• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan yang berlaku di Indonesia berkenaan dengan perlindungan saks

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 171-173)

Jan Crjns

2. Ketentuan yang berlaku di Indonesia berkenaan dengan perlindungan saks

Sekalipun baru akhir-akhir ini di Indonesia persoalan bagaimana

mengembangkan kerjasama lebih intensif dengan saksi dipikirkan dengan serius, sebenarnya hal itu bukan hal baru sama sekali. Sampai dengan sekarang, praktik pengembangan kerjasama dengan saksi dilandaskan

pada UU 13/2006 tentang perlindungan saksi dan korban.4 Berlandaskan

undang-undang ini dibentuklah lembaga khusus, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Sebagaimana diindikasikan namanya,

tugas utama lembaga ini adalah menilai dan mempertimbangkan

persoalan apakah saksi-saksi tertentu dan korban (tindak pidana) layak dan perlu mendapat perlindungan, dan bila demikian halnya,

memfasilitasi pemberian perlindungan demikian. Tidaklah penting di sini dalam tahapan mana perkara sudah diproses: saksi dapat meminta

dan memperoleh perlindungan (isik) baik dalam tahapan penyidikan, penuntutan, persidangan bahkan setelah usainya proses persidangan pidana. Undang-undang tersebut sebaliknya tidak mengatur banyak ihwal kesepakatan dengan saksi untuk memberikan keterangan dengan imbalan tertentu. Hanya satu ketentuan yang mengatur hal tersebut. Ketentuan Pasal 10(2) menyatakan: ‘A Witness who is also an ofender in the same case cannot be released from any legal charges if he/she is proven legally and convincingly guilty; nevertheless, his/her testimony can be used by the judge as a consideration to lessen the sentence.’ (seorang saksi yang juga tersangka

dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat djadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan djatuhkan). Dari rumusan ketentuan di atas dapat

4 Naskah undang-undang dalam bahasa Inggris dapat diperoleh di: htp://elsam.or.id/ new/index.php?act=view&id=338&cat=c/601&lang=en

Kesepakatan dengan saksi dalam proses pidana kesepakatan dengan saksi ...

disimpulkan bahwa seorang saksi – sebagai imbalan bagi pemberian keterangan sebagai saksi dalam perkara terdakwa lain – tidak dapat

menuntut kekebalan hukum pidana (imunitas) dalam sidang perkaranya

sendiri. Sebaliknya hakim tatkala menjatuhkan pidana dalam perkara pidana saksi/terdakwa demikian, dapat turut mempertimbangkan kontribusi positif terdakwa sebagai saksi dalam sidang pidana dengan terdakwa berbeda.5 Selanjutnya ketentuan Pasal 10(1) UU 13/2006

menetapkan: ‘Witnesses, victims and people who report an ofence should not be prosecuted on criminal or civil code on the report or testimony which they will give, are giving, or have given’, (saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut

secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya), sedangkan selanjutnya ayat (3) menyatakan: ‘Provision as stipulated in clause (1) are not applicable to Witnesses, Victims, and people who provide information without a good intention’ (ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak berlaku

terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik). Di dalam penjelasan undang-undang kita temukan keterangan bahwa ‘giving information without a good intention’ dimengerti

sebagai ‘to give false information, false oath, and ill-intended agreement’ (yang

dimaksud dengan “memberikan keterangan tidak dengan itikad baik”

dalam ketentuan ini antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah

palsu, dan permufakatan jahat). Bagaimana sebenarnya ketentuan ayat (1) dan (3) di atas selanjutnya harus dimaknai tidak begitu jelas bagi penulis. Namun kiranya dapat diduga bahwa maksud pembuat undang-undang di sini ialah bahwa orang-orang tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana (sekadar) atas dasar keterangan yang mereka berikan sebagai saksi

atau korban.

Sekalipun Undang-Undang 13/2006 dan pembentukan LPSK jelas besar pengaruhnya dalam perkembangan praktik pemberian perlindungan (isik) oleh negara terhadap saksi-saksi yang betul membutuhkan

perlindungan demikian,6 tidak semua persoalan serta merta tuntas.

Satu persoalan penting terkait dengan fakta belum berjalannya mulus kerjasama antara LPSK dengan organ-organ penegakan hukum pidana

yang sudah ada seperti kepolisian, kejaksaan dan hakim. Dapat terjadi bahwa saksi meminta bantuan perlindungan kepada polisi dan kemudian polisi tidak menghubungkan mereka dengan LPSK. Satu persoalan penting

5 Lihat Trimulyono Hendradi, Securing protection and cooperation of witnesses and whistle- blowers, hlm. 71 (dapat diperoleh di: htp://www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_GG4_ Seminar/Fourth_GGSeminar_P68-75.pdf).

6 Demikian, maka pada 2008 dan 2009, jasa LPSK digunakan dalam total 84 perkara pi- dana. Lihat Trimulyono Hendradi, Securing protection and cooperation of witnesses and whistle-blowers, hlm. 71-72 (dapat diperoleh di: htp://www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_ GG4_Seminar/Fourth_GGSeminar_P68-75.pdf).

Jan Crijns

lainnya ialah bahwa perundang-undangan yang ada tidak memberikan landasan hukum yang cukup jelas berkenaan dengan pemberian imbalan konkret bagi saksi yang bersedia memberikan keterangan. Sebagaimana telah disinggung di atas kiranya ketentuan Pasal 10(2) UU 13/2006 dapat

memberikan landasan hukum bagi transaksi demikian, namun dalam

praktik ternyata ketentuan tersebut tidak serta merta dapat diandalkan. Penyebab terpenting ketiadaan pegangan atau landasan hukum demikian ialah ketidakjelasan bagi pihak-pihak berkepentingan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan saksi mahkota (kroongetuige) atau peniup peluit (whistleblower), khususnya berkaitan dengan persoalan apakah saksi (mahkota) tersebut akan atau harus juga berkedudukan sebagai terdakwa

dalam sidang pemeriksaan perkara di mana ia memberi keterangan se bagai saksi.7 Berkenaan dengan persoalan-persoalan di atas, di Indonesia tidak

terdapat cukup landasan hukum bagi penggunaan pranata kesepakatan

dengan saksi(-saksi) yang juga berkedudukan sebagai tersangka/ terdakwa tindak pidana (berat). Kekurangan di atas ternyata juga pada

tataran politis diakui dan dianggap sebagai masalah. Alhasil akhir-akhir

ini muncul wacana menyesuaikan UU 13/2006 sedemikian rupa sehingga

di Indonesia juga tersedia landasan hukum kuat (perundang-undangan)

bagi pembuatan kesepakatan dengan saksi (untuk memberi keterangan dengan imbalan).

3. Hukum Belanda tentang kesepakatan dengan saksi

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 171-173)