• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hilangnya Orientasi Hidup yang Bermakna

b. Kehilangan Visi Keilahian

3) Hilangnya Orientasi Hidup yang Bermakna

Hidup yang bermakna maksudnya manusia membutuhkan sesuatu demi hidupnya. Bahkan ada yang merasa bahwa ada sesuatu yang untuknya mereka rela mati. Makna dan nilai-nilai hidup bukan mendorong manusia berbuat, melainkan menarik dan menawarkan pada manusia untuk dipenuhi.105

Dalam psikologi Frankl disebut dengan neurosis noogenik. kondisi ini dimulai dari perasaan hampa, jenuh, bosan, putus asa, kehilangan minat dan inisiatif, hidup hanya dirasakan sebagai rutinitas belaka, tugas sehari-hari dirasakan sangat menjenuhkan, kehilangan, merasa tidak pernah mencapai kemajuan, sikap acuh tak acuh terhadap kondisi di sekeliling, minimnya rasa tanggung jawab terhadap diri dan lingkungan, serta tidak berdaya menghadapi kehidupan.

Selanjutnya, bila upaya untuk mencari makna hidup terganggu, maka bisa berubah menjadi keinginan besar untuk berkuasa, dibarengi dengan keinginan memperoleh kekayaan dan dibarengi dengan keinginan untuk mencari kesenangan. Teori ini diungkapkan oleh Frakl, sekaligus mengkritik konsep psikologi modern yang lebih suka mencari solusi kehidupan dengan mengatakan bahwa yang dibutuhkan manusia modern adalah hidup tanpa tekanan. Sementara Frankl mengatakan bahwa yang terpenting adalah upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna.106

Pada umumnya, masyarakat modern tidak tahu lagi untuk apa mereka dihidupkan, sebagaimana mereka juga tidak tahu bahwa sesudah mati

105Ilham Nur Alfian dalam Koeswara, E. Psikologi Eksisitensial, Suatu Pengantar (Bandung: Eresco, 1987), hlm. 7.

106Ibid., hlm. 168.

DU MM Y

mereka akan dibangkitkan kembali untuk dimintai pertanggungjawaban dan menerima balasan dari amal perbuatan mereka di alam dunia.

Peradaban modern yang dibangun dan dikembangkan oleh dunia Barat, di atas landasan paham materialisme dan sekuler, telah menyebabkan masyarakat modern telah kehilangan orientasi hidup yang bermakna dan pegangan moral yang kokoh, karena mereka mengingkari hal-hal yang bersifat metafisis dan gaib, seperti adanya Tuhan pencipta alam, rasul yang menerima wahyu, kehidupan di alam akhirat; dan nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak karena semua ini tidak dapat di observasi oleh pancaindra dan berada di luar jangkauan metode ilmiah empirisme dan rasionalisme.107

Mereka tidak mau tahu tentang ajaran-ajaran agama yang mengatur kehidupan mereka. Tujuan hidupnya hanya terbatas pada pencapaian sasaran-sasaran yang bersifat material dan duniawi. Yang terpenting bagi mereka adalah bekerja, mencari uang, dan bersenang-senang.

Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, yang ada dalam benaknya adalah bekerja dan mencari uang.

Manusia modern menganggap bahwa manusia hanya terdiri dari unsur jasmani dan tidak memiliki rohani, kehidupan manusia hanya berlangsung di alam dunia, tidak ada kehidupan lagi setelah mati, kebahagiaan hidup yang hakiki adalah mencapai kepuasan jasmaniyah tanpa menghiraukan spiritualitas; mereka tidak percaya dengan adanya Allah Swt., dan hal-hal gaib yang hanya dapat didekati dengan iman.

Akibatnya, mereka mengalami disorientasi kehidupan, karena tidak mengetahui tujuan hidup yang hakiki, untuk apa mereka dihidupkan.

Akibatnya, mereka tidak segan-segan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Sesudah mendapatkan uang, mereka mencari berbagai kesenangan, untuk memperturutkan hawa nafsunya dengan berjudi, mengunjungi diskotik, bar, night club, mengonsumsi minuman keras, berzina dan sebagainya.

Akibat dari pandangan dan orientasi hidup materialistik tersebut, maka terjadilah pergeseran tata nilai dari semangat mementingkan kepuasan rohani yang berjangka panjang kepada kepuasan hedonistik sesaat.108

107Mustolah Maufur, Islam Pradaban, Op. Cit., hlm. 23.

108Yūsuf al-Qarḍāwi, Umat Islam, Op. Cit., hlm. 42.

DU MM Y

Gambaran tersebut benar-benar telah terjadi pada masyarakat modern di Barat, dan dalam kadar tertentu juga telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam pada itu, manusia terjebak pada sikap konformisme (melakukan apa yang dilakukan orang lain), atau melakukan apa yang diinginkan orang lain dari dirinya (totalitarianisme).

Menurut Frankl manusia tersebut mengalami “kehampaan eksistensi.”109 Dalam ilmu psikologi disebutkan bahwa bila upaya untuk mencari makna hidup terganggu, maka bisa berubah menjadi keinginan besar untuk berkuasa, dibarengi dengan keinginan memperoleh kekayaan dan untuk mencari kesenangan. Teori ini diungkapkan oleh Frakl, sekaligus mengkritik konsep psikologi modern yang lebih suka mencari solusi kehidupan dengan mengatakan bahwa yang dibutuhkan manusia modern adalah hidup tanpa tekanan. Sementara Frankl mengatakan bahwa yang terpenting adalah upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna.110

Masyarakat modern telah mengalami perubahan sosial yang sangat drastis yang dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut.

Pertama, meningkatnya kebutuhan hidup. Kalau pada masyarakat agraris tradisional, manusia sudah merasa puas jika telah tercukupi kebutuhan primernya yang terdiri dari pangan, sandang dan papan (perumahan) secara sederhana, maka pada masyarakat modern hal itu belum memenuhi kebutuhan primernya secara “wah” sehingga dapat meningkatkan prestisenya. Hal-hal yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer, seperti elektronik dan berbagai hasil teknologi yang menjanjikan kemudahan hidup berubah menjadi kebutuhan primer

109Salah satu contoh yang dialami oleh seorang ahli psikoterapi terkemuka Jerman keturunan Yahudi di era Nazi (Frankl). Frankl adalah salah seorang dari sekian juta tahanan yang berhasil bebas dari kamp Auswichwitz yang mengerikan.

Dalam kamp itu, orang tua Frankl, saudara dan istrinya dan semua keluarganya meninggal di kamar gas dari kekejaman Nazi. Pengalaman inilah yang dijadikan modal utama dalam proses pembentukan teori “logoterapi” nya yang memusatkan perhatiannya pada makna hidup dan upaya manusia untuk mencari makna hidup.

Toeri ini percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam hidup seseorang merupakan motivator utama setiap orang untuk meraih makna hidup yang lebih berharga. Keinginan untuk mencari kesenangan, atau perjuangan untuk mencari keunggulan bukanlah hal yang mendasar dari esensi persoalan manusia.

Keduanya hanyalah bentuk terselubung dari persoalan dasarnya yakni kehampaan eksistensi.lihat Viktoe E Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi; Analisa Logoterapi (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2008), hlm. 61.

110Syamsuri, Op. Cit., hlm. 212.

DU MM Y

yang “harus terpenuhi”. Akibatnya, kehidupan orang-orang modern selalu disibukkan dengan mengejar materi-materi dan prestise, sehingga membawa mereka pada hidup seperti mesin yang tidak mengenal istirahat. Bahkan lebih jauh lagi, untuk memenuhi kebutuhannya tadi, mereka bersedia melakukan apa saja, walaupun harus mengorbankan orang lain dan melanggar norma-norma yang ada, seperti korupsi, kolusi dan manipulasi. Akibatnya timbullah kegelisahan yang tidak jelas ujung pangkalnya, sehingga menghilangkan rasa bahagia dalam hidup.111

Dalam psikologi Frankl disebut dengan neurosis (jenis penyakit mental atau rasa kecemasan yang kronis) noogenik, kondisi ini dimulai dari perasaan hampa, jenuh, bosan, putus asa, kehilangan minat dan inisiatif, hidup hanya dirasakan sebagai rutinitas belaka, tugas sehari-hari dirasakan sangat menjenuhkan, kehilangan, merasa tidak pernah mencapai kemajuan, sikap acuh tak acuh terhadap kondisi di sekeliling, minimnya rasa tanggungjawab terhadap diri dan lingkungan, serta tidak berdaya menghadapi kehidupan. Kedua, timbulnya rasa individualis dan egois. Karena kebutuhan hidup meningkat, ditunjang dengan alat-alat elektronik, maka orang merasa dapat hidup tanpa bantuan orang lain. lebih mementingkan diri sendiri dari pada orang lain.

Hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang semula erat dan kuat, kini cenderung menjadi longgar dan rapuh. Urusan orang lain tidak lagi menjadi perhatian, sehingga mereka akan merasa kesepian dalam hidup ini. Semua hubungan dengan orang lain didasarkan pada kepentingan motif profit, bukan hubungan persaudaraan yang didasarkan pada rasa kasih sayang dan saling mencintai. Seperti hubungan atasan dengan bawahan, dokter dengan pasien, buruh dengan majikan, dosen dengan mahasiswa dan sebagainya. Akibatnya timbullah rasa individualitas, egois.

Rasa kesetiakawanan semakin menipis (solidaritas sosial), yakni, pola kehidupan golongan elit yang umumnya sangat konsumerisme dan aspirasi-aspirasinya lebih dekat pada pola hidup masyarakat di kota-kota metropolitan di berbagai negara industri. Golongan elit telah mengesampingkan rasa kesetiakawanan sosial, khususnya masyarakat kota yang tidak peduli dengan kesulitan yang menimpa orang lain.

Begitu mudahnya mengeluarkan uang jutaan rupiah hanya untuk

111Ibid.

DU MM Y

membuat kue-kue yang akan dipamerkan untuk mendapatkan MURI (Mesium Rekor Indonesia), padahal masih berjuta-juta manusia yang hidup serba kekurangan, tanpa makanan dan pakaian yang layak. Ketiga, berkembangnya persaingan secara tidak sehat. Akibat dari kebutuhan hidup yang meningkat yang menyebabkan manusia bersikap individualis dan egois, maka berkembanglah persaingan secara tidak sehat, seperti memfitnah, menyengsarakan, membunuh dan menjerumuskan orang lain ke penjara semata-mata untuk meraih keuntungan pribadi.

Akibatnya, kebutuhan-kebutuhan sosial menjadi berantakan dan persahabatan berubah menjadi permusuhan.112