• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mutu dalam Pendidikan

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 46-54)

Gambar 1.3

Aplikasi Konsep Mutu Berdasarkan Pandangan Modern

Karakteristik jaminan mutu modern melalui pencegahan (prevention), yaitu;

a. Mengintegrasikan rantai pemasok-pelanggan (customer- supplier chain)

b. Meningkatkan mutu melalui sistem;

1) Proses informasi pelanggan (customer information processes)

2) Proses kerja (work process) 3) Proses orang (people process)

c. Mutu merupakan tanggung jawab setiap orang dan merupakan sikap hidup (way of life).

Gambar 1.3

Aplikasi Konsep Mutu Berdasarkan Pandangan Modern

Karakteristik jaminan mutu modern melalui pencegahan (prevention), yaitu;

a. Mengintegrasikan rantai pemasok-pelanggan (customer- supplier chain)

b. Meningkatkan mutu melalui sistem;

1) Proses informasi pelanggan (customer information processes)

2) Proses kerja (work process) 3) Proses orang (people process)

c. Mutu merupakan tanggung jawab setiap orang dan merupakan sikap hidup (way of life).

G. Mutu dalam Pendidikan

Istilah mutu tidak hanya digunakan dalam dunia industri tetapi sudah digunakan dalam berbagai bidang kehidupan,

Pandangan Modern (Manajemen Proses)

Pemasok Pemasok

Input Proses Kerja (Work Process) Proses Orang (People Process)

Output

Informas Informas

termasuk pendidikan. Penggunaan istilah mutu dalam bidang pendidikan meskipun cenderung mengadopsi bahasa mutu dalam bidang bisnis namun pada hakekatnya memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan kekhasan yang ada dalam proses pendidikan.

1. Defenisi dan Karakter Mutu Pendidikan

Konsep mutu dalam layanan (seperti pendidikan) ditentukan oleh pengamatan yang pasif, terkait dengan bagaimana pelanggan memandang layanan dan bagaiman layanan diberikan.

Menurut Hoy, et all (2000:10) :

Quality in education is an evaluation of the process of educating which enhances the need to achieve and develop the talents of the customers of the process,and at the same time meets the accountability standards set by the clients who pay for the process or the outputs from the process of educating”

Menurut defenisi ini, aspek kunci mutu pendidikan adalah pengembangan talenta pelanggan, memenuhi standar dan memberikan nilai atas uang yang dibayarkan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Grisay dan Mahlack (1991) menyebutkan bahwa evaluasi mutu sistem pendidikan memerlukan analisis pertama dan seterusnya, mencakup: (1) sejauhmana produk atau hasil pendidikan yang disajikan (pengetahuan, skil, dan nilai yang diperoleh oleh siswa) memenuhi standar yang ditetapkan dalam tujuan sistem pendidikan dan (2) sejauhmana pengetahuan, skil, dan nilai yang diperoleh sesuai dengan kondisi dan kebutuhan manusia dan lingkungan.

Kedua defenisi tersebut fokus pada standar, namun tidak berarti sudah komprehensip, dan tidak ada jaminan bahwa standar-standar tersebut tercapai dengan baik pada kesempatan pertama. Standar berupaya menyesuaikan diri dengan kebutuhan pelanggan yang sukar difahami dan berubah dengan cepat.

Goddard & Leask (1992:20) lebih lanjut mendefinisikan mutu dalam sudut pandang pelanggan sebagai “quality then is simply

meeting the requirement of customer”. Bagi pendidikan, terdapat pelanggan yang beragam, termasuk orang tua, pemerintah, siswa, pekerja, dan lembaga, yang kesemuanya mencari karakter mutu yang berbeda. Perbedaan pelanggan tidak hanya memiliki perbedaan harapan terhadap layanan pendidikan tetap harapan- harapan tersebut juga berubah karena waktu, hingga menjadikan mutu pendidikan selalu berubah.

Pendangan yang berbeda dikemukakan oleh Huxtable (1995:9) bahwa; The customer is now firmly established as reigning monarch of global economies”. Orang tua dan siswa menjadi sangat peduli dengan apa yang baik bagi mereka, sementara sumber-sumber pendidikan terbatas, sedangkan efisiensi tidak dapat dilewatkan sebagai variabel penting dalam mendefinisikan mutu pendidikan. Penting untuk dicatat juga bahwa pendidikan merupakan layanan dari sekedar produk, mutunya tidak dapat berada secara eksklusif pada output akhir, tetapi mutunya harus ada dalam proses pengiriman. Jadi, efesiensi internal merupakan aspek kunci mutu pendidikan. Gagasan mutu pendidikan harus memperhitungan faktor-faktor yang menentukan sebagai ketentuan guru-guru, bangunan, kurikulum, peralatan, buku, dan proses pembelajaran.

Grisay & Mahlck (1991) menyebutkan juga bahwa terdapat beberapa indikator yang biasa digunakan oleh perencana dalam pengembangan Negara yang hampir sama dengan pengukuran mutu, seperti pengulangan (repetition), dropout, promosi, dan tingkat transisi.

Defenisi lainnya dikemukakan oleh Liston (1999) bahwa

Quality of education as the total effect of the features of the process or service on its performance or the customer’s, or client’s perceptions that performance”. Mutu pendidikan merupakan efek terpadu dari keistimewaan proses atau layanan dalam kinerjanya atau merupakan persepsi pelanggan terhadap kinerja tersebut. McMahon (1993) mengajukan gagasan yang sama bahwa mutu output pendidikan selalu bermakna sesuatu

yang memberikan kontribusi terhadap pemikiran rasional, keahlian pemecahan masalah, putusan yang baik, dan kreativitas.

Pandangan ini bermakna bahwa mutu bukan hanya keistimewaan produk dan layanan akhir tetapi mencakup fokus pada proses internal dan output serta termasuk pengurangan pemborosan dan pengembangan produktivitas. Pendapat ini menyiratkan bahwa mutu tidak dapat diukur dengan hanya memperhatikan output, yang merupakan hasil pengujian, tetapi harus mempertimbangkan analisis efisiensi internal sistem sekolah, yang memungkinkan mengontrol pemborosan yang datang dalam bentuk dropout sekolah, tingkat pengulangan, hasil ujian rendah, tingkat bertahan rendah, rata-rata waktu studi per lulusan, dan rasio pemborosan.

Pengertian mutu pendidikan yang beragam tersebut mengindikasikan konsep mutu pendidikan dipahami secara berbeda oleh para ahli. Namun, berdasarkan pandangan- pandangan para ahli di atas, paling tidak terdapat sejumlah prinsip yang dapat dicirikan pada mutu pendidikan, yaitu:

a. Merupakan hasil dari perencanaan sebelumnya dan tidak datang dengan sendirinya.

b. Relatif dan dinamis

c. Bergantung pada standar awal

d. Tidak mesti dikaitkan dengan harga dan eksklusivitas e. Terwujud dengan sendirinya pada kepuasan pelanggan f. Melebihi organisasi keseluruhan

g. Dirasakan daripada dilihat

h. Indikator tertentu dapat digunakan untuk menjelaskannya.

i. Ketiadannya dapat dirasakan j. Ada biaya dari tiadanya mutu, dan

k. Merupakan fungsi manajemen dari sumber-sumber yang tersedia.

Mutu pendidikan dengan demikian merupakan tingkat sejauhmana produk atau layanan memuaskan kebutuhan dan harapan pelanggan internal dan eksternal pada biaya yang dapat

meeting the requirement of customer”. Bagi pendidikan, terdapat pelanggan yang beragam, termasuk orang tua, pemerintah, siswa, pekerja, dan lembaga, yang kesemuanya mencari karakter mutu yang berbeda. Perbedaan pelanggan tidak hanya memiliki perbedaan harapan terhadap layanan pendidikan tetap harapan- harapan tersebut juga berubah karena waktu, hingga menjadikan mutu pendidikan selalu berubah.

Pendangan yang berbeda dikemukakan oleh Huxtable (1995:9) bahwa; The customer is now firmly established as reigning monarch of global economies”. Orang tua dan siswa menjadi sangat peduli dengan apa yang baik bagi mereka, sementara sumber-sumber pendidikan terbatas, sedangkan efisiensi tidak dapat dilewatkan sebagai variabel penting dalam mendefinisikan mutu pendidikan. Penting untuk dicatat juga bahwa pendidikan merupakan layanan dari sekedar produk, mutunya tidak dapat berada secara eksklusif pada output akhir, tetapi mutunya harus ada dalam proses pengiriman. Jadi, efesiensi internal merupakan aspek kunci mutu pendidikan. Gagasan mutu pendidikan harus memperhitungan faktor-faktor yang menentukan sebagai ketentuan guru-guru, bangunan, kurikulum, peralatan, buku, dan proses pembelajaran.

Grisay & Mahlck (1991) menyebutkan juga bahwa terdapat beberapa indikator yang biasa digunakan oleh perencana dalam pengembangan Negara yang hampir sama dengan pengukuran mutu, seperti pengulangan (repetition), dropout, promosi, dan tingkat transisi.

Defenisi lainnya dikemukakan oleh Liston (1999) bahwa

Quality of education as the total effect of the features of the process or service on its performance or the customer’s, or client’s perceptions that performance”. Mutu pendidikan merupakan efek terpadu dari keistimewaan proses atau layanan dalam kinerjanya atau merupakan persepsi pelanggan terhadap kinerja tersebut. McMahon (1993) mengajukan gagasan yang sama bahwa mutu output pendidikan selalu bermakna sesuatu

yang memberikan kontribusi terhadap pemikiran rasional, keahlian pemecahan masalah, putusan yang baik, dan kreativitas.

Pandangan ini bermakna bahwa mutu bukan hanya keistimewaan produk dan layanan akhir tetapi mencakup fokus pada proses internal dan output serta termasuk pengurangan pemborosan dan pengembangan produktivitas. Pendapat ini menyiratkan bahwa mutu tidak dapat diukur dengan hanya memperhatikan output, yang merupakan hasil pengujian, tetapi harus mempertimbangkan analisis efisiensi internal sistem sekolah, yang memungkinkan mengontrol pemborosan yang datang dalam bentuk dropout sekolah, tingkat pengulangan, hasil ujian rendah, tingkat bertahan rendah, rata-rata waktu studi per lulusan, dan rasio pemborosan.

Pengertian mutu pendidikan yang beragam tersebut mengindikasikan konsep mutu pendidikan dipahami secara berbeda oleh para ahli. Namun, berdasarkan pandangan- pandangan para ahli di atas, paling tidak terdapat sejumlah prinsip yang dapat dicirikan pada mutu pendidikan, yaitu:

a. Merupakan hasil dari perencanaan sebelumnya dan tidak datang dengan sendirinya.

b. Relatif dan dinamis

c. Bergantung pada standar awal

d. Tidak mesti dikaitkan dengan harga dan eksklusivitas e. Terwujud dengan sendirinya pada kepuasan pelanggan f. Melebihi organisasi keseluruhan

g. Dirasakan daripada dilihat

h. Indikator tertentu dapat digunakan untuk menjelaskannya.

i. Ketiadannya dapat dirasakan j. Ada biaya dari tiadanya mutu, dan

k. Merupakan fungsi manajemen dari sumber-sumber yang tersedia.

Mutu pendidikan dengan demikian merupakan tingkat sejauhmana produk atau layanan memuaskan kebutuhan dan harapan pelanggan internal dan eksternal pada biaya yang dapat

dipenuhi/ditekan (cost affordable). Cost affordability merupakan sebuah fungsi penghilangan pemborosan dalam produksi dan pengiriman produk dan layanan.

2. Konsep Mutu Pendidikan Tinggi

Menurut Cheng & Tam (1997:23) “education quality is a rather vague and controversial concept”.Pounder (1999:156) menyatakan bahwa “Quality is notoriously ambiguous term”.

Namun sejumlah guru mutu lain dalam konteks mutu pendidikan tinggi mengoreksi defenisi-defenisi tersebut yang datang dari dunia industri dan menggunakan versi defenisi yang sudah direvisi. Misalnya Campell dan Rozsnayi (2002) mendefinisikan mutu pendidikan di perguruan tinggi dalam berbagai cara terkait dengan industri;

a. Quality as excellence; defenisi ini dianggap sebagai pandangan akademik tradisional yang menangani tujuannya menjadi yang terbaik.

b. Quality as zero defect; dalam industri massa ini lebih mudah dirumuskan, dimana spesifikasi produk dapat ditetapkan secara detail dan pengukuran tertstandar produk yang sama dapat menunjukkan kesesuaian terhadapnya. Sebagai produk pendidikan tinggi, lulusan tidak diharapkan sama, pandangan ini tidak selalu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan.

c. Quality as fitness for purposes; pendekatan ini mensyaratkan bahwa produk atau layanan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan, persyaratan, dan keinginan pelanggan.

d. Quality as transformation; konsep ini fokus pada siswa, semakin baik lembaga pendidikan tinggi, semakin besar pencapaian tujuan pemberdayaan siswa dengan skil khusus, pengetahuan, dan sikap yang memungkinkan mereka untuk hidup dan bekerja di masyarakat pengetahuan.

e. Quality as threshold; mendefinisikan mutu sebagai ambang pintu berarti menyusun norma-norma dan kriteria tertentu.

Lembaga yang mencapai norma –norma dan kriteria tersebut dianggap bermutu.

f. Quality as value for money; gagasan akuntabilitas merupakan inti dari defenisi ini dengan didasarkan pada kebutuhan akan pengendalian pengeluaran publik.

g. Quality as enhancement or improvement; konsep ini menekankan pada usaha peningkatan berkelanjutan dan diprediksi bahwa pencapaian mutu merupakan inti dari etos akademik.

Tribus (1994:37-40) dalam konteks ini meyakini bahwa terdapat sejumlah perbedaan antara pendidikan dan bisnis, diantaranya:

a. Sekolah bukan merupakan pabrik b. Siswa bukan “produk”

c. Pendidikan siswa adalah produk

d. Keberhasilan menyelesaikan produk mensyaratkan partisipasi siswa sebagai pekerja, membantu pengelolaan proses pembelajaran.

Menurut Kwan (1996) perbedaan antara pendidikan dan industri mencakup empat aspek, yaitu; tujuan (objectives), proses (processes), masukan (inputs), dan keluaran (outputs). Bagi dunia industri pengukuran yang digunakan sebagai indikator efektivitas organisasi adalah keuntungan (profit), sementara tujuan dalam pendidikan tidak sederhana. Pada kenyataannya, tujuan pada setiap lembaga pendidikan tinggi harus menjawab pertanyaan ini secara tepat; apa yang harus pendidikan yang baik berikan pada pelajar. Tribus (1994) meyakini bahwa tujuan setiap sekolah atau universitas adalah memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk meningkatkan pengetahuan, know how, kebijakan, dan karakter. Konsep pertama memungkinkan siswa untuk memahami dan yang kedua memfasilitas mereka untuk melakukan. Ketiga, memungkinkan siswa untuk menyusun prioritas, dan terakhir karakter menyediakan kemungkinan bagi mereka untuk

dipenuhi/ditekan (cost affordable). Cost affordability merupakan sebuah fungsi penghilangan pemborosan dalam produksi dan pengiriman produk dan layanan.

2. Konsep Mutu Pendidikan Tinggi

Menurut Cheng & Tam (1997:23) “education quality is a rather vague and controversial concept”.Pounder (1999:156) menyatakan bahwa “Quality is notoriously ambiguous term”.

Namun sejumlah guru mutu lain dalam konteks mutu pendidikan tinggi mengoreksi defenisi-defenisi tersebut yang datang dari dunia industri dan menggunakan versi defenisi yang sudah direvisi. Misalnya Campell dan Rozsnayi (2002) mendefinisikan mutu pendidikan di perguruan tinggi dalam berbagai cara terkait dengan industri;

a. Quality as excellence; defenisi ini dianggap sebagai pandangan akademik tradisional yang menangani tujuannya menjadi yang terbaik.

b. Quality as zero defect; dalam industri massa ini lebih mudah dirumuskan, dimana spesifikasi produk dapat ditetapkan secara detail dan pengukuran tertstandar produk yang sama dapat menunjukkan kesesuaian terhadapnya. Sebagai produk pendidikan tinggi, lulusan tidak diharapkan sama, pandangan ini tidak selalu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan.

c. Quality as fitness for purposes; pendekatan ini mensyaratkan bahwa produk atau layanan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan, persyaratan, dan keinginan pelanggan.

d. Quality as transformation; konsep ini fokus pada siswa, semakin baik lembaga pendidikan tinggi, semakin besar pencapaian tujuan pemberdayaan siswa dengan skil khusus, pengetahuan, dan sikap yang memungkinkan mereka untuk hidup dan bekerja di masyarakat pengetahuan.

e. Quality as threshold; mendefinisikan mutu sebagai ambang pintu berarti menyusun norma-norma dan kriteria tertentu.

Lembaga yang mencapai norma –norma dan kriteria tersebut dianggap bermutu.

f. Quality as value for money; gagasan akuntabilitas merupakan inti dari defenisi ini dengan didasarkan pada kebutuhan akan pengendalian pengeluaran publik.

g. Quality as enhancement or improvement; konsep ini menekankan pada usaha peningkatan berkelanjutan dan diprediksi bahwa pencapaian mutu merupakan inti dari etos akademik.

Tribus (1994:37-40) dalam konteks ini meyakini bahwa terdapat sejumlah perbedaan antara pendidikan dan bisnis, diantaranya:

a. Sekolah bukan merupakan pabrik b. Siswa bukan “produk”

c. Pendidikan siswa adalah produk

d. Keberhasilan menyelesaikan produk mensyaratkan partisipasi siswa sebagai pekerja, membantu pengelolaan proses pembelajaran.

Menurut Kwan (1996) perbedaan antara pendidikan dan industri mencakup empat aspek, yaitu; tujuan (objectives), proses (processes), masukan (inputs), dan keluaran (outputs). Bagi dunia industri pengukuran yang digunakan sebagai indikator efektivitas organisasi adalah keuntungan (profit), sementara tujuan dalam pendidikan tidak sederhana. Pada kenyataannya, tujuan pada setiap lembaga pendidikan tinggi harus menjawab pertanyaan ini secara tepat; apa yang harus pendidikan yang baik berikan pada pelajar. Tribus (1994) meyakini bahwa tujuan setiap sekolah atau universitas adalah memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk meningkatkan pengetahuan, know how, kebijakan, dan karakter. Konsep pertama memungkinkan siswa untuk memahami dan yang kedua memfasilitas mereka untuk melakukan. Ketiga, memungkinkan siswa untuk menyusun prioritas, dan terakhir karakter menyediakan kemungkinan bagi mereka untuk

bekerjasama, untuk tekun dan dihormati serta dipercaya sebagai anggota masyarakat.

Spanbauer (1989) secara spesifik mengemukakan bahwa mutu merupakan masukan, proses, luaran, dan dampaknya. Mutu masukan dapat diamati) dari beberapa aspek, yaitu pertama kondisi baik tidaknya sumber daya manusia, seperti pimpinan, dosen, laboran, pustakawan, staf, dan mahasiswa, kedua memenuhi tidaknya masukan materi, seperti; buku, alat peraga, kurikulum, sarana,dll), ketiga adalah memenuhi atau tidaknya kriteria perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi, job description, SOP, dll, dan keempat masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, misi, kinerja perguruan tinggi bersangkutan.

Oleh karena itu, menarik untuk mencermati pendapat Atkinson (1990) yang membagi indikator mutu penguruan tinggi kedalam tiga aspek, yaitu

a. Mutu pendidikan tinggi dilihat dari hasil akhir pendidikan (ultimate outcome), yang menjadi ukuran adalah tingkah laku para lulusan suatu lembaga pendidikan setelah mereka terjun ke dalam masyarakat atau dalam kompetisi dunia kerja.

b. Mutu pendidikan di tinggi dilihat hasil langsung pendidikan (immediate outcome), hal ini biasanya diukur dari tingkah laku anak (pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya) setelah menyelesaikan pendidikan tinggi).

c. Mutu pendidikan dilihat dari proses pendidikan. Faktor-faktor proses yang dijadikan ukuran mutu pendidikan harus benar- benar ada hubungannya dengan pendidikan, baik empirik maupun teoritik

Berangkat dari sejumlah definisi dapat ditarik pemahaman bahwa perguruan tinggi yang bermutu pada hakikatnya bukan hanya perguruan tinggi yang mampu memenej organisasi sehingga menghasilkan efisiensi organisasi, tapi lebih daripada itu adalah bahwa mutu perguruan tinggi terletak pada kemampuannya

untuk memberikan layanan pendidikan dan pengajaran secara maksimal kepada peserta didik sebagai bekal pengetahuan dan karakter kepada mahasiswa untuk terjun ke kehidupan sosial.

3. Indikator Perguruan Tinggi Bermutu

Merujuk pada defenisi mutu pendidikan di atas, jelas bahwa tidak hanya satu indikator yang menjadi jaminan mutu.

Kesimpulan ini didukung oleh Deming (1986) yang mengatakan bahwa mutu tidak mudah (quality is not easy), sebab apa yang memuaskan pelanggan berubah terus menerus, dan mutu sebuah produk dan layanan apapun memiliki banyak skala. Ada sejumlah indikator yang secara individu penting, tetapi bukan merupakan indikator yang memuaskan dalam mutu pendidikan.

Namun demikian, apa yang ditawar kan oleh Giroux (2001) berikut dapat dijadikan bahan untuk memahami sejumlah indikator perguruan tinggi bermutu, yaitu:

a. Relevansi, yaitu kesesuaian dengan kebutuhan, artinya layanan yang diberikan seperti kurilum, perkuliahan, dll yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pelanggan

b. Efisiensi, yaitu kehematan dalam penggunaan sumber daya untuk produksi dan penyajian jasa perguruan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

c. Efektivitas, yaitu kesesuaian perencanaan dengan hasil yang dicapai, atau ketepatan sistem, metode, dan proses yang digunakan untuk menghasilkan jasa yang direncanakan.

d. Akuntabilitas, yaitu dapat atau tidaknya kinerja dan produk perguruan tinggi termasuk perilaku para pengelola, dipertanggung jawabkan secara hukum, etika akademik, nilai budaya, dan agama.

e. Kreativitas, yaitu kemampuan perguruan tinggi untuk mengadakan inovasi, pembaruan, atau menciptakan sesuatu yang sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk kemampuan evaluasi diri, seperti melakukan inovasi kurikulum

bekerjasama, untuk tekun dan dihormati serta dipercaya sebagai anggota masyarakat.

Spanbauer (1989) secara spesifik mengemukakan bahwa mutu merupakan masukan, proses, luaran, dan dampaknya. Mutu masukan dapat diamati) dari beberapa aspek, yaitu pertama kondisi baik tidaknya sumber daya manusia, seperti pimpinan, dosen, laboran, pustakawan, staf, dan mahasiswa, kedua memenuhi tidaknya masukan materi, seperti; buku, alat peraga, kurikulum, sarana,dll), ketiga adalah memenuhi atau tidaknya kriteria perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi, job description, SOP, dll, dan keempat masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, misi, kinerja perguruan tinggi bersangkutan.

Oleh karena itu, menarik untuk mencermati pendapat Atkinson (1990) yang membagi indikator mutu penguruan tinggi kedalam tiga aspek, yaitu

a. Mutu pendidikan tinggi dilihat dari hasil akhir pendidikan (ultimate outcome), yang menjadi ukuran adalah tingkah laku para lulusan suatu lembaga pendidikan setelah mereka terjun ke dalam masyarakat atau dalam kompetisi dunia kerja.

b. Mutu pendidikan di tinggi dilihat hasil langsung pendidikan (immediate outcome), hal ini biasanya diukur dari tingkah laku anak (pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya) setelah menyelesaikan pendidikan tinggi).

c. Mutu pendidikan dilihat dari proses pendidikan. Faktor-faktor proses yang dijadikan ukuran mutu pendidikan harus benar- benar ada hubungannya dengan pendidikan, baik empirik maupun teoritik

Berangkat dari sejumlah definisi dapat ditarik pemahaman bahwa perguruan tinggi yang bermutu pada hakikatnya bukan hanya perguruan tinggi yang mampu memenej organisasi sehingga menghasilkan efisiensi organisasi, tapi lebih daripada itu adalah bahwa mutu perguruan tinggi terletak pada kemampuannya

untuk memberikan layanan pendidikan dan pengajaran secara maksimal kepada peserta didik sebagai bekal pengetahuan dan karakter kepada mahasiswa untuk terjun ke kehidupan sosial.

3. Indikator Perguruan Tinggi Bermutu

Merujuk pada defenisi mutu pendidikan di atas, jelas bahwa tidak hanya satu indikator yang menjadi jaminan mutu.

Kesimpulan ini didukung oleh Deming (1986) yang mengatakan bahwa mutu tidak mudah (quality is not easy), sebab apa yang memuaskan pelanggan berubah terus menerus, dan mutu sebuah produk dan layanan apapun memiliki banyak skala. Ada sejumlah indikator yang secara individu penting, tetapi bukan merupakan indikator yang memuaskan dalam mutu pendidikan.

Namun demikian, apa yang ditawar kan oleh Giroux (2001) berikut dapat dijadikan bahan untuk memahami sejumlah indikator perguruan tinggi bermutu, yaitu:

a. Relevansi, yaitu kesesuaian dengan kebutuhan, artinya layanan yang diberikan seperti kurilum, perkuliahan, dll yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pelanggan

b. Efisiensi, yaitu kehematan dalam penggunaan sumber daya untuk produksi dan penyajian jasa perguruan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

c. Efektivitas, yaitu kesesuaian perencanaan dengan hasil yang dicapai, atau ketepatan sistem, metode, dan proses yang digunakan untuk menghasilkan jasa yang direncanakan.

d. Akuntabilitas, yaitu dapat atau tidaknya kinerja dan produk perguruan tinggi termasuk perilaku para pengelola, dipertanggung jawabkan secara hukum, etika akademik, nilai budaya, dan agama.

e. Kreativitas, yaitu kemampuan perguruan tinggi untuk mengadakan inovasi, pembaruan, atau menciptakan sesuatu yang sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk kemampuan evaluasi diri, seperti melakukan inovasi kurikulum

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 46-54)