• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pogram perlindungan saksi di Indonesia

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 191-196)

Siradj Okta

2. Pogram perlindungan saksi di Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah meng atur tentang hak-hak terhadap saksi diantaranya adalah hak atas penerjemah (Pasal 177), hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan (Pasal 117), hak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat (Pasal 166), hak untuk mendapatkan penggantian biaya (Pasal 229). Pengaturan ini

kemudian diperkuat oleh Pasal 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengatur bahwa seorang saksi

dan korban berhak untuk:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan

harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. mendapat identitas baru;

j. mendapatkan tempat kediaman baru;

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan;

l. mendapat nasihat hukum;

m. dan/ataumemperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Lebih lanjut lagi, dalam Pasal 6 dikatakan bahwa korban dalam

pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan

bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

2.1. Setelah peristiwa

Saksi, termasuk yang sekaligus juga sebagai korban merupakan salah satu kunci utama dalam keberhasilan pengungkapan suatu kejahatan. Oleh karena itu, terlepas deinisi dari KUHAP maupun Undang-Undang

Perlindungan saksi di Indonesia

kepentingan pencarian keadilan.

Pada saat berakhirnya peristiwa kejahatan, kondisi korban umumnya sangat terluka secara isik dengan kondisi emosional yang tidak stabil disertai trauma. Sebagai bagian dari anggota masyarakat luas, saksi juga kemungkinan sangat awam dengan penegakan hukum sehingga tidak tahu harus melapor ke mana. Terutama saksi yang sekaligus sebagai korban, karena keawamannya, merasakan kekhawatiran akan tanggapan

aparat penegak hukum atau masyarakat.9

Pada tahap ini, saksi membutuhkan rasa aman yang dapat berupa tempat sementara yang jauh dari lokasi dan pelaku. Saksi membutuhkan pemulihan isik, psikologis, dan sosiologis. Pemulihan isik dapat berupa bantuan medis atas luka isik, sementara untuk pemulihan psikologis dan sosiologis saksi membutuhkan pendampingan konselor dan keyakinan bahwa masyarakat tidak akan mengucilkannya.10

Peranan negara dalam tahap ini adalah untuk menjamin keamanan

saksi dan pendamping. Peranan tersebut termasuk membangun dukung-

an berupa bantuan layanan hukum, medis, dan konseling yang sensitif gender secara murah dan terjangkau.11

Masyarakat, secara langsung berperan untuk mengantarkan saksi ke pusat pelayanan medis jika saksi mengalami luka isik. Selain itu, masyarakat juga berperan untuk mendorong lembaga layanan masyarakat yang terkait untuk memberikan pendampingan. Lembaga terkait tersebut dapat berupa lembaga bantuan hukum maupun lembaga swadaya masyarakat yang trelevan. Terkait keamanan saksi, masyarakat dapat berperan untuk mengamankan saksi atau korban dari lokasi kejadian dan pelaku serta langsung melaporkan kejadian kepada keluarga korban serta aparat keamanan. Untuk mendukung proses pengungkapan kejahatan, masyarakat juga berperan untuk mengamankan benda-benda yang menjadi barang bukti, sekaligus mencatat kronologis kejadian.12

Setelah peristiwa kejahatan, ketika akan memasuki sistem peradilan pidana, saksi berhak untuk mengetahui hak-haknya, berhak untuk memperoleh layanan sesuai dengan kebutuhannya sebagai saksi,

berhak memperoleh pendampingan, serta berhak untuk memperoleh

perlindungan dari ancaman isik dan psikologis akibat kesediaannya untuk bersaksi. Pada tingkat ini, saksi telah dapat mengajukan permohonan perlindungan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban baik atas

9 Damar Juniarto, Diyah Candrawati, Sri Wiyanti Eddyono, Perlindungan terhadap Saksi dan Korban, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: 2009, hlm. 48. 10 Ibid. hlm. 51.

Siradj Okta

inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang.13

2.2. Tingkat penyidikan

Pada tingkat penyidikan, saksi juga menghadapi berbagai permasalahan. Sebagai situasi yang merupakan kelanjutan dari berakhirnya peristiwa kejahatan yang terjadi, maka pada tingkat penyidikan sudah mulai muncul permasalahan-permasalahan terkait pengusutan yang dilakukan

oleh penegak hukum. Peristiwa sudah masuk pada awal sistem peradilan pidana.

Pada tingkat ini, saksi mulai merasa takut terhadap teror dan intimi-

dasi. Namun, ketakutan akan teror dan intimidasi tersebut bukan hanya teror dan intimidasi terhadap dirinya tetapi juga kepada orang-orang terdekatnya. Ketakutan ini muncul terlepas apakah saksi memutuskan untuk bersaksi ataupun tidak. Ketika saksi menyadari bahwa pelaku kejahatan akan diusut oleh penegak hukum, maka saksi tersebut

merasakan kerentanan diri dan keluarganya. Saksi menyadari bahwa kesaksiannya dapat menjerat pelaku kejahatan sehingga saksi khawatir bahwa pelaku kejahatan tidak akan membiarkannya bersaksi.14

Khusus untuk kekerasan seksual, terutama saksi yang sekaligus

merupakan korban kekerasan seksual memiliki kekhawatiran bahwa

dirinya mendapat stigmatisasi dari masyarakat, walaupun belum tentu masyarakat mengetahui bahwa dirinya adalah saksi. Kekhawatiran lain yang dialami oleh saksi yang sekaligus sebagai korban, secara khusus

pada kasus kekerasan seksual dan traicking, adalah kekhawatiran jika

penyidiknya adalah laki-laki. Saksi mendapatkan tingkat rasa malu yang cukup signiikan dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh penyidik laki-laki.

Pada tingkat penyidikan ini, saksi membutuhkan jaminan keamanan dari intimidasi ataupun teror. Intimidasi maupun teror yang ditakutkan ini belum tentu terjadi, tetapi jika terjadi teror atau intimidasi,

maka dapat mengurangi kualitas kesaksian korban. Sehubungan dengan

proses penyidikan, saksi membutuhkan proses investigasi yang tidak menyudutkan, oleh karena itu dibutuhkan pula pendamping. Saksi juga membutuhkan proses penyidikan yang tidak berlarut-larut.

Pada tahap penyidikan ini, saksi berhak untuk memperoleh informasi utuh tentang hak-haknya sesuai mandat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lebih lanjut lagi, saksi berhak untuk dipertimbangkan pendapat dan kebutuhannya dalam proses-proses dalam menindaklanjuti kasus. Saksi juga berhak

13 Ibid. hlm. 62. 14 Ibid. hlm. 51.

Perlindungan saksi di Indonesia

untuk mendapatkan pendamipingan saat memberi kesaksian dan juga dimungkinkan adanya proses acara yang khusus dalam pemberian kesaksian sesuai kebutuhan. Pada tahap penyidikan ini pula, sesuai kebutuhan, saksi berhak untuk mendapatkan rumah aman untuk jangka waktu tertentu. Terkait teror dan intmidasi, saksi dapat mengajukan

permohonan kepada kepolisian untuk segera memberikan perlindungan

keamanan pribadi apabila saksi berada dalam kondisi keamanan yang sangat membahaya kan dirinya.

Pada tingkat penyidikan ini, negara berperan untuk menjamin

keamanan dengan membangun mekanisme pengamanan dan perlindung- an. Jaminan kemanan dan perlindungan tersebut antara lain dengan

mewajibkan aparat keamanan untuk menjaga kerahasiaan identitas pelapor. Tentunya pewajiban tersebut dilengkapi dengan mekanisme pemberian sanksi. Selain itu negara harus memastikan adanya proses investgasi yang sensitif gender.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban memandatkan bahwa saksi harus memperoleh perlin dungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Selanjutnya, saksi berhak untuk memperoleh bantuan biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, serta berhak untuk

ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

2.3. Tingkat prapengadilan

Secara umum, kebutuhan saksi pada tingkat prapengadilan tetap sama,

yaitu kebutuhan akan rasa aman dari intimidasi atau teror. Namun, pada tingkat prapengadilan ada kebutuhan lain yang sangat penting juga yaitu

kebutuhan akan informasi. Informasi dalam hal ini secara khusus adalah

informasi mengenai sistem dan proses persidangan. Saksi tentunya memiliki tingkat pemahaman yang berbeda-beda mengenai sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, saksi perlu diberitahukan mengenai tahap-tahap proses peradilan pidana yang akan dilaluinya.

Selain informasi mengenai sistem dan proses persidangan, saksi juga membutuhkan informasi mengenai dampak yang mungkin terjadi dari pelaksanaan proses persidangan, misalnya pemanggilan-pemanggilan, kondisi pengadilan, serta yang terutama bahwa saksi akan dimin takan keterangan kembali untuk informasi yang sama.

Pada tingkat prapengadilan, kasus sudah mulai berjalan dan dapat terjadi berbagai perkembangan. Saksi membutuhkan informasi mengenai perkembangan kasus. Negara berperan untuk memberikan jaminan hak

Siradj Okta

saksi tersebut. Salah satunya adalah menjamin saksi, korban, maupun pendamping untuk mengakses dokumen hukum (seperti salinan Berita Acara Perkara). Tingkat prapengadilan juga merupakan tahapan untuk mengembalikan keadaan isik dan mental sebelum saksi memberikan kesaksian di tahap pengadilan. Pengembalian keadaan isik dan mental

ini adalah dalam rangka mencegah retraumatisasi dengan metode dan

cara perlakuan dan pertanyaan yang tidak tendensius, memaksa, dan

memancing. Pada pemeriksaan konfrontasi, saksi tidak boleh dipengaruhi

secara isik maupun mental. Untuk menunjang kesaksian, saksi dapat

memberikan keterangan secara langsung tanpa tatap muka.15

2.4. Tingkat Pengadilan

Perlindungan saksi untuk tingkat pengadilan dapat dipelajari dari kasus

Doorson v. The Netherlands pada tahun 1996.16 Kasus Doorson merupakan

kasus yang memberikan pesan awal mengenai masuknya perlin dungan

saksi sebagai bagian dari fair trial. Pada tingkat pengadilan, se bagaimana

terjadi dalam Doorson, beberapa hal menjadi perhatian, yakni: kehadiran

saksi, identitas saksi (anonimitas), penarikan kesaksian, serta kemampuan pihak terdakwa, dalam hal ini pembela, untuk mengajukan pertanyaan

kepada saksi, serta bagiamana pembela mendapatkan respon dari saksi

(langsung atau tidak langsung). Komponen-komponen inilah yang pada kasus tersebut menjadi objek banding serta sebagai fokus kajian yang

dilakukan oleh Pengadilan HAM Eropa.

Terdakwa dituntut atas dugaan kejahatan terkait narkoba. Sejumlah saksi, termasuk enam orang diantaranya masih anonim melaporkannya berdasarkan foto yang terkait dengan tuntutan tersebut. Pada pengadilan regional, hakim memutuskan terdakwa bersalah berdasarkan kehadiran dua orang saksi yang anonim. Kebetulan pada saat itu pembela terdakwa tidak hadir. Kemudian pihak terdakwa mengajukan banding. Latar belakang banding tersebut adalah bahwa dua saksi yang teridentiikasi, yaitu R dan N harus didengar dulu sebelum saksi yang anonim. Namun demikian saksi R dan saksi N tidak dapat hadir sebelumnya. Saksi R selalu tidak hadir dalam persidangan, sedangkan saksi N menarik kesaksiannya. Atas permohonan tersebut, pembela terdakwa diizinkan untuk bertanya

kepada dua saksi anonim tersebut, tetapi tidak diperbolehkan untuk

menanyakan secara langsung. Kedua saksi anonim tersebut juga meminta untuk tetap mempertahankan anonimitasnya karena takut akan balas dendam. Kemudian terdakwa membawa kasus tersebut ke Pengadilan HAM Eropa atas keberatannya, yaitu bahwa pengadilan wilayah

15 Ibid. hlm. 62.

Perlindungan saksi di Indonesia

mendasarkan putusannya pada alat bukti dari saksi-saksi yang anonim, pernyataan yang memberatkan yang diberikan kepada polisi oleh saksi teridentiikasi yang kemudian tidak pernah hadir di pengadilan, serta berdasarkan pernyataan yang diberikan pada tahap penyidikan oleh saksi teridentiikasi yang pada saat pengadilan pembela terdakwa tidak memiliki kesempatan untuk mempertanyakan atau mempertahankan kedudukan terdakwa.

Namun demikian, Pengadilan HAM Eropa memandang bahwa

atas situasi tersebut, tidak terdapat pelanggaran hak asasi apapun

terhadap terdakwa. Adapun pandangan Pengadilan HAM Eropa tersebut mempertimbangkan juga kepentingan korban dan saksi. Anonimitas saksi

dalam kasus ini mendapatkan toleransi dari Pengadilan HAM Eropa

mengingat ketakutan yang dialami oleh saksi apabila harus menjadi saksi yang teridentiikasi (tidak anonim).17

Alat bukti yang diperoleh dari saksi dengan keadaan anonim yang bersinggungan dengan hak terdakwa harus diselenggarakan secara sa- ngat berhati-hati. Pengadilan melihat bahwa unsur kehati-hatian tersebut

telah diterapkan dalam kasus tersebut. Prinsip fair trial ditegakkan bukan

hanya dalam hal hak terdakwa tetapi juga menyeimbangkannya dengan kepentingan saksi yang hadir di persidangan.18

Doorson memberikan preseden bahwa anonimitas merupakan salah

satu komponen penting dalam penyelenggaraan fair trial. Perlindungan

saksi dalam bentuk anonimitas juga diperlukan untuk penegakkan hukum. Keterbatasan alat bukti (yang teridentiikasi) dalam Doorson memberi ruang

pada ekstensiikasi alat bukti kepada saksi yang anonim. Oleh karena itu, sebagai alat bukti, perlindungan saksi merupakan hal yang melekat pada penegakkan hukum yang harus dilembagakan melalui mekanisme yang

standar. Namun demikian, penerimaan saksi anonim harus dilakukan

secara sangat hati-hati agar tidak justru menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa dan merusak kredibilitas lembaga peradilan.

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 191-196)