• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Mutu Pendidikan

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 138-148)

H. Konversi Budaya Mutu

I. Budaya Mutu Pendidikan

1. Penerapan Budaya Mutu pada Lembaga Pendidikan Sejumlah orang meyakini bahwa budaya pada kebanyakan lembaga pendidikan harus ditransformasi jika ingin sukses dalam upaya peningkatan mutu. Chaffef dan Sherr (dalam Lewis dan Smith, 1994: 126) menyebutkan:

“Penerapan mutu total menuntut transformasi organisasi secara besar-besaran terhadap nilai-nilai, norma-norma, struktur, dan proses. Transformasi ini tidak berarti bahwa nilai kebebasan akademik, kreativitasi intelektual, dan kebijakan baru harus dikorbankan.

Kebiasan lama yang berdasarkan kepentingan yang sudah using harus dibuang”.

Menurut Carr dan Littman (dalam Lewis dan Smith, 1994: 126) dalam melakukan transformasi budaya dalam pendidikan ada Sembilan langkah kunci, yaitu:

1. Perencanaan perubahan budaya 2. Memperkirakan “baseline” budaya 3. Pelatihan bagi manajer dan pekerja

4. Manajemen mengadopsi dan meniru perilaku baru

5. Membuat perubahan organisasi dan regulasi yang mendukung tindakan mutu

6. Mendisain ulang penilaian kinerja individu dan sistim penghargaan untuk menggambarkan prinsip manajemen mutu terpadu

7. Perubahan praktek penganggaran 8. Penghargaan perubahan positif

9. Menggunakan alat-alat komunikasi dan memperkuat prinsip TQM

Sejumlah langkah tersebut harus diberikan penekanan.

Perkiraan “baseline” budaya adalah penting sebab menyediakan data yang dibutuhkan untuk menentukan prioritas perubahan.

Ada enam faktor yang berhubungan dengan budaya organisasi yang berorientasi mutu, yaitu lingkungan, produk dan layanan, metode, orang, budaya organisasi, dan mindset perbaikan mutu total. Langkah 3,4, dan (pelatihan, teladan, dan perubahan organisasi) merupakan unsur penting dalam menghasilkan perubahan budaya karena menyajikan pengetahuan dan pengalaman dimana budaya mutu dibangun. Langkah 8 dan 9 (penghargaan perubahan positif dan penggunaan alat-alat komunikasi dan memperkuat prinsi TQM) adalah penting sebab merupakan aktivitas yang mendorong perubahan awal dalam perilaku untuk menghasilkan perubahan pada sikap, norma, dan nilai.

6. Menerapkan pendekatan emosional dan intelektual

Orang cenderung bereaksi terhadap perubahan lebih banyak berdasarkan tingkat emosional daripada tingkat intelektual, paling tidak pada permulaannya. Para pendukung, oleh karena itu, perlu menerapkan strategi komunikasi yang rutin dan terbuka. Setiap orang, diberi kesempatan untuk menyampaikan persoalan dan keberatan dalam forum terbuka.

Kemudian keberatan tersebut dijawab dengan objektif, sabar, dan tidak bersifat pembelaan.

7. Lakukan perubahan dengan mesra (courtship)

Courtship merupakan fase hubungan antara pelaku dan penentang perubahan yang berjalan lamban tetapi mengarah pada kondisi yang diharapkan. Pada fase ini pelaku perubahan harus mendengarkan secara cermat dan menanggapi dengan sabar keprihatinan penentang perubahan. Jika hubungan tersebut berjalan mesra maka perubahan akan berhasil.

8. Memberikan dukungan

Strategi ini meliputi dukungan material, moral, dan emosional yang dibutuhkan orang dalam menjalankan perubahan.

I. Budaya Mutu Pendidikan

1. Penerapan Budaya Mutu pada Lembaga Pendidikan Sejumlah orang meyakini bahwa budaya pada kebanyakan lembaga pendidikan harus ditransformasi jika ingin sukses dalam upaya peningkatan mutu. Chaffef dan Sherr (dalam Lewis dan Smith, 1994: 126) menyebutkan:

“Penerapan mutu total menuntut transformasi organisasi secara besar-besaran terhadap nilai-nilai, norma-norma, struktur, dan proses. Transformasi ini tidak berarti bahwa nilai kebebasan akademik, kreativitasi intelektual, dan kebijakan baru harus dikorbankan.

Kebiasan lama yang berdasarkan kepentingan yang sudah using harus dibuang”.

Menurut Carr dan Littman (dalam Lewis dan Smith, 1994: 126) dalam melakukan transformasi budaya dalam pendidikan ada Sembilan langkah kunci, yaitu:

1. Perencanaan perubahan budaya 2. Memperkirakan “baseline” budaya 3. Pelatihan bagi manajer dan pekerja

4. Manajemen mengadopsi dan meniru perilaku baru

5. Membuat perubahan organisasi dan regulasi yang mendukung tindakan mutu

6. Mendisain ulang penilaian kinerja individu dan sistim penghargaan untuk menggambarkan prinsip manajemen mutu terpadu

7. Perubahan praktek penganggaran 8. Penghargaan perubahan positif

9. Menggunakan alat-alat komunikasi dan memperkuat prinsip TQM

Sejumlah langkah tersebut harus diberikan penekanan.

Perkiraan “baseline” budaya adalah penting sebab menyediakan data yang dibutuhkan untuk menentukan prioritas perubahan.

Ada enam faktor yang berhubungan dengan budaya organisasi yang berorientasi mutu, yaitu lingkungan, produk dan layanan, metode, orang, budaya organisasi, dan mindset perbaikan mutu total. Langkah 3,4, dan (pelatihan, teladan, dan perubahan organisasi) merupakan unsur penting dalam menghasilkan perubahan budaya karena menyajikan pengetahuan dan pengalaman dimana budaya mutu dibangun. Langkah 8 dan 9 (penghargaan perubahan positif dan penggunaan alat-alat komunikasi dan memperkuat prinsi TQM) adalah penting sebab merupakan aktivitas yang mendorong perubahan awal dalam perilaku untuk menghasilkan perubahan pada sikap, norma, dan nilai.

Cara terbaik untuk menghasilkan dan mempertahankan perubahan organisasi adalah dengan mengembangkan proses transformasi yang mengikuti alur utama hirarki. Isu utama dalam perubahan budaya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.3

Proses Transformasi Perubahan

• Perubahan dalam sitem dan struktur. Memodifikasi atau merubah sistem dan struktur untuk disesuaikan dengan prinsip TQM

Sistem dan struktur Tindakan

Peran Perilaku

Sikap Norma

Nilai

Budaya

• Perubahan dalam tindakan. Tindakan harus didasarkan pada pencapaian visi dan misi lembaga dan berdasarkan pada prinsip TQM

• Perubahan peran. Manajemen harus mengasumsikan peran baru sebagai fasilitator, pendukung, penyedia, pencipta, dan promoter.

• Perubahan perilaku. Perubahan dalam peran manajemen harus dibuktikan dalam perilaku sehari-hari manajer, misalnya; mereka harus memfasilitasi, mendukung, menyediakan, menciptakan, dan mempromosikan.

• Perubahan sikap. Perubahan perilaku menghasilkan perubahan sikap. Jika Anda ingin orang lain berfikir berbeda, buat dulu mereka bersikap berbeda.

• Perubahan norma. Selama waktu perubahan peran, perilaku, sikap akan terefleksikan dalam perubahan norma personil dan organisasi.

• Perubahan nilai. Akhirnya, perubahan kolektif akan mempengaruhi nilai-nilai organisasi dan orang-orang yang menjadi bagian dari organisasi.

Dengan demikian perubahan budaya dalam organisasi pendidikan sejatinya harus diawali dengan perubahan dengan perubahan sistem dan struktur, diikuti dengan perubahan tindakan, perubahan peran pimpinan, perubahan perilaku, perubahan sikap. Perubahan-perubahan tersebut selanjutnya terefleksikan dalam perubahan norma, yang pada akhirnya akan mengubah nilai – nilai yang dianut oleh organisasi dan orang-orang yang ada di dalamnya.

2. Studi Budaya Mutu Pendidikan

Hasil peneltian Minhad Astoriq (dalam Husaini, 2008) menyatakan bahwa meskipun tidak dapat digeneralisir untuk semua guru dan tidak ada data empiris tertulis, namun dengan kasat mata tampak ketika bicara soal moralitas bangsa. Muchtar Lubis, seorang sastrawan mengatakan

Cara terbaik untuk menghasilkan dan mempertahankan perubahan organisasi adalah dengan mengembangkan proses transformasi yang mengikuti alur utama hirarki. Isu utama dalam perubahan budaya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.3

Proses Transformasi Perubahan

• Perubahan dalam sitem dan struktur. Memodifikasi atau merubah sistem dan struktur untuk disesuaikan dengan prinsip TQM

Sistem dan struktur Tindakan

Peran Perilaku

Sikap Norma

Nilai

Budaya

• Perubahan dalam tindakan. Tindakan harus didasarkan pada pencapaian visi dan misi lembaga dan berdasarkan pada prinsip TQM

• Perubahan peran. Manajemen harus mengasumsikan peran baru sebagai fasilitator, pendukung, penyedia, pencipta, dan promoter.

• Perubahan perilaku. Perubahan dalam peran manajemen harus dibuktikan dalam perilaku sehari-hari manajer, misalnya; mereka harus memfasilitasi, mendukung, menyediakan, menciptakan, dan mempromosikan.

• Perubahan sikap. Perubahan perilaku menghasilkan perubahan sikap. Jika Anda ingin orang lain berfikir berbeda, buat dulu mereka bersikap berbeda.

• Perubahan norma. Selama waktu perubahan peran, perilaku, sikap akan terefleksikan dalam perubahan norma personil dan organisasi.

• Perubahan nilai. Akhirnya, perubahan kolektif akan mempengaruhi nilai-nilai organisasi dan orang-orang yang menjadi bagian dari organisasi.

Dengan demikian perubahan budaya dalam organisasi pendidikan sejatinya harus diawali dengan perubahan dengan perubahan sistem dan struktur, diikuti dengan perubahan tindakan, perubahan peran pimpinan, perubahan perilaku, perubahan sikap. Perubahan-perubahan tersebut selanjutnya terefleksikan dalam perubahan norma, yang pada akhirnya akan mengubah nilai – nilai yang dianut oleh organisasi dan orang-orang yang ada di dalamnya.

2. Studi Budaya Mutu Pendidikan

Hasil peneltian Minhad Astoriq (dalam Husaini, 2008) menyatakan bahwa meskipun tidak dapat digeneralisir untuk semua guru dan tidak ada data empiris tertulis, namun dengan kasat mata tampak ketika bicara soal moralitas bangsa. Muchtar Lubis, seorang sastrawan mengatakan

bahwa hipokrit adalah ciri nomor satu manusia Indonesia.

Menurutnya, bangsa Indonesia tidak saja munafik tetapi juga telah mewarisi kultur ala penjajahan zaman VOC, yang tetap bertahan hingga kini sampai orde baru, atau bahkan sampai saat ini. Mereka yang diatas cenderung ingin dilayani dan memiliki syahwat menguasai, sementara yang di bawah cenderung menjadi penjilat. Dalam keadaan demikian budaya munafik menjadi subur tanpa dipupuk. Keadaan ini juga dirasakan dalam dunia pendidikan, mulai dari level pemerintahan yang mengurusi pendidikan sampai pada level sekolah dan sekolah. Pimpinan lembaga cenderung menjadi orang yang ingin dilayani dan dihormati, sementara bawahan berupa menjaga sikap dan bahkan menjadi penjilat untuk tetap ‘dipakai’ dalam struktur organisasi.

Praktek lain, misalnya ketika hendak diadakan penilaian kinerja sekolah/perguruan tinggi, sekolah tiba-tiba disulat menjadi serba lengkap. Apapun caranya semua guru harus memiliki perangkat pengajaran yang memadai. Absen guru harus nihil. Administasi dan keuangan dimanifulasi sedemikian rupa hingga tidak tampak kesalahan dan kecurangan. Keadaan yang sama juga terjadi saat ingin mengajukan akreditasi, semua kelengkapan sekolah dipenuhi dengan berbagai cara. Namun ketika akreditasi telah diperoleh, kondisi sekolah kembali seperti semula. Kondisi ini diperparah lagi dengan tradisi sekolah yang hobi menjamu para pengawas agar tidak mendapatkan banyak teguran.

Paul Suparno (dalam Husaini, 2008) juga menyebutkan bahwa budaya lembek sudah mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia yang disebabkan oleh faktor yang timbul baik dari dalam diri peserta didik, sekolah, maupun keluarga. Dari sisi peserta didik misalnya daya tahan dan daya juang atau semangat belajar yang rendah, budaya instant yang menyebabkan mereka ingin cepat mendapatkan

hasil belajar tertinggi tanpa harus berusaha keras (budaya nyontek dan mengupahkan tugas-tugas), kurang pengalaman dan latihan dalam keluarga untuk betanggung jawab atas tugas-tugasnya, kurang dapat melihat hasil kerja keras terhadap hasil belajarnya karena belajar atau tidak belajar keras semuanya selalu lulus (budaya katrol nilai oleh guru/sekolah).

Penelitian Jamaluddin (2007) menemukan bahwa faktor–faktor dominan yang mempengaruhi budaya mutu pada lembaga pendidikan adalah:

1. Sikap Mental

Sikap mental yang dimaksud di sini adalah sejauh mana pegawai (PNS) merasa memiliki organisasi dan bekerja dengan penuh kesadaran untuk mencapai tujuan organisasi.

Istilah lain yang sering dikemukakan adalah komitmen, yaitu kuatnya keterlibatan seseorang dalam sebuah organisasi.

status PNS yang melekat pada diri pegawai di lingkungan pendidikanj justru tidak menambah produktivitas mereka dalam rangka mengabdi kepada negara khususnya lembaga tempat dimana mereka bekerja, tetapi prediket tersebut justru menjadi alasan kuat bagi pegawai untuk bekerja ‘sesuka hati’

sebab dalam benak mereka yang berhak memberhentikan adalah Pemerintah Pusat, sedangkan pihak manajemen lembaga dianggap tidak memiliki kekuasan penuh untuk itu.

Keadaan ini didukung oleh keadaan dan fakta selama ini bahwa belum pernah ada PNS yang dipecat, dimutasi, diturunkan pangkatnya, atau diturunkan gajinya karena pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan lembaga.

Sikap mental seperti ini dalam analisa penulis menjadi salah satu sebab utama rendahnya komitmen sebagian pegawai untuk bekerja optimal serta terjadinya sejumlah pelanggaran indisipliner, misalnya tidak masuk

bahwa hipokrit adalah ciri nomor satu manusia Indonesia.

Menurutnya, bangsa Indonesia tidak saja munafik tetapi juga telah mewarisi kultur ala penjajahan zaman VOC, yang tetap bertahan hingga kini sampai orde baru, atau bahkan sampai saat ini. Mereka yang diatas cenderung ingin dilayani dan memiliki syahwat menguasai, sementara yang di bawah cenderung menjadi penjilat. Dalam keadaan demikian budaya munafik menjadi subur tanpa dipupuk. Keadaan ini juga dirasakan dalam dunia pendidikan, mulai dari level pemerintahan yang mengurusi pendidikan sampai pada level sekolah dan sekolah. Pimpinan lembaga cenderung menjadi orang yang ingin dilayani dan dihormati, sementara bawahan berupa menjaga sikap dan bahkan menjadi penjilat untuk tetap ‘dipakai’ dalam struktur organisasi.

Praktek lain, misalnya ketika hendak diadakan penilaian kinerja sekolah/perguruan tinggi, sekolah tiba-tiba disulat menjadi serba lengkap. Apapun caranya semua guru harus memiliki perangkat pengajaran yang memadai. Absen guru harus nihil. Administasi dan keuangan dimanifulasi sedemikian rupa hingga tidak tampak kesalahan dan kecurangan. Keadaan yang sama juga terjadi saat ingin mengajukan akreditasi, semua kelengkapan sekolah dipenuhi dengan berbagai cara. Namun ketika akreditasi telah diperoleh, kondisi sekolah kembali seperti semula. Kondisi ini diperparah lagi dengan tradisi sekolah yang hobi menjamu para pengawas agar tidak mendapatkan banyak teguran.

Paul Suparno (dalam Husaini, 2008) juga menyebutkan bahwa budaya lembek sudah mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia yang disebabkan oleh faktor yang timbul baik dari dalam diri peserta didik, sekolah, maupun keluarga. Dari sisi peserta didik misalnya daya tahan dan daya juang atau semangat belajar yang rendah, budaya instant yang menyebabkan mereka ingin cepat mendapatkan

hasil belajar tertinggi tanpa harus berusaha keras (budaya nyontek dan mengupahkan tugas-tugas), kurang pengalaman dan latihan dalam keluarga untuk betanggung jawab atas tugas-tugasnya, kurang dapat melihat hasil kerja keras terhadap hasil belajarnya karena belajar atau tidak belajar keras semuanya selalu lulus (budaya katrol nilai oleh guru/sekolah).

Penelitian Jamaluddin (2007) menemukan bahwa faktor–faktor dominan yang mempengaruhi budaya mutu pada lembaga pendidikan adalah:

1. Sikap Mental

Sikap mental yang dimaksud di sini adalah sejauh mana pegawai (PNS) merasa memiliki organisasi dan bekerja dengan penuh kesadaran untuk mencapai tujuan organisasi.

Istilah lain yang sering dikemukakan adalah komitmen, yaitu kuatnya keterlibatan seseorang dalam sebuah organisasi.

status PNS yang melekat pada diri pegawai di lingkungan pendidikanj justru tidak menambah produktivitas mereka dalam rangka mengabdi kepada negara khususnya lembaga tempat dimana mereka bekerja, tetapi prediket tersebut justru menjadi alasan kuat bagi pegawai untuk bekerja ‘sesuka hati’

sebab dalam benak mereka yang berhak memberhentikan adalah Pemerintah Pusat, sedangkan pihak manajemen lembaga dianggap tidak memiliki kekuasan penuh untuk itu.

Keadaan ini didukung oleh keadaan dan fakta selama ini bahwa belum pernah ada PNS yang dipecat, dimutasi, diturunkan pangkatnya, atau diturunkan gajinya karena pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan lembaga.

Sikap mental seperti ini dalam analisa penulis menjadi salah satu sebab utama rendahnya komitmen sebagian pegawai untuk bekerja optimal serta terjadinya sejumlah pelanggaran indisipliner, misalnya tidak masuk

kerja tanpa alasan, tidak mentaati ketentuan jam kerja, dan lainnya.

Sebagai pembanding, pegawai swasta yang bekerja di dunia usaha misalnya, mereka tampak memiliki komitmen yang lebih tinggi terhadap organisasi dimana mereka bekerja, mereka bekerja semaksimal mungkin dalam rangka meningkatkan produktivitas sebab kemajuan perusahanaan memberikan harapan terhadap kesejahteraan mereka dan mereka melaksanakan pekerjaan dengan penuh disiplin sebab pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan akan sangat berdampak baik terhadap jabatan, karir, gaji, dan bahkan masa depan mereka di perusahaan. Berbeda dengan pegawai negeri, apalagi yang bekerja pada lembaga dengan pengawasan yang longgar, kinerja yang mereka tunjukkan tidak memberi pengaruh yang signifikan baik terhadap karir, gaji, dan masa depan mereka.

2. Falsafah Pragmatis

Pemikiran pragmatis merupakan falsafah hidup yang menitikberatkan bahwa kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis. Nilai pertimbangan bergantung pada akibatnya, kepada kerjanya, artinya kepada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jika bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup dan kemungkinan- kemungkinan hidup.

Cara berfikir seperti ini juga menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi budaya manajerial lembaga. Orientasi pragmatis dari kegiatan manajemen tampak misalnya dari kinerja yang ditunjukkan pegawai yang masih sepi dari nilai-nilai inovasi, pekerjaan dilakukan hanya sebagai sebuah rutinitas. Demikian juga terhadap kegiatan- kegiatan kepanitian misalnya kegiatan pelatihan SDM,

pelatihan komputer, dsb cenderung dilaksanakan apa adanya – sekadar menghabiskan ‘proyek’.

Sikap demikian pada dasarnya dapat difahami sebagai sesuatu yang ‘manusiawi’, tetapi jika cara berfikir seperti ini yang kemudian melandasi setiap langkah manajerial maka kerjasama tim dalam sebuah organisasi lambat laun akan melemah dan produktivitas pegawai juga secara otomatis akan menurun dan semua kegiatan yang dilaksanakan, semisal pelatihan karyawan ADM, pelatihan penelitian, seminar kurikulum, konsorsium dosen, dan sebagainya hanya menjadi rutinitas tahunan dan menghabiskan dana tanpa memberikan bekas terhadap perbaikan mutu layanan baik dari tenaga administrasi maupun tenaga pengajar.

3. Individualis

Individualis sebagaimana merujuk kepada sejauhmana orang-orang membatasi dirinya sebagai individu dan merasa bertanggung jawab untuk menjaga dirinya dan keluarga terdekatnya. Dalam masyarakat individualistis, nilai tinggi diberikan kepada jasa dan prestasi individual. Seorang individualis meyakini bahwa keterlibatannya dalam suatu organisasi sifatnya kalkulatif atau semua serba perhitungan.

Cara pandang seperti ini dalam pengamatan juga sudah menjadi prinsip sebagian besar pegawai dalam dunai pendidikan dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruh efektifitas pelaksanan budaya manajerial yang bermutu. Hal ini misalnya dapat dilihat kinerja yang ditunjukkan oleh pegawai khususnya dalam setiap kegiatan kepanitiaan yang dilaksanakan selalu diukur dengan finansial, semakin besar anggaran sebuah kegiatan, semakin besar minat pegawai untuk berpartisipasi menjadi panitia. Sebaliknya jika kegiatan

kerja tanpa alasan, tidak mentaati ketentuan jam kerja, dan lainnya.

Sebagai pembanding, pegawai swasta yang bekerja di dunia usaha misalnya, mereka tampak memiliki komitmen yang lebih tinggi terhadap organisasi dimana mereka bekerja, mereka bekerja semaksimal mungkin dalam rangka meningkatkan produktivitas sebab kemajuan perusahanaan memberikan harapan terhadap kesejahteraan mereka dan mereka melaksanakan pekerjaan dengan penuh disiplin sebab pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan akan sangat berdampak baik terhadap jabatan, karir, gaji, dan bahkan masa depan mereka di perusahaan. Berbeda dengan pegawai negeri, apalagi yang bekerja pada lembaga dengan pengawasan yang longgar, kinerja yang mereka tunjukkan tidak memberi pengaruh yang signifikan baik terhadap karir, gaji, dan masa depan mereka.

2. Falsafah Pragmatis

Pemikiran pragmatis merupakan falsafah hidup yang menitikberatkan bahwa kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis. Nilai pertimbangan bergantung pada akibatnya, kepada kerjanya, artinya kepada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jika bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup dan kemungkinan- kemungkinan hidup.

Cara berfikir seperti ini juga menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi budaya manajerial lembaga. Orientasi pragmatis dari kegiatan manajemen tampak misalnya dari kinerja yang ditunjukkan pegawai yang masih sepi dari nilai-nilai inovasi, pekerjaan dilakukan hanya sebagai sebuah rutinitas. Demikian juga terhadap kegiatan- kegiatan kepanitian misalnya kegiatan pelatihan SDM,

pelatihan komputer, dsb cenderung dilaksanakan apa adanya – sekadar menghabiskan ‘proyek’.

Sikap demikian pada dasarnya dapat difahami sebagai sesuatu yang ‘manusiawi’, tetapi jika cara berfikir seperti ini yang kemudian melandasi setiap langkah manajerial maka kerjasama tim dalam sebuah organisasi lambat laun akan melemah dan produktivitas pegawai juga secara otomatis akan menurun dan semua kegiatan yang dilaksanakan, semisal pelatihan karyawan ADM, pelatihan penelitian, seminar kurikulum, konsorsium dosen, dan sebagainya hanya menjadi rutinitas tahunan dan menghabiskan dana tanpa memberikan bekas terhadap perbaikan mutu layanan baik dari tenaga administrasi maupun tenaga pengajar.

3. Individualis

Individualis sebagaimana merujuk kepada sejauhmana orang-orang membatasi dirinya sebagai individu dan merasa bertanggung jawab untuk menjaga dirinya dan keluarga terdekatnya. Dalam masyarakat individualistis, nilai tinggi diberikan kepada jasa dan prestasi individual. Seorang individualis meyakini bahwa keterlibatannya dalam suatu organisasi sifatnya kalkulatif atau semua serba perhitungan.

Cara pandang seperti ini dalam pengamatan juga sudah menjadi prinsip sebagian besar pegawai dalam dunai pendidikan dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruh efektifitas pelaksanan budaya manajerial yang bermutu. Hal ini misalnya dapat dilihat kinerja yang ditunjukkan oleh pegawai khususnya dalam setiap kegiatan kepanitiaan yang dilaksanakan selalu diukur dengan finansial, semakin besar anggaran sebuah kegiatan, semakin besar minat pegawai untuk berpartisipasi menjadi panitia. Sebaliknya jika kegiatan

tersebut tidak memberikan nilai tambah (income) maka keterlibatan pegawai tersebut juga cendrung apa adanya.

Pola pikir demikian juga berimplikasi terhadap komitmen pegawai untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap pelanggan. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa layanan yang diberikan oleh pegawai masih merupakan layanan dasar, belum tampak keinginan untuk memberikan pelayanan lebih guna memanjakan pelanggan. Sikap individualis juga tampak dari rendahnya keinginan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama, dan yang pasti sikap demikian menjadi penghambat terwujudnya budaya pemecahan masalah lembaga melalui pembentukan Tim Work. Dengan demikian sikap dan pola pikir individualis ini menjadi salah satu penghambat terciptanya budaya manajerial lembaga yang berbasiskan mutu.

Sikap individualis dalam kehidupan kerja pada lembaga pendidikan diitemukan juga sering menjelma menjadi sikap patnership dan nepotisme. Sikap ini juga banyak mewarnai budaya manajerial sekolah khususnya yang terkait dengan pengadaan pegawai, penentuan jabatan-jabatan strategis di sekolah, penentuan orang-orang dalam kepanitian- kepanitian. Berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa semakin dekat pegawai dengan ‘kekuasaan’ maka semakin besar peluangnya untuk menempati posisi strategis.

Sikap demikian menjadi faktor yang sering menyebabkan kurang efektifnya sebuah pekerjaan, karena menempatkan personil bukan atas pertimbangan kualifikasi. Sikap demikian juga menjadi sumber terjadinya konflik dalam organisasi yang lahir sebagai akibat dari perlakuan yang tidak adil terhadap sesama pegawai, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produktivitas pegawai.

Dalam organisasi modern, sikap yang perlu dikembangkan seharusnya adalah semangat kolektivitas yaitu cara pandangan bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok, baik keluarga atau masyarakat, maupun organisasi dimana mereka bekerja. Dalam masyarakat kolektivitas kesetiaan kepada kelompok atau organisasi ditempatkan di atas nilai perorangan. Seorang kolektivis memandang bahwa keterlibatannya dalam organisasi berbasiskan moral bukan finansial.

4. Tradisionalis – Feodalis

Cara kerja tradisionalis - feodalis juga termasuk hal yang mewarnai dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya produktivitas kerja pegawai di lingkungan lembaga pendidikan. Hal ini misalnya dapat diamati dari sikap sebagian karyawan yang masih bersifat feodalis, kaku dalam menerapkan peraturan, tidak terbuka dalam melayani pelanggan (orang yang berurusan), lebih suka mempersulit daripada mempermudah dalam memberikan layanan kepada pelanggan – bila perlu setiap urusan harus diberi ‘pelicin’ supaya lancar, serta sering membuat peraturan yang ketat dan birokratis.

Keadaan yang dikemukakan di atas dapat ditemukan dalam berbagai layanan yang diberikan oleh bagian-bagian / unit di lembaga pendidikan. Peraturan – peraturan yang terkait dengan masalah akademik di perguruan tinggi misalnya terkesan masih rumit. Kondisi yang paling nyata dapat dilihat dari pelayanan yang terkait dengan masalah kepegawaian, mayoritas dosen dan karyawan sebagai pelanggan dalam hal ini sering mengeluhkan kurang jelasnya prosedurnya pengurusan, -khususnya pegawai baru - dan berfariasinya interpretasi terhadap sebuah aturan sehingga menimbulkan kebingungan pelanggan.

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 138-148)