• Tidak ada hasil yang ditemukan

b. Aliran-aliran Filsafat sesudah Renaissance

4) Positivisme

Salah satu pilar lain yang turut membangun dan membentuk modernisme adalah aliran Positivisme. Positivisme ini lahir pada abad ke-19 sebagai efek dari revolusi industri di Inggris pada abad ke-18.

Positivisme berasal dari kata positif yang artinya yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu, metafisika, etika, teologi, seni, ditolak yang melampaui fenomena yang teramati.54

Menurut Auguste Comte positivisme mengandung beberapa arti yaitu: pertama; sebagai lawan atau kebalikan dari sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat positivisme dalam menyelidiki objek sasarannya, didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau, tidak akan dijadikan sasaran penyelidikan. Kedua;

sebagai lawan atau kebalikan dari sesuatu yang tidak bermanfaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa di dalam filsafat positivisme, segala sesuatu harus diarahkan kepada pencapaian kemajuan. Filsafat tidak hanya berhenti sampai pada pemenuhan keinginan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau pengertian mengenai barang sesuatu saja. Ketiga; sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti, hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus sampai pada suatu keseimbangan logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat. Keempat; sebagai lawan atau kebalikan dari sesuatu yang kabur, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu

53Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Op. Cit., hlm. 155.

54Ahmad Tafsir, Filsafat, ibid., hlm. 109.

DU MM Y

yang jelas atau tepat. Hal ini sejalan dengan ajarannya yang menyatakan bahwa dalam pemikiran filsafat, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala yang nampak maupun mengenai apa yang sebenarnya kita butuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya mempertahankan disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada kekuatan adikodrati. Kelima; Sebagai lawan atau kebalikan dari sesuatu yang negatif, maka pengertian “positif” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya yang selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.55

Lebih lanjut Auguste Comte, mengatakan bahwa perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu aliran telogis, aliran metafisik dan aliran positif. Ketiga tahap tersebut, tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi seluruh ilmu pengetahuan. Pengetahuan positif yang merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan dapat dikatakan positif, apabila ilmu pengetahuan memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret.56

Jadi, semua kebenaran metafisika ditolak, karena tidak bisa dibuktikan dalam kenyataan. Oleh karena itu, agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur, dan dianalisa, serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Positivisme membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan dapat dibuktikan kebenarannya.

Menurut pendekatan ini, semua yang diketahui akhirnya berasal dari pengetahuan indrawi atau data empiris “Pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Fakta dimengerti sebagai fenomena yang dapat diobservasi. Positivisme ini terkait dengan empirisme. Akan tetapi empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, sementara positivisme sama sekali menolak. Yang dianggap pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriyah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan

55Koento Wibisono, Arti Perkembangan menurut Filsafat Positivisme August Comte (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 37-38.

56Soejono Soemargono, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Cet. I (Yokyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 67.

DU MM Y

dalam pencerahan Prancis. Agust Comte (tahun 1798 M-tahun 1858 M) yang digelar bapak positivisme, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat, serta diarahkan untuk mencapai kemajuan.

Abad ini merupakan suatu zaman yang diatur oleh cendekiawan dan industriawan.57

Positivisme dianggap sebagai tonggak kemajuan sains di dunia ini, yang mendasarkan diri pada pengetahuan empiris (pengetahuan yang diangkat dari pengalaman nyata dan dapat diuji kebenarannya).

Ilmu pengetahuan diarahkan untuk membangun peradaban manusia dengan cara penguasaan terhadap alam semesta. Teknologi-teknologi canggih diciptakan, penelitian-penelitian besar dilakukan, sehingga agama yang dianggap tidak bisa diverifikasi dianggap omong kosong harus dijauhkan. Sekalipun akhirnya kemajuan ilmu pengetahuan yang dibanggakan, lalu menimbulkan malapetaka. Misalnya perusakan lingkungan, karena eksploitasi yang berlebihan untuk menguasai alam, perang dunia yang mengerikan, serta tunduknya manusia pada rasionalitas teknologis. Teknologi yang pada awalnya hanya sarana untuk kehidupan manusia, kini menjadi tujuan manusia itu sendiri.

Manusia diperbudak oleh kemajuan yang mereka buat sendiri. Senjata dan amunisi mendorong keinginan untuk berperang, televisi dan iklan menimbulkan wabah mimesis (peniruan), sementara ilmu pengetahuan tetap saja di tempatnya.

Adapun prinsip-prinsip aliran positivisme sebagai berikut.

a) Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah.

b) Hanya fakta yang dapat menjadi objek pengetahuan.

c) Metode filsafat tidak berbeda dari metode ilmu.

d) Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan bagi organisasi sosial.

e) Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman.

f) Bertitik tolak pada ilmu alam.

57Koeto Wibisono dalam Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 23.

DU MM Y

g) Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.58 Prinsip aliran positivisme ini, selanjutnya menjadi landasan kepada sains modern (sekuler) yang dikembangkan di Barat. Sains modern bersandar pada empat premis yaitu: (a) dunia itu ada, (b) manusia dapat mengetahui dunia, (c) manusia mengetahui dunia melalui pancaindra dan, (d) fenomena di dunia terkait secara kausalitas (sebab akibat).

Secara metodologis, positivisme meyakini sepenuhnya pada empat dalil keilmuan yaitu: orde, determinisme, parsimoni, dan emperikal.

Alam semesta memiliki tata aturan tertentu. Peristiwa-peristiwa di dunia ini mengikuti aturan yang teratur (orde). Setiap peristiwa yang terjadi pasti mempunyai sebab, determinan (pendahuluan) yang dapat diamati, berbagai fenomena, kejadian, atau peristiwa dapat dijelaskan secara sederhana (parsi-mony), fenomena-fenomena dapat diobservasi dan dieksperimen (emperikal).59

Berdasarkan keterangan di atas, nampak bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat netral atau bebas nilai, karena ilmu pengetahuan hanya membatasi diri pada dunia yang dapat dicermati oleh pancaindra.

Dengan demikian, anggapan bahwa ilmu itu bebas nilai tidak dapat dipertahankan lagi, karena ternyata hasil temuannya banyak yang tidak akurat, akibat keterbatasan pancaindra, sekaligus banyak membawa mudarat bagi manusia, karena mengabaikan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan manusia. Kaum positivist beranggapan bahwa kepercayaan terhadap agama hanyalah takhayul belaka, yang menurut mereka pasti akan diganti oleh ilmu pengetahuan.