• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi bagi Indonesia

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 40-47)

4. Multitafsir perlindungan kelompok minoritas

4.3. Relevansi bagi Indonesia

4.3.1. Keberagaman di tataran nasional dan lokal

Di dalam uraian di atas, penulis telah mengindikasikan bagaimana

sejumlah arah pemikiran di atas kiranya relevan bagi Indonesia. Sekali-

gus ditunjukkan bahwa di Indonesia banyak jalan terbuka yang dapat ditempuh. Situasi-kondisi demikian dapat diuraikan lebih lanjut. Persoalan yang kiranya relevan bagi negara sekompleks Indonesia

bukanlah apakah di tataran nasional harus diberikan perlindungan yang

sama terhadap kelompok minoritas seperti juga yang akan diberikan di

tingkat lokal. Bahkan juga ruang lingkup serta substansi perlindungan dan hak yang akan diberikan pada kelompok-kelompok minoritas pada

tataran nasional kiranya harus berbeda dari apa yang disediakan pada

tataran lokal.

Kita telah cermati bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menekankan pentingnya konsep negara kesatuan dan kiranya hal itu cocok dengan konsep negara-bangsa. Hal itu ditekankan tidak hanya dengan pendekatan negara kesatuan (-persatuan), namun juga dengan pengaturan di dalam konstitusi dari bendera, lambang negara dan bahasa nasional (Bab XV). Perilaku yang dianggap tidak/kurang menghormati wibawa negara dan simbol-simbol negara (terutama bendera dan lambang negara) diancam dengan pidana (Pasal 154 dan 154a KUHP). Sebelumnya telah kita cermati bahwa di dalam negara-bangsa muncul kebjakan untuk mendorong dan memajukan penyeragaman budaya. Di dalam Undang-undang Dasar 1945, budaya nasional (yang seragam) tersebut terejewantahkan dalam Pancasila. Salah satu sila memunculkan debat berkepanjangan tentang makna dan ruang-lingkupnya. Di dalam preambul dan dalam ketentuan Pasal 29(1) UUD 1945 ditetapkan bahwa negara Indonesia dilandaskan

pada “Ketuhanan Yang Maha Esa” (belief in the One and Only God). Di

dalam naskah asli dari preambul tersebut, ditambahkan kalimat: dengan

kewajiban menjalankan syariat (hukum Islam) bagi pemeluknya. Kalimat tambahan tersebut terlepas dari perdebatan yang kemudian muncul disekelilingnya tidak pernah ditambahkan kembali ke dalam UUD 1945. Demikian, bangsa Indonesia menurut konstitusi dilandaskan pada

Jeroen ten Voorde

adalah Tuhan umat Islam saja (Hosen, 2005). Dengan itu kiranya negara mengakui pluriformitas agama/kepercayaan (Oto, 2011).

Ini juga berarti bahwa hukum Islam tidak serta-merta dapat diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia (Hosen, 2007), terkecuali pemerintah pusat menerbitkan perundang-undangan yang memerintah- kan diberlakukannya hukum Islam. Dalam pada itu muncul perdebatan

perihal perkembangan dan tendensi untuk memberikan pada Islam kedudukan dan pengaruh semakin kuat pada tataran penyelenggaraan

kehidupan negara (Allen, 2007; Hosen, 2005). Hal ini menunjukkan pula bagaimana (di-) Indonesia terjadi pergulatan pemikiran tentang

apakah Indonesia sebagai bangsa akan memberlakukan moral yang kental bernuansa Islam. Semakin kencang hal itu ditekankan, semakin

banyak perundang-undangan dibuat dan diubah beranjak dari semangat

tersebut dan alhasil semakin kecil ruang bagi kelompok minoritas untuk

menyimpang dari itu. Namun tidak serta-merta kebebasan berkeyakinan/ beragama yang sejati nya diberikan pada individu dari kelompok

minoritas akan berkurang. Satu dan lain karena seyogianya bangsa yang demokratis melindungi dan menghormati pengejewantahan hak-hak asasi dan kebebasan dasar individu. Hal ini akan berbeda bila yang dihadapi

adalah hak-hak kelompok minoritas yang bersifat kolektif. Semakin tebal/

keras penekakan pada (penyeragaman) moral nasional, semakin kecil

ruang terbuka bagi kelompok minoritas untuk mengembangkan hukum

(pidana) yang menyimpang dari moral (nasional) tersebut.

Pilihan bagaimana mengisi format negara kesatuan mempunyai

konsekuensi terhadap sikap negara menghadapi kelompok minoritas.

Kejelasan sikap dan kebjakan mengenai bagaimana memperlakukan

kelompok minoritas harus datang dari pemerintah pusat. Sekarang ini

tampaknya pilihannya adalah pada moralitas yang kurang tebal dan dengan demikian terbuka ruang yang lebih luas bagi kelompok minoritas.

Pertanyaannya di sini ialah seberapa jauh hal itu dapat dilakukan. Semakin besar penekanan diberikan pada kebhinekaan, semakin kecil pula daya pesona (pengikat dan pemersatu) simbol-simbol kebangsaan. Dengan

cara ini Indonesia kiranya akan berkembang dari negara bangsa menuju imperium multinasional atau masyarakat imigran. Apa yang disebut

pertama akan meniscayakan penerimaan-pengakuan karakter federalisme

Indonesia dan mengurangi drastis peranan pemerintah pusat. Pemerintah

pusat (dalam konteks negara federal) harus memusatkan perhatian pada kedaulatan eksternal, sedangkan sepanjang berurusan dengan kedaulatan internal (termasuk ke dalamnya hukum pidana) kewenangannya akan jauh berkurang. Beberapa penulis kiranya akan berpandangan bahwa situasi

demikian sudah mencerminkan Indonesia sekarang ini. Risiko pecah dan

bubarnya negara Indonesia, hal mana sudah banyak diperdengarkan penulis-penulis lain, menjadi ancaman sangat nyata. Konsep masyarakat

Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik

imigran, dari sudut pandang ini, menjadi lebih menarik. Sekalipun harus ditambahkan bahwa hal itupun tidak mudah untuk diejewantahkan

karena kelompok-kelompok minoritas (di Indonesia) sudah terlalu lama

menikmati kebebasan yang sangat luas. Persoalan yang akan muncul ialah apakah kelompok-kelompok demikian (misalnya masyarakat Aceh) akan rela melepas kembali kebebasan yang dahulu mereka perjuangkan dengan sangat sengit dan keras. Sebaliknya analisis di atas tidak akan begitu relevan bagi wilayah-wilayah dengan komposisi masya rakat yang lebih beragam dan di mana ditemukan dorongan dan tuntutan

memperoleh kebebasan individu lebih besar.

Persoalan lain yang juga muncul ialah apakah hanya satu arah pemikiran yang harus atau dapat diterapkan terhadap seluruh wilayah

republik Indonesia? Pilihan strategi demikian kiranya dimungkinkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan Pasal 18B(1) UUD 1945 lagipula membedakan satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa dengan yang tidak (kurang) memiliki karakter khusus/istimewa. Dapat dibayangkan bahwa bagi satuan-satuan pemerintahan daerah yang disebut pertama sepatutnya diberlakukan rezim yang mirip dengan imperium multinasional. Di dalam mana terbuka cukup ruang untuk hak-hak kolektif, termasuk ke dalamnya hak atau kewenangan untuk membentuk ketentuan-ketentuan pidana yang selaras dengan adat dan kebiasaan setempat. Sedangkan di wilayah-wilayah lainnya diberlakukan rezim berbeda dan wibawa serta keberlakuan KUHP dapat ditegaskan kembali. Beranjak dari sini dapat dibayangkan bahwa di kota-kota besar, yang merupakan tempat pertemuan dan pencampuran ragam budaya, tidak akan diberikan prioritas terhadap hak-hak kolektif. Sebaliknya hak-hak asasi manusia yang bersifat individual akan menjadi lebih penting. Di dalam wilayah-wilayah demikian pilihan konsep negara

kesatuan atau masyarakat imigran menjadi lebih relevan. Sekalipun

semua itu akan membawa kita pada keberagaman cara untuk menata kebhinekaan, namun justru cara itulah yang memberikan ruang paling besar bagi pemenuhan kepentingan dan tuntutan masyarakat lokal. Hal itu akan meniscayakan pengorganisasian (penataan) kebhinekaan dalam

hukum pidana oleh pemerintah pusat dengan lebih baik. Beranjak dari itu pula, pemerintah pusat (pembuat undang-undang dasar) seyogianya

mengatur lebih baik dan jelas satuan pemerintahan daerah mana yang akan atau justru tidak diberi kewenangan membentuk (merumuskan ketentuan) hukum pidana sendiri berlandaskan hukum adat dan/atau

hukum agama. Bersamaan dengan itu, pembentuk hukum (pidana) dapat menetapkan aturan-aturan yang lebih jelas perihal pengaturan hubungan

antara hukum pidana lokal dengan hukum pidana nasional. Hal ini kiranya berkenaan dengan penggunaan prinsip-prinsip seperti ne-bis-in idem. Di

Jeroen ten Voorde

3-5 KUHP) juga dapat ditata kembali relasi dengan hukum lokal.

4.3.2 Posisi religi

Apa yang terabaikan dalam pandangan Walzer ialah kenyataan bahwa di Indonesia, agama/keyakinan (religi) memainkan peranan sangat penting dan acap menjadi fokus perdebatan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Menjadi pokok perdebatan ialah pertanyaan apakah dan sejauh mana kelompok-kelompok masyarakat atas dasar keyakinan keagamaan mereka berwenang merumuskan ketentuan pidana? Indonesia secara formal membedakan antara kelompok etnis dengan kelompok keagamaan.

Ketentuan Pasal 18B(2) UUD 1945 berbicara mengenai kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya. Kelompok- kelompok religius mendapatkan kebebasan mereka beranjak dari kemerdekaan untuk memeluk agama (Pasal 29(2)), kebebasan meyakini kepercayaan (Pasal 28E(2)) dan kebebasan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 dan 28E(3)). Kesemua itu sejatinya adalah hak-hak individual,

hal mana membuat kedudukan/posisi kelompok-kelompok keagamaan

sepanjang berkaitan dengan kewenangan merumuskan hukum pidana

secara otonom menjadi lebih lemah.

Pada lain pihak, negara menjamin keberadaan peradilan agama (Pasal 24(2) UUD 1945). Secara umum, kendati begitu, peradilan agama tersebut tidak memiliki kompetensi (yurisdiksi) memeriksa perkara-

perkara hukum pidana, terkecuali (antara lain) Aceh. Pengadilan agama di Aceh memiliki kewenangan memeriksa dan memutus perkara-perkara

pidana berkenaan dengan perbuatan-perbuatan seperti zinah, judi dan jual-beli serta konsumsi minuman mengandung alkohol. Landasan hukum dari kewenangan tersebut dapat kita temukan dalam peraturan daerah (Bey, 2007, Siregar, 2008), hal mana menyulitkan pengawasan oleh pemerintah pusat (Undang-undang Dasar tidak menyentuh persoalan ini). Di tempat-tempat lain, hukum agama mempengaruhi hukum adat

dan dengan cara demikian juga mempengaruhi hukum pidana (Haveman, 2002). Maka itu terbuka pula peluang bahwa masyarakat lokal de ngan merujuk pada ketentuan Pasal 18B(2) di atas merumuskan ketentuan pidana yang secara formil mengejewantahkan nilai-nilai hukum adat, namun faktual dilandaskan pada norma-norma hukum agama (shariah). Dengan cara itulah, hukum agama dapat mempengaruhi pembentukan

hukum pidana (Siregar, 2008).

Seberapa jauh kewenanganmembuat (merumuskan dan memberlakukan) ketentuan pidana yang terinspirasi keyakinan religius (hukum agama) dapat dibatasi dan dikendalikan sangat tergantung pada bagaimana negara bersikap terhadap agama/keyakinan yang dianut masyarakat. Apabila negara memandang religi sebagai bagian dari

Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik

identitas nasional (bangsa), maka semakin besar ruang yang terbuka bagi kelompok-kelompok religius. Sebaliknya bila negara memandang agama/ keyakinan sebagai urusan pribadi atau hak individual sebagaimana terimplikasikan dari Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 29), maka setidak- tidaknya dalam tataran teori semakin kecil kemungkinan memberlakukan hukum pidana berlandaskan shariah. Kendati begitu, dalam praktiknya

pemerintah pusat berhadapan dengan persoalan di atas bersikap

ambigu. Kelompok-kelompok minoritas, berhadapan dengan keraguan pemerintah pusat, memberlakukan peraturan perundang-undangan

yang terkesan bertentangan dengan apa yang tertulis di dalam Undang- Undang Dasar. Pada lain pihak, ternyata di Indonesia ada persinggungan dan pencampuran kelompok etnis dengan kelompok agama, dan tidak

dapat dihindari bahwa hukum Islam atau shariah (untuk sebahagian) masuk ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang ditemukan dalam

ragam peraturan daerah. Dari sudut pandang internasional, praktik

demikian terkesan tidak salah; ketentuan Pasal 27 Konvensi Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik memberikan ruang bagi kelompok-

kelompok minoritas keagamaan tertentu (religius minorities) untuk

menyelenggarakan dan menata kehidupan mereka atas dasar keyakinan agamanya. Juga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945

justru memberikan kebebasan yang sangat dan terlalu sempit kepada

kelompok-kelompok religius. Beberapa dari kelompok demikian berhasil mengatasi pembatasan tersebut.

Di sini pertanyaan yang masih dan terus muncul ialah apakah aturan-aturan hukum yang diambil dari hukum Islam (shariah) boleh

dimunculkan dalam atau diberlakukan melalui peraturan daerah.

Berkenaan dengan ancaman sanksi, hal mana banyak diperdebatkan, jelas dapat kita tenggarai adanya ketegangan dengan Konvensi Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), terutama larangan penyiksaan

(Pasal 7). Terkait dengan persoalan apakah pemberlakuan ketentuan pidana atas dasar shariah akan dilarang atau tidak adalah seberapa jauh kelompok-

kelompok minoritas dapat didorong dan dipaksa menerima nilai-nilai

(pandangan) liberal. Semakin eksplisit pertanyaan di atas djawab secara positif (kelompok minoritas dapat dipaksa menerima pandangan liberal),

semakin kecil ruang terbuka bagi pelarangan judi, konsumsi alkohol atau pemberlakuan kewajiban pengenaan jilbab dengan ancaman pidana. Sebaliknya semakin kecil nilai-nilai liberal dihargai dan dianut, semakin besar peluang memunculkan perundang-undangan yang mengancam dengan sanksi semua perbuatan yang dilarang agama. Terbayangkan bahwa hubungan seksual sesama jenis akan serta merta dilarang dan

dikaitkan pula ancaman pidana terhadap tatacara berpakaian perempuan

(Allen, 2007). Berkenaan dengan itu, telah disinggung pula asas kesetaraan (persamaan) dapat turut berperan menjawab persoalan ketentuan pidana

Jeroen ten Voorde

diperlukan (untuk melarang suatu perbuatan dan memberlakukannya secara umum). Juga tanpa terlalu menekankan peranan nilai-nilai liberal, seyogianya wajar mempertimbangkan kemungkinan bahwa kebebasan beragama/berkeyakinan (yang diwujudkan melalui perumusan ketentuan pidana) harus mengalah bila berbenturan dengan asas kesetaraan/

persamaan dan keadilan.

4.3.3 Minoritas di dalam minoritas

Di Indonesia kelompok-kelompok minoritas kerap kali muncul

sebagai mayoritas dalam wilayah tertentu. Di wilayah tersebut mereka mendapatkan posisi berkuasa. Posisi demikian bagi banyak kelompok minoritas kerapkali merupakan pengalaman baru dan hal itu mereka

peroleh lewat perjuangan sengit. Maka itu posisi demikian tidak akan mereka lepaskan begitu saja. Terbayangkan bahwa posisi dominan

tersebut mereka akan perkuat dan bentengi dengan memberlakukan

peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk menegakkan secara ketat norma-norma yang berlaku dalam kelompok tersebut. Besar kemungkinan hal itu terjadi bilamana kelompok minoritas berkenaan dengan pemberlakuan norma-norma kelompok tersebut tidak berharap mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Terutama juga kelompok

minoritas yang tidak percaya pada pemerintah pusat akan berupaya

menafsirkan otonomi mereka seluas mungkin. Bilamana sekaligus terbuka

peluang untuk memaksakan berlakunya norma-norma kelompok tersebut

melalui hukum pidana, kiranya dapat dibayangkan bahwa peluang

demikian akan segera diambil. Khususnya ketentuan pidana berkaitan

dengan penegakan norma-norma kesusilaan sangat populer.

Kelompok minoritas yang bermukim di dalam (wilayah) minoritas (dominan) tersebut diharapkan menerima dan menyesuaikan perilaku mereka dengan norma-norma yang berlaku dan mematuhi perundang- undangan yang dibuat. Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan

batasan tegas perihal seberapa jauh luas lingkup otonomi kelompok

minoritas untuk memajukan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Konstitusi hanya memberi perhatian pada hubungan antara pemerintah

pusat dengan pemerintah daerah (misalnya Pasal 18A(2) UUD 1945), dan berkenaan dengan substansi peraturan-peraturan yang dibuat kelompok

minoritas hanya menetapkan bahwa aturan-aturan tersebut harus sesuai dengan: perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang (Pasal 18B(2)). Pembatasan ini pertama-tama menunjukkan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menjaga agar pemerintah daerah (kelompok minoritas yang dominan dan berkuasa) tidak memberlakukan peraturan perundang-undangan yang mengancam keutuhan negara (seperti memberlakukan mata uang

Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik

sendiri). Namun untuk selebihnya kewajiban pemerintah pusat dalam

mewujudkan pengawasan demikian tidaklah terlalu jelas. Kekosongan

hukum demikian membuka ruang luas bagi kelompok minoritas; adalah

pemerintah pusat yang kemudian harus menelaah kapan dan bilamana

suatu peraturan daerah tidak selaras dengan atau dapat menghambat

‘perkembangan masyarakat’. Ke dalam pengertian perkembangan masyarakat bisa saja kita cakupkan pengertian perkembangan masyarakat Indonesia menuju masyarakat demokratis dilandaskan atas prinsip rule of law. Namun indikasi demikian bukanlah sesuatu yang pasti dan tegas.

Lagipula, sekali lagi, semua itu sangat tergantung pada apakah dan

seberapa jauh kelompok minoritas dapat dipaksa menerima pandangan

dan nilai-nilai liberal. Apa yang juga penting dalam konteks ini dan sangat mencolok ialah fakta tidak adanya perujukan eksplisit pada bab hak asasi manusia yang termaktub di dalam UUD 1945. Kekurangan ini seolah-olah membuka tafsiran bahwa pemerintahan daerah tidak terikat pada hak asasi manusia setegas yang dituntut dari pemerintah pusat.

Sebaliknya dapat dikatakan bahwa datar hak asasi manusia yang wajib

dilindungi dan dihormati sebagaimana dicantumkan di dalam Undang-

Undang Dasar 1945 tidak saja ditujukan pada pemerintah pusat, namun

juga merupakan bagian dari kewajiban pemerintah daerah. Beranjak dari itu, dapat dikatakan bahwa kecenderungan pemerintah daerah untuk hanya menekankan hak tanpa sekaligus memperhatikan kewajiban mereka

sebagai penguasa lokal merupakan satu persoalan serius tersendiri.

Bagaimanapun juga tampaknya daerah-daerah yang memperoleh otonomi mereka melalui perjuangan panjang dan sengit cenderung enggan untuk memperhatikan dan perduli pada (penjagaan dan pemeliharaan) hak-hak kelompok minoritas yang bermukim di dalam wilayah mereka. Contoh- contoh menyedihkan dari masa lalu, seperti (pembiaran) penyerangan

terhadap anggota kelompok Ahmadiyah, memunculkan pertanyaan apa

yang seharusnya layak kita tenggang serta selanjutnya bagaimana di masa

depan. Bahkan, bilapun kita tidak hendak memaksakan penerimaan dan pengikatan penuh pandangan dan nilai-nilai liberal pada kelompok

minoritas, kiranya kita layak berharap dikembangkannya modus vivendi

antarragam kelompok dalam masyarakat (Parekh, 2000).

Adalah tugas dan kewajiban pemerintah pusat untuk mengangkat serta memberi perhatian pada persoalan perlindungan minoritas di dalam minoritas. Bahkan bilamana pemerintah pusat beranggapan bahwa mereka

tidak boleh terlalu jauh mencampuri urusan masyarakat otonom dan harus sejauh mungkin menghormati ‘hak-hak dan kebiasaan tradisional’ yang berlaku dalam kelompok-kelompok masyarakat otonom demikian, hal itu tidak menghilangkan hak dasar/fundamental dari (anggota) kelompok

minoritas (dalam minoritas) untuk mendapatkan proses (peradilan) yang adil. Juga di dalam wilayah-wilayah otonomi, hukum acara pidana

Jeroen ten Voorde

harus dibentuk sedemikian rupa sehingga (anggota) kelompok minoritas

(manapun) harus mendapatkan perlakuan sama atau setara dengan yang diterima kelompok minoritas (dominan) dan menikmati hak-hak

prosedural yang sama (Pasal 14 Konvensi Internasional tentang Hak-hak

Sipil dan Politik/ICCPR). Pada tataran (hukum) materiil, apa yang penting

ialah perlindungan dan penghormatan atas hak-hak kelompok minoritas,

khususnya dengan mencegah penyalahgunaan hak yang dimiliki oleh minoritas dominan (Pasal 15 ICCPR). Hal itu memunculkan tuntutan pada negara (pemerintah pusat) untuk bagaimanapun juga melibatkan diri ke dalam (mengendalikan) proses pembentukan perundang-undangan dan peraturan lainnya di tingkat lokal. Pelibatan ini dapat turut menyumbang pada upaya pemenuhan kewajiban(-internasional) Indonesia di bidang

hak asasi manusia, yakni dalam wujud memberikan perlindungan kepada minoritas di dalam kelompok minoritas (dominan).

Pertanyaannya ialah bagaimana pelibatan tersebut harus diwujudkan. Kita telah cermati bahwa kelompok minoritas untuk sementara menikmati ruang cukup untuk bereksperimen dalam pengembangan hukum pidana; dalam bidang-bidang hukum lainnya

tampak bahwa pemerintah pusat tidak memiliki keraguan untuk secara

tegas mengambil kendali. Terbayangkan bahwa pemerintah pusat suatu

saat akan melakukan hal yang sama berkenaan dengan hukum pidana,

sekalipun praktik menunjukkan bahwa sejak dahulu sudah terjadi

fragmentasi hukum pidana. Maka itu kecil pula peluang menghilangkan

total gejala fragmentasi hukum pidana demikian. Rancangan Kitab Undang- undang Hukum Pidana, yang membuka peluang bagi pengembangan hukum adat (Haveman, 2002), bahkan memunculkan kecurigaan bahwa situasi-kondisi yang sekarang ada akan dibiarkan terus berlanjut. Apakah serta merta ini berarti bahwa kelompok minoritas akan dibiarkan terus,

tanpa adanya kontrol, mengembangkan dan memaksakan nilai-nilainya

sendiri melalui hukum pidana juga pada minoritas lainnya? Jawabannya ialah tentu tidak. Terutama persoalan bagaimana melindungi minoritas dalam minoritas harus mendorong ihtiar memunculkan hukum pidana

yang sekalipun, pada satu pihak, memberi ruang pada adat-kebiasaan dan tradisi lokal, namun pada lain pihak, juga (setidaknya pada tingkatan tertentu) bertitik tolak dari kewajiban konstitusional maupun

internasional negara Indonesia untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia.

5. Rangkuman: Bahan dasar untuk membangun hukum

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 40-47)