• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem penegakan hukum cybercrime

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 147-154)

Faizin Sulistio

C. Permasalahan konsepsi cybercrime

4. Problem penegakan hukum cybercrime

Selain problem mengenai deinisi yang berpengaruh pada perumus an norma maupun penegakan hukum. Faktor yang turut berpengaruh dalam proses penegakan hukum, menurut penelitian yang dilakukan oleh Yang

dengan mengacu pada teori aktivitas rutin (the routine activity theory)

menunjukkan bahwa peningkatan kejahatan siber dipengaruhi tingkat sekuriti/keamanan sistem komputer dalam aktivitas yang dilakukan

oleh pengguna. Hal ini berbeda dengan pendapat Grabosky yang lebih

condong merujuk kepada peluang atau kesempatan para pelaku. Oleh itu beliau percaya bahwa faktor pertama untuk mencegah kejahatan

siber adalah dengan mereduksi peluang pelaku untuk melakukan tindak

pidana. Hal ini terjadi karena seringkali pelaku menjadi termotivasi untuk melakukan kejahatan ketika terbuka kesempatan atau peluang, yaitu dengan rendahnya tingkat sekuriti dalam jaringan atau sistem komputer.

Dalam hal ini negara tidak akan sanggup sendirian untuk mengontrol dan mengendalikan faktor kesempatan, motivasi pelaku dan sistem keamanan

jaringan komputer. Negara memerlukan banyak institusi dan lembaga yang dapat mengendalikan keteraturan yang ada dalam dunia maya. Ini berarti hukum (pidana) negara mempunyai keterbatasan jangkauan untuk mengatur dan melindungi pengguna dari kejahatan. Grabosky percaya bahwa solusi untuk memerangi kejahatan siber harus melibatkan regulasi hukum negara (penegakan hukum), teknologi dan market.

Beberapa problematika dalam pemberantasan kejahatan siber: 1. Pelaku kejahatan siber seringkali tidak ditempat atau satu tempat

dengan locus delictie ataupun akibat yang ditimbulkan. Masalah

ini menyulitkan penegak hukum untuk melakukan penangkapan.

Bahkan menjadi pesoalan tersendiri ketika pelaku melakukan TP dari negara yang berbeda dengan korban. Dalam konteks ini kerjasama antarnegara menjadi sangat penting untuk diperhatikan terkait dengan yurisdiksi dan kebolehan dilakukan penangkapan

oleh penegak hukum negara yang terkena dampak atau menjadi korban.

Cybercrime: Masalah konsepsi dan penegakan hukumnya

2. Tantangan yang lain adalah terkait dengan jumlah dan variasi korban dari kejahatan siber. Biasanya yang menjadi korban dari kejahatan siber adalah lembaga-lembaga pemerintahan dan perusahaan-perusahaan yang terkadang diantara mereka mempunyai kepentingan tidak sama ataupun bahkan bertentangan satu sama lain, akibatnya muncul hambatan untuk memberantas kejahatan siber ini.

3. Keunikan kejahatan siber yang lain adalah variasi pelaku dan niat untuk melakukan kejahatan. Dalam kejahatan siber banyak motif yang tidak jelas atau sukar diprediksikan yang menyebabkan penegak hukum kesulitan untuk mengungkapkan suatu kejahatan siber. Contohnya banyak pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya merupakan suatu kejahatan siber ataupun tidak menyadari konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan termasuk dalam ka tegori kejahatan siber.Selain itu perlu juga dikaji mengenai motif para pelaku kejahatan siber seperti motif keserakahan, nafsu balas dendam, dan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu disini merupakan

motif unik pada era siber karena ditandai dengan tantangan untuk

mengalahkan sistem keamanan yang lebih komplek.

4. Kesulitan dan keraguan melakukan kategorisasi perbuatan yang

dikriminalisasi serta kelambatan pemerintah menerapkan regulasi

yang melawan kejahatan siber.

5. Aparat penegak hukum (polisi), terutama didaerah tidak banyak

dibekali pengetahuan dan peralatan yang cukup untuk memproses pelaku kejahatan siber. Bahkan bisa jadi tidak ada divisi yang secara khusus untuk memerangi kejahatan siber. Sebagai contoh ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh polisi dalam proses penyidikan:

a. Terkait dengan penyitaan data atau dokumen elektronik milik pelaku, polisi harus mempunyai pengetahuan mengenai bagian apa yang secara spesiik perlu disita sesuai dengan kebutuhan. Pertanyaannya bagaimana cara menentukannya?

b. Apakah salinan/copy data elektronik diterima sebagai alat bukti yang sah dipersidangan? Pertimbangan ini perlu sehingga polisi tidak perlu menyita seluruh sistem komputer yang memungkinkan mematikan bisnis yang dibangun dari data

elektronik tersebut.

c. Alat apa yang dapat digunakan untuk melakukan akses ke sistem komputer? apakah yang dapat dianggap sebagai penyitaan sesuai hukum terhadap informasi dan bagaimana dengan penyadapan/perangkap?

Faizin Sulistio

kepada aparat penegak hukum. Dalam konteks ini biasanya ada

2 alasan, pertama korban merasa bahwa serangan cybercrime yang terjadi padanya bukan hal yang signiikan. Kedua korban tidak merasa yakin bahwa polisi akan sanggup untuk mengatasi

serangan cybercrime tersebut17.

7. Biasanya serangan kejahatan siber yang berhasil membobol suatu

sistem keamanan membuat suatu sistem keamanan kesulitan untuk

bertahan dari serangan berikutnya. Hal ini disebabkan pelaku

sudah mengenal dengan baik kelemahan dari sistem keamanan

yang dibangun.

8. Perbedaan penanganan kejahatan siber di banding kejahatan konvensional, yakni :

Ada beberapa karakteristik kejahatan siber yang berbeda dengan kejahatan konvensional antara lain18:

Perbedaan Kejahatan Siber Kejahatan Kon-

vensional TIK Penggunaan TIK dalam aktivitas kejahatan Tidak ada peng-gunaan TIK Alat Bukti Alat bukti digital Alat bukti isik (psl 184 KUHAP) Hubungan Pelaku

dg Korban Pelaku dan Korban ada dimana saja

Pelaku dan Kor- ban biasanya satu tempat

Locus delictie Alam siber Alam nyata/isik

Penyidikan Lab. Forensik komputerPerlu penyidikan di siber space Lab. Komputer Tidak perlu TKP Computer scenekomputer sebagai TKP) ( penanganan Tidak ada com-

puter scene Keterangan Ahli Diperlukan keterangan ahli

dalam bidang IT Tidak perlu ahli IT Problematika penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan siber memberikan peringatan mengenai perlunya pemikiran yang jernih me- ngenai konsepsi yang mesti dipilih dalam memberikan perlindungan terhadap kejahatan siber, yakni.

17 Furnel, S. 2006. Cybercrime: Vandalizing the information society. htp://openlibrary.org/b/ OL7408656M/Cybercrime-Vandalizingthe-Information-Society. diakses 11 April 2011. 18 Petrus R Golose, 2010, Perkembangan Cyber Crime dalam Kejahatan Extra Ordinary, makalah

disampaikan di Penataran nasional Hukum Pidana dan Kriminologi tahun 2010 kerjasa- ma FH UPH Surabaya , FH Ubaya dan MAHUPIKI 2-3 Desember.

Cybercrime: Masalah konsepsi dan penegakan hukumnya

1. Untuk memahami sifat kejahatan siber harus melihat dampaknya, yaitu (1) locus delictie; (2) Korban; (3) pelaku; dan (4) Apa yang sedang dilakukan untuk mengurangi ancaman kejahatan siber. 2. Memperhatikan faktor-faktor yang mendukung efektiitas dalam

mengurangi kejahatan siber,antara lain:

a. pertama, sifat kejahatan siber harus dipahami sebagai klasiikasi kejahatan siber yang bervariasi tergantung pada pelaku dan

korban;

b. kedua, kejahatan siber harus dianalisis dalam hubungannya dengan ancaman keamanan yang dilakukan;

c. Ketiga, struktur keamanan harus di implemantasikan untuk menanggulangi bahkan menyerang kejahatan siber.

3. Apabila menggunakan KUHP dan UU pidana konvensional diluar KUHP dengan argumentasi mengisi kekosongan hukum/celah hukum perlu penafsiran baru terhadap norma KUHP disesuaikan

dengan konteks kekinian;

4. UU tentang penanggulangan kejahatan siber haruslah: mengintegrasikan antara norma yang dibentuk negara yang bersifat

top-down dengan self-regulation dalam alam siber yang juga berperan

memberi andil keteraturan dalam alam siber. Artinya dalam menanggulangi kejahatan siber, hukum pidana punya keterbatasan, oleh itu agar efektif perlu koeksistensi dengan norma-norma yang hidup dan ditaati oleh pengguna, seperti netizen/etika.

5. Teknologi berperan dalam mencegah pelaku memanfaatkan

peluang/kesempatan melakukan kejahatan siber seperti: enkripsi, autentikasi, biometric dan sebagainya.

Faizin Sulistio

Daftar Pustaka

Barda Nawawi Arief, 2007, Tindak Pidana Mayantara:perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, Jakarta:PT Raja Graindo Persada.

Brian Fitzgerald, ‘Sotware as Discourse: The Power of Intellectual Property in Digital Architecture’ (2000) 18 Cardozo Arts and Entertainment Law Journal 337, 353 fn 52. Gutnik (2002) 194 ALR 433.

Budi, AR, Aspek Perlindungan Hukum Nasabah dalam sistem Pembayaran Internet. Artikel dalam Jurnal Hukum. No 16.

David Johnson dan David Post, ‘Law and Borders — The Rise of Law

in Cyberspace’ (1996) 48 Stanford Law Review 1367.

Furnel, S. 2006. Cybercrime: Vandalizing the information society. htp://

openlibrary.org/b/OL7408656M/Cybercrime-Vandalizingthe-

Information-Society.

Georgios I Zekos, ‘State Cyberspace Jurisdiction and Personal Cyberspace Jurisdiction’ (2007) 15 International Journal of Law and Information Technology 1.

Green Paper, entitled ‘A Proposal to Improve Technical Management of Internet Names and Addresses’ can be found at htp://www.ntia. doc.gov/ntiahome/domainname/dnsdrt.htm. diakses. 23 Maret 2010.

Gordon, S., & Ford, R, 2006. On the deinition and classiication of cybercrime.

htp://www.springer-verlag.comJessica Lipnack & jefrey Stamps, 1994, The Age of the Network, Organizing Principle for the 21st Century,

New York : John Willey & Sons, Inc.

Lawrence Lessig, ‘The Law of the Horse: What Cyberlaw Might Teach’ (1999) 113 Harvard Law Review 501.

Petrus R Golose, 2010, Perkembangan Cyber Crime dalam Kejahatan Extra Ordinary, makalah disampaikan di Penataran nasional Hukum

Pidana dan Kriminologi tahun 2010 kerjasama FH UPH Surabaya , FH Ubaya dan MAHUPIKI 2-3 Desember.

Shinder, Debra Litlejohn,2002, Science of the Cybercrime,USA : Syngress

Publishing.

Yang, S. 2004. Routine activity theory/lifestyle., htp://faculty.chass.ncsu.edu/

garson/PA765/routine.htm.

Yasraf A.P, 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya melampau batas-batas kebudayaan. Jalasutra, Yogyakarta.

BAGIAN 3

PROSEDUR

HUKUM PIDANA

KEPENTINGAN UMUM DALAM

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 147-154)