• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas kesetaraan (persamaan) sebagai batas bawah

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 31-35)

3. Perlindungan terhadap kelompok minoritas dalam hukum (hak asasi manusia) internasional

3.3. Asas kesetaraan (persamaan) sebagai batas bawah

Kita telah cermati di atas bahwa hak-hak kelompok minoritas bukanlah

tidak terbatas. Berkenaan dengan itu, batas bawah dari pembatasan di atas dapat kita temukan dalam wujud hak-hak dan kebebasan fundamental

dari orang-orang lain. Di dalam hukum pidana banyak dari ragam hak-hak serta prinsip-prinsip fundamental tersebut berperan penting. 12 Landasan demikian berfungsi sebagai batas bawah: Pasal 8(2) UN Declaration on the Rights of Persons Belonging to National, Ethnic, Religious and Linguistic Minorities; Pasal 5 Universal Declaration on Cultural Diversity.

Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik

Kesemua itu dapat dikelompokkan ke dalam hak-hak prosedural,

institusional dan materiil. Banyak dari hak-hak tersebut termuat di dalam Konvensi/Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

(ICCPR). Dapat disebut di sini sebagai contoh, ketentuan Pasal 14 dan 15, hak untuk mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial) dan

asas legalitas. Namun juga hak-hak fundamental lainnya (Pasal 6, 7, 9, 10 dan 16) penting bagi hukum pidana. Pengaturan perihal penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana diatur dalam ketentuan Pasal

15 (asas legalitas), Pasal 2 dan 26 (asas kesetaraan/persamaan dan asas nondiskriminasi).13 Berkenaan dengan penetapan perbuatan sebagai

tindak pidana berlaku syarat-syarat yang ditetapkan oleh asas legalitas,

misalnya syarat lex-certa yang menetapkan bahwa suatu delik harus

dirumuskan dengan jelas/terang. Untuk telaahan perihal pemenuhan syarat-syarat demikian dalam kaitan dengan hukum adat patut dirujuk Haveman (2002).

Bagi hukum pidana, asas kesetaraan/persamaan merupakan titik

tolak yang harus dianggap terberi. Hukum pidana yang tidak dilandaskan

pada asas kesetaraan/persamaan, tidak akan pernah mengakui dan

menjalankan proses yang adil, tidak mungkin akan melarang penyiksaan dan penjatuhan hukuman mati, akan membiarkan kesemena-menaan berlangsung dalam pelaksanaan/eksekusi sanksi-sanksi pidana, dstnya.

Tanpa asas kesetaraan/persamaan, hukum pidana tidak dapat memenuhi

syarat-syarat yang ditetapkan rule of law. Juga dalam hal penetapan/ perumusan perbuatan sebegai tindak pidana, asas ini memainkan peran

penting. Sejatinya hukum pidana berlaku terhadap siapapun dengan cara sama tanpa kecuali. Maka itu secara prinsipil dilarang membuat dan

membolehkan perlakuan berbeda. Kalimat ini memunculkan penjelasan lebih lanjut. Apa yang dimaksud dengan perlakuan berbeda dan mengapa disebut secara prinsipil?

Untuk menjawab pertanyaan pertama dapat dirujuk ketentuan

Pasal 1 Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination

(CERD). Di dalamnya perlakuan berbeda (diskriminatif) dimengerti sebagai berikut: ‘any distinction, exclusion, restriction or preference based on race, colour, descent, or national or ethnic origin which has the purpose or efect of

13 Sebelumnya telah disinggung (par. 2.3.2) bahwa Djamin telah memperingatkan kemungkinan adanya diskriminasi yang dilakukan penguasa dan penguasa yang bersimpati pada kelompok minoritas. Fokus perhatian Djamin adalah pada penerimaan begitu mudah perundang-undangan yang bertentangan dengan hak-hak dasar, seperti kebebasan beragama dan kebebasan berserikat serta berkumpul. Dengan itu kiranya kita membenarkan begitu saja perlakuan istimewa yang diterima satu kelompok tertentu. Situasi demikian patut kita cemaskan karena perlakuan istimewa yang diberikan kepada suatu kelompok tertentu akan memunculkan banyak masalah lainnya, antara lain yang akan sangat merugikan posisi minoritas di dalam minoritas. Untuk menghindari situasi demikian, maka kiranya terhadap penguasa atau pemerintah pusat dituntut kesediaan

Jeroen ten Voorde

nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on equal footing, of human right and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other ield of public life’. Dalam hal ini yang dianggap sebagai ketidaksetaraan (pembedaan/diskriminasi) dalam perlakuan bukan hanya mencakup pemberian perlakuan yang berbeda atau dalam bentuk pembatasan, namun juga tindakan mengistimewakan. Setiap perlakuan yang membeda-bedakan dengan demikian secara prinsip dianggap melawan hukum. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa di sini haruslah ada perlakuan membedakan, tanpa atau diluar adanya dengan maksud (kesengajaan) untuk membeda-bedakan. Hal ini harus digarisbawahi: negara-negara (dan kelompok-kelompok di dalam masyarakat) kiranya

harus memiliki kesadaran akan pengaruh yang mungkin muncul dari

perundang-undangan, kebjakan dan peradilan terhadap perlakuan yang akan diterima/diberikan pada perserorangan. Artinya fokus perhatian bukanlah hanya pada apa yang faktual telah terjadi. Itu semua membawa konsekuensi bahwa dalam proses perumusan ketentuan (pidana) perundang-undangan maupun pembentukan kebjakan (hukum

pidana) dan peradilan (pidana) harus dipertimbangkan dengan sungguh-

sungguh apa dampak itu semua terhadap orang-orang. Hak untuk

diperlakukan setara (dihadapan hukum) tidak berarti bahwa semua orang harus mendapat perlakuan persis sama. ICCPR menunjukkan bahwa kadangkala harus dibuat dan diberi perlakuan berbeda terhadap orang yang berbeda pula.

Prinsip kesetaraan/persamaan dapat diwujudkan pada tataran formil maupun materiil. Kita akan berbicara tentang kesetaraan formil bilamana setiap orang, tanpa membeda-bedakan latarbelakangnya, mendapatkan perlakuan yang sama. Sebaliknya kita berbicara tentang

kesetaraan materiil bilamana orang-perorang mendapatkan perlakuan

yang sama sesuai dengan tingkatan kebutuhan atau kedudukannya.

Interpretasi formil memandang manusia terutama sebagai subjek hukum,

pengemban hak dan kewajiban berdasarkan hukum, namun terlepas atau dilepaskan dari keragaman latarbelakangnya. Interpretasi materiil juga

memandang manusia sebagai subjek hukum, namun sekaligus meng akui

kekhasan setiap individu. Interpretasi yang disebut terakhir kiranya juga

termaktubkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan Pasal

28H(2) menyatakan bahwa ‘setiap orang berhak mendapat kemudah-

an dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat

yang sama guna mencapai persamaan (equality) dan keadilan (fairness)’.

Berkenaan dengan kesetaraan materiil, kiranya fokusnya adalah pada perlindungan khusus yang diberikan pada manusia agar mereka mampu menikmati hak-hak yang sama seperti yang dinikmati manusia lainnya. Memberikan atau menawarkan perlindungan khusus, dalam kombinasi dengan ketentuan Pasal 27 Konvensi Internasional tentang

Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik

Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) juga berarti merumuskan ketentuan pidana sedemikian rupa sehingga keberlakuan norma-norma yang dianut kelompok dapat dipaksakan berlakunya dan juga sekaligus

memungkinkan anggota kelompok hidup selaras dengan norma-norma

tersebut. Perlin dungan khusus tersebut serta merta menegaskan bahwa ihwalnya di sini ialah perumusan ketentuan pidana yang memajukan ‘equality and fainess’. Penekanan pada kesetaraan/persamaan dan keadilan

(fairness) menunjukkan bahwa kelompok minoritas dapat (akan memiliki

hak untuk) merumuskan ketentuan pidana yang bertujuan melindungi/ memajukan norma-norma suatu kelompok. Sekaligus disyaratkan bahwa ketentuan pidana tersebut harus ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan/persamaan dan keadilan. Tujuan tersebut bisa saja dipahami dengan cara yang sangat terbatas – bilamana kelompok minoritas

memiliki kemungkinan membuat ketentuan pidana, tujuan demikian tercapai – namun juga bisa jadi lebih luas. Dalam hal demikian, maka akan ditelaah muatan isi (subtansi) dari ketentuan pidana dan dikaji seberapa jauh penetapan sebagai tindak pidana tersebut memajukan atau selaras dengan tujuan kesetaraan/persamaan dan keadilan tidak saja bagi semua anggota kelompok, namun juga bagi minoritas dalam suatu wilayah tertentu. Titik berangkat inilah yang harus kita jadikan acuan, terutama

dengan mempertimbangkan kepentingan perlindungan minoritas dalam minoritas.

Maka itu bagaimanapun juga terbuka peluang untuk membeda- bedakan dan memberikan kepada kelompok (minoritas) tertentu ruang untuk menetapkan ketentuan pidananya sendiri, sepanjang hal itu memajukan kesetaraan/persamaan dan keadilan bagi siapapun yang

masuk ke dalam ruang lingkup keberlakuan ketentuan pidana tersebut. Untuk itu pemerintah pusat dapat melakukan pengawasan terhadap

substansi rumusan ketentuan pidana, yakni dengan tujuan memastikan

apakah di dalam rumusan pidana tersebut kepentingan dan hak-hak pihak ketiga cukup mendapat perlindungan. Jaminan atau perlindungan tersebut terutama penting dalam konteks perlindungan perempuan dan

kelompok rentan lainnya. Selanjutnya beranjak dari asas kesetaraan/ persamaan perlu dipikirkan secara cermat (dan dengan cara demokratis) perilaku apa yang sebenarnya hendak diancamkan dengan pidana

dan tatkala merumuskan ketentuan pidana tersebut secara sungguh-

sungguh harus dipertimbangkan kepentingan berbeda-beda yang terkait dengannya. Tidak semua perbuatan yang berangkat dari sudut

pandang religius tertentu dianggap amoral atau asusila dapat serta merta

dirumuskan dan ditetapkan sebagai tindak pidana. Hal serupa juga dapat

dikatakan tentang penetapan sebagai tindak pidana semua perbuatan

yang bisa jadi berujung pada dihambatnya dan dikekangnya kebebasan berpendapat.

Jeroen ten Voorde

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 31-35)