Septa Candra
3. Masalah korupsi di Indonesia
Dalam konteks korupsi yang terjadi di Indonesia, harus disadari bahwa dengan meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian negara dan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extra ordinary enforcement).
Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, menurut Romli Atmasasmita dikarenakan:
“Pertama, masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program pemerintah adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkat dunia diakui merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang mencengkeram seluruh tatanan sosial dan
Septa Candra
pemerintahan. Centre for International Crime Prevention (CICP) adalah salah satu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara luas mendeinisikan korupsi se bagai “misusse of (public) power to
privat gain”. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap (bribery), penggelapan (embezzlement), penipuan (freud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conlict interest, insider trading), nepotisme (nepotism), komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commision), dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik.
Kedua, korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.
Ketiga, kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30 persen telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan sedemikian, maka korupsi telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara Republik Indonesia.
Keempat, penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa.
Kelima, korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti Corruption (CAC) di Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi dalam era perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut penelitian tersebut pemberantasan korupsi jenis ini merupakan yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah air, karena kebjakan pemerintah dalam pembentukan BUMN atau BUMD atau pernyataan modal pemerintah kepada sektor swasta, sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari Hongkong, Australia dan negara-negara lain”.11
Lebih lanjut mengenai korupsi di Indonesia, Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam buku yang berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi”,12 mengemukakan tentang penyebab korupsi di
Indonesia, antara lain:
11 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Band- ung: Mandar Maju, 2004), hlm. 4-5
12 Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, 1999), hlm. 83-96
Tindak pidana korupsi; Upaya pencegahan dan pemberantasan
a. Aspek Individu Pelaku
1). Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang yang penghasilannya cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya. Kemungkinan orang tersebut melakukan korupsi tanpa adanya godaan dari pihak lain. Bahkan kesempatan untuk melakukan korupsi mungkin juga sudah sangat kecil karena sistem pengen dalian manajemen yang ada sudah sangat bagus. Dalam hal pelaku korupsinya seperti itu, maka unsur yang menyebabkan dia melakukan korupsi adalah unsur dalam diri sendiri, yaitu sifat-sifat tamak, sombong, takabbur, rakus yang memang ada pada manusia.
2). Moral yang kurang kuat menghadapi godaan
Seseorang yang moralnya tidak kuat, cenderung lebih mudah untuk terdorong melakukan korupsi karena adanya godaan. Godaan terhadap seseorang yang potensial untuk melakukan korupsi (potential ofender) berasal dari atasannya, teman setingkat, teman sejawat, atau pihak luar yang dilayani.
3). Penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar Penghasilan pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan hidup pegawai negari tersebut beserta keluarganya secara wajar. Apabila ternyata penghasilannya sebagai pegawai negeri tidak dapat menutupi kebutuhan hidup yang wajar, misalnya hanya cukup untuk hidup wajar selama sepuluh hari dalam sebulan, maka mau tidak mau pegawai negeri tersebut harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal seperti ini, adalah suatu
keterpaksaan untuk mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
4). Kebutuhan hidup yang mendesak
Kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuh- an untuk membayar hutang, kebutuhan untuk membayar pengobatan yang mahal karena istri atau anak sakit, kebutuhan untuk membiayai anak sekolah, kebutuhan untuk mengawinkan anaknya merupakan bentuk-bentuk dorongan seorang pegawai negeri yang berpenghasilan
kecil untuk berbuat korupsi.
5). Gaya hidup konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup
seseorang konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi
dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah
Septa Candra
6). Malas atau tidak mau bekerja keras
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias males bekerja. Sifat semacam ini akan
potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan
cepat, diantaranya melakukan korupsi.
7). Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentunya melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataannya menunjukkan bahwa korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
b. Aspek organisasi
1) Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal
mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tindak bisa memberi keteladanan yang baik dihadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
2) Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggota nya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan
organisasi. Pada kondisi demikian perbuatan negatif seperti korupsi
memiliki peluang untuk menjadi tambah subur.
3) Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintahan yang
kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan de- ngan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah
sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai
sasarannya atau tidak. Selanjutnya tentu akan menimbulkan akibat lebih lanjut yaitu kurangnya perhatian pada eisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif
untuk praktik-praktik korupsi.
4) Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
Tindak pidana korupsi; Upaya pencegahan dan pemberantasan
5) Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai
bentuk.
c. Aspek tempat individu dan organisasi berada
1) Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi dapat ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya darimana kekayaan itu didapatkan.
2) Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi. Mereka masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu adalah masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangun-
an bisa berkurang karena dikorupsi.
3) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang di- sadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan masyarakat sudah terbiasa
terlibat pada kegiatan korupsi dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
4) Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan dapat dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif. Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu dapat di berantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya. 5) Aspek peraturan perundang-undangan. Korupsi mudah timbul
karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undang- an yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi
peraturan perundang-undangan.