SEYYED ḤOSSEIN NASR
3. Kembali Berkiprah di Iran
diajarkan oleh wali sufi besar dari Maroko, Syaikh Aḥmad al-Alāwi (tahun 1869 M - tahun 1934 M). Dengan demikian, tahun-tahun berada di Harvard telah menjadi saksi bagi kristalisasi unsur intelektual dan spiritual utama dari pandangan dunia Seyyed Ḥossein Nasr. Sejak itu, unsur-unsur yang ditemukan mendominasi dan menentukan arah dan pola kesarjanaan dan karir akademiknya.16 Di samping itu, Seyyed Ḥossein Nasr juga belajar agama-agama yang berkembang di Timur seperti Hindu dibawa bimbingan George De Santillana. Salah satu ilmu yang diperoleh adalah bahwa di Barat sekarang tengah terjadi perjuangan untuk mempertemukan titik pandang antara, sains, filsafat, dan agama.17 Selain itu, Seyyed Ḥossein Nasr pun diperkenalkan pemikiran tentang metafisika dari Rene Guenon, A.E. Coomaraswamy, F. Shcuon, dan T. Burckhardat. Perkenalannya dengan pemikiran tentang metafisika tersebut memberikan tempat tersendiri dalam intelektualnya.18
Pada awal tahun 1950-an, Seyyed Ḥossein Nasr terlihat aktif dalam kelompok diskusi terbatas mahasiswa fisika, matematika dan kimia di MIT. Seyyed Ḥossein Nasr bersama kelompok intelektual muda ini secara kritis dan tajam mempertanyakan secara menyeluruh landasan pemikiran dan peradaban Barat. Dalam perkembangan lebih lanjut, kelompok ini dipimpin oleh Theodore Roszak menjadi gerakan Counter Culture terhadap peradaban Barat, sehingga Seyyed Ḥossein Nasr tercatat terlibat aktif dalam gerakan tersebut.19
Rafi’ī Razwini, dan Ṭabāṭabā’ī. Dalam kaitan ini, Seyyed Ḥossein Nasr menulis, Taughtus Mani Tahunings Not Container in Books (mengajarkan kepada diriku tentang banyak hal yang tidak ada dalam buku).20
Beberapa bulan setelah kembali ke Iran, Seyyed Ḥossein Nasr menikahi seorang wanita muda dari keluarga terhormat yang merupakan teman dekat dari keluarganya sendiri. Lima tahun kemudian, yakni pada usia 30 tahun Seyyed Ḥossein Nasr menjadi profesor termuda di Universitas Teheran. Seyyed Ḥossein Nasr menggunakan posisi dan pengaruhnya untuk membawa perubahan besar dalam rangka memperkuat dan memperluas program filsafat di Universitas Teheran, sebagaimana program lainnya. Saat itu, Seyyed Ḥossein Nasr memulai langkah penting dalam mengajarkan filsafat Islam berdasarkan sejarah dan dari sudut pandang Islam sendiri dan mendorong mahasiswa Iran untuk mempelajari filsafat dan tradisi intelektual lainnya dari sudut pandang tradisi mereka sendiri. Seyyed Ḥossein Nasr berpendapat bahwa seseorang tidak dapat berharap untuk memahami dan menghargai tradisi intelektualnya sendiri dari sudut pandang orang lain. Selain itu, ia juga menciptakan kesadaran dan minat yang lebih besar dalam mempelajari filsafat ketimuran di kalangan dosen dan mahasiswa di fakultasnya, karena Universitas Teheran adalah satu-satunya Universitas di Iran yang menawarkan gelar doktor dalam bidang filsafat.
Apa yang digagas oleh Seyyed Ḥossein Nasr, berpengaruh luas pada Universitas lain di Iran. Banyak universitas kemudian menerapkan perubahan yang sama ke dalam kajian filsafat. Sampai saat ini, perspektif Seyyed Ḥossein Nasr bahwa mahasiswa Iran harus mempelajari tradisi filsafat yang lain dari sudut pandang tradisi itu sendiri dan bukan mempelajari tradisi mereka dari perspektif filsafat Barat.21 Selain program filsafat, Seyyed Ḥossein Nasr juga terlibat dalam program doktoral universitas dalam kajian bahasa dan sastra Persia bagi mahasiswa yang bahasa ibunya bukan bahasa Persia, termasuk yang dari luar Iran. Salah satunya adalah William Chittick dari Amerika dan Achico Murata dari Jepang.22 Di Universitas ini, Seyyed Ḥossein Nasr menjadi dekan Fakultas Sastra selama lebih kurang 4 tahun (tahun1968
20Ali Ma’sum, Tasawuf Sebagai, Op. Cit., hlm. 46.
21Wahyuddin Halim, Sufisme dan Krisis, Op. Cit., hlm. 33.
22Ibid., hlm. 35.
DU MM Y
M- tahun1972 M), dan untuk sementara menjadi wakil rektor bidang akademik. Melalui posisi ini, ia memperkenalkan banyak perubahan penting yang semuanya ditujukan untuk memperkuat program universitas. Pada tahun 1972 M, Seyyed Ḥossein Nasr diangkat menjadi Rektor di Universitas Aryamehr oleh Shah Iran dan diharapkan untuk mengembangkan universitas itu, seperti model MIT di Amerika, namun tetap memiliki akar yang kuat dalam budaya Iran.
Kemudian pada tahun 1973 M, Seyyed Ḥossein Nasr ditunjuk untuk mendirikan sebuah pusat studi dan penyebaran filsafat yang dikenal dengan (Iranian Imperial Academy of Philosiphy). Akademi ini menjadi salah satu pusat kegiatan filosofis paling penting dalam dunia Islam, memiliki perpustakaan filsafat terbaik di Iran dan menarik beberapa sarjana terkemuka baik di Timur maupun di Barat, seperti Henry Corbin, Toshihiko Izutsu. Di tempat ini pula, dipublikasikan karya-karya filsafat dalam bahasa Persia, Arab, Inggris dan Prancis.23
Sekalipun Seyyed Ḥossein Nasr tinggal di Iran, ia tetap menjalin hubungan dengan Amerika. Pada tahun 1962 M– tahun 1965 M. Ia diundang mengajar di Harvard. Diundang memberikan seminar di Universitas Princeton dan Universitas Utah. Ia diangkat sebagai professor dan dosen tamu pada Harvard University. Ia juga sarjana yang menduduki pimpinan Aga Khan Chair of Islamic Studies yang baru dibentuk di American Universiti of Beirut (tahun 1964 M-tahun 1965 M).24
Pada masa kekuasaan Shah Pahlevi, Seyyed Ḥossein Nasr termasuk di antara pendiri akademi filsafat Iran (Iranian Imperial Academy of Philosiphy); dan Ia diangkat sebagai presiden pertama di lembaga ilmiah ini pada tahun (tahun1975 M- tahun 1979 M). Selain itu, ia bersama Ayatullah Murtaḍa Muṭahhari (tahun 1919 M- tahun 1979 M) dan Ālī Syari’āti (tahun1933 M-tahun 1977 M) dan beberapa tokoh lain, pada akhir tahun 1965 M. mendirikan Husaīniyah Irsyad. Lembaga yang bertujuan mengembangkan ideologi Islam untuk generasi muda berdasarkan perspektif Syi’ah. Menjelang ditutupnya lembaga tersebut oleh rezim Shah pada tahun 1973 M. Seyyed Ḥossein Nasr dan Muṭahhari keluar dari lembaga ini, yang menurut mereka telah dikuasai
23William C. Chittick, The Essential Seyyed, Op. Cit., hlm. xii-xiii.
24Seyyed Ḥossein Nasr, Pengajaran Falsafah dalam Falsafah, Kesusastraan dan Seni Halus (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1989), hlm. 1.
DU MM Y
Āli Syari’āti, seorang modernis muslim yang mengritik keras ulama tradisional. Keduanya memandang Āli Syari’āti telah menyalahgunakan lembaga ini untuk kepentingan politiknya sendiri. Seyyed Ḥossein Nasr sangat kritis dengan Āli Syari’āti yang dipandang keliru menampilkan Islam sebagai agama revolusioner dengan menghilangkan aspek spiritualnya.25
Bagi Seyyed Ḥossein Nasr, Āli Syari’āti adalah seorang modernis Muslim pertama yang menciptakan semacam Libration Tahuneology di dunia Islam, karena pengaruh westernisme dan marxisme. Dengan cara ini, Āli Syari’āti menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam. Bagi Āli Syari’āti,
”Shi’ism was religion fo protest.” Dalam penilaian Seyyed Ḥossein Nasr gagasan Āli Syari’āti sangat berbahaya.
Antara Seyyed Ḥossein Nasr dan kelompok Āli Syari’āti terdapat perbedaan pendekatan dalam upaya memperbaiki nasib Iran untuk masa depan. Seyyed Ḥossein Nasr mendekatinya dari sudut perkembangan rohani, karena pengaruh tasawuf, sehingga tokoh yang betapapun briliannya ini, tidak pernah terlibat dalam aksi kekerasan atau melibatkan diri dalam gerakan massa untuk melakukan perubahan historis dengan gagasannya secara revolusioner. Justru sebaliknya, Seyyed Ḥossein Nasr selalu dekat dengan penguasa dinasti Pahlevi, tempat ia mengabdikan diri. Yang diinginkan Seyyed Ḥossein Nasr dalam menyembuhkan kebobrokan moral penguasa Iran khususnya dan manusia modern umumnya, adalah dengan membangun basis metafisis-relegius yang dapat menyingkirkan pandangan dunia materialisme dan hedonisme.
Seyyed Ḥossein Nasr sangat yakin bahwa pembaruan manusia modern harus lewat penyucian batin dengan jalan tasawuf.
Sementara Āli Syari’āti dan kelompok revolusi lainnya seperti Ayatullah Khomaini melihatnya berdasarkan kacamata analisis sosiologi, sehingga mereka cenderung memilih jalur politik dan melibatkan diri secara aktif dan bahkan memimpin dalam setiap aksi yang muncul.
Gerakan revolusi yang diarsiteki oleh Khomaini dan Āli Syari’āti ini pada akhirnya berhasil menumbangkan rezim Shah dan mendirikan Republik Islam Iran (RII) pada tahun 1979 M., hingga sekarang.
25Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Camridge University Press), hlm. 586-588.
DU MM Y
Pada tahun 1960-an sampai tahun 1970-an, Seyyed Ḥossein Nasr menjadi guru besar di tiga benua: Asia, Eropa dan Amerika, sehingga aktivitasnya terutama adalah memberikan ceramah/kuliah di beberapa negara, antara lain, Amerika, Eropa, negara-negara Timur Tengah, India, Jepang dan Australia, berkisar pada pemikiran Islam dan problem manusia modern. Di samping itu, Ia juga aktif menulis buku, artikel dan monograf lainya.26 Karena sikap pro aktifnya, Seyyed Ḥossein Nasr terhadap Reza Shah Pahlevi, maka Ia sangat dibenci dan dicurigai terutama oleh para aktivis gerakan menentang Shah.
Sikap politik Seyyed Ḥossein Nasr ada hubungannya dengan konsep pemikiran tradisionalnya tentang politik, yaitu bersikap realis dalam politik (real politik). Akibatnya, ketika situasi politik Iran mengalami perubahan drastis dengan berakhirnya kekuasaan Shah melalui kudeta revolusi Islam Iran, Seyyed Ḥossein Nasr berada dalam posisi genting dan terancam. Menjelang revolusi meletus pada tahun 1979 M, Seyyed Ḥossein Nasr hijrah ke Amerika serikat dan memutuskan untuk tidak kembali ke Iran, dan tetap menetap di Amerika.27