• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selanjutnya Seyyed Ḥossein Nasr menambahkan, bahwa manusia modern memperlakukan alam sebagai pelacur. Mereka menikmati dan mengeksploitasi alam demi kepuasan dirinya tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab apa pun. Alam diperas kenikmatannya tanpa pernah dipedulikan nasibnya apalagi dipelihara.88 Manusia sangat senang memompa air dari tanah tanpa mau membuat sumur resapan, menebang pepohonan tanpa membuat kompensasi pada tanah. Terkadang alam hanya dihargai sebagai tempat sampah, namun alam selama ini begitu sabar. Selama ini alam terus-menerus dipaksa berbakti kepada manusia, memberi air terjernih dan buah-buahan terlezat tanpa pernah diberikan haknya.89

Seyyed Ḥossein Nasr melihat, kondisi manusia modern sekarang mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar dan bersifat spiritual, mereka gagal menemukan ketenteraman batin, berarti tidak ada keseimbangan dalam diri. Hal ini akan semakin parah apabila tekanannya pada kehidupan materi semakin meningkat, akibatnya, keseimbangan semakin rusak. Oleh karena itu, manusia modern memerlukan agama untuk mengobati krisis yang dideritanya.90 Dari sikap mental yang sedemikian itu, kehadiran IPTEK telah melahirkan sejumlah prolema masyarakat.

Berikut ini akan dikemukakan problem atau krisis yang dihadapi manusia pada abad modern, secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu:

kehampaan spiritual dan kehilangan visi keilahian.

semakin dilupakannya dimensi-dimensi keilahian, maka mau tidak mau pandangan, serta sikap hidup keagamaan harus dihidupkan kembali dalam kehidupan mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Seyyed Ḥossein Nasr:

Hajat untuk menangkap kembali pandangan tentang pusat (centre) bagi manusia modern lebih mendesak. Hal ini tampak pada dunia khayal yang mereka ciptakan di sekeliling mereka sendiri, sehingga melupakan hilangnya nilai transendental dalam kehidupan mereka.91

Untuk membedakan pandangan hidup manusia tradisional dengan manusia modern, Herlihy juga menggunakan dua istilah yang khas yaitu: hijab dan ilusi. Hijab dan ilusi adalah dua hal yang bertentangan dalam kebijaksanaan manusia; hijab melindungi kebenaran, sementara ilusi mengaburkannya. Allah menciptakan hijab misalnya antara materi dan roh, atau antara dunia yang terlihat dan dunia yang tak terlihat.

Manusia tradisional mencoba untuk memelihara hijab itu, sementara manusia modern berusaha untuk menghilangkan atau menghapusnya.92 Akibatnya, manusia modern yang telah menciptakan ilusi memandang dunia ini sebagai realitas kehidupan yang sebenarnya. Karena itu, manusia modern memahami hidup di dunia ini merupakan suatu kehidupan yang final. Sebaliknya, manusia tradisional berpendapat bahwa dunia ini sementara dan ada kehidupan lain yang merupakan kehidupan sesungguhnya.93

Selain itu, Seyyed Ḥossein Nasr, juga mengatakan bahwa dunia modern menjadi tempat kehidupan manusia dalam situasi profan terlepas dari nilai-nilai dasar, tempat aspek psikis manusia dipisahkan dari jiwanya yang berperan sebagai sumber kehidupan manusia itu sendiri, dan pengalaman ruang dan waktu, telah berubah seluruhnya, dan tempat rawa keterikatan dengan Yang Maha Mutlak pelan-pelan telah menghilang.94

Sinyalemen atau vonis seperti yang dikemukakan di atas, bukan hanya keluar dari Seyyed Ḥossein Nasr. Banyak pemikir lain yang bicara senada, bahwa salah satu akibat memuncaknya paham rasionalisme dan

91Seyyed Ḥossein Nasr, Man and Nature, Op. Cit., hlm. 47.

92 Herlihy, Citra Manusia Kontemporer, Terpenjara dalam Pengasingan, dalam Ulumul Qur’an, No. 5.vol. IV, tahun 1993’, hlm. 96.

93Ali Maksum, Tasawuf, Op. Cit., hlm. 85.

94Seyyed Ḥossein Nasr, Man and Nature, Op. Cit., hlm. 51.

DU MM Y

teknologi ultramodern adalah persepsi dan apresiasi tentang Tuhan dan kebertuhanan tidak lagi mendapat tempat yang terhormat. Ungkapan lain dari Peter L Berger mengatakan, bahwa nilai-nilai supernatural telah lenyap dalam dunia modern. Lenyapnya nilai-nilai tersebut diungkapkan dalam suatu rumusan yang agak dramatis “sebagai Tuhan telah mati”

atau berakhirnya zaman Kristus.95

Sinyalemen di atas, diperkuat dengan terjadinya kepingan-kepingan ilmu yang mengarah pada spesialisasi, sehingga jika semua berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan penunjuk jalan yang mengatasi semuanya, maka manusia semakin jauh dari pengetahuan (kearifan) akan kesatuan alam semesta. Bahkan sebaliknya, bisa jadi mendatangkan benturan antara satu dengan yang lain, akibat telah menjeratkan dirinya pada rasionalitas teknologi secara absolut, netral nilai keagamaan tetapi sarat nafsu penaklukan. Perkembangan semacam ini, diisyaratkan Seyyed Ḥossein Nasr sebagai manusia modern telah memanggang tangannya dalam kobaran api yang dinyalakannya sendiri, disebabkan dirinya lupa siapa dia sesungguhnya.96

Untuk keberhasilan penaklukan itu, terlalu mahal korban yang harus dikeluarkan oleh manusia sendiri, sementara kesadaran, baru muncul untuk membuktikan bahwa manusia harus berdamai dengan alam manakala masih menginginkan masa depan kehidupan yang lestari. Prestasi teknologi modern, bagaimana pesatnya, hanyalah sedikit pengungkapan dan penaklukan alam yang akbar ini. Dalam pada itu, jangankan ilmu dan teknologi berpretensi ingin memahami dan menaklukkan alam semesta, sedangkan fenomena planet bumi dengan seluruh penghuninya saja masih terlalu banyak yang tersisa untuk diketahuinya. Oleh karenanya, sangat tepat peringatan Schumacher ketika ia menulis, “Ilmu tidak dapat melahirkan ide yang dapat kita pergunakan untuk hidup. Ide terbesar dari ilmu tak lebih dari hipotesa yang berfaedah untuk tujuan penelitian khusus, tetapi sama sekali tidak dapat diterapkan pada penyelenggaraan hidup atau pada penafsiram dunia.97

95Peter J. Berger dalam Dawam Raharjo, Insan Kamil, Op. Cit., hlm. 189.

96Ibid., hlm. 191.

97Ibid., hlm. 192.

DU MM Y

Seyyed Ḥossein Nasr menekankan, tidak ada jalan lain untuk menciptakan intergitas manusia dan alam, kecuali manusia harus berada dalam titik pusat, mengambil jarak dari kenyataan yang senantiasa berubah dan serba profan. “Takut akan Tuhan adalah permulaan (dasar) kebijakan”. Pangkal segala kebajikan dan kearifan adalah pengenalan, ketakutan, tetapi juga sekaligus cinta kepada Allah.