• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan dan Kerjasama Tim dalam Pendidikan

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 180-186)

pemimpin pendidikan membutuhkan perpektif–perspektif berikut:

1. Visi dan simbol-simbol. Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada staf, para pelajar, dan kepada komunitas yang lebih luas.

2. Managemen by walking about (manajemen dengan melaksanakan) merupakan gaya kepemimpinan yang dibutuhkan bagi sebuah institusi.

Meskipun tidak ada resep khusus yang menjamin kesuksesan sebuah tim, namun Sallis (2010) menawarkan sejumlah poin perlu dipertimbangkan sebagai berikut:

1. Sebuah tim membutuhkan peran anggota yang telah didefinisikan secara jelas. Hal ini penting guna mengetahui siapa pemimpin tim dan siapa yang memfasilitasi tim. Peran pemimpin adalah teladan – pembuktian diri, orang yang memberikan misi dan menyampaikannya pada tim.

Sedangkan fasilitator mutu memliliki peran yang lebih efektif, yaitu membantu tim menggunakan secara tepat alat pemecahan masalah dan alat pembuat keputusan. Peran ini dapat dilakukan oleh pemimpin, namun kedua peran tersebut sulit dikombinasikan dan dilaksanakan secara sukses.

2. Tim membutuhkan tujuan yang jelas. Sebuah tim harus mengetahui tujuan arah yang akan dituju. Tim harus membuat pernyataan dalam misinya dan memandangnya sebagai sesuatu yang dapat dikerjakan. Tujuan harus dapat dicapai, tujuan relevan dengan minat dan kepentingan anggota.

3. Tim membutuhakn sumberdaya-sumberdaya dasar untuk beroperasi. Sumberdaya-sumberdaya tersebut antara lain manusia, waku, ruang, dan energi. Sumberdaya energi merupakan unsur yang penting namun seringkali dilupakan dalam diskusi kerja tim. Tim perlu untuk tidak memanfaatkan energi tim secara berlebih-lebihan.

4. Tim perlu memahami tanggung jawab dan batas-batas otoritasnya. Kekecewaan akan lahir jika terdapat pertimbangan yang diabaikan, atau jika tim berlebihan dalam menggunakan otoritasnya. Tujuan tim yang jelas dan singkat sangat dibutuhkan untuk memulai kerja.

5. Tim memerlukan rencana kerja. Rencana tersebut mencakup, visi, misi, bahkan mungkin bagan alir tentang langkah- langkah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek, serta sumberdaya-sumberdaya bagi tim.

6. Tim membutuhkan seperangkat aturan untuk bekerja. Aturan- aturan tersebut harus sederhana dan disetujui oleh seluruh anggota. Mereka adalah bagian penting dari tahap penerapan norma. Pentingnya mereka bagi tim adalah untuk menyusun standar yang tinggi dan menjaga keberlangsungan tim.

7. Tim perlu menggunakan alat-alat yang tepat untuk mengatasi masalah dan menemukan solusi. Alat – alat yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah seperti; brainstorming, flowcharting, dan lain-lain.

8. Tim perlu mengembangkan sikap tim yang baik dan bermanfaat. Terkait dengan ini, ada sejumlah hal yang secara ideal harus dilakukan oleh seluruh anggota tim mencakup kemampuan untuk; a) menginisiasikan diskusi, b) mencari informasi dan opini, c) mengusulkan prosedur untuk mencapai tujuan, d) menjelaskan atau mengurai ide, e) menyimpulkan, f) tes untuk mufakat, g) bertindak sebagai penengah, h) kompromis dan kreatif mengatasi perbedaan, i) mengurangi ketegangan dalam kelompok, j) mengekspresikan perasaan kelompo dan meminta yang lain untuk mengecek kesan tersebut, k) membuat kelompok setuju terhadap standar, l) merujuk pada dokumentasi dan data, m) memuji dan mengoreksi anggota dengan cara yang adil dan mampu menerima komplain.

H. Kepemimpinan dan Kerjasama Tim dalam Pendidikan Peter dan Austin (dalam Sallis, 2006) memandang bahwa pemimpin pendidikan membutuhkan perpektif–perspektif berikut:

1. Visi dan simbol-simbol. Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada staf, para pelajar, dan kepada komunitas yang lebih luas.

2. Managemen by walking about (manajemen dengan melaksanakan) merupakan gaya kepemimpinan yang dibutuhkan bagi sebuah institusi.

3. For the kids‘untuk para pelajar’. Istilah ini sama dengan ‘dekat dengan pelanggan’ dalam pendidikan. Ini memastikan bahwa institusi memiliki fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya.

4. Otonomi, eksperimentasi, dan antisipasi terhadap kegagalan.

Pemimpin pendidikan harus melakukan inovasi diantara staf- stafnay dan bersiap-siap mengantisipasi kegagalan yang mengiringi inovasi tersebut.

5. Menciptakan rasa ‘kekeluargaan’. Pemimpin harus menciptakan rasa kekeluargaan diantara para pelajar, orang tua, guru, dan staf institusi.

6. Ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme.

Sifat-sifat tersebut merupakan mutu personal esensial yang dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.

Kepemipinan merupakan aspek penting dalam mutu, tanpa kepemimpinan pada setiap level organisasi maka perbaikan dan peningkatan mutu tidak bisa berjalan dengan sukses. Komitmen terhadap mutu harus menjadi konsen utama pemimpin.

Kepemimpinan non mutu biasaya menghabiskan 30% waktu untuk menghadapi kegagalan sistem, komplain, serta penyelesaian masalah. Sedangkan pemimpin/manajer yang menerapkan mutu (TQM) tidak memiliki pemborosan waktu sedemikian sedemikian sehingga mereka bisa mengalihkan 30% waktu tersebut untuk memimpin, merencanakan masa depan, mengembangkan ide-ide baru dan bekerja secara familiar dengan para pelanggan.

Manajer dalam TQM harus menjadi pemimpin dan pejuang proses mutu, memberikan arahan, visi, dan inspirasi.

Mereka harus mengkomunikasikan visi dan menurunkannya ke seluruh anggota dalam lembaga. Fungsi pemimpin dalam TQM adalah meningkatkan mutu dan mendukung staf yang menjalankan roda mutu tersebut. Gagasan –gagasan tradisional tidak akan sejalan denan pendekatan mutu terpadu.

Kepemimpinan mutu pendidikan memberikan para guru dan staf

kesempatan yang luas untuk berinisiatif. Oleh karena itu, lembaga yang menerapkan TQM hanya membutuhkan manajemen yang sederhana dengan kepemimpinan yang unggul (Sallis, 2006).

Terkait dengan peran pemimpin dalam mengembangkan budaya mutu, Sallis (2006) mengemukakan sejumlah fungsi pemimpin mutu sebagai berikut:

1. Memiliki visi mutu terpadu bagi lembaga;

2. Memiliki komitmen yang jelas terhadap proses peningkatan mutu;

3. Mengkomunikasikan pesan mutu;

4. Memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan praktik lembaga;

5. Mengarahkan perkembangan karyawan;

6. Berhati-hati dengan tidak menyalahkan orang lain saat persoalan muncul tanpa bukti yang nyata. Kebanyakan persoalan yang muncul adalah hasil dari kebijakan lembaga dan bukan kesalahan staf;

7. Memimpin inovasi dalam lembaga;

8. Mampu memastikan bahwa struktur organisasi secara jelas mendefinisikan tanggung jawab dan mampu mempersiapkan delegasi yang tepat;

9. Membangun tim yang efektif.

10. Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawasi serta mengevaluasi kesuksesan.

Aspek penting lain dari peran kepemimpinan mutu dalam pendidikan adalah memberdayakan guru dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada guru untuk mengembangkan pembelajaran. Spanbauer (dalam Sallis, 2006) menyimpulkan sejumlah peran pemimpin mutu terkait dengan pemberdayaan bawahan (guru dan staf) sebagai berikut:

1. Melibatkan para guru dan seluruh staf dalam aktivitas penyelesaian masalah, dengan menggunakan metode ilmiah dasar, prinsip-prinsip mutu statistik dan pengendalian proses.

3. For the kids‘untuk para pelajar’. Istilah ini sama dengan ‘dekat dengan pelanggan’ dalam pendidikan. Ini memastikan bahwa institusi memiliki fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya.

4. Otonomi, eksperimentasi, dan antisipasi terhadap kegagalan.

Pemimpin pendidikan harus melakukan inovasi diantara staf- stafnay dan bersiap-siap mengantisipasi kegagalan yang mengiringi inovasi tersebut.

5. Menciptakan rasa ‘kekeluargaan’. Pemimpin harus menciptakan rasa kekeluargaan diantara para pelajar, orang tua, guru, dan staf institusi.

6. Ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme.

Sifat-sifat tersebut merupakan mutu personal esensial yang dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.

Kepemipinan merupakan aspek penting dalam mutu, tanpa kepemimpinan pada setiap level organisasi maka perbaikan dan peningkatan mutu tidak bisa berjalan dengan sukses. Komitmen terhadap mutu harus menjadi konsen utama pemimpin.

Kepemimpinan non mutu biasaya menghabiskan 30% waktu untuk menghadapi kegagalan sistem, komplain, serta penyelesaian masalah. Sedangkan pemimpin/manajer yang menerapkan mutu (TQM) tidak memiliki pemborosan waktu sedemikian sedemikian sehingga mereka bisa mengalihkan 30% waktu tersebut untuk memimpin, merencanakan masa depan, mengembangkan ide-ide baru dan bekerja secara familiar dengan para pelanggan.

Manajer dalam TQM harus menjadi pemimpin dan pejuang proses mutu, memberikan arahan, visi, dan inspirasi.

Mereka harus mengkomunikasikan visi dan menurunkannya ke seluruh anggota dalam lembaga. Fungsi pemimpin dalam TQM adalah meningkatkan mutu dan mendukung staf yang menjalankan roda mutu tersebut. Gagasan –gagasan tradisional tidak akan sejalan denan pendekatan mutu terpadu.

Kepemimpinan mutu pendidikan memberikan para guru dan staf

kesempatan yang luas untuk berinisiatif. Oleh karena itu, lembaga yang menerapkan TQM hanya membutuhkan manajemen yang sederhana dengan kepemimpinan yang unggul (Sallis, 2006).

Terkait dengan peran pemimpin dalam mengembangkan budaya mutu, Sallis (2006) mengemukakan sejumlah fungsi pemimpin mutu sebagai berikut:

1. Memiliki visi mutu terpadu bagi lembaga;

2. Memiliki komitmen yang jelas terhadap proses peningkatan mutu;

3. Mengkomunikasikan pesan mutu;

4. Memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan praktik lembaga;

5. Mengarahkan perkembangan karyawan;

6. Berhati-hati dengan tidak menyalahkan orang lain saat persoalan muncul tanpa bukti yang nyata. Kebanyakan persoalan yang muncul adalah hasil dari kebijakan lembaga dan bukan kesalahan staf;

7. Memimpin inovasi dalam lembaga;

8. Mampu memastikan bahwa struktur organisasi secara jelas mendefinisikan tanggung jawab dan mampu mempersiapkan delegasi yang tepat;

9. Membangun tim yang efektif.

10. Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawasi serta mengevaluasi kesuksesan.

Aspek penting lain dari peran kepemimpinan mutu dalam pendidikan adalah memberdayakan guru dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada guru untuk mengembangkan pembelajaran. Spanbauer (dalam Sallis, 2006) menyimpulkan sejumlah peran pemimpin mutu terkait dengan pemberdayaan bawahan (guru dan staf) sebagai berikut:

1. Melibatkan para guru dan seluruh staf dalam aktivitas penyelesaian masalah, dengan menggunakan metode ilmiah dasar, prinsip-prinsip mutu statistik dan pengendalian proses.

2. Memilih untuk meminta pendapat mereka mengenai berbagai hal dan tentang bagaimana cara mereka menjalankan proyek dan tidak sekedar menyampaikan bagaimana seharusnya mereka bersikap.

3. Menyampaikan sebanyak mungkin informasi manajemen untuk membantu pengembangan dan peningkatan komitmen manajemen.

4. Menanyakan pendapat staf tentang sistem dan prosedur mana saja yang menghalangi mereka dalam menyampaikan mutu kepada para pelanggan – pelajar, orang tua, dan rekan kerja.

5. Memahami bahwa keinginan untuk meningkatan mutu para guru tidak sesuai dengan pendekatan manajemen atas ke bawa (top down).

6. Memindahkan tanggung jawab dari kontrol pengembangan profesional langsung kepada guru dan pekerja teknis.

7. Mengimplementasikan komunikasi yang sistematis dan kontinyu diantara setiap orang yang terlibat dalam sekolah.

8. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah serta negosiasi dalam rangka menyelesaikan konflik.

9. Memiliki sikap membantu tanpa harus mengetahui semua jawaban bagi setiap masalah dan tanpa rasa rendah diri.

10. Menyediakan materi pembelajaran konsep mutu seperti membangun tim, manajemen proses, layanan pelanggan, komunikasi dan kepemimpinan.

11. Memberikan teladan yang baik, dengan cara memperihatkan karakteristik yang diinginkan dan menggunakan waktu untuk melihat-lihat situasi dan kondisi lembaga dengan mendengarkan keinginan guru dan pelanggan lainnya.

12. Belajar untuk berperan sebagai pelatih dan bukan sebagai bos.

13. Memberikan otonomi dan berani mengambil resiko.

14. Memberikan perhatian yang berimbang dalam menyediakan mutu bagi para pelanggan eksternal (pelajar, orang tua, dan lainnya) dan kepada para pelanggan internal (pengajar, anggota dewan guru, dan pekerja lainnya).

Spanbauer (dalam Usman, 2008) memberikan model kepemimpinan untuk memberdayakan guru, sebagai berikut:

1. Melibatkan seluruh guru dan tata usaha dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dengan menggunakan metode ilmiah seperti kontrol proses statistik.

2. Meminta pendapat mereka mengenai bagaimana agar sekolah lebih maju dan kendala apa yang mungkin terjadi serta bagaimana mengantisipasinya.

3. Saling berbagi informasi guna meningkatkan komitmen mereka.

4. Bertanya kepada mereka mengenai sistem dan prosedur yang mana yang tepat disampaikan kepada para pelanggan eksternal sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah.

5. Memahami bahwa manajemen yang bersifat top down tidak cocok dalam mendorong peningkatan profesionalisme guru.

6. Merejamakan pertumbuhan profesional, awalnya tanggung jawab dan control dari kepala sekolah menjadi langsung dari mereka.

7. Menerapkan komunikasi sistematis dan terus menerus antarwar warga sekolah.

8. Mengembangkan kemampuan berkonflik, pemecahan masalah dan negosiasi, serta menunjukkan toleransi yang besar terhadap konflik.

9. Siap membantu tanpa banyak bertanya dan tanpa menjadi rendah diri.

10. Menyiapkan pendidikan dengan konsep mutu seperti pembentukan tim, manajemen proses, pelayanan pelanggan, komunikasi, dan kepemimpinan.

11. Model yang ditunjukkan adalah karakteristik keperibadian yang diharapkan oleh warga sekolah dan luar sekolah.

12. Belajar seperti pelatih dan tidak seperti bos.

13. Menyeimbangkan antara jaminan mutu pelanggan eksternal sekolah dengan kesejahteraan yang dibutuhkan pelanggan internal sekolah (guru, staf, dan tata usaha).

2. Memilih untuk meminta pendapat mereka mengenai berbagai hal dan tentang bagaimana cara mereka menjalankan proyek dan tidak sekedar menyampaikan bagaimana seharusnya mereka bersikap.

3. Menyampaikan sebanyak mungkin informasi manajemen untuk membantu pengembangan dan peningkatan komitmen manajemen.

4. Menanyakan pendapat staf tentang sistem dan prosedur mana saja yang menghalangi mereka dalam menyampaikan mutu kepada para pelanggan – pelajar, orang tua, dan rekan kerja.

5. Memahami bahwa keinginan untuk meningkatan mutu para guru tidak sesuai dengan pendekatan manajemen atas ke bawa (top down).

6. Memindahkan tanggung jawab dari kontrol pengembangan profesional langsung kepada guru dan pekerja teknis.

7. Mengimplementasikan komunikasi yang sistematis dan kontinyu diantara setiap orang yang terlibat dalam sekolah.

8. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah serta negosiasi dalam rangka menyelesaikan konflik.

9. Memiliki sikap membantu tanpa harus mengetahui semua jawaban bagi setiap masalah dan tanpa rasa rendah diri.

10. Menyediakan materi pembelajaran konsep mutu seperti membangun tim, manajemen proses, layanan pelanggan, komunikasi dan kepemimpinan.

11. Memberikan teladan yang baik, dengan cara memperihatkan karakteristik yang diinginkan dan menggunakan waktu untuk melihat-lihat situasi dan kondisi lembaga dengan mendengarkan keinginan guru dan pelanggan lainnya.

12. Belajar untuk berperan sebagai pelatih dan bukan sebagai bos.

13. Memberikan otonomi dan berani mengambil resiko.

14. Memberikan perhatian yang berimbang dalam menyediakan mutu bagi para pelanggan eksternal (pelajar, orang tua, dan lainnya) dan kepada para pelanggan internal (pengajar, anggota dewan guru, dan pekerja lainnya).

Spanbauer (dalam Usman, 2008) memberikan model kepemimpinan untuk memberdayakan guru, sebagai berikut:

1. Melibatkan seluruh guru dan tata usaha dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dengan menggunakan metode ilmiah seperti kontrol proses statistik.

2. Meminta pendapat mereka mengenai bagaimana agar sekolah lebih maju dan kendala apa yang mungkin terjadi serta bagaimana mengantisipasinya.

3. Saling berbagi informasi guna meningkatkan komitmen mereka.

4. Bertanya kepada mereka mengenai sistem dan prosedur yang mana yang tepat disampaikan kepada para pelanggan eksternal sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah.

5. Memahami bahwa manajemen yang bersifat top down tidak cocok dalam mendorong peningkatan profesionalisme guru.

6. Merejamakan pertumbuhan profesional, awalnya tanggung jawab dan control dari kepala sekolah menjadi langsung dari mereka.

7. Menerapkan komunikasi sistematis dan terus menerus antarwar warga sekolah.

8. Mengembangkan kemampuan berkonflik, pemecahan masalah dan negosiasi, serta menunjukkan toleransi yang besar terhadap konflik.

9. Siap membantu tanpa banyak bertanya dan tanpa menjadi rendah diri.

10. Menyiapkan pendidikan dengan konsep mutu seperti pembentukan tim, manajemen proses, pelayanan pelanggan, komunikasi, dan kepemimpinan.

11. Model yang ditunjukkan adalah karakteristik keperibadian yang diharapkan oleh warga sekolah dan luar sekolah.

12. Belajar seperti pelatih dan tidak seperti bos.

13. Menyeimbangkan antara jaminan mutu pelanggan eksternal sekolah dengan kesejahteraan yang dibutuhkan pelanggan internal sekolah (guru, staf, dan tata usaha).

Guna mewujudkan inovasi sekolah, pemimpin pendidikan/kepala sekolah harus bertindak harus bertindak sebagai pemimpin (leader), dan bukannya bertindak sebagai boss.

Ada perbedaan di antara keduanya. Glasser (1992) mengemukakan metapora yang membedakan antara leader dan boss. Perbedaan tersebut dapat kita pahami dari ungkapan- ungkapan metaporik berikut: (1) A boss drives. A leader leads; (2) A boss relies on authority. A leader relies on co-operation; (3) A boss says “I”. A leader says “We”; (4) A boss creates fear. A leader creates confidence; (5) A boss knows how. A leader shows how; (6) A boss creates resentment. A leader breeds enthusiasm;

(7) A boss fixes blame. A leader fixes mistakes; (8) A boss makes work drudgery. A leader makes work interesting.

Dalam dokumen Buku Manajemen Mutu Layanan (Halaman 180-186)