• Tidak ada hasil yang ditemukan

b. Kehilangan Visi Keilahian

C. Kritik Seyyed Ḥossein Nasr terhadap Modernisme di Barat

1. Menghapus Metafisika

C. Kritik Seyyed Ḥossein Nasr terhadap Modernisme di

tidak menyatakan demikian karena kebanyakan di antara mereka adalah manusia-manusia sekuler yang menghendaki agar kehidupan manusia harus tetap terpisah dari ajaran-ajaran agama.125

Menurut Seyyed Ḥossein Nasr, banyak bukti yang menunjukkan bahwa krisis lingkungan maupun ketidakseimbangan psikologis yang dialami oleh kaum pria dan wanita di Barat. Keburukan lingkungan kota dan semacamnya adalah akibat dari usaha manusia untuk hidup dengan roti semata-mata, mereka berusaha “membunuh semua Tuhan.” Mereka menyatakan kemerdekaannya dari kekuatan surgawi. Padahal, manusia tidak dapat menghindari efek perbuatannya yang juga merupakan efek keadaan hidupnya saat ini. Satu-satunya harapan bagi manusia adalah tidak lagi menjadi makhluk yang ingkar, tetapi menjadi makhluk yang berdamai dengan penguasa surgawi dan bumi, dan tunduk kepada Allah Swt. Hal ini berarti tidak lagi modern, menurut pengertian yang umum terhadap istilah tersebut, ia berusaha untuk mati (membunuh dorongan nafsu negatifnya), dan lahir kembali (dengan jiwa yang suci). Itulah sebabnya dimensi problem ini pada umumnya jarang dipertimbangkan dalam pembahasan krisis lingkungan. Dimensi yang hilang dalam pembahasan-pembahasan krisis ekologi adalah peranan manusia jika ia hendak mencari jalan keluar dari krisis yang telah diciptakannya ini.126

Analisis Seyyed Ḥossein Nasr tentang krisis lingkungan ini bertolak dari doktrin Al-Qur’an yang menegaskan bahwa alam merupakan teofani (tajalli) Tuhan yang menyelimuti dan sekaligus mengungkap kebesaran Tuhan. Lingkungan alam adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan.

Dalam hal ini, Seyyed Ḥossein Nasr membagi wahyu Tuhan ke dalam dua kategori, yakni: wahyu tertulis (recorded Qur’an, al-Qur’ān al-tadwīni) atau Al-Qur’an dalam bentuk kitab suci; dan wahyu yang terhampar (the Qur’an of creation, al-Qur’ān al takwīni) atau alam semesta (kosmos) ini. Dalam ungkapan lain, Tuhan itu adalah “lingkungan” tertinggi yang mengelilingi dan mengatasi manusia. Al-Qur’an sendiri menyebut demikian, sebagaimana terdapat dalam QS. an-Nisa [4]: 126. Tuhan itu sebagai al-Muhiṭ (yang serba mencakup). Al-Muhiṭ itu sendiri juga berarti lingkungan. Manusia itu sendiri sesungguhnya terbenam dalam al-Muhiṭ, yang Ilāhi itu. Sayangnya, manusia tidak menyadari karena

125Sayyed Ḥossein Nasr, Islam and The Flight of Modern Man, Cet. I (Chicago:

ABC International Group Inc., 1975), hlm. 12-13.

126Ibid., hlm. 13.

DU MM Y

sifat lupa dan lalainya. Inilah awal mula terjadinya kekotoran jiwa, yang pembersihannya harus kembali mengingat Tuhan. Mengingat Tuhan berarti mengingatnya di mana-mana dan mengalami realitasnya sebagai al-Muhiṭ itu. Mengingat Tuhan sebagai al-Muhiṭ berarti menyadari terus-menerus kualitas kesakralan alam, fenomena alam sebagai ayat-ayat Tuhan dan kehadiran lingkungan alam sebagai suatu bagian yang hanya dimungkinkan oleh kehadiran yang ilāhi. Krisis lingkungan yang terjadi tersebut disebabkan karena penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai “lingkungan” yang sesungguhnya yang mengelilingi sekaligus memelihara kehidupan mereka. Pengrusakan lingkungan, bermula dari sikap manusia modern yang memandang alam sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari “lingkungan” ilahi.127 Konsep lingkungan ini sangat terkait erat dengan konsep manusia, karena itu harus mendapat perhatian serius.

Seyyed Ḥossein Nasr menuturkan pada dua dasawarsa yang lampau setiap orang berbicara mengenai kemungkinan yang tidak terbatas bagi manusia untuk berkembang secara lahiriah dan materialistis, maka pada saat itu pula, setiap orang berbicara tentang “batas-batas pertumbuhan”

(yang saat ini sangat populer di Barat) atau bahkan mengenai bencana yang akan segera menimpa manusia. Akan tetapi, konsep-konsep serta faktor-faktor yang dipergunakan untuk menganalisis krisis yang dihadapi manusia modern ini, pemecahan-pemecahan yang dicari, dan bahkan warna-warna untuk melukiskan bencana yang akan menimpa umat manusia itu biasanya berdasarkan unsur-unsur yang telah menciptakan krisis itu juga. Kehidupan di dunia ini tampaknya masih tidak memiliki horizon spiritual. Hal ini bukan karena horizon spiritual itu tidak ada, tetapi karena yang menyaksikan panorama kehidupan kontemporer ini sering kali adalah manusia yang hidup di pinggir lingkaran eksistensi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Ia senantiasa tidak peduli dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan sumbu maupun pusat lingkungan eksistensi yang dapat dicapainya melalui jari-jari tersebut.

127Salah satu aliran filsafat yang menjadi pilar modernisme, materialisme, berpandangan bahwa kenyataan yang sungguh-sungguh nyata adalah materi, sedangkan kesadaran atau pikiran adalah manusia hanyalah gejala-gejala sekunder dari proses material belaka. Lihat F. Budi Hardiman, filsafat Modern, Op. Cit., hlm.

295-296.

DU MM Y

Seharusnya manusia sebagai penguasa di muka bumi secara vertikal berfungsi sebagai hamba Allah Swt. Sementara itu, manusia secara horizontal adalah khalifah Allah Swt. Dengan demikian manusia akan dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan hidupnya, dan tidak menjadi budak nafsu (egonya) sendiri.128

Seyyed Ḥossein Nasr menilai, masyarakat Barat modern sedang berada di wilayah pinggiran eksistensinya sendiri bergerak jauh dari pusat, baik yang menyangkut dirinya sendiri maupun dalam lingkungan kosmisnya. Mereka merasa cukup dengan perangkat ilmu dan teknologi, sebagai buah dari gerakan renaisance pada abad 16, sementara pemikiran dan paham keagamaan bersumber dari wahyu kian mereka tinggalkan.129 Dengan ungkapan yang lebih populer, masyarakat Barat telah memasuki the post christian era, kemudian berkembanglah paham sekularisme. Sekularisasi ini terjadi karena manusia berpaling dari dunia sana (transenden, metafisik) dan hanya memusatkan perhatian pada dunia sini dan sekarang (pisik, material).130 Proses sekularisasi kesadaran ini menyebabkan manusia modern kehilangan kendali diri (self-control), sehingga mudah dihinggapi penyakit rohaniah, ia lupa siapa dirinya, untuk apa ia hidup dan mau ke mana sesudahnya. Nilai-nilai supranatural telah lenyap dalam dunia modern. Dengan hilangnya batasan-batasan yang diyakini sakral atau absolut, manusia modern kemudian melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif, terutama sistem nilai dan moralitas yang dibangunnya. Barat telah kehilangan rasa supranatural (alam gaib) secara besar-besaran.131

Sebagai ganti nilai-nilai spriritual, dengan munculnya diktum ”cogito ergo sum” Rene Descartes (sebagai bapak modernisme). Akibat terlalu mengagungkan rasio, manusia Barat modern mudah dijangkiti penyakit

128Asyumardi Azra, Traditionalisme Nasr, Op. Cit., hlm. 107-108.

129Seperti sudah dijelaskan para ilmuwan masa renaisans mulai dari Roger Bacon, Copenius, Francis Bacon, Tycho Brahe, Johannes Kepler dan Galileo Galilei cenderung meninggalkan cara berpikir abad pertengahan dan menyingkirkan tuhan dari dunia Ilmiah . Bagi mereka, alam (dunia eksternal) dipercaya dapat diketahui melalui metode ilmiah para pemikir tersebut perlahan-lahan mempengaruhi dan membentuk keprcayaan manusia. Mereka berhasil membongkar pandangan dunia abad pertengahan. Revolusi Copernican , mempengaruhi bidang-bidang lain.

130Ibid., hlm. 153.

131Marchel A. boisard, Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyid (Jakarta:

bulan bintang 1985), hlm. 79.

DU MM Y

kehampaan spiritual. Kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibangun di atas fondasi filsafat rasionalisme dan empirisme abad ke-17-18, tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek-aspek transenden, suatu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu Ilāhi. Oleh karena itu, jika mereka ingin mengakhiri kesesatan yang dibuat mereka sendiri dengan mencampakkan dimensi-dimensi Ilāhiah, mau tidak mau pandangan, serta sikap hidup keagamaan harus dihadirkan kembali dalam kehidupan mereka132

Menurut Seyyed Ḥossein Nasr, dalam metafisika Islam, Tuhan sebagai realitas yang tertinggi memiliki empat kualitas dasar.

Kualitas-kualitas ini secara langsung berdasarkan ayat Al-Qur’an yang menyatakan: “Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang lahir dan yang bathin…” sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Hadid/57: 3. Di samping arti-artinya yang lain, atribusi ini mengandung satu arti yang secara langsung berhubungan dengan argumentasi di sini. Sebagai realitas tertinggi, sekaligus Allah Swt. adalah yang Batin dan yang Lahir, pusat dan lingkaran manusia religius memandang Allah Swt.

sebagai yang batin.

Manusia modern yang telah melupakan alam spiritual hanya memandang yang lahir. Akan tetapi karena tidak mengetahui pusat, ia tidak menyadari bahwa yang lahir itu sendiri sebenarnya adalah manifestasi dari pusat atau Allah Swt. Oleh karena itu, pragmen-pragmen pengetahuan yang diperolehnya tidak dapat mencakup seluruh pinggir lingkaran, apalagi pusat eksistensinya. Sebagian dari busur lingkaran adalah tidak lebih dari sebuah bagian yang tidak memiliki tingkat referensi atau pusat. Hanya keseluruhan busur lingkaran itulah yang merefleksikan pusat. Terakhir kali, seorang manusia suci memandang Allah Swt., sebagai yang lahir dan yang batin. Ia dapat mengetahui fragmen-fragmen pengetahuan eksternal kepada pusat eksistensi dan dari pinggir lingkaran ia dapat melihat refleksi dari pusat eksistensi. Akan tetapi, kesanggupan ini hanyalah karena ia secara apriori menyadari adanya pusat eksistensi tersebut. Sebelum manusia dapat memandang dunia eksternal, baik yang merupakan dunia nyata di sekeliling dirinya maupun kulit luar dari jiwa (psyche) manusia,

132Ibid., hlm. 154.

DU MM Y

sebagai manifestasi dari yang batin, terlebih dahulu ia harus berpegang teguh pada yang batin itu melalui keyakinan dan pengetahuan. Dengan menggunakan prinsip ini, seorang manusia suci dapat menghubungkan fragmen-fragmen pengetahuan eksternal kepada lapisan-lapisan yang lebih dalam dari sifat manusia. Bagi seorang yang belum menyadari dimensi batin ini dalam dirinya dan dalam alam di sekelilingnya, maka fragmen-fragmen pengetahuan eksternal tetap merupakan fragmen-fragmen, terutama sekali apabila fragemen-fragmen tersebut diperoleh melalui pengamatan tingkah laku manusia secara kolektif, di mana kebanyakan di antara mereka hanya hidup pada lapisan-lapisan eksistensi yang paling luar, sedang tingkah laku mereka jarang sekali mencerminkan dimensi dirinya yang lebih dalam.133

Kalau penulis perhatikan kritik Nasr terhadap modernisme yang menghilangkan dunia metafisika dari kehidupan ini, ada kesamaannya dengan kritik aliran eksistensialisme terhadap modernisme. Heidger (tokoh eksistensialisme), misalnya, berpendapat bahwa manusia itu berbeda dari benda-benda di sekelilingnya. Namun manusia mempunyai kecenderungan untuk menjadi suatu benda, suatu objek. Sering kali manusia begitu tenggelam dalam dunia material dan dunia sosial sehingga ia menjadi “anonim”, tanpa kepribadian. Lalu tanpa sadar manusia menjadi unsur dari “mereka” (benda-benda itu), alih-alih seorang “dia”.134

Akhirnya manusia menjadi dangkal, yang sangat terlihat jelas dalam cara berbicara yang hampa dari massa media, dari sikap ingin tahu dan haus kabar, yang merupakan tanda-tanda zaman modern ini. Dunia modern penuh dengan mode-mode sementara, tanpa perhatian untuk perasaan yang lebih mendalam. Manusia modern takut untuk hidup secara mendalam, secara bebas dan otentik. Heidegger mengajukan kritik yang sangat keras terhadap modernisme. Menurut di dunia kita (baca dunia modern), yang tidak lain merupakan produk modernisme, dikuasai oleh sikap teknis ilmiah yang menutup diri dari pertanyaan ontologis, pertanyaan-pertanyaan tentang keseluruhan, makna hidup dan makna kenyataan. Dengan kondisi demikian, manusia modern mengalami keterasingan (entfremdug), alienasi dari dirinya

133Seyyed Ḥossein Nasr, Islam and The Plight, Op. Cit., hlm. 6.

134Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Cet. IV (Jakarta:

Gramedia, 1983), hlm. 126.

DU MM Y

sendiri. Filsafat Barat sendiri, menurut Heidegger, telah melupakan betapa agungnya “ada”. Filsafat Barat menderita penyakit “linglung,”

“pelupa,” karena mereka tidak memperhatikan perbedaan besar antara

“ada” dan “peng-ada-ada”. Dengan demikian, manusia dalam filsafat Barat disejajarkan dengan benda-benda. Padahal “ada” itu, menurut Heidegger, begitu suci dan agung, sehingga semua pendekatan untuk menerangkan kata ini akan selalu gagal.