• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas legalitas dan perumusan tindak pidana

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 55-60)

Nella Sumika Putri 1 Pendahuluan

2. Asas legalitas dan perumusan tindak pidana

Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan yang tercela harus ada ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan suatu perbuatan yang menjadi tindak pidana dan memberikan sanksi terhadap perbuatan tersebut. Asas legalitas ini dianggap sebagai salah satu wujud dari perjanjian antara penguasa dan individu itu. Dalam artian, kebebasan

individu sebagai subjek hukum mendapatkan jaminan perlindungan kontraktual melalui asas legalitas.2

Dilihat dari sejarah terbentuknya, Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki

hubungan erat dengan usaha manusia untuk mendapatkan suatu kepastian hukum pada abad ke-18 atau dengan perkataan lain pencatuman

ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bertujuan untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang dapat merugikan masyarakat.3

Gagas an asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215)

di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, 2 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undangundang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003, hlm 599.

3 P A F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Tarsito, Bandung, 1995, hlm 123.

Pembatasan pernafsiran hakim terhadap perumusan tindak pidana ...

penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari

perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan

yang sah.

Asas nulla poena dalam hukum pidana material pertama-tama disampaikan oleh Montesquieu4 pada tahun 1748 yang menyatakan

bahwa para hakim dari rakyat adalah hanyamulut yang mengucapkan perkataan undang-undang, dan mereka adalah mahluk tidak bernyawa yang tidak boleh melemahkan kekuatan dan kekerasan undang-undang. Hal ini merupakan konsep awal dari asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Anselm von Feurbach5 terkait dengan fungsinya

sebagai sarana perlindungan bagi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah serta fungsi instrumental yaitu bahwa tidak ada perbuatan pidana yang tidak dapat dituntut merumuskan asas legalitas berupa “nullum crimen, nulla poena sine praevia lege” yang

djabarkan menjadi:

1. Nulla poena sine lege, (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana

menurut undang-undang)

2. Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa ada perbuatan

pidana) dan

3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa pidana

menurut undang-undang)

Berdasarkan asas legalitas terdapat tujuh aspek yang dihasilkan,

yaitu.

1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang

2. Tidak ada penerapan undang-undang berdasarkan analogi

3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan

4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex certa)

5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana

6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang 7. Penuntutan hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang

Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang

diterapkan secara ketat, yaitu lex scripta, lex certa, non-retroactivity, dan

analogy.6

1. Lex Scripta

Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum 4 J M van Bemmelen, Hukum Pidana, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm 50.

5 Schafmeister, N Keizer dan PH Sutorius, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm 5. 6 Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa,

Nella Sumika Putri

yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai

tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang,

maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal

ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa djadikan dasar menghukum

seseorang.

2. Lex Certa

Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang- undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal

inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat

undang-undang harus mendeinisikan dengan jelas tanpa samar-

samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan

yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-

ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.7

3. Nonretroaktif

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (nonretroaktif). Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undangundang yang berlaku surut. Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia.

4. Analogi

Ilmu hukum pidana mengenal beberapa metode penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi. Syarat pokok untuk melakukan penafsiran terhadap suatu undang-undang adalah undang-undang itu harus ditafsirkan berdasarkan undang-undang itu sendiri. Menurut Simons,8

untuk menafsirkan suatu undang-undang sekali-kali tidak boleh mencari bahan-bahan penafsiran di luar undang-undang.

Hampir semua metode penafsiran dapat digunakan, akan tetapi ada metode penafsiran yang masih menjadi perdebatan tentang 7 Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 358.

Pembatasan pernafsiran hakim terhadap perumusan tindak pidana ...

keberlakuannya yaitu penafsiran secara analogi. Paham klasik yang

didukung oleh Simons, Vos dan Van Hatum pada dasarnya tidak memperkenankan analogi dalam hukum pidana sedangkan Pompe dan

Jonkers selaku penganut paham modern memperbolehkan berlakunya

hukum pidana.

Analogi sendiri adalah metode penafsiran dimana terdapat sesuatu

yang diatur secara tegas oleh undang-undang dan kemudian terdapat hal lain yang tidak diatur dengan tegas oleh undang-undang, sedangkan hal lain ini memiliki sifat dan dasar yang sama dengan hal yang telah diatur

dengan tegas oleh undang-undang tersebut di atas, maka undang-undang

yang telah mengatur sesuatu hal secara tegas itu, dipergunakan untuk menafsirkan hal yang tidak diatur dengan tegas oleh undang-undang.9

Jika melihat tentang penjabaran di atas terhadap asas legalitas maka perumusan suatu undang merupakan faktor penentu apakah undang-undang tersebut dapat dilaksanakan atau tidak. Tindak pidana

dalam perumusannya dilakukan dengan tiga cara, yaitu (a) dengan menjelasan unsur dan kualiikasinya; (b) menjelaskan unsur-unsurnya saja secara detil; dan (c) dengan menunjukkan kualiikasinya saja dimana pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada hakim, hal ini karena ada kekhawatiran bila diberikan penjelasan unsur-unsurnya akan mengakibatkan ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat djalankan sebagaimana mestinya.10

Meskipun perumusan perundang-undangan harus djabarkan

secara jelas melalui beberapa metode di atas akan tetapi terdapat beberapa perumusan undang-undang yang tidak memberikan suatu deinisi yang jelas dan menimbulkan ambiguitas11 antara lain:

1. Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornograi

Berdasarkan Pasal 1 UU tersebut pornograi dideinisikan sebagai

“gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar berge-

rak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan

lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”

Berdasarkan deinisi pasal 1 terdapat unsur “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Pada penjelasan Pasal 1 sendiri tidak djelaskan apa yang dimaksud dengan istilah tersebut sehingga pada waktu penerapannya hakim harus menggunakan penafsiran. Penafsiran

9 Ibid, hlm 4.

10 E Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, hlm 256-257.

11 Ambiguitas adalah satu kata yang memiliki lebih dari satu arti, suatu kata menjadi ambigu apabila memiliki pengertian lebih dari satu lihat Lawrence B Solum, The Interpretation- Construction Distinction, Constitutional Commentary, 2010, hlm 97.

Nella Sumika Putri

terhadap pasal ini dapat memberikan suatu ketidakpastian mengingat

tidak setiap daerah maupun masyarakat memiliki standar norma yang sama terhadap batasan tentang sesuatu yang melanggar kesusilaan atau

tidak. Sehingga apabila terdapat kasus pornograi akan besar kemungkinan

terdapat perbedaan penerapan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, misalnya antara Bali dan Jawa Barat. Sehingga tujuan utama

dari asas legalitas demi kepastian hukum tidak akan terwujud.

Ketidaktepatan pengertian juga terdapat pada Pasal 4 ayat (1) point b tentang “kekerasan seksual” yang dalam penjelasannnya dipersamakan dengan perkosaan. Perkosaan sendiri diatur dalam Pasal 285 KUHP yang memiliki pengertian berbeda dengan kekerasan seksual, yaitu

persetubuhan dengan ancaman kekerasan. Sedangkan kekerasan seksual

memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan perkosaan yang mana tidak terbatas hanya pada persetubuhan saja.12 Hal ini

dapat menimbulkan kesalahan interpretasi dan tentunya menimbulkan ambiguitas dalam penerapannya.

2. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang-undang pengadilan HAM di Indonesia merupakan

undang-undang yang mengadopsi ketentuan Statuta Roma 1998. Akan tetapi dalam implementasinya merupakan undang-undang yang rentan dalam penggunaannya dikarenakan banyak ketentuannya diterjemahkan berbeda dengan deinisi yang terdapat dalam Statuta Roma 1998. Hal ini dapat dilihat pada deinisi tentang kejahatan genosida. Dalam Statuta

Roma 1998 yang dimaksud dengan Genosida adalah “setiap perbuatan

berikut ini13 yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan,

seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan”. Deinisi ini diadopsi dalam UU No 26 Tahun 2000 melalui ketentuan Pasal 8. Yang menjadi permasalahan dalam deinisi genosida di sini adalah tentang kata “kelompok keagamaan” dalam Statuta Roma 1998 yang dalam UU Pengadilan HAM yang kelompok keagamaan ini diterjemahkan sebagai “agama”. Jika menggunakan penafsiran secara

hukum Indonesia maka terdapat perbedaan penafsiran antara kelompok agama dengan agama.

Pemerintah Indonesia secara resmi awalnya hanya mengakui lima agama di Indonesia, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha.14 Namun kemudian melalui Keppres RI No 6 Tahun 2000 tentang

12 Jika mengacu pada yurisprudensi internasional dapat melihat pada kasus Kunarac dan Akayesu, dimana dalam kedua kasus tersebut terdapat perluasan pengertian perkosaan.

13 Lihat Pasal 6 Statuta Roma 1998.

14 Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Pembatasan pernafsiran hakim terhadap perumusan tindak pidana ...

Pencabutan Inpres No 14 Tahun1967 ditambah dengan Kepercayaan dan

Adat Istiadat Cina. Sementara yang dimaksud dengan “religious group

dalam rumusan genosida yang didasarkan pada putusan pengadilan kasus Akayesu tanggal 2 September 199815 adalah suatu kelompok dimana

anggotanya memiliki agama, kaum, serta bentuk pemujaan yang sama. Deinisi tersebut memiliki kesamaan dengan deinisi “religious group

dalam putusan Kayishema dan Ruzindana.“Religious group” dalam kasus

ini dimaknai secara luas sehingga mencakup semua kelompok yang menjalankan tata cara beribadah yang sama, bahkan kelompok yang memiliki kesamaan kepercayaan.

Perbedaan sebagaimana diuraikan di atas berpotensi menimbulkan masalah dalam penerapan hukum. Apabila di Indonesia terjadi tindakan- tindakan sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal genosida

terhadap kelompok keagamaan di luar enam agama yang diakui oleh

pemerintah Indonesia, genosida bisa jadi tidak dapat dibuktikan karena

unsur “kelompok agama” tidak terpenuhi.

3. Yurisprudensi di beberapa sistem hukum dan rumusan

Dalam dokumen Hukum Pidana dalam Perspektif. pdf (Halaman 55-60)