• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ad a Penyidikan ( opsporing ) oleh Kepolisaan

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 73-80)

1. Pemeriksaan pertama oleh polisi

Saat pertamakali warga biasa sebagai tersangka dalam tindak pidana

tiba-tiba bersinggungan dengan aparat negara ialah tatkala ia ditahan dan untuk pertama kali di periksa oleh polisi. Pada tahapan itulah

terbentuk landasan yang akan menentukan kelanjutan proses pidana.

Bukan tanpa alasan mengapa tahapan tersebut diakui sebagai tahapan

kritikal yang sangat menentukan. Sejalan dengan berlanjutnya proses

dan perkembangan pemeriksaan, akan semakin sulit pula bagi aparat penegak hukum pidana untuk beralih dari pola pikir yang sudah terbentuk, mengubah atau menarik kembali pandangan mereka perihal

duduk perkara yang sudah dikonstruksikan saat mereka mendapatkan pertama kali keterangan dari terdakwa, bahkan untuk meninggalkan itu

semua sama sekali.

Sebab itu dalam tahap pertama di atas sangat penting untuk bertindak sangat cermat dan hati-hati: haruslah dicegah tersangka

memberi keterangan di bawah tekanan yang terlalu berat.

Hal di atas penting tidak saja demi menjaga berjalannya proses pidana yang adil bagi terdakwa, melainkan juga dalam rangka menjaga

intergritas dan kecermatan proses penegakan hukum pidana sedemikian sehingga ketidakadilan oleh lembaga penegak hukum (miscarriages of justice) dapat dicegah dan terpenuhinya syarat-syarat baku dan asas-

asas internasional sebagaimana termaktub dalam perjanjian-perjanjian internasional seperti EVRM1 dan ICCPR.2

Paradoksnya di sini, namun demikian, ialah kenyataan bahwa jalannya proses pidana dicirikan oleh pergeseran dari proses yang

semula inquisitoire menjadi semakin accusatoire. Pergeseran mana

dapat dikatakan masuk akal (logis) mengingat adanya prioritas untuk memajukan kepentingan mencari dan mengungkap kebenaran dan selanjutnya kepentingan berikutnya untuk melanjutkan pemeriksaan,

1 Europees Verdrag voor de Rechten van de Mens (Konvensi Eropa untuk Hak Asasi Manusia).

2 International Covenant on Civil and Political Rights, New York 1966 (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)

Tahapan kritikal dalam pengembangan sistem hukum pidana yang beradab

misalnya perihal keadaan kepribadian pelaku serta situasi-kondisi yang melingkupi perbuatan yang dilakukan pelaku tindak pidana. Seiring dengan perkembangan proses pemeriksaan, meningkat pula jaminan- jaminan (perlindungan) hukum yang sedianya harus diberikan kepada terdakwa, satu dan lain dalam rangka mengoptimalisasi kecermatan dan keabsahan setiap langkah dalam proses penyidikan.

Kendati begitu, setiap tindak pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa, baik yang dilakukan oleh seorang pejabat polisi atau oleh hakim, harus dilakukan dengan memperhatikan sejumlah syarat dasar yang ditujukan untuk menjaga dan menjamin otonomi tersangka/terdakwa dan kebebasannya untuk memberikan keterangan. Ini merupakan hal yang sangat penting mengingat situasi di mana pemeriksaan (peng ambilan keterangan) pada prinsipnya dilakukan dalam kondisi ketidaksetaraan. Sebab pejabat penyidik memiliki sejumlah sarana paksa (dwangmiddelen) yang memungkinkannya merampas kemerdekaan

tersangka. Kiranya ancaman untuk menggunakan sarana paksa demikian seringkali cukup untuk ‘memaksa’ tersangka memberi keterangan yang

diminta.

v Pertama-tama pejabat penyidik yang memeriksa tersangka dilarang untuk melakukan apapun juga yang bertujuan membuat tersangka memberi keterangan tidak dalam keadaan bebas (Pasal 29 Ned Sv.).3

v Di samping itu, undang-undang menetapkan bahwa tersangka/ terdakwa dalam proses pemeriksaan tidak diwajibkan untuk menjawab. Dengan kata lain, ia memiliki hak untuk diam atau tidak menjawab (zwjgrecht).

v Selanjutnya, pejabat yang melakukan penyidikan atau pemeriksaan harus dengan tegas (expressis verbis) memberitahu tersangka/

terdakwa akan hak-nya tersebut di atas, satu dan lain karena barangsiapa yang tidak mengetahui apa haknya nyata tidak akan dapat menggunakannnya. Inilah yang disebut sebagai ‘cautieplich

(kewajiban untuk menginformasikasikan tersangka/terdakwa bahwa ia memiliki hak untuk diam) dari pejabat pemeriksa. Ketentuan-ketentuan di atas mengejewantahkan prinsip bahwa terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung tidak boleh dipaksa memberikan keterangan yang memberatkan dirinya sendiri (Pasal 14 ayat 3 sub g ICCPR). The privilege against self-incrimination or the right of silence (hak istimewa untuk tidak memberikan keterangan yang

memberatkan diri sendiri atau hak untuk diam) merupakan prinsip yang

diakui masyarakat internasional yang sekaligus merupakan bagian pen- 3 Sv.: Wetboek van Strafvorderingen (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Belan-

Constantijn Kelk

ting dari proses pidana yang adil (fair trial). Demikianlah pula ditegaskan

oleh EHRM4 (EHRM 5 november 2002, NJ 2004, 262). Asas nemo-tenetur

(seipsum accusare: the right not incriminate oneself) kiranya tidak secara

tegas termuat di dalam perundang-undangan pidana Belanda, namun

sebaliknya dapat dikatakan bahwa sudah dengan sendirinya di dalam hukum pidana Belanda berlaku prinsip ‘fair trial’ (Pasal 6 EVRM). Hal

mana sekaligus memuat kewajiban untuk menjaga dan menghormati tersangka/terdakwa: ia tidak boleh diwajibkan memberikan keterangan yang akan mencelakakan dirinya sendiri.

Ketentuan-ketentuan yang disebut di atas ihwal pemeriksaan tersangka/terdakwa sedianya dimaksud untuk mencegah terdakwa akan ditempatkan di bawah tekanan, dipaksa, diancam, diintimidasi dengan keras atau dibujuk atau melalui tipu daya, sedemikian sehingga ia memberi keterangan yang tidak benar atau keliru.

Kiranya juga jelas bahwa menyiksa dilarang dipergunakan se- bagai sarana untuk memperoleh keterangan. Hal mana juga dilarang oleh ketentuan Pasal 3 EVRM. Selain itu oleh hakim juga dinyatakan sebagai tekanan yang terlalu berat tindakan atau perlakuan membawa pulang pergi tersangka yang bungkam setiap hari dari rumah tahanan (tempat ia ditempatkan dalam tahanan sementara) ke kantor polisi.

Ada cukup alasan untuk dapat menjalankan kontrol atau mengawasi proses pemeriksaan yang dilakukan polisi. Demikian, maka dalam kasus-kasus

berat (setidak-tidaknya jika perkaranya menyangkut tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 12 tahun atau lebih),

proses pemeriksaan polisi akan direkam baik dalam bentuk video atau

audio dan dibuatkan register rekamannya.

Satu masalah yang dianggap penting dan dibicarakan oleh para

pakar hukum pidana sejak bertahun-tahun lalu, berkenaan dengan kehadiran pembela/penasihat hukum dalam proses pemeriksaan

polisi. Sampai sekarang hal ini belum terwujud, namun tercatat adanya kemajuan sedikit. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa pada 20095

mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 6 EVRM harus ditafsirkan memuat syarat bahwa tersangka sudah sejak pemeriksaan pertama oleh

polisi harus mendapatkan pendampingan hukum (access to lawyer), satu

dan lain, karena “national laws may atach consequences to the atitude of an accused at the initial stage of police interrogation which are decisive for the prospect of the defence in any subsequent criminal proceedings’. (hukum nasional dapat

mengaitkan dampak tertentu pada perilaku atau sikap tersangka sejak awal pemeriksaan polisi yang kiranya akan besar pengaruhnya terhadap

4 Europees Hof voor de Rechten van de Mens te Straatsburg (Mahkamah atau Pengadilan Hak Asasi Manusia di Strasburg).

Tahapan kritikal dalam pengembangan sistem hukum pidana yang beradab

peluang pembelaan dalam proses pidana selanjutnya).

Dasar pertimbangan Pengadilan di atas untuk memberikan prioritas pada hak mendapatkan bantuan/pendampingan hukum (access to lawyer) dilandaskan pada tiga hal: 1. keniscayaan untuk melindungi

tersangka/terdakwa terhadap ‘abusive coercion on the part of the authorities

(pemaksaan sewenang-wenang oleh pejabat), 2. mencegah munculnya putusan yang tidak adil (miscarriages of justice) dan 3. prinsip kesetaraan

sarana atau kesempatan yang sama (equality of arms) antara terdakwa dengan lembaga penuntut umum. Lagipula nyata bahwa dalam dan selama proses pemeriksaan tersangka/terdakwa berada dalam posisi

rentan. Access to lawyer di sini tidak sekadar berarti kehadiran pengacara/

penasihat hukum selama proses pemeriksaan, namun setidak-tidaknya

hak tersangka untuk berkonsultasi dengan penasihat hukum sebelum

dilakukan pemeriksaan. Ini tidak hanya berlaku bagi tersangka anak di bawah umur. Karena sebagaimana dinyatakan oleh Pengadilan dalam putusan-putusannya pasca 2009, tindakan secara sistematis mencegah kehadiran penasihat hukum sebelum dilakukan pemeriksaan (polisi)

dianggap pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan pendampingan

hukum, yang juga berlaku bagi tersangka dewasa.

Setiap korps kepolisian (di Belanda) kiranya mengenal komisi

yang menerima pengaduan berkenaan dengan pelanggaran hukum/ disipliner yang dilakukan anggota kepolisian (Politieklachtencommissie). Komisi ini beranggotakan warga biasa dan memiliki tugas menerima dan memeriksa pengaduan yang disampaikan warga perihal bagaimana polisi melaksanakan tugas yang diembannya. Di sini ihwalnya ialah cara bagaimana warga diperlakukan oleh polisi yang sedang mengemban tugas resmi yang dipercayakan kepadanya. Ilustrasi dari situasi demikian muncul misalnya dalam kejadian seorang warga yang diperiksa dan diproses polisi yang menindaknya karena yang bersangkutan menyebrang jalan padahal lampu lalulintas untuk penyebrang jalan sudah berubah merah. Terjadi perselisihan dan baku bicara antara anggota polisi dengan warga tersebut yang menyatakan bahwa ia sudah menyeberang ketika lampu berubah dari hjau ke merah. Polisi yang merujuk pada otoritasnya dengan nada tinggi dan dengan angkuh membantah pernyataan tersebut dan kemudian, misalnya, memaki warga tersebut dengan sebutan keledai (ezel). Alhasil warga yang menjadi jengkel dan marah menolak memberikan

surat-surat identitas diri yang diminta polisi dan sebagai akibatnya polisi menahannya dan dengan diborgol membawanya ke kantor polisi. Warga tersebut mengeluhkan perilaku polisi yang tidak patut dan tidak proporsional terhadapnya. Keluhan atau pengaduan demikian berkenaan dengan sikap tindak polisi terhadap warga akan ditangani terlebih dahulu secara internal oleh kepala seksi atau unit yang berbeda dari polisi yang bersangkutan. Tujuannya ialah menengahi sengketa yang muncul

Constantijn Kelk

antara warga dengan anggota polisi yang bersangkutan. Jika intervensi demikian tidak berhasil warga dapat membawa keluhannya kehadapan komisi pemeriksa pengaduan di atas. Komisi ini harus mendengarkan

kedua-belah pihak.

Komisi pengaduan polisi (politieklachtencommissie) di atas akan memberikan advis kepada kepala polisi (dari wilayah kerja kepolisian terkait). Advis demikian biasanya selalu diikuti. Kepala polisi inilah yang kemudian akan menyampaikan putusannya tentang perkara yang diadukan kepada warga yang mengajukan pengaduan.

Persoalan kepatutan perlakuan polisi terhadap warga, namun demikian, masih juga dapat disampaikan ke hadapan Ombudsman nasional. Lembaga ini selanjutnya akan menilai dan memutus patut atau

tidak patutnya sikap tindak atau perilaku pejabat pemerintah (mencakup pemerintah dalam arti luas) yang dikeluhkan warga dan disampaikan kehadapannya. Putusan demikian tidak memiliki kekuatan mengikat,

namun disampaikan kepada dinas pemerintahan terkait dan parlemen Belanda.

Diumumkannya (atau dibukanya untuk umum) rekomendasi Ombudsman diandaikan akan mendorong upaya perbaikan situasi atau sikap tindak tertentu yang berada di bawah tanggung jawab pemerintah, terutama yang tidak (lagi) lewat jalur yuridis lainnya dapat diuji atau dikeluhkan kepatutan-kelayakannya.

Kesemua peluang untuk mengajukan pengaduan/keluhan dalam rangka menguji kelayakan/kepatutan sikap tindak pejabat negara merupakan ‘ikhtiar penghujung untuk mewujudkan negara hukum.’.

Keluhan atau pengaduan yang disampaikan berkenaan dengan

pelaksanaan tugas represif dalam proses pemeriksaan tindak pidana

(misalnya berkait dengan fakta ditahannya tersangka, fakta diperiksanya tersangka oleh polisi dstnya, terlepas dari persoalan bagaimana semua itu dilaksanakan) akan langsung disampaikan dan diperiksa oleh OM (Openbare Ministerie/Kejaksaan) atau kehadapan hakim.

Bilamana polisi, misalnya menggunakan kekerasan bersenjata (wapengeweld) tatkala melakukan penahanan, maka harus jelas bahwa

hal itu dapat dibenarkan. Misalnya, karena adanya kebutuhan untuk melindungi diri sendiri atau orang lain dari serangan melawan hukum yang ditujukan terhadap kebendaan atau perseorangan. Dalam hal ini syarat subsidiaritas maupun proporsionalitas harus terpenuhi: artinya tidak tersedia cara pembelaan diri lain (subsidiare) dan lebih lanjut sarana

yang digunakan haruslah tepat guna atau sebanding (proportional) dengan

ancaman melawan hukum tersebut. Lebih jauh lagi, tuntutan polisi untuk bertindak cermat dan hati-hati muncul pula karena polisi pada dasarnya

sudah terdidik dan terlatih secara profesional untuk menanggapi situasi ancaman demikian.

Tahapan kritikal dalam pengembangan sistem hukum pidana yang beradab

Tidak lama berselang ada kejadian sebagai berikut:

Segera setelah diterimanya laporan adanya perampokan di pasar swalayan di dalam lingkungan kerja unit kepolisian yang bersangkutan, polisi mencari seorang pria dengan ciri-ciri tertentu. Lagipula sebelumnya orang yang sama diduga mengancam orang lain. Petugas polisi menge- nali mobil serta ciri-ciri orang tersebut (tersangka) dan memaksanya menghentikan kendaraannya. Tersangka dengan mengeluarkan sebilah pisau ke luar dari mobilnya dan mengucap kata-kata ancaman dengan sangat kasar. Anjing polisi yang dilepas dan menyerbunya ia tikam. Anjing tersebut pada akhirnya selamat, namun akibat dari sikap tindaknya tersebut ia pada akhirnya ditembak polisi. Alhasil akibat luka tembak tersangka meninggal dunia. Oleh kepolisian nasional/diraja (rjskrecherche) kemudian dilakukan pemeriksaan perihal apa yang sebenarnya terjadi dan petugas polisi manakah yang melepas tembakan. Instruksi/pedoman penggunaan senjata api yang ada jelas menegaskan bahwa hanya apabila ada ancaman terhadap nyawa (siapapun juga), maka boleh dilepaskan

tembakan.

Setiap kejadian penembakan kiranya berdampak jauh terhadap petugas polisi yang bersangkutan. Bahkan tindakan mencabut senjata api saja sudah bisa berdampak jauh terhadap petugas tersebut. Kerap kali situasi demikian yang memaksa petugas bertindak (mencabut bahkan menembakkan senjata) muncul tidak terduga dan tetap mengejutkan petugas polisi yang ditugaskan menangani kasus tertentu.

Setiap petugas polisi yang mengalami pengalaman traumatis akan mendapat bantuan pasca kejadian. Pertama-tama oleh kolega mereka sendiri yang pernah mendapat pengalaman serupa. Merekalah yang kerap sebagai pakar berdasarkan pengalaman sendiri (ervaringsdeskundigen). Kasus-kasus lebih berat, penanganan akan diserahkan kepada psikolog profesional yang berkeahlian khusus menangani trauma demikian.

Beberapa jurnalis criminal kerap melangkah lebih dari sekadar

membuat reportase kriminal dan juga meluangkan banyak waktu untuk dalam beberapa kasus, khususnya kasus-kasus pidana yang tidak terpecahkan, melakukan penyidikan sendiri: acap mereka pergi menyambangi dan mewawancarai saksi-saksi dan juga korban atau keluarga korban yang meninggal dunia bahkan kerap sejauh mungkin juga pergi mengunjungi tempat kejadian perkara untuk melakukan rekonstruksi kejadian. Seringkali mereka kemudian mempublikasikan temuan mereka tidak lagi secara netral (tidak berpihak), namun justru

dengan sangat tendensius, dalam artian seolah-olah mereka berhasil

membongkar kasus dan menunjuk pihak mana yang seharusnya dipersalahkan. Dalam hal demikian muncul risiko nyata bahwa hal itu akan memberi tekanan tidak kecil pada jalannya proses pidana. Melalui ‘pre-trial publicity’ demikian, terbuka besar peluang untuk terjadinya

Constantijn Kelk

‘trial by the media’ yang mendahului (dan berdampak) terhadap ihtiar penemuan kebenaran melalui pengadilan pidana. Sebaliknya harus pula diperhatikan bahwa (adanya) keterbukaan proses peradilan pidana

dalam negara hukum demokratis harus dipandang sebagai sarana kontrol demokratis terpenting.

Sebagai penutup di sini saya akan mengutip pandangan terkenal

dan penting dari pendahulu saya Prof. Anthony Peters. Ia menyatakan bahwa: “Fungsi primer hukum ialah penataan ketertiban dalam rangka melindungi masyarakat, ataupun ‘social engineering’, namun fungsi

sekunder dari hukum, perlindungan (kepentingan) individu, dalam negara hukum merupakan dimesi yuridis penting: tugas hukum dalam

konteks ini ialah bukan sekadar policing society, namun policing the police.

Penormaan demikian memberikan pada hukum dimensi moral yang

sangat menentukan karakter hukum dari hukum pidana’.6

2. sikap tindak proaktif beranjak dari wet bjzondere

opsproringsbevoegheden (wet-BOB//undang-undang kewenangan

penyidikan khusus)

Dalam sepuluh tahun terakhir, Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (Wetboek van Strafvordering/Sv.) dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum (provisions of law) perihal metode penyidikan

khusus (bjzondere opsporingsmethoden) berkenaan dengan kejahatan- kejahatan berat, seperti kejahatan terorganisir dan terorisme (Pasal 126g dstnya Sv.). Penerapan dari ketentuan-ketentuan tersebut dilingkupi juga dengan sejumlah jaminan/perlindungan hukum (bagi individu): Penuntut Umum (Oicier van Justitie) ialah pemegang otoritas utama, dan kadangkala untuk melakukan sejumlah hal tertentu tetap juga harus meminta dan mendapatkan persetujuan dari Hakim Komisaris (Rechter Commissaris/R-C). Apa yang menjadi persoalan d sini ialah tindakan (penyidikan) yang memiliki dampak jauh terhadap sejumlah hak asasi warga termasuk ke dalamnya privacy perseorangan. Kerap dipergunakan

bantuan atau tenaga petugas penyidik khusus, satu dan lain karena mensyaratkan kemampuan teknis khusus.

Metode penyidikan khusus demikian dapat dipergunakan dalam dua kejadian berbeda:

a. dalam kasus-kasus di mana adanya persangkaan atau dugaan kuat

berdasarkan fakta atau situasi konkret bahwa seseorang tertentu

melakukan suatu tindak pidana dan

b. dalam situasi di mana ada kecurigaan atau persangkaan masuk

akal adanya suatu kelompok (penjahat) yang berencana atau telah

6 A.A.G. Peters, Het rechtkarakter van het strafrecht, inaugurele rede (oratio dies) Utrecht, Kluwer 1972.

Tahapan kritikal dalam pengembangan sistem hukum pidana yang beradab

melakukan kejahatan. Dengan demikian, metoda tersebut dapat didayagunakan terhadap tersangka maupun yang belum menjadi

atau bukan tersangka.

Dalam hal belum adanya tersangka, maka dapat kita katakan di sini adanya sikap tindak pro-aktif. Jadi tindakan prematur yang bersifat

mendahului, bahkan kerap setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan

(penyelidikan atau exploring investigation). Namun mengingat lingkup dan

dampak sejumlah metoda-metoda khusus di atas yang begitu jauh (besar dampaknya), maka tidak boleh dilupakan dasar hukum untuk melandasi kewenangan pendayagunaan metoda tersebut. Di dalam praktiknya metoda-metoda tersebut pernah dipergunakan pada era 90’an, namun kemudian Parlemen mengajukan keberatan terhadapnya.

Tercakup ke dalam metoda-metoda demikian ialah, antara lain:

penyidikan yang ditujukan terhadap telekomunikasi (onderzoek aan telecommunicatie), seperti penyadapan telepon dan pencarian informasi

pada penyedia jasa layanan telekomunikasi (telepon, internet dll.), dan pelaksanaan operasi pengintipan/penyusupan (inkjkoperatie) (memasuki ruang/tempat tertutup dalam rangka menguping pembicaraan, dll), secara sistematis mengumpulkan informasi tentang tersangka (petugas penyidik menyusup masuk lingkungan hidup tersangka dan dengan menyamar (undercover agent) mencoba mengungkap jaringan relasi

tersangka dan dengan siapa saja ia bergaul), iniltrasi (petugas penyidik menyusup masuk ke dalam lingkungan pergaulan tersangka, namun juga turut serta dalam kejahatan yang dicanangkan; Penuntut Umum/

Oicier van Justitie akan mengawasi ketat sikap tindak petugas polisi yang menyamar), dstnya.

Undang-undang memuat sejumlah persyaratan ketat berkenaan de-

ngan pendayagunaan metoda-metoda penyidikan khusus (delicate opsporingmiddelen) di atas.

Ad. b. Penetapan/penjatuhan hukuman dan cara

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 73-80)