• Tidak ada hasil yang ditemukan

apabila hal itu sudah diperoleh, alam wujud menjadi terbatas di dalam persepsi jiwa. Mereka dapat menyingkap esensi wujud dan menyaksikan hakikat-hakikatnya. Demikianlah pendapat al-Ghazālī di dalam kitab al-Ihyā’ Ulūm al-Dīn sesudah menyebutkan bentuk riyadhah.

4) Theology, Philosophy and Spiritually, Buku ini berisi pembahasan tentang teologi sejak lahirnya sampai ke teologi Syi’ah.84

5) Man and Nature, The Spiritual Crisis Of Man. buku ini adalah kumpulan ceramah Seyyed Ḥossein Nasr di Chicago University, atas promosi Rockefeller Foundation, tidak lama setelah menyelesaikan tugasnya di Aga Khan. Buku ini berawal dari makalah Seyyed Ḥossein Nasr yang berjudul “Ennauntet of Man and Nature, yang ditulisnya ketika menjadi presiden Aga Khan. Karya ini merupakan respon, kepedulian sekaligus keprihatinannya atas peradaban dunia modern yang dianggap sudah berada di ambang batas kehancuran, akibat bangunan ilmu sekuler manusia dan tindakannya yang tanpa memperhatikan keseimbangan semesta. Dalam buku ini, Seyyed Ḥossein Nasr menyerukan solusi agar prinsip-prinsip kearifan tradisional, ditumbuhkan kembali ke dalam segala aspek kehidupan modern, termasuk sains.

6) Living Sufisme. Dalam pengantar buku ini, seyyed Ḥossein Nasr mengemukakan fakta adanya kecenderungan Barat yang sedang mengalami disintegrasi dengan dunianya yang mendorongnya gandrung pada kehidupan spiritual, namun terjebak pada pseudo spiritual. Dalam buku ini Seyyed Ḥossein Nasr menunjukkan spiritualitas Islam berupa tasawuf, ia mengemukakan peranan tasawuf dalam sejarah Islam mulai dari pemerintahan hingga seni.

Dengan mengikuti tasawuf, orang bisa mematikan nafsu kedirian yang menjadi akar segala krisis.

7) Islam and the Plight of Modern Man (tahun1976 M) buku ini menyajikan kritik Nasr terhadap peradaban modern, serta masalah-masalah yang dihadapi oleh pemikiran modernis Muslim dan kebutuhan yang diperlukan. Dalam buku ini pula, Seyyed Ḥossein Nasr membahas teori tentang centre atau axis (sumbu atau poros) dan peripheri atau rim.

8) Islamic Science and Illustrated Study dan Annoted Bibliography of Science, ditulis sampai tiga volume. Volume I terbit pada tahun 1975 M Volume II terbit pada tahun 1978 M dan volume III, terbit tahun 1991 M. Secara umum, kedua buku itu berisi penolakan terhadap

84Seyyed Ḥossein Nasr, Intelektual Islam, Theologi, Philosophy and Spiritually, terj.

Suharsono Intelektual Islam, Teologi, filsafat dan Gnosis, Cet. I (Yogyakarta: 1995), hlm. 7.

DU MM Y

tuduhan, bahwa Islam hanya mewarisi ilmu dari kebudayaan dari bangsa-bangsa terdahulu, tidak memiliki originalitas. Menurut Seyyed Ḥossein Nasr, ide dan gagasan dari berbagai sumber yang diserap umat Muslim walaupun asing secara historis, namun berkaitan dengannya. Dengan kata lain, sepanjang sejarah mereka selalu mengekspresikan kesatuan alam, dengan demikian, mereka berada dalam satu jalinan konformitas dengan semangat Islam.

9) Islamic Life and Thought, dalam buku ini dijelaskan tentang penolakan Seyyed Ḥossein Nasr tentang tuduhan bahwa sufisme sebagai penyebab kemunduran Islam. Menurutnya, sufisme bukan penyebab kemunduran Islam, tetapi kelompok rasionalis dan puritan seperti: Waḥabisme di Arabia dan gerakan ahli hadis di India yang banyak menghancurkan perilaku sufisme. Menuduh dan menolak sufisme sama artinya dengan mereduksi Islam, sampai yang tinggal hanya syari’atnya, sehingga Islam tidak mempunyai kekuatan yang bisa menandingi Barat, secara intelektual maupun militer.85 Hal ini berarti telah mematikan gerakan Islam.

10) The Transcendent Theosophy of Shadr al-Din Syirazi (tahun 1978 M), buku ini membahas tentang karakteristik filsafat yang dikembangkan oleh filosof Muslim yang selalu bersumber pada wahyu. Dijelaskan pula bahwa filsafat Islam tidak hilang bersamaan dengan meninggalnya Ibnu Rusyd. Dalam buku ini pula, diperkenalkan filsafat Mulla Sadra yang dalam pandangan Seyyed Ḥossein Nasr, dianggap sebagai tokoh penyambung filsafat Islam sepeninggal Ibnu Rusyd.

11) Islamic Science an Illustrated Stud`y, buku ini menjelaskan tuduhan yang dialamatkan kepada umat Islam, bahwa Islam hanya mewarisi ilmu dan kebudayaan dari bangsa-bangsa sebelumnya. Buku ini merupakan pelengkap bagi disertasinya.

12) Knowledge and Secred and the Need for a Secred Science, dua buku ini cukup representatif untuk memahami beberapa pandangan Seyyed Ḥossein Nasr di bawah bendera filsafat perenial. Buku ini menggambarkan kekayaan pemikirannya dalam bidang tradisi, baik yang yang menyangkut bidang sufistik, filosofis, teologis maupun saintifik yang menempatkannya sejajar dengan Schoun dan Houtson Smith.86

85Waryono Abdul Ghafur, Seyyed Ḥossein Nasr, Op. Cit., hlm. 384.

86Ibid., hlm. 385.

DU MM Y

13) Western Sains and Asia Tradition. Dalam buku ini, digambarkan pernyataan Seyyed Ḥossein Nasr yang menggelora, langsung dan tak kenal kompromi dari seorang Muslim yang yakin akan kelahiran kembali peradaban Islam pada masa mendatang.87

14) Traditional Islam in the Modern World (tahun 1987 M), buku ini berisi uraian pandangan Seyyed Ḥossein Nasr tentang apa itu Islam tradisional dan bagaimana pertentangannya dengan dunia modern.

Dalam buku ini, Seyyed Ḥossein Nasr tampak berkonsentrasi pada pertentangan Islam tradisional dengan manifestasi revivalis dan fundamentalismenya, sekaligus berurusan dengan isu-isu signifikan bagi dunia Islam dan pemahaman Barat tentang Islam.

Karya ini dimulai dari pengkajian fase-fase dasar tradisi Islam, kemudian dilanjutkan dengan konfrontasi dan ketegangan antara Islam tradisional dengan modernisme. Di akhir buku itu, Seyyed Ḥossein Nasr menyajikan sebuah bahasan tentang kecenderungan dunia Islam masa kini dan bagaimana arah gejala ini berkembang di masa depan. Penulisan buku ini dimotivasi oleh banyaknya orientalis yang mengkaji Islam, namun sering kali melakukan reduksi terhadap ajaran-ajaran Islam, khususnya Islam tradisional.

Untuk itu perlu ditampilkan prinsip-prinsip Islam tradisional dari sumber pertama, bukan melalui tulisan tangan kedua seperti orientalis.88

15) Islamic Studies, buku ini berisi kumpulan makalah yang disampaikan dalam beberapa forum Internasional di berbagai negara. Temanya meliputi hukum, masyarakat, ilmu, filsafat dan sufisme.

16) Islamic Art and Spiritually and Philosophy, Literature and Fine Art (tahun 1987 M), kedua buku ini, Seyyed Ḥossein Nasr ingin memperkenalkan bahwa seni dalam Islam berdasarkan gagasan tentang tauhid, yang menjadi inti dari wahyu Islam. Seyyed Ḥossein Nasr mengungkapkan bahwa seni merupakan “teologi yang diam,”

yang mencerminkan ke dalam kesadaran keagamaan seseorang, dan karenanya bersifat abstrak. Dalam menjelajahi kaligrafi, seni lukis, arsitektur, musik, sastra dan seni lainnya, Seyyed Ḥossein

87Seyyed Ḥossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: New American Library, 1965), hlm. vii.

88Ali Maksum, Tasawuf, Op. Cit., hlm. 62.

DU MM Y

Nasr menembus dimensi batin Islam dan menunjukkan betapa seni Islam memainkan peran penting dalam masyarakat manusia, suatu peran yang membangkitkan zikir dan tafakkur tentang Tuhan.89 17) Religion and Religions, The Challenge of Living an a Multireligious World

(tahun 1991 M), buku ini sebenarnya merupakan pemikiran Seyyed Ḥossein Nasr yang lebih sistematis dan sebagai kelanjutan pemikiran, yang telah dikemukakan sebelumnya dalam rangka mencari titik temu agama-agama.

18) Islam in Contemporary Society and Traditional Islam in the Modern World, kedua buku ini merupakan kelanjutan dari proyeknya yang mengkaji pandangan Islam yang bertentangan dengan dunia modern.

19) Muhammad Man of Allah (tahun 1993 M), dalam buku ini dijelaskan bahwa ajaran nabi selalu memberi keseimbangan antara kesempurnaan batin dan perbuatan lahir. Selain menulis buku-buku sebagaimana disebutkan di atas, Seyyed Ḥossein Nasr juga aktif sebagai editor bersama Oliver Leman dan lain-lain. Beberapa buku hasil editor beliau: The Essential Writings of Frihtjob Schoun, Expectation of the Millinium, Islamic Spirituality Foundation, Islamic Spirituality Manifestation, History of Islamic Philosophy.90

Karya Seyyed Hosein Nasr sebagaimana disebutkan di atas, menggambarkan pemikirannya berkisar pada tema-tema: sains Islam, filsafat, krisis yang dialami dunia modern, pemikiran Islam dan sufisme.

Sebagai ilmuwan, Seyyed Ḥossein Nasr melakukan kritik-kritik yang berdasarkan pada prinsip-prinsip metafisis dan religius.91 Meski kritiknya kadang-kadang agak radikal, Nasr berprinsip bahwa seseorang tidak bisa menerima atau menolak sesuatu yang tidak diketahui, juga tidak boleh membuang sesuatu yang tidak dimiliki, jika hal itu suatu kebenaran.92

Gagasan Seyyed Ḥossein Nasr tergambar pada adanya dua arus pemikiran yang berlawanan, yakni antara paham metafisika Barat dan Timur. Awalnya mengalami “ketegangan idiologi,” kemudian Seyyed

89Ibid., hlm. 63.

90Waryono Abdul Ghafur, Seyyed Ḥossein Nasr, Op. Cit., hlm. 386.

91Seyyed Ḥossein Nasr, Islam and The Plight of The Modern Man, terj. Anas Mayhudin, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Cet. I (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 214.

92Ibid., hlm. 238-239.

DU MM Y

Ḥossein Nasr mengambil sikap sebagai pengritik Barat yang paling vokal. Pilihan sikapnya ini bahkan sudah tumbuh ketika studi di Harvard, sehingga pandangan-pandangannya berkaitan dengan dunia modern sudah terbentuk lama dan matang. Sikap kritisnya itu diwarisi dari filsuf Prancis Rene Geuneon93 Beliau inilah yang menulis buku tentang situasi dunia modern dewasa ini, diantaranya: Crisis of Modern World (tahun 1972 M) dan The Reign of Quality and the Sign of the Times.94 Sementara Seyyed Ḥossein Nasr, posisinya sebagai juru bicara, baik kapada dunia Timur maupun dunia Barat. Kepada dunia Barat Nasr menawarkan Islam (Islam tradisional). Tradisi yang dimaksudkan Seyyed Ḥossein Nasr, bukan dalam pengertian kebiasaan, adat-istiadat atau penyampaian ide-ide dari suatu generasi ke generasi, tetapi serangkaian prinsip yang diturunkan dari langit yang ditandai dengan suatu manifestasi ilāhi.95

Tradisi bisa pula diartikan al-dīn dalam pengertian yang seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama. Bisa pula berarti sunnah.

Islam tradisional yang dimaksudkan Seyyed Ḥossein Nasr itulah yang membedakan antara Islam fundamentalisme dan Islam modernisme.

2. Metode Berpikirnya a. Metode Komparatif

Metode komparatif adalah suatu metode yang diperlukan untuk melakukan studi perbandingan, yang berarti antara tradisi-tradisi religius dan metafisis di Timur dan Barat. Disiplin ini terlepas dari apa yang saat ini disebut sebagai filsafat komparatif merupakan suatu disiplin yang berusaha mempelajari warisan intelektual dari tradisi-tradisi Timur dan Barat.96

Menurut Seyyed Ḥossein Nasr apabila metode komparatif ini dipakai dalam kajian keagamaan, maka akan melahirkan bidang studi perbandingan agama. Dari pendekatan ini, dapat membuat

93Filosof ini masuk Islam dan beralih nama dengan Sheikh Abdul-Wahed Yahyah. Pindah ke Kairo dan menikah dengan wanita Mesir. Lihat Seyyed Ḥossein Nasr “Knowledge and Sacred, Op. Cit., hlm. 115.

94Seyyed Ḥossein Nasr, Nestapa Manusia, Op. Cit., hlm. 116-117.

95 Ibid, hlm. 79.

96Ibid, hlm. 49.

DU MM Y

perbandingan antara doktrin-doktrin mistik dan esoteris agama-agama Timur dan Barat. Lewat kajian ini pula, lahir satu bidang ilmu yang dinamakan sebagai “mistisisme komparatif”, yang dalam realitasnya adalah salah satu aspek dari studi perbandingan agama.97 Kemudian apabila metode ini dipraktikkan dalam bidang sains dan filsafat atau metafisika, maka akan dapat diketahui sumber dari bidang-bidang tersebut, apakah bersumber dari hasil proses pemikiran semata (berdasarkan fakta-fakta), atau dari proses penglihatan spiritual.

Metode ini, diterapkan Seyyed Ḥossein Nasr untuk mempelajari pemikiran dan filsafat yang berkembang di Barat dan Timur. Dari hasil kajiannya, Seyyed Ḥossein Nasr sampai pada kesimpulan bahwa pemikiran dan filsafat yang berkembang di Barat sudah terlepas dari tradisi agamanya. Sementara dari hasil kajiannya tentang pemikiran dan filsafat di Timur, Seyyed Ḥossein Nasr menemukan kekayaan spiritual yang melandasi setiap pemikiran yang muncul. Dari hasil komparasi ini, Seyyed Ḥossein Nasr menyarankan agar doktrin-doktrin Timur dapat memenuhi tugas yang paling penting, dan mendesak, serta mengingatkan Barat kepada kebenaran-kebenaran yang pernah ada dalam tradisinya sendiri yang sekarang dilupakan oleh pemikir-pemikirnya.98

Tujuan akhir dari metode komparatif ini, menurut Seyyed Ḥossein Nasr untuk tercapainya saling pengertian antara Timur dan Barat dan menghilangkan ketegangan yang selama ini muncul, yaitu titik temu yang tidak didasarkan pada sifat manusia yang senantiasa berubah atau humanisme tertentu, tetapi berdasarkan institusi intelektual dan pengalaman spiritul yang merupakan buah dari doktrin-doktrin metafisis yang memungkinkan tercapainya titik temu, yang dalam transendensinya meliputi Barat dan Timur.99

97Ibid.

98Ibid., hlm. 54.

99Ibid.

DU MM Y