yang mengekspresikan kebenaran yang terdapat dalam jantung semua agama dan tradisi otentik. Oleh karenanya, orang-orang suci terdahulu tersebut termasuk dalam keuniversalan Islam dan tidak dikategorikan sebagai di luar Islam.88
Tradisi intelektual Islam, baik dalam gnostiknya (ma’rīfah atau irfān) dan aspek-aspek filosofis maupun theosofis (falsafah hikmah), melihat sumber kebenaran yang unik ini sebagai agama kebenaran (dīnul Ḥaq) dalam ajaran nabi-nabi kuno, di mana Adam sebagai tempat kembalinya dan memandang Nabi Idris yang diidentikkan dengan Hermes sebagai bapak-bapak filosof. (Abū al-Ḥukamā).89
Sementara itu, yang dimaksud filsafat Perennial oleh Seyyed Ḥossein Nasr adalah ibarat sebuah pohon, yang akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Ilahi dan daripadanya tumbuh batang dan cabang-cabangnya sepanjang zaman. Dengan demikian, filsafat Perennial adalah Tradisi yang bukan dalam pengertian mitologi yang sudah kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kanak-kanak, melainkan sebuah pengetahuan yang benar-benar riil.90 Selain filsafat Perennial, Seyyed Ḥossein Nasr juga bisa disebut sebagai Tradisi, Tradisi dalam pengertian yang hakiki.
kata sunah menjadi istilah yang mengacu kepada segala sesuatu yang berasal dari nabi, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Penggunaan kata sunah di sini pengertiannya sama dengan pengertian Hadis nabi.
Adapun Seyyed Ḥossein Nasr, menjelaskan Tradisi bukanlah seperti pengertian yang telah dikemukakan di atas, melainkan kata Tradisi bisa berarti al-dīn dalam pengertian seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan pencabangannya; bisa pula disebut sunah yaitu sebagai sesuatu yang sakral dan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di kalangan masyarakat tradisional, atau apa yang sudah menjadi Tradisi.
Bisa juga berarti al-silsilah, yaitu sebagai mata-rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia Tradisional kepada sumber, seperti tampak gamblang dalam sufisme.
Karenanya, Tradisi mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Ilahi dan dari pohon itulah tumbuh batang dan cabang-cabang yang tumbuh sepanjang zaman. Di jantung pohon Tradisi itu berdiam agama, dan sari patinya terdiri dari barakah yang bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, langgeng, tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsip-prinsip yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.94
Untuk lebih jelasnya, Tradisi dalam pengertian hakiki, menurut Seyyed Ḥossein Nasr, yaitu:
Tradition as usedin its technical sence in the work, as in allour other writings, means struth or principles of a devine origin revialed or unveiled to mankind and, in fact, a whole cosmic sector trough various figures envisaged as massengers, prophets, avataras, the logos or other transmitting agencies, along with all theramifications and aflications of these principles in different realms including low and social structure, art, symbolism, the sciences, and embracing of course supreme knowledge along with the means for its attainment.95
94Seyyed Ḥossein Nasr, Tradisional Islam In The Modern World, terj. Lukman Hakim. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Cet. I (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 3.
95Seyyed Ḥossein Nasr, Tradisional Islam, ibid., hlm. 67-68.
DU MM Y
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan Tradisi adalah kesejatian-kesejatian, atau prinsip-prinsip dari Yang Asal Ilahi (The Divine Origin) yang diwahyukan atau dibeberkan kepada manusia bahkan ke seluruh wilayah kosmis melalui berbagai pigur pilihan seperti rasul, nabi-nabi, avatar, logos, dan lain-lain.
Kesejatian tersebut juga mencakup pengetahuan tertinggi (supreme knowledge) sekaligus cara-cara untuk mendapatkannya.96
Selain pengertian tersebut, pengertian yang lebih universal, tradisi dapat juga dipandang meliputi prinsip-prinsip yang mengikat manusia dengan langit, yaitu agama dan berfungsi mengikat manusia dengan Yang Asal. Dalam pengertian yang lebih konkret, tradisi dapat dianggap sebagai aplikasi prinsip-prinsip tersebut, tradisi mengimplikasikan adanya kesejatian-kesejatian yang berkarakter supra individual yang berakar pada hakikat Realitas, sebagaimana dikatakan tradisi seperti halnya juga agama, terdiri atas dua unsur utama, yaitu kesejatian (truth) dan kehadiran (presence). Ia berkenaan dengan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Ia berasal dari sumber dan sekaligus tempat kembali segala sesuatu, “ibarat napas yang Maha Pengasih” yang menurut tradisi selalu terkait dengan unsur-unsurnya, berupa wahyu, agama, yang sakral, ide-ide ortodoksi, otoritas, kontinuitas dan regularitas transformasi kesejatian, dengan kehidupan eksoterik, esoterik dan spiritual juga dengan sains dan seni.
Jadi, tradisi yang dimaksudkan Seyyed Ḥossein Nasr tidaklah seperti yang direpresentasikan oleh para sosiolog, antropologi yang mendefinisikan tradisi sebagai adat istiadat, keyakinan, etika, moral yang diwarisi dari generasi ke generasi. Tradisi bukan pula lawan dari modern, tetapi tradisi menurut Seyyed Ḥossein Nasr adalah realitas ketuhanan yang asli yang diwahyukan kepada seluruh manusia dan segenap alam lewat perantaraan rasul, nabi, avatar dan logos dengan berbagai prinsip dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Dengan kata lain, tradisi ialah serangkaian prinsip-prinsip yang telah diturunkan dari langit, yang ketika diturunkan itu ditandai dengan sesuatu manifestasi Ilahi, beserta dengan penyerapan dan penyiaran prinsip-prinsip tersebut pada masa-masa yang berbeda dan kondisi-kondisi yang berbeda bagi
96Muhammad Sabri, Menemukan Kembali, Op. Cit., hlm. 44.
DU MM Y
masyarakat tertentu. Jadi, tradisi itu dengan sendirinya bersifat suci (tradisi suci).97
Tradisi dapat pula berarti cahaya kebenaran yang telah dianugerahkan kepada manusia sejak awal sejarah kelahirannya sampai sejarah kehidupannya berakhir. Tradisi adalah cahaya bagi kegelapan, makna dalam kekosongan, terang dalam bimbingan rohani di era materialis dan hedonis, cahaya dari logos yang tersembunyi, bersinar atas entitas yang kontingen, cahaya yang berasal dari Allah Swt., cahaya langit dan bumi.98 Oleh karenanya, makna Tradisi sebagai dasar agama bagi manusia menjadi sangat penting, ketika melihat fenomena kehidupan yang ditunjukkan manusia hari ini. Dahulu, manusia harus diselamatkan dari kejahatan alam, tetapi pada masa sekarang justru alam harus diselamatkan dari manusia dalam situasi perang dan damai. Jadi, kalau dikatakan Islam tradisional, berarti cenderung bertahan kepada semua amalan dan lebih menekankan kepada hubungan langsung antara manusia dengan Tuhan atau lebih terfokus kepada sebuah esensial spiritual.
Islam tradisional menerima Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya dan juga menerima komentar tradisional atas Al-Qur’an yang berkisar dari komentar-komentar linguistik dan historis hingga yang metafisikal. Islam tradisional mengintrepretasikan Al-Qur’an bukan berdasarkan makna literal dan eksternal, tetapi berdasarkan tradisi penafsiran yang sudah menjadi lazim di zaman Nabi Muhammad Saw. Islam tradisional mempertahankan syariat sebagai hukum Ilahi sebagaimana ia dipahami dan diartikan selama berabad-abad dan telah menjadi mazhab klasik hukum. Ia menerima kemungkinan ijtihad dan memanfaatkan alat-alat penerapan hukum lain dalam situasi-situasi yang baru muncul, namun selaras dengan prinsip-prinsip legal tradisional seperti qiyas dan ijma’.99 Berdasarkan konsep tradisi di atas, secara lebih rinci tradisionalis yaitu orang yang menerima Al-Qur’an sebagai firman Tuhan, baik dalam
97Seyyed Ḥossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 79.
98Seyyed Ḥossein Nasr,Islam dan Filsafat Perennial (Bandung: Mizan, 1993), hlm. vii.
99Syamsul Hidayat dalam Amir Mahmud, Penegakan Syariat Islam dan Refleksi HAM (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII; 2008), hlm. 5.
DU MM Y
bentuk isi maupun bentuk yang menerima kutub al-sittah. Keenam kumpulan hadis standar, yang memandang ṭariqah atau tasawuf sebagai dimensi batin atau jantung pewahyuan Islam, yang percaya tentang islamitas seni Islam dalam hubungannya dengan dimensi batin Islam yang dalam segi politik selaluberangkatdarirealisme sesuai dengan norma-norma Islam.100
Alasan tradisionalis bersikeras untuk mengukuhkan pertentangan antara tradisi dan modernism, tidak lain karena sifat modernisme telah menimbulkan citra yang sama di bidang religius dan metafisika, yaitu menampakkan yang setengah benar sebagai kebenaran. Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai mahluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisance, tetapi sebagai makhluk suci yang tak lain adalah manusia tradisional.
Manusia suci kata Seyyed Ḥossein Nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal dan pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.101