Cytomegalovirus (CMV)
Deteksi adanya IgG CMV pada pasien dapat menentukan adanya infeksi lampau. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi IgG CMV adalah pemeriksaan fiksasi komplemen, ELISA, imunofluoresens antikomplemen, radioimmunoassay, dan hemaglutinasi indirek (IHA).23 Terdeteksinya IgG CMV pada pasien menunjukkan adanya infeksi lampau dalam kurun waktu 2 minggu hingga bertahun-tahun sebelum dilakukannya pemeriksaan pada pasien usia lebih dari 12 bulan ketika pada pasien tidak lagi didapatkan antibodi maternal.23,26 Adanya infeksi baru atau akut pada pasien diobservasi melalui deteksi antibodi IgM CMV. Deteksi IgM CMV dapat dilakukan dengan beberapa metode diagnostik tetapi metode yang paling banyak dilakukan adalah metode ELISA. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemeriksaan IgM CMV tanpa didampingi pemeriksaan lain tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis infeksi primer dan sering menunjukkan hasil positif palsu. Hal tersebut dikarenakan titer IgM dapat persisten hingga 6 – 9 bulan setelah infeksi primer dan dapat meningkat pada pasien dengan infeksi CMV sekunder atau reaktivasi.23,27
Pemeriksaan aviditas IgG digunakan bersama pemeriksaan IgM untuk membedakan infeksi CMV primer dengan non-primer.16,17 Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengobservasi adanya antibodi IgG CMV aviditas rendah dalam beberapa bulan pertama setelah infeksi.23 Ditemukannya IgG CMV aviditas rendah mengindikasikan adanya infeksi primer. Dalam kurun waktu 2 – 4 bulan IgG CMV akan mengalami maturasi menjadi IgG CMV aviditas tinggi dan menggambarkan suatu infeksi lampau atau kronik. Aviditas IgG CMV dinilai sebagai indeks aviditas; yaitu persentase IgG CMV yang berikatan dengan antigen selama pemberian terapi dilakukan. Pemeriksaan aviditas IgG CMV memiliki sensitivitas sebesar 63% bila dilakukan pada wanita hamil dengan usia gestasi 20 – 23 minggu. Sensitivitas pemeriksaan tersebut akan meningkat hingga 81% bila dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan IgM CMV.18 Meskipun demikian, tidak semua pemeriksaan aviditas IgG telah
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
tervalidasi bermanfaat dalam menegakkan diagnosis infeksi akut CMV sehingga interpretasi hasil pemeriksaan aviditas IgG CMV harus dilakukan secara teliti.
Neonatus yang lahir dengan kecurigaan infeksi CMV kongenital harus dikonfirmasi status infeksinya menggunakan metode isolasi virus dengan spesimen urin dan/atau saliva dalam 2 – 3 minggu pertama kehidupan.19 Deteksi genom CMV menggunakan metode PCR dan deteksi antigen virus (antigen pp65) juga dapat dilakukan pada waktu-waktu tersebut.19,20 IgM CMV jarang terdeteksi pada neonatus sedangkan IgG CMV ditransmisikan transplasenta sehingga pemeriksaan antibodi secara umum tidak dapat diandalkan untuk menegakkan diagnosis infeksi CMV kongenital. Neonatus yang didiagnosis terinfeksi CMV kongenital harus menjalani pemeriksaan fisis, radiologis, dan hematologis lebih lanjut untuk mengevaluasi manifestasi klinis infeksi CMV yang dialaminya.19
Pemeriksaan Serologis pada Infeksi Dengue
Penegakkan diagnosis yang cepat dan akurat serta pengenalan fase-fase perjalanan penyakit merupakan suatu hal yang penting dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien.21
Pada tabel 1 dijabarkan pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis infeksi dengue. Infeksi dengue dikatakan terkonfirmasi (confirmed case) apabila didapatkan virus, genom virus atau NS1 Ag, atau serokonversi (dari negatif menjadi positif IgM/IgG atau peningkatan titer antibodi sebesar 4 kali lipat) IgM atau IgG antidengue dalam dua kali pemeriksaan (paired sera).21 Infeksi dengue dikatakan probable
Tabel 7. Metode diagnostik infeksi dengue21
Spesimen Metode Diagnostik Metodologi Waktu yang
Diperlukan Deteksi
virus dan komponennya
Serum akut (hari demam ke 1 – 5) dan jaringan nekropsi
Isolasi virus Inokulasi kultur nyamuk
atau sel-sel nyamuk ≥ 1 minggu Deteksi asam
nukleat RT-PCR dan real time
RT-PCR 1 – 2 hari
Deteksi antigen NS1 Ag rapid test Beberapa menit
NS1 Ag ELISA 1 hari
Imunohistokimia 2 – 5 hari Respons
serologis Serum akut (hari demam ke 1 – 5) dan serum dari 15 – 21 hari kemudian (paired sera)
Serokonversi IgM atau IgG
ELISA, HIA 1 – 2 hari
Tes netralisasi Minimal 7 hari
Serum dari hari demam ke 6 – seterusnya
Deteksi IgM ELISA 1 – 2 hari
Rapid test Beberapa menit
Deteksi IgG IgG ELISA; HIA 1 – 2 hari
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
apabila didapatkan IgM antidengue atau titer antibodi sebesar 1280 atau lebih melalui metode HIA atau ELISA pada spesimen tunggal.21 Infeksi dengue terkonfirmasi dan probable harus ditangani sesuai dengan derajat keparahan manifestasi klinisnya.
ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay; HIA, hemagglutination inhibition assay; IgG, immunoglobulin G; IgM, immunoglobulin M; NS1 Ag, non-structural protein 1 antigen; RT-PCR, reverse transcriptase-polymerase chain reaction.
Masa inkubasi infeksi virus dengue terjadi dalam 4 – 10 hari setelah gigitan nyamuk.21 Pada masa inkubasi virus bereplikasi dan respons imun tubuh mulai berkembang. Viremia dapat dideteksi sejak awal munculnya manifestasi klinis dan menghilang pada periode deferfesens (perpindahan fase febris menjadi afebris). Antibodi IgM antidengue mulai muncul pada saat yang sama. Pemeriksaan virologis dan serologis dapat membedakan infeksi primer dengan infeksi sekunder dan memperkirakan perjalanan penyakit.
Pemeriksaan serologis yang bermanfaat dilakukan pada fase febris (hari demam ke 1 – 5) adalah pemeriksaan NS1 Ag melalui metode ELISA atau dengan menggunakan alat rapid diagnostic test (RDT).21 NS1 Ag adalah suatu glikoprotein yang diproduksi oleh seluruh flavivirus dan berperan penting dalam proses replikasi dan kelangsungan hidup virus tersebut.22 Metode diagnostik ini tidak dapat membedakan infeksi primer dan infeksi sekunder serta tidak dapat menentukan galur virus dengue yang menginfeksi pasien.22 Sensitivitas dan spesifisitas alat diagnostik yang telah tersedia di pasaran sedang dievaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan serologis yang bermanfaat dilakukan pada fase kritis dan konvalesens (setelah hari demam ke 5) adalah pemeriksaan IgM dan IgG antidengue melalui metode ELISA atau dengan menggunakan alat RDT.21,22 Pemeriksaan IgG antidengue yang dilakukan bersama dengan IgM antidengue dapat bermanfaat untuk menilai adanya infeksi lampau. Klasifikasi infeksi primer dan infeksi sekunder atau lampau dinilai menggunakan rasio densitas optik IgM/IgG. Rasio lebih dari 1,2 dengan spesimen serum terdilusi 1/100 atau 1,4 dengan spesimen serum terdilusi 1/20 menunjukkan infeksi primer.29,30 Titer IgG antidengue lebih dari 1/1280 melalui metode HIA atau ELISA menunjukkan infeksi sekunder. Pemeriksaan HIA dan ELISA memiliki kemungkinan reaktivitas silang dengan spesies flavivirus lainnya. Metode pemeriksaan uji netralisasi merupakan metode pemeriksaan pilihan untuk mendeteksi serotipe spesifik.21,22
Pemeriksaan Serologis pada Infeksi Rubela
Diagnosis rubela tidak dapat ditegakkan hanya melalui penilaian kondisi klinis
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
pasien karena bervariasinya manifestasi klinis yang dapat terjadi.23 Setiap kasus rubella harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mengonfirmasi rubella antara lain adalah deteksi virus dan pemeriksaan serologis. Deteksi virus dapat dilakukan melalui metode real time RT-PCR dan RT-PCR. Pemeriksaan serologis lebih disukai karena dapat menilai status imun pasien terhadap rubella.
Metode pemeriksaan serologis yang paling banyak dilakukan adalah pendeteksian antibodi IgM dan IgG rubella melalui enzyme immunoassay (EIA).24 Pemeriksaan tersebut bersifat sensitif dan mudah dilakukan. Perjalanan respons imun pasien dengan infeksi rubella dijabarkan pada gambar 4. Antibodi IgM rubella dapat dideteksi dalam 4 – 30 hari setelah awitan penyakit.
Pemeriksaan ini dapat mengonfirmasi infeksi rubella kecuali apabila pasien mendapatkan vaksinasi yang mengandung virus rubella dalam 8 hari – 8 minggu sebelum spesimen diambil.32 Hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien dengan faktor reumatoid tinggi dan reaktivitas silang dengan infeksi virus lain seperti parvovirus B19.23,24 Oleh karena itu pemeriksaan antibodi IgM rubella tidak disarankan untuk dilakukan secara tunggal melainkan dikombinasi dengan pemeriksaan aviditas antibodi dan deteksi virus rubella.
Hasil positif harus dikonfirmasi lebih lanjut apabila didapatkan pada wanita hamil yang tidak mengalami gejala rubella dan tidak memiliki kontak dengan orang yang terinfeksi rubella.24
Pemeriksaan antibodi IgG rubela harus dilakukan secara serial menggunakan minimal dua spesimen serum dari dua waktu berbeda dan dilakukan pada pasien yang tidak mendapatkan vaksinasi yang mengandung virus rubella dalam kurun waktu 8 hari – 8 minggu sebelum pengambilan spesimen.23,24 Serum pertama harus diambil sesegera mungkin setelah awitan penyakit, sedangkan serum kedua diambil 10 – 21 hari setelah pengambilan serum pertama. Pada kedua serum tersebut kemudian dinilai adanya kenaikan titer IgG rubela. Pemeriksaan aviditas IgG rubella bermanfaat dalam membedakan infeksi akut dan infeksi lampau.23 Didapatkannya IgG aviditas tinggi pada pasien berkorelasi dengan infeksi lampau atau reinfeksi. Meskipun demikian, pemeriksaan aviditas IgG rubella tidak banyak dilakukan karena tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan memiliki sarana untuk melakukan pemeriksaan tersebut.
Pemeriksaan Serologis pada Infeksi Virus Herpes Simpleks
Herpes simplex virus (HSV) adalah penyebab utama ulkus genital di seluruh dunia.25 Galur HSV yang paling banyak menyebabkan ulkus genital adalah HSV2. Infeksi HSV sering kali tidak terdiagnosis karena sebagian besar infeksi bersifat asimtomatik. Transmisi HSV pada partner seksual atau neonatus paling sering terjadi pada kasus-kasus asimtomatik. Infeksi HSV juga diketahui
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
meningkatkan risiko transmisi HIV. Penegakkan diagnosis infeksi HSV penting untuk dilakukan secara cepat dan tepat karena pemberian terapi antiviral dapat menurunkan risiko transmisi HSV.25 Penegakkan diagnosis infeksi HSV harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium karena manifestasi klinis infeksi HSV seringkali tidak spesifik dan bersifat atipikal. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah deteksi virus dan pemeriksaan serologis. Diagnosis infeksi HSV definitif ditegakkan bila didapatkan HSV pada daerah genital pasien melalui metode isolasi virus atau deteksi antigen.
Metode diagnostik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis infeksi HSV terbagi menjadi dua yaitu pemeriksaan direk dan pemeriksaan serologis indirek.25 Pemeriksaan direk terdiri atas isolasi virus, deteksi antigen, pewarnaan Tzanck, pemeriksaan mikroskopis elektron, dan deteksi DNA virus melalui PCR sedangkan pemeriksaan serologis indirek terdiri atas western blot dan uji gG-based type-specific.
Deteksi antigen merupakan alternatif pemeriksaan yang dapat dikerjakan apabila pada fasilitas pelayanan kesehatan tidak ada sarana yang diperlukan untuk mengisolasi virus dengan sensitivitas yang hampir sama dengan isolasi virus.33 Spesimen yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah apusan cairan vesikel atau ulkus genital pasien yang diambil dalam waktu 3 hari setelah awitan penyakit. Metode deteksi antigen yang dapat dilakukan adalah direct fluorescence assay (DFA) dan uji imunoperoksidase. Sensitivitas pemeriksaan DFA mencapai 90% dan memiliki kemampuan yang baik untuk mendeteksi infeksi HSV primer. Hasil pemeriksaan DFA dikatakan positif apabila pada spesimen didapatkan gambaran apple-green fluorescence pada nukleus dan sitoplasma sel basal dan sel parabasal intak saat diperiksa menggunakan mikroskop fluoresens.25
Pemeriksaan serologis indirek dilakukan dengan mendeteksi adanya antibodi HSV.25 Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan virologis lainnya tidak mampu laksana atau menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendiagnosis karier HSV asimtomatik yang bersifat sangat infeksius. Pemeriksaan antibodi HSV dapat membedakan serotipe HSV1 dengan HSV2 melalui deteksi glikoprotein yang berbeda yaitu gG1 dan gG2.
Pemeriksaan western blot merupakan baku emas dalam deteksi antibodi HSV.
Pemeriksaan ini sangat sensitif dan dapat secara spesifik membedakan infeksi HSV1 dan HSV2. Namun pemeriksaan ini tidak cost effective, memerlukan waktu lama, dan bersifat operator dependent.33 Uji gG-based type-specific lebih banyak dilakukan dibandingkan western blot dan telah tersedia secara komersil.
Contoh alat diagnostik uji gG-based type-specific yang telah tersedia adalah HerpeSelect HSV1 dan HSV2 dari perusahaan Focus Technologies (USA) yang menggunakan metode ELISA. Sensitivitas alat diagnostik ini adalah sebesar 97% - 100% dengan spesifisitas sebesar 98% untuk masing-masing
Prosiding Simposium LxxiV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship
serotipe HSV.25 Alat diagnostik ini juga memerlukan waktu lebih singkat dalam mendeteksi terjadinya serokonversi yaitu 25 hari dari awitan penyakit untuk HerpeSelect HSV1 (33 hari dengan western blot) dan 21 hari dari awitan penyakit untuk HerpeSelect HSV2 (40 hari dengan western blot).
Pemeriksaan Serologis pada Varicella
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mengonfirmasi diagnosis varicella terutama pada kasus-kasus atipikal. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah isolasi virus melalui PCR dan kultur virus serta pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis varicella adalah deteksi antibodi IgM VZV atau peningkatan titer antibodi IgG VZV sebanyak 4 kali lipat dari fase akut hingga konvalesens.26 Deteksi antibodi IgM VZV yang dilakukan secara tunggal tidak direkomendasikan karena tidak sensitif dan tidak spesifik. Pemeriksaan tersebut dapat dikombinasi dengan deteksi peningkatan titer antibodi IgG VZV.
Pemeriksaan-pemeriksaan serologis tersebut harus dilakukan di laboratorium- laboratorium yang terstandarisasi karena tidak semua alat diagnostik yang telah beredar secara komersil memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam menegakkan diagnosis varicella.26
Pemeriksaan Serologis pada Campak
Antibodi IgM dan IgG campak terbentuk dalam beberapa hari setelah munculnya ruam. Titer antibodi IgM mencapai puncak dalam 7 – 10 hari dan menurun dengan cepat.23 Sedangkan titer antibodi IgG mencapai puncak dalam 4 minggu dan persisten dalam jangka waktu yang lama. Paparan terhadap virus campak setelah terjadi infeksi primer akan memicu kenaikan titer IgG campak secara cepat sehingga manifestasi klinis penyakit tidak terjadi. Imunitas terhadap campak dapat bertahan hingga seumur hidup.
Diagnosis campak dapat ditegakkan melalui penilaian kondisi klinis pasien.23 Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mengonfirmasi diagnosis pada kasus-kasus atipikal dan kasus-kasus ringan di mana manifestasi klinis tidak tampak jelas. Pemeriksaan laboratorium yang dapat bermanfaat untuk mengonfirmasi diagnosis campak antara lain adalah pemeriksaan serologis melalui deteksi antibodi IgM dan IgG campak, deteksi virus, dan isolasi virus.
Pendeteksian virus dan isolasi virus menggunakan spesimen klinis tidak rutin dilakukan karena memiliki sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pemeriksaan serologis.23
Deteksi antibodi IgM campak dapat dilakukan menggunakan metode EIA kecuali pada pasien yang menerima vaksinasi mengandung virus campak dalam kurun waktu 8 hari hingga 6 minggu sebelum pengambilan spesimen,
Viral or Bacterial Infection: Does Need Laboratory Test?
tidak memiliki bukti kontak dengan pasien campak, dan tidak memiliki riwayat bepergian ke daerah endemis campak.23
Pemeriksaan antibodi IgG campak harus dilakukan menggunakan dua spesimen di mana spesimen kedua diambil sekurang-kurangnya 10 hari setelah pengambilan spesimen pertama. Serokonversi sebesar 4 kali lipat menandakan hasil positif. Pemeriksaan antibodi IgG campak juga tidak dapat dilakukan pada pasien yang menerima vaksinasi mengandung virus campak dalam kurun waktu 8 hari hingga 6 minggu sebelum pengambilan spesimen, tidak memiliki bukti kontak dengan pasien campak, dan tidak memiliki riwayat bepergian ke daerah endemis campak.23 Pemeriksaan aviditas IgG campak dapat dilakukan untuk membedakan infeksi akut dan infeksi lampau.23 Pemeriksaan aviditas IgG campak tidak rutin dilakukan karena membutuhkan alat-alat dan laboratorium khusus yang telah distandarisasi.
Biomarker diagnosis baru untuk membedakan infeksi bakteri dari virus pada anak Untuk memastikan pengobatan yang memadai bagi pasien infeksi diperlukan informasi rinci. Meski hitung leukosit dan CRP merupakan indikator infeksi yang bermanfaat, diperlukan indikator pemeriksaan yang cepat dan mudah untuk meningkatkan kemampuan meningkatkan diagnosis.
Disamping itu, membedakan bakteri dan virus sebagai patogen kausatif merupakan suatu hal yang sangat penting. Beberapa studi memperlihatkan level ekspresi TLR2 dan TLR4 dalam neutrofil yang berasal dari individu yang terinfeksi bakteri(n=118) dan virus (n=34) tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan sampel kontrol (n=47). Demikian pula, level lebih tinggi dari TNF-α pada pasien kedua infeksi di amati serta IL-2, IL8 dan IL 10 pasca infeksi virus juga diamati, menunjukkan level interleukin tadi secara bermakna meningkat dibandingkan 1 hari pasca infeksi bakteri. Berdasarkan penelitian tersebut, IL-4, IL-8, IL-10, IL-12 dan TNF-α mungkin merupakan biomarker infeksi, sebagai tambahan dari hitung leukosit dan level CRP, dan IL-2, IL8 serta IL-10 berpotensi dapat membedakan antara infeksi bakteri dan virus.