• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu ciri manusia pada abad modern adalah agresif terhadap kemajuan. Hal itu didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Masyarakat modern ingin mematahkan kesakralan alam raya. Semua harus tunduk atau berusaha ditundukkan oleh kedigdayaan IPTEK yang berporos pada rasionalitas.

Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran sang pencipta, kini hanya dipahami sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan.

Alam raya dipahami sebagai jam raksasa yang bekerja mengikuti gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh tukang jam yang Maha Super (Tuhan), untuk selanjutnya tidak ada lagi urusannya dengan kehidupan ini.106

Dunia materi dan nonmateri dipahami secara terpisah, sehingga dengan cara demikian merasa semakin otonom, dalam arti tidak lagi memerlukan campur tangan Tuhan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan. Mereka semakin yakin, bahkan dengan sikap arogansinya mereka terlalu berani mengucapkan kalimat selamat tinggal kepada Tuhan, bersamaan dengan ditempatkannya manusia sebagai pusat dunia, dan ukuran keunggulan karena memiliki kekuatan logika dan rasionalitas, maka agama yang mendengungkan ajaran-ajaran irrasional dengan sendirinya dipandang sebagai sisa-sisa dari primitif culture (budaya primitif).86

Di tengah-tengah kemajuan IPTEK yang dijadikan satu-satunya acuan dan ukuran keberhasilan, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan kualitas hidup. Nilai kehidupan, seperti kebersamaan, solidaritas sosial mulai ditinggalkan. Di sisi lain, orang juga mulai menyesalkan hilangnya fungsi dan peranan agama yang seharusnya dapat membimbing manusia memahami dan menghayati nilai-nilai

86Ibid., hlm. 98.

DU MM Y

transendental. Untuk menumbuhkan nilai luhur pada kehidupan individual maupun sosial, supaya masyarakat modern tidak terjerat pada kebanggaan materi semata.

2. Problem Manusia pada Abad Modern

Seperti dijelaskan di atas, bahwa ciri-ciri manusia pada abad modern adalah, kemajuan demi kemajuan secara material telah diraihnya. Dunia yang begitu luas dapat mereka ciutkan seperti sebuah kampung kecil yang tak terbatas ruang dan waktu. Tugas-tugas utama yang biasanya diselesaikan dengan menggunakan tenaga manusia, kini diambil alih oleh mesin-mesin canggih yang tidak hanya melipatgandakan hasil produksi, tetapi juga meningkatkan kualitas hasilnya. Namun perlu diingat, bahwa prestasi gemilang yang telah diraih manusia modern, ada sesuatu yang hilang dari diri mereka sendiri. Proyek mewah modernisme yang sudah mereka ciptakan malah melahirkan perasaan asing dalam diri mereka sendiri. Pada era modernisme dipotret keberhasilan seseorang dari tingkat produktivitas yang dapat ia hasilkan dari kerjanya. Dari sisi itu, manusia modern tak ubahnya seperti mesin yang terus menerus bekerja. Jika ia tidak lagi mampu untuk melakukan itu, artinya ia juga tidak mendapatkan penghargaan sebagai anak zaman peradaban modern. Begitulah manusia modern berubah menjadi robot yang gersang akan nilai kehidupan.87

Hilangnya sisi kemanusiaan akibat merambahnya peradaban modern, kini dirasakan sebagai suatu ancaman tersendiri. Sisi kemanusiaan yang dimaksud adalah nilai-nilai spiritual. Modernisme menganjurkan rasionalisme, saat segala sesuatu akan diterima sepanjang rasio menerimanya. Sementara spiritualitas sifatnya abstrak dan terkadang tidak sesuai dengan logika rasionalitas. Karenanya, sisi hakiki manusia itu kian terabaikan. Kecemasan akan hilangnya nilai-nilai spiritual itu, tidak muncul dari sumbu rohani yang mereka miliki, melainkan lahir dari fakta modernisme yang melahirkan krisis lingkungan, krisis bahan bakar, krisis bahan makanan dan krisis kesehatan. Dengan demikian, setiap orang mulai menyimpulkan bahwa modernisme dinilai gagal memberikan hakikat kehidupan itu sendiri.

87Muhammad Qarib, Abāqinah Ulama, Op. Cit., hlm. 12.

DU MM Y

Jasa yang disumbangkan Rene Descartes dalam sebuah revolusi intelektual, ternyata memisahkan manusia dari Tuhannya. Rasionalisme model Descartes menutup beragam gerbang kearifan yang ada di dalam diri manusia. Nilai-nilai kehidupan seperti kebersamaan, solidaritas sosial, kasih sayang antarsesama, mulai tergeser dari keprihatinan dan wacana keseharian, ketika keserakahan pada materi yang disimbolkan oleh IPTEK menjadi kerangka acuan yang dominan. Semesta yang sejatinya merupakan sahabat terdekat manusia disembelih dengan berdarah-darah dan tak kenal kompromi.

Modernitas secara faktual tidak hanya menghadirkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Efek positifnya tentu saja akan meningkatkan keragaman budaya melalui penyediaan informasi yang menyeluruh, sehingga memberikan kepada orang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru dan meningkatkan produksi. Sementara itu, efek negatifnya kemajuan teknologi, akan berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan agama belum siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan-tujuan yang dekstruktif dan menghawatirkan. Misalnya, penggunaan teknologi kontrasepsi dapat menyebabkan orang dengan mudah dapat melakukan hubungan seksual tanpa harus takut hamil atau berdosa. Jaringan-jaringan peredaran obat-obat terlarang, tukar-menukar informasi, penyaluran data-data film yang bernuansa pornografi. Di bidang teknologi komunikasi seperti komputer, facsimile, internet, dan sebagainya akan semakin intensif pelaksanaannya.

Hal tersebut di atas adalah gambaran masyarakat modern yang obsesi keduniaannya tampak lebih dominan dibanding spiritualnya.

Kemajuan teknologi sains dan segala hal yang bersifat duniawi jarang disertai nilai spiritual.

Menurut Seyyed Ḥossein Nasr, manusia modern dengan kemajuan teknologi dan pengetahuannya, telah tercebur ke dalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan materi semata, namun tidak mampu menjawab problem kehidupan yang sedang dihadapinya. Kehidupan yang dilandasi kebaikan tidak saja hanya bertumpu pada materi, melainkan pada dimensi spiritual. Jika hal tersebut tidak diimbangi, akibatnya jiwa pun menjadi kering dan hampa. Semua itu adalah pengaruh dari sekularisasi Barat, yang manusia-manusianya mencoba hidup dengan alam yang kasat mata.

DU MM Y

Selanjutnya Seyyed Ḥossein Nasr menambahkan, bahwa manusia modern memperlakukan alam sebagai pelacur. Mereka menikmati dan mengeksploitasi alam demi kepuasan dirinya tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab apa pun. Alam diperas kenikmatannya tanpa pernah dipedulikan nasibnya apalagi dipelihara.88 Manusia sangat senang memompa air dari tanah tanpa mau membuat sumur resapan, menebang pepohonan tanpa membuat kompensasi pada tanah. Terkadang alam hanya dihargai sebagai tempat sampah, namun alam selama ini begitu sabar. Selama ini alam terus-menerus dipaksa berbakti kepada manusia, memberi air terjernih dan buah-buahan terlezat tanpa pernah diberikan haknya.89

Seyyed Ḥossein Nasr melihat, kondisi manusia modern sekarang mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar dan bersifat spiritual, mereka gagal menemukan ketenteraman batin, berarti tidak ada keseimbangan dalam diri. Hal ini akan semakin parah apabila tekanannya pada kehidupan materi semakin meningkat, akibatnya, keseimbangan semakin rusak. Oleh karena itu, manusia modern memerlukan agama untuk mengobati krisis yang dideritanya.90 Dari sikap mental yang sedemikian itu, kehadiran IPTEK telah melahirkan sejumlah prolema masyarakat.

Berikut ini akan dikemukakan problem atau krisis yang dihadapi manusia pada abad modern, secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu:

kehampaan spiritual dan kehilangan visi keilahian.