkan organisasi yang berbudaya. Seperti dikatakan oleh Morgan (1997) ‘Culture is not something that is imposed on a social setting; rather, it develops during the course of social

interaction; In organizations there are often many different and competing value systems that create a mosaic of organizational realities rather than a uniform corporate culture’.

B. Defenisi dan Unsur-unsur Budaya Mutu

Kata budaya pertama kali muncul pada tahun 1871, dikemukakan oleh seorang antropolog Edward B Taylor.

Menurutnya (dalam Brown, 1998) budaya adalah that complex whole which include, knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”(sekumpulan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat, dan kapabilitas serta kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu. Sejalan dengan itu Steers & Black (1994) menyebutkan “Culture is the common set of behaviors, values, beliefs, patterns of thinking and assumptions shared by members of an organization. Culture shapes our view of the world. Culture determines how we think and behave towards others, the world, and ourselves”.

Sementara menurut Malinowski (1983) budaya adalah peralatan, adat dari kelompok sosial, buah pikiran manusia dan kepercayaan atau dengan kata lain suatu cara hidup dimana manusia berada dalam keadaan yang lebih baik untuk mengatasi masalah nyata dan tertentu yang dihadapinya semasa beradaptasi dengan lingkungan guna memenuhi kebutuhannya. Menurut Kunda (1992), Van Maanen dan Kunda (1989), budaya adalah mekanisme sosial yang menuntun atau dapat dijadikan dasar untuk menggerakkan anggota-anggotanya supaya memahami, berfikir dan merasakan berada jalan yang betul dan benar. Jadi budaya merupakan suatu pola dan mekanisme sosial yang

dijalankan oleh suatu organisasi untuk mengurus anggotanya dan dapat dijadikan dasar yang tegas untuk menggerakkan anggotanya dalam melaksanakan pekerjaannya dengan baik (Rita, 2003).

Dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti: agama, kesenian, filsafat, ilmu dan sebagainya. Namun pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan, saat ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang.

Budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang stagnan. Budaya tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.

Menurut Vijay Santhe (dalam Taliziduhu Ndraha 1997) budaya adalah: “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”. Secara umum namun operasional, Schein (2002) dari mendefinisikan budaya sebagai:

“A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems”.

Berdasarkan pendapat Vijay Sathe dan Edgar Schein, ditemukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan.

Duverger sebagaimana dikutip oleh Anwar & Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang

diperoleh suatu komunitas. Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.”

Definisi budaya yang awalnya berawal dari istilah antropologi kemudian berkembang lebih lanjut dalam ilmu sosiologi. Bahkan ilmu sosiologilah yang kemudian secara luas menggunakan kata ini untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam sebuah kelompok masyarakat atau komunitas tertentu.

Berdasarkan sejumlah definisi di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa budaya adalah seperangkat pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, prilaku, pemikiran, dan kapabilitas serta kebiasaan (custom) yang dimiliki secara bersama oleh anggota kelompok atau organisasi yang membentuk pandangan dunia dan cara anggota kelompok berfikir dan bersikap kepada yang lain serta digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan guna memenuhi kebutuhannya mereka.

Budaya dalam ilmu sosiologi diterjemahkan sebagai kumpulan simbol, mitos, dan ritual yang penting dalam memahami sebuah realitas sosial. Pendekatan yang digunakan oleh ilmu sosiologi lebih kepada sikap sekelompok masyarakat atau komunitas tertentu dalam menghadapi dan menyikapi berbagai fenomena yang terjadi di alam sekitarnya (Susanto, 2008)

Jika dikaitkan dengan mutu maka budaya mutu adalah seperti dikemukakan oleh Goetsch dan Davis, (1994:122) adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, dan harapan untuk meningkatkan kualitas.

Ambro (2004) melihat budaya mutu sebagai suatu budaya korporat dalam organisasi yang berfokus kepada pengawas kerja,

dijalankan oleh suatu organisasi untuk mengurus anggotanya dan dapat dijadikan dasar yang tegas untuk menggerakkan anggotanya dalam melaksanakan pekerjaannya dengan baik (Rita, 2003).

Dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti: agama, kesenian, filsafat, ilmu dan sebagainya. Namun pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan, saat ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang.

Budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang stagnan. Budaya tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.

Menurut Vijay Santhe (dalam Taliziduhu Ndraha 1997) budaya adalah: “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”. Secara umum namun operasional, Schein (2002) dari mendefinisikan budaya sebagai:

“A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems”.

Berdasarkan pendapat Vijay Sathe dan Edgar Schein, ditemukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan.

Duverger sebagaimana dikutip oleh Anwar & Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang

diperoleh suatu komunitas. Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.”

Definisi budaya yang awalnya berawal dari istilah antropologi kemudian berkembang lebih lanjut dalam ilmu sosiologi. Bahkan ilmu sosiologilah yang kemudian secara luas menggunakan kata ini untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam sebuah kelompok masyarakat atau komunitas tertentu.

Berdasarkan sejumlah definisi di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa budaya adalah seperangkat pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, prilaku, pemikiran, dan kapabilitas serta kebiasaan (custom) yang dimiliki secara bersama oleh anggota kelompok atau organisasi yang membentuk pandangan dunia dan cara anggota kelompok berfikir dan bersikap kepada yang lain serta digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan guna memenuhi kebutuhannya mereka.

Budaya dalam ilmu sosiologi diterjemahkan sebagai kumpulan simbol, mitos, dan ritual yang penting dalam memahami sebuah realitas sosial. Pendekatan yang digunakan oleh ilmu sosiologi lebih kepada sikap sekelompok masyarakat atau komunitas tertentu dalam menghadapi dan menyikapi berbagai fenomena yang terjadi di alam sekitarnya (Susanto, 2008)

Jika dikaitkan dengan mutu maka budaya mutu adalah seperti dikemukakan oleh Goetsch dan Davis, (1994:122) adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, dan harapan untuk meningkatkan kualitas.

Ambro (2004) melihat budaya mutu sebagai suatu budaya korporat dalam organisasi yang berfokus kepada pengawas kerja,

motivasi untuk membentuk kesan sendiri yang positif dan upaya memenuhi asas kebutuhan pekerja dalam hubungan dengan yang lain. Menurut Sinclair dan Collins (1994), budaya mutu adalah suatu bentuk manajemen budaya yang menganjurkan perubahan mutu melalui peningkatan komitmen dan kerjasama pekerja dalam organisasi. Aspek dalam teori organisasi yang melibatkan perubahan dalam nilai dan norma organisasi merupakan perkara yang sangat berkaitan dengan transformasi ke arah mewujudkan sebuah budaya. Aspek-aspek yang mempengaruhi perubahan budaya ini adalah motivasi, imbalan, kebijakan dan nilai, di tempat kerja dan struktur organisasi (Dean dan Evans (1994).

Drummond (1992) berpendapat bahwa budaya mutu merupakan suatu pendekatan manajemen yang berorientasi pada pembelajaran dan setiap pekerja mempunyai peluang dalam meningkatkan pengetahuan dan skil untuk menjamin kemajuan organisasi.

Budaya mengandung berbagai aspek pokok (Bounds, 1994:101) sebagai berikut:

1. Budaya merupakan konstruksi sosial unsur-unsur budaya, seperti nilai-nilai, keyakinan, dan pemahaman yang dianut oleh semua anggota kelompok.

2. Budaya memberikan jaminan kepada anggotanya dalam memahami suatu kejadian.

3. Budaya berisi kebiasaan atau tradisi.

4. Dalam suatu budaya, pola nilai-nilai, keyakinan, harapan, pemahaman, dan perilaku timbul dan berkembang sepanjang waktu.

5. Budaya mengarahkan perilaku, kebiasaan atau tradisi merupakan perekat yang mempersatukan suatu organisasi dan menjamin bahwa para anggotanya berperilaku sesuai dengan norma.

6. Budaya masing-masing organisasi bersifat unik.

Untuk mewujudkan budaya mutu dalam organisasi bukanlah suatu perkara yang mudah. Artinya, TQM tidak akan terjadi dalam satu hari atau tidak mempunyai jalan yang singkat

untuk melaksanakannya (Besterfield et al., 1995). Pada hakikatnya, pelaksanaan TQM memerlukan pengorbanan yang besar dari segi waktu dan dana. Oleh karena itu, para manajer harus memiliki kesabaran sebab satu falsafah TQM tidak mungkin dibangun dalam waktu satu hari tetapi memerlukan waktu yang panjang dan ia berkembang secara berangsur-ansur (Jeffries et al.

(1996). Pekerja juga perlu diberi waktu yang cukup untuk memahami faedah yang dapat diperoleh daripada pelaksanaan TQM

Kaitannya dengan Total Quality Management (TQM) Sashkin dan Kiser (dalam Hardjosoedarmo, 2001) mengemukakan delapan unsur budaya mutu yaitu;

Unsur budaya 1: Informasi Kinerja dan Kualitas Informasi mengenai kualitas harus digunakan untuk perbaikan dan bukan mengadili atau mengawasi anggota. Ini berarti bahwa informasi mengenai kinerja dan kualitas harus disampaikan kepada mereka yang menggunakannya untuk mengerti persoalan yang ada guna mencari solusi dan mengambil tindakan yang diperlukan demi perbaikan.

Unsur budaya 2: Pemberian Wewenang

Kewenangan harus berimbang dengan tanggung jawab. Ini berarti bahwa karyawan yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan mencapai hasil tertentu, harus diberi wewenang yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif.

Unsur budaya 3: Penghargaan

Harus ada penghargaan terhadap hasil yang dicapai. Hal ini berarti bahwa individu, tim, dan seluruh anggota organisasi harus ikut mengenyam hasil jerih payahnya secara adil.

Unsur budaya 4: Kerjasama

Kerjasama, bukan persaingan yang menjadi dasar bagi kerja secara tim. Jadi sejauh mungkin para anggota organisasi harus saling membantu dalam melakukan pekerjaannya.

motivasi untuk membentuk kesan sendiri yang positif dan upaya memenuhi asas kebutuhan pekerja dalam hubungan dengan yang lain. Menurut Sinclair dan Collins (1994), budaya mutu adalah suatu bentuk manajemen budaya yang menganjurkan perubahan mutu melalui peningkatan komitmen dan kerjasama pekerja dalam organisasi. Aspek dalam teori organisasi yang melibatkan perubahan dalam nilai dan norma organisasi merupakan perkara yang sangat berkaitan dengan transformasi ke arah mewujudkan sebuah budaya. Aspek-aspek yang mempengaruhi perubahan budaya ini adalah motivasi, imbalan, kebijakan dan nilai, di tempat kerja dan struktur organisasi (Dean dan Evans (1994).

Drummond (1992) berpendapat bahwa budaya mutu merupakan suatu pendekatan manajemen yang berorientasi pada pembelajaran dan setiap pekerja mempunyai peluang dalam meningkatkan pengetahuan dan skil untuk menjamin kemajuan organisasi.

Budaya mengandung berbagai aspek pokok (Bounds, 1994:101) sebagai berikut:

1. Budaya merupakan konstruksi sosial unsur-unsur budaya, seperti nilai-nilai, keyakinan, dan pemahaman yang dianut oleh semua anggota kelompok.

2. Budaya memberikan jaminan kepada anggotanya dalam memahami suatu kejadian.

3. Budaya berisi kebiasaan atau tradisi.

4. Dalam suatu budaya, pola nilai-nilai, keyakinan, harapan, pemahaman, dan perilaku timbul dan berkembang sepanjang waktu.

5. Budaya mengarahkan perilaku, kebiasaan atau tradisi merupakan perekat yang mempersatukan suatu organisasi dan menjamin bahwa para anggotanya berperilaku sesuai dengan norma.

6. Budaya masing-masing organisasi bersifat unik.

Untuk mewujudkan budaya mutu dalam organisasi bukanlah suatu perkara yang mudah. Artinya, TQM tidak akan terjadi dalam satu hari atau tidak mempunyai jalan yang singkat

untuk melaksanakannya (Besterfield et al., 1995). Pada hakikatnya, pelaksanaan TQM memerlukan pengorbanan yang besar dari segi waktu dan dana. Oleh karena itu, para manajer harus memiliki kesabaran sebab satu falsafah TQM tidak mungkin dibangun dalam waktu satu hari tetapi memerlukan waktu yang panjang dan ia berkembang secara berangsur-ansur (Jeffries et al.

(1996). Pekerja juga perlu diberi waktu yang cukup untuk memahami faedah yang dapat diperoleh daripada pelaksanaan TQM

Kaitannya dengan Total Quality Management (TQM) Sashkin dan Kiser (dalam Hardjosoedarmo, 2001) mengemukakan delapan unsur budaya mutu yaitu;

Unsur budaya 1: Informasi Kinerja dan Kualitas Informasi mengenai kualitas harus digunakan untuk perbaikan dan bukan mengadili atau mengawasi anggota. Ini berarti bahwa informasi mengenai kinerja dan kualitas harus disampaikan kepada mereka yang menggunakannya untuk mengerti persoalan yang ada guna mencari solusi dan mengambil tindakan yang diperlukan demi perbaikan.

Unsur budaya 2: Pemberian Wewenang

Kewenangan harus berimbang dengan tanggung jawab. Ini berarti bahwa karyawan yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan mencapai hasil tertentu, harus diberi wewenang yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif.

Unsur budaya 3: Penghargaan

Harus ada penghargaan terhadap hasil yang dicapai. Hal ini berarti bahwa individu, tim, dan seluruh anggota organisasi harus ikut mengenyam hasil jerih payahnya secara adil.

Unsur budaya 4: Kerjasama

Kerjasama, bukan persaingan yang menjadi dasar bagi kerja secara tim. Jadi sejauh mungkin para anggota organisasi harus saling membantu dalam melakukan pekerjaannya.

untuk melaksanakannya (Besterfield et al., 1995). Pada hakikatnya, pelaksanaan TQM memerlukan pengorbanan yang besar dari segi waktu dan dana. Oleh karena itu, para manajer harus memiliki kesabaran sebab satu falsafah TQM tidak mungkin dibangun dalam waktu satu hari tetapi memerlukan waktu yang panjang dan ia berkembang secara berangsur-ansur (Jeffries et al.

(1996). Pekerja juga perlu diberi waktu yang cukup untuk memahami faedah yang dapat diperoleh daripada pelaksanaan TQM

Kaitannya dengan Total Quality Management (TQM) Sashkin dan Kiser (dalam Hardjosoedarmo, 2001) mengemukakan delapan unsur budaya mutu yaitu;

Unsur budaya 1: Informasi Kinerja dan Kualitas Informasi mengenai kualitas harus digunakan untuk perbaikan dan bukan mengadili atau mengawasi anggota. Ini berarti bahwa informasi mengenai kinerja dan kualitas harus disampaikan kepada mereka yang menggunakannya untuk mengerti persoalan yang ada guna mencari solusi dan mengambil tindakan yang diperlukan demi perbaikan.

Unsur budaya 2: Pemberian Wewenang

Kewenangan harus berimbang dengan tanggung jawab. Ini berarti bahwa karyawan yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan mencapai hasil tertentu, harus diberi wewenang yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif.

Unsur budaya 3: Penghargaan

Harus ada penghargaan terhadap hasil yang dicapai. Hal ini berarti bahwa individu, tim, dan seluruh anggota organisasi harus ikut mengenyam hasil jerih payahnya secara adil.

Unsur budaya 4: Kerjasama

Kerjasama, bukan persaingan yang menjadi dasar bagi kerja secara tim. Jadi sejauh mungkin para anggota organisasi harus saling membantu dalam melakukan pekerjaannya.

Unsur budaya 5: Jaminan Keamanan Kerja

Karyawan harus memperoleh jaminan keamanan kerja. Dalam hal ini harus mengetahui bahwa pekerjaannya aman. Ini berarti bahwa mereka jangan sampai diberhentikan begitu saja seperti peralatan yang sudah using.

Unsur budaya 6: Keadilan

Harus terdapat keadilan. Setiap anggota organisasi harus mempunyai persepsi bahwa di dalam organisasinya terdapat iklim keadilan, berdasarkan tata-laku dan tindakan para manajer pada semua tingkat.

Unsur budaya 7: Kompensasi

Kompensasi harus adil. Hal ini berarti bahwa sistem gaji dan imbalan apapun harus wajar sesuai tugas, wewenang, dan tanggung jawab.

Unsur budaya 8: Rasa ikut memiliki

setiap anggota organisasi harus mempunyai rasa ikut memiliki organisasi. Ini dimaksud agar setiap anggota organisasi mempunyai kebanggaan akan pekerjaannya dan berusaha meningkatkan kinerjanya demi pencapaian tujuan organisasi.

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 106-112)