4. Multitafsir perlindungan kelompok minoritas
4.2. Pembagian rezim politik menurut Walzer dan perlakuan terhadap minoritas
4.2.1. Pengantar
Perjanjian-perjanjian internasional yang ada menetapkan standar perilaku yang harus dipenuhi negara berhadapan dengan kelompok
minoritas. Namun bagaimana tepatnya hak-hak dari minoritas tersebut harus dilindungi sangat tergantung pada penafsiran yang diberikan terhadap kewajiban internasional negara tersebut. Di samping itu
bagaimana penafsiran dilakukan untuk bagian terbesar dipengaruhi
tradisi yang berlaku di dalam negara. Untuk dapat memahami pengaruh tradisi demikian, maka diidentiikasi sejumlah arah pemikiran dengan menggunakan klasiikasi yang dikembangkan ilsuf Jerman, Walzer (1997). 14 Bdgk. Report of the Special Rapporteur on freedom of religion or belief, Asma Jahangir, A/HRC/10/8/Add.1, 16 Februari 2009, hlm. 16-20; Commitee on the Elimination of Racial Discrimination, 71e sessie, CERC/C/IDN/CO/3, 15 Augustus 2007; General Assembly, 62e sessie, A/62/2/218, 10 Augustus 2007, hlm. 4.
Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik
Walzer membedakan lima rezim politik yang memengaruhi sikap atau carap pandang negara terhadap minoritas. Namun hanya tiga yang akan dibahas di sini: imperium multinasional, negara-bangsa (nation-state),
dan masyarakat imigran (immigratiesamenleving). Tidak semua dari rezim
yang disebutkan di atas relevan bagi Indonesia dan juga, penggambaran rezim-rezim yang ada di sini tidak dimaksudkan untuk mengarahkan Indonesia untuk mengadopsi salah satu rezim yang ada. Uraian yang diberikan hanya ditujukan untuk memudahkan kita memahami dan
menempatkan dalam perspektif peluang dan cara negara melindungi kelompok minoritas. Itu semua memudahkan kita menempatkan dan
memahami perkembangan yang terjadi.
4.2.2. Imperia multinasional
Imperia multinasional merupakan rezim tertua yang kita kenal. Di dalamnya tersedia ruang bagi kelompok-kelompok minoritas. Imperium
(yang kerap besar/luas) demikian dicirikan oleh adanya ragam kelompok- kelompok masyarakat menurut garis-garis pembeda etnis, religius dan linguistik yang masing-masing menikmati otonomi cukup luas di dalam lingkup wilayah kekuasaan imperium di maksud. Model ini, antara lain juga menunjukkan paralel dengan sistem millet yang dikembangkan di bawah imperium (kesultanan) Otoman Turki, dan di masa lalu digambarkan sebagai cara terbaik atau ideal untuk memperlakukan
kelompok minoritas (Forst, 1997).
Pemerintahan pusat diselenggarakan oleh aparat birokrasi yang dalam garis besar tidak memiliki perhatian (secara substansial) terhadap ragam dan keberagaman masyarakat, namun lebih mementingkan upaya menjaga ketertiban-keamanan dalam wilayah kekuasaan imperia serta menarik pajak yang diperlukan untuk membiayai aparat birokrasi peme- rintahan pusat. Betul bahwa penguasa pusat mengembangkan satu sistem hukum yang seragam untuk diberlakukan, di luar lingkup masyarakat otonom, terhadap siapapun dan yang (cenderung) mengistimewakan kelas penguasa (kelompok elite, seperti juga yang terjadi dalam masyarakat kolonial). Pada saat sama, sistem hukum ini memberikan keleluasan pada masyarakat-masyarakat otonom untuk mengatur dan menata kehidupan masyarakatnya sendiri. Terkadang mencakup pula kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan dan menyelenggarakan peradilan sendiri, bahkan juga di dalam bidang
hukum pidana. Penguasa pusat kerap tidak memiliki kepedulian
terhadap kepentingan dan hak-hak individual dari para kaula (belum ada dan dikenal konsep kewarganegaraan). Sebaliknya mereka lebih terfokus pada kelompok (masyarakat) otonom yang hidup dan berdiam di dalam wilayah kekuasaan imperia. Dengan cara itu, mereka dapat menindas
Jeroen ten Voorde
anggota-anggota masyarakat demikian serta mencegah perkembangan pandangan-pandangan moral kemasyarakatan (yang mengancam kelangsungan imperia) (Parekh, 2000: 205-206). Birokrasi pemerintahan pusat justru mendorong pembekuan perkembangan hukum dan budaya (masyarakat). Demikian, maka di Hindia Belanda pada zaman dahulu dikembangkan gagasan adat yang sekaligus menaikan perkembangan dan perubahan dari adat, hal mana menurut beberapa penulis ‘resulted (…) in its decline as a form of living law’ (Harding, 2002: 42).
4.2.3. Negara-bangsa
Segera setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya diberlakukan
Undang-Undang Dasar yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara-bangsa. Dengan ini dimaksud bahwa negara Indonesia
mengidentiikasikan dirinya dengan sekelompok orang yang memili budaya serta religi tertentu (dengan ciri-ciri sama) serta dengan satu
bahasa pemersatu. Di dalam Undang-Undang Dasar dorongan ke arah
penyeragaman (uniikasi) dari semua warga terejewantahkan di dalam Pancasila, lima sila dasar yang melandasi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Weatherbee, 1985; Morit, 1981). Satu hal yang mencirikan negara-bangsa ialah, juga muncul dalam interpretasi yang
diberikan oleh Indonesia pada konsep negara-bangsa, bahwa negara
tidak berdiri netral terhadap budaya: aparat negara justru bertujuan mengembangkan nilai-nilai (budaya) nasional dan menyampaikan (menginternalisasikannya) pada masyarakat. Dalam demokrasi, ikhtiar tersebut dilakukan dengan mendayaguna kan media negara, pendidikan yang pembiayaannya ditanggung negara dan prakarsa pengembangan satu politik budaya (nasional) yang bersifat aktif. Sebaliknya dalam
negara diktatur, semua itu acapkali diselenggarakan oleh militer. Untuk
jangka waktu yang cukup lama, hal demikian dapat kita tenggarai terjadi
pula di Indonesia (Honna, 1999).
Di dalam negara-bangsa demokratis adalah mungkin mengembangkan toleransi terhadap kelompok minoritas. Toleransi
tersebut tidak terutama tertuju pada individu. Di sini orang-perorang muncul sebagai warga-negara dan yang keanggotaannya dalam
kelompok etnis, religius atau linguistik tertentu tidak dihalangi atau
dibatasi dan bahkan juga di ranah publik tidak didorong. Di dalam
negara-bangsa demokratis dapat dibedakan tegas antara ranah privat
dengan ranah publik. Hal mana berkaitan dengan religi (agama atau sistem keyakinan) dibayangkan sebagai pemisahan antara urusan
keagamaan dengan urusan negara. Hukum pidana dalam suatu negara-
bangsa dapat didayagunakan untuk melindungi simbol-simbol negara, dan menegaskan dan memaksakan pemisahan urusan negara (publik) dengan urusan keyakinan/agama (privat) (Bdgkan Pasal 530 KUHP).
Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik
Budaya (kelompok) mayoritas dapat mempengaruhi budaya minoritas. Namun sebaliknya tidak mungkin terjadi (bdgkan Bell, 2001a: 28-30). Ketidakseimbangan posisi demikian memaksa kelompok minoritas untuk secara sadar berpikir tentang bagaimana mempertahankan,
mengembangkan bahkan mengubah norma-norma yang berlaku dalam kelompok. Di dalam diskusi yang terjadi terbuka peluang kelompok
minoritas tersebut kemudian mengubah atau membuang nilai-nilai yang dianggapnya tidak demokratis. Bisa juga terjadi perdebatan yang ada berujung pada peniadaan kelompok masyarakat sebagai masyarakat, karena yang dipertanyakan ialah norma-norma dasar yang mengikat masyarakat (anggota kelompok satu sama lain dalam kelompok). Pada
lain pihak, Walzer juga menyatakan (1997: 28) bahwa kelompok minoritas
yang berada di bawah tekanan akan fokus pada apa yang sebenarnya penting bagi mereka. Tekanan demikian kiranya dapat merevitalisasi
kehidupan kelompok minoritas.
4.2.4. Masyarakat imigran
Masyarakat imigran adalah masyarakat yang anggotanya untuk sebagian terbesar berasal dari (atau merupakan keturunan) imigran (pendatang).
Satu ciri dari masyarakat imigran ialah bahwa kelompok-kelompok
pendatang tidak berbentuk satuan-satuan tetap yang tidak berubah. Namun sebaliknya justru terdiri dari asosiasi sukarela sekelompok orang di mana religi atau kultur yang dialami/dihayati dan diinterpretasikan orang-perorang menempati posisi sentral. Ini berarti pula bahwa anggota satuan-satuan masyarakat tersebut satu persatu secara asosiatif berdiri bebas terhadap budaya negara asal mereka, dan selektif memilih dan menggembangkan unsur-unsur budaya yang hendak dipertahankan, atau dibuang dan dibiarkan lenyap. Negara tidak mengasosiasikan diri dengan salah satu kelompok pendatang (migran). Maka itu pula negara berkedudukan netral dan karena itu juga berdiri bebas (otonom) terhadap pengelompokan yang ada. Kendati demikian, bangunan institusional dari negara dan bahasa resmi yang dipergunakan diambil atau dikembangkan terutama dari kelompok pendatang (koloni) pertama. Terpikirkan di sini
Australia.
Para imigran (pendatang) oleh Negara terutama dipandang sebagai warga-negara, bukan sebagai anggota kelompok. Serupa dengan yang terjadi dalam negara-bangsa, fokus utama negara adalah pada individu,
bukan pada kelompok. Di dalam ruang publik terbuka dan tersedia tempat bagi pandangan kelompok-kelompok tertentu untuk diungkap dan
diejewantahkan. Namun sebaliknya negara menjaga agar ruang publik
tersebut tidak didominasi oleh suara atau pandangan satu kelompok
Jeroen ten Voorde
budaya publik, namun sebaliknya menjaga budaya politik. Negara
menenggang dan mendorong keragaman publik. Ini terutama dilakukan melalui pemberian subsidi kepada organisasi-organisasi minoritas dan
lembaga-lembaga yang memajukan dan mendorong keberagaman kultur.
Selain itu perhatian diberikan pula pada pengembangan pola pendidikan-
kebuda yaan yang menghormati dan mendorong keberagaman. Kendati demikian, tidak berarti bahwa di dalam masyarakat pendatang toleransi terhadap kebebasan mengungkap pandangan budaya dan religi yang
begitu beragam adalah tanpa batas: karena negara memperlakukan
para migran terutama sebagai warga-negara, dan warga-negara harus mendapat perlakuan sama (dihadapan hukum dan pemerintahan), maka negara akan bertindak melawan perilaku – dilandaskan pada pandangan religius atau budaya tertentu – yang melanggar atau bertabrakan de ngan hak-hak dasar yang sejatinya diberikan kepada setiap warga (Bovens, 2003: 147). Di dalam hukum pidana, dengan demikian, tidak disediakan
ruang bagi perilaku yang melanggar hak-hak fundamental warga lainnya. Pada lain pihak, ketentuan pidana yang merugikan kelompok
minoritas (seperti larangan pemotongan hewan mengikuti aturan agama tertentu), tanpa sekaligus melanggar hak asasi manusia, akan dihapus
atau ditafsirkan dengan cara yang sangat terbatas.
Selintas dapat dikatakan bahwa bagi Indonesia gagasan masyarakat imigran sama sekali tidak relevan. Namun pengembangan konsepsional
darinya bisa jadi sangat bermanfaat. Penekanan pada hak-hak yang sejatinya diberikan kepada dan dinikmati oleh warga-negara, serta pada
ruang publik pluriform di mana sebanyak mungkin kelompok minoritas
dapat mengungkapkan diri dan di mana tugas negara hanyalah menjaga agar ketertiban umum tidak dilanggar serta memajukan toleransi serta pengembangan pluriformitas, kiranya dapat menjadi inspirasi untuk mengembangkan kebjakan politik yang peduli dan menganggap serius
kelompok-kelompok minoritas. Pada lain pihak, pertanyaan yang muncul ialah apakah kelompok-kelompok minoritas akan puas dengan
perlindungan (negara) yang begitu longgar terhadap keberagaman. Perlindungan yang menuntut dari anggota-anggota kelompok satu persatu kelenturan dan keterbukaan (sikap dan pandangan hidup).
Bagi kelompok minoritas yang berjuang keras untuk mendapatkan dan mempertahankan otonomi mereka, tuntutan demikian tidaklah akan
diterima begitu saja. Tekanan yang dialami anggota kelompok-kelompok demikian untuk menyelaraskan diri dengan pandangan dominan di
dalam kelompok akan sangat besar. Namun demikian, konsep masyarakat
imigran, sekalipun dari sudut pandang liberal, menunjukkan bahwa pemerintah pusat (penguasa) justru dapat memberikan perlindungan pada warga individual yang hendak keluar dari tekanan kelompok demikian. Persoalannya adalah apakah hal demikian juga mungkin diwujudkan di
Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik
Indonesia. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa Undang-undang Dasar 1945 nyata membuka peluang tersebut; kewajiban positif untuk memajukan perkembangan manusia (memanusiakan manusia) juga dapat dimengerti
sedemikian rupa sehingga negara tidak mengurung manusia di dalam kelompok tertentu, namun memberikan perlindungan kepada mereka
yang berkehendak keluar dari tekanan dan lingkup kelompok tempat asalnya.