kelompok ini adalah Rene Guenon, Ananda K, Coomaraswamy, Marco Pallis, Titus Buckhardt, Marting Lings (Abu Bakar Sirajuddin setelah masuk Islam). Mereka ini sarjana-sarjana, filsuf, dan mistikus Barat garis terdepan.74 Yang pernah bergaul akrab dengan Seyyed Ḥossein Nasr, misalnya Tiyus Buchardt. Sementara itu yang lainnya, Seyyed Ḥossein Nasr menulis tentang dirinya, seperti Schuon, Guenon. Karya-karya mereka sering menjadi rujukan dalam tulisan-tulisan Seyyed Ḥossein Nasr tentang mistisisme, metafisika, filsafat perennial atau aliran tradisional, dan tentang krisis-krisis spiritual manusia modern di Barat. Bersama-sama dengan mereka, Seyyed Ḥossein Nasr berupaya mengemukakan perspektif tradisional agama-agama mengenai adanya suatu kebenaran primordial yang terdapat dalam setiap tradisi suci, yang bersifat universal dan perennial dan diyakini mampu mengatasi persoalan-persoalan dunia modern, khususnya krisis spiritual dan pertemuan agama-agama.
Selain sarjana, filsuf, mistikus dan kalangan tradisionalis di atas, Seyyed Ḥossein Nasr juga akrab dengan dua sarjana terkemuka Barat tentang studi Islam, yaitu Louis Massignon, seorang ahli sufisme Islam yang membela dengan gigih di Barat mengenai peranan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama Sufisme, danb Henry Corbin, merupakan sarjana Barat yang paling tekun mempelajari dan menggali karya-karya filosof Suḥrawardi dan Mulla Sadra. 75
C. Perkembangan Pemikiran dan Metode Berpikirnya
Ṣafā, Ibnu Sina dan al-Biruni. Karya yang lahir pada periode ini antara lain Three Muslim Sages (tahun 1964 M) yang memaparkan pemikiran tiga tokoh Muslim klasik, yaitu Ibnu Sina dengan filsafat paripatetiknya, Suḥrawardi dengan filsafat iluminasionisme (isyrāqiyah), dan Ibnu Arabī dengan pemikiran irfāniyahnya (ma’rifah), dan di akhir 1960-an Seyyed Ḥossein Nasr melontarkan kritiknya terhadap Barat. Ia mengkritik atas kemanusiaan modern dalam karyanya Man and Nature: The Spirit Crisis of Modern Man (tahun 1968 M) yang berbicara tentang krisis spiritual manusia modern dengan salah satu buktinya yaitu manusia modern telah memperlakukan alam dan sekitarnya dengan semena-mena.
Hal ini sekaligus peringatan kepada negara berkembang yang telah terancam modernisasi dan globalisasi. Periode kedua (tahun1970-an), kritik Seyyed Ḥossein Nasr terhadap dunia modern, semakin dipertajam dengan menawarkan alternatif keluar dari krisis modernitas dengan memperkenalkan tasawuf yang merupakan bentuk konkret dari pemikirannya. Hal ini dipaparkannya dalam buku Sufi Essays (tahun 1972 M). Islam and The Plight and Modern Man (tahun 1976 M), juga tulisan Seyyed Ḥossein Nasr merupakan buku yang propokatif dan penuh keprihatinan yang membicarakan masalah yang dihadapi oleh muslim modern, periode ini pada tauhn 1970-an M.
Periode ketiga (tahun 1980-an), Seyyed Ḥossein Nasr banyak menuang kan gagasannya secara konkret sebagai alternatif hidup di dunia modern. Ia banyak mengkritik para Muslim modernis, yang dinilai sebagai pengemban pemikiran modern Barat yang sekuler. Seperti Muḥammad Abduh, Jamaluddīn al-Afghāni, Amīr Ālī dan Ahmad Khan.
Selain mereka itu, ada gerakan-gerakan puritanis rasionalistik yang membunuh tasawuf seperti halnya gerakan Waḥabiyah yang dituduh sebagai biang kemunduran umat Islam. Hal ini dijelaskan dalam bukunya Islamic Life and Thought (tahun 1981 M), Knowladge and Sacred (tahun1981 M), karya ini banyak membicarakan epistemologi berpikir tradisional dalam Islam. Selanjutnya, karyanya Islamic Art and Spirituality (tahun 1987 M) mengulas keindahan dan kebesaran seni budaya Persia sebagai seni suci dan seni tradisional, periode ini berlangsung pada tahun 1980-an M. Menurut Seyyed Ḥossein Nasr, tokoh-tokoh tersebut di atas, adalah penyebar westernisasi dan sekularisme di dunia Muslim. Mereka adalah orang-orang yang mengecilkan atau bahkan menolak unsur-unsur ajaran atau warisan Islam yang mereka
DU MM Y
pandang tidak sesuai dengan pemikiran dan perkembangan modern.
Sementara menurut Seyyed Ḥossein Nasr, kemunduran umat Islam, karena penghancuran terhadap tasawuf dan tarikat sufi, di sinilah perbedaannya dengan para pembaharu.
Periode keempat (tahun 1990-an), yaitu Seyyed Ḥossein Nasr menggagas tindakan nyata tentang teori-teori dan pendapatnya dengan lebih fokus mengarahkan pandangan sufistiknya menjadi praktis dalam kehidupan modern, seperti dalam karyanya Religion and Religion: the Challenge of Living in Multireligious World (tahun 1991 M), yang juga mengutarakan kerukunan antaragama yang didasarkan pada filsafat perennial. Periode ini pada (tahun1990-an M)76 lebih dari itu, Seyyed Ḥossein Nasr, dapat dikatakan sebagai seorang neo-sufisme, yang menerima pluralisme dan perennialisme dalam kehidupan keagamaan.
Neo-sufisme Seyyed Ḥossein Nasr ialah tasawuf yang menekankan aktivisme dan tasawuf yang tidak mengakibatkan pengamalnya mengasingkan diri dari kehidupan dunia, tetapi sebaliknya melakukan pendakian ke dalam untuk mencapai realisasi spiritual yang lebih maksimal dan mendalam.77
Adapun corak pemikiran Seyyed Ḥossein Nasr dapat diidentifikasi ke dalam beberapa model yaitu: pos-modernis, modernis dan neo-sufisme. Dikatakan posmodernis karena banyak mengritik pemikir-pemikir modernis Islam seperti Muhammad Abduh, Jamaluddīn al-Afgāni, Amir Ālī dan Ahmad Khan sebagai pengembang budaya Barat dan sekularisme. Selanjutnya, dikatakan sebagai neo-modernisme, karena ia adalah pengritik Barat dengan segala aspeknya, dan menampilkan kembali warisan pemikiran Islam sebagai solusi atas modernitas yang dimotori Barat tersebut. Juga sebagai neo-sufisme, karena ia adalah pemikir sufi yang menerima pluralisme dan perennialisme (kekekalan) sebagai wujud nyata dalam pemikiran sufinya, di samping sebagai sufi yang sebenarnya selalu menginginkan penggalian yang sedalam-dalamnya atas spiritual dan makna batin Islam.78 Sejak semula, Seyyed Ḥossein Nasr sudah mengembangkan gagasannya yang disebut dengan
76Ali Maksun, Tasawuf, Op. Cit., hlm. 56-64.
77Azyumardi Azra, memperkenalkan Pemikiran Ḥossein Nasr, dalam Seminar Sehari:
Spiritualitas, Krisis Dunia Modern, dan Agama Masa Depan (Jakarta: Paramadina, 1993), hlm. 35.
78Ibid.
DU MM Y
istilah Islam “tradisional.” Pendekatan Islam “tradisi” ini digunakan Seyyed Ḥossein Nasr dalam semua aspek keilmuan yang ditekuninya, seperti: sains, filsafat, teologi, sufisme, seni, musik, arsitektur, dan bidang-bidang lainnya, sehingga tema “tradisi” menjadi central point dalam pemikiran Seyyed Ḥossein Nasr.
Dalam melacak perkembangan pemikiran Seyyed Ḥossein Nasr, sebenarnya tidak terlalu sulit, karena tulisan-tulisan tokoh ini, baik dalam bentuk buku, artikel, monograph maupun review, yang tersebar dalam bidang publikasi selalu menunjukkan tahunnya, di samping ia sendiri rajin menghimpunnya. Kemudahan juga dirasakan penulisnya, karena karya dan perkembangan pemikirannya dalam bentuk buku untuk memperingati Seyyed Ḥossein Nasr yang ke-40 dan ke-60.
Pertama oleh Wsitic, Bibliography of Seyyes Ḥossein Nasr Througt Hisporteitih Birth, tahun 1977 M. Ke dua oleh Mehdi Amin Razazi dan Zailan Marris, Dekompik Bibliograpy of the Works of Seyyes Ḥossein Nasr Througaha tahun 1993 M.79 Sebagian besar karya-karya di tulis dalam dua bahasa Persia dan Inggris, walaupun ada sebagian ditulis dalam bahasa Arab dan Prancis. Namun demikian, Penulis akan mengomentari tulisannya dalam bahasa Inggris (karena beberapa buku yang penting ditulis dalam bahasa Inggris atau diterjemahkan dalam Bahasa Inggris).
Mengomentari pemikiran Seyyed Ḥossein Nasr, Bousfiled mengatakan: “Seyyed Ḥossein Nasr merupakan pemikir Islam kontemporer yang mulai membicarakan metafisika dalam keilmuan modern.” Bukunya yang menyoroti krisis spiritual manusia modern ditulis pada tahun 1968 di bawah judul Man and Nature: The Spiritual Crsis of Modern Man. buku yang pada mulanya merupakan kumpulan makalah-makalah dan ceramah-ceramahnya selama mengajar di Universitas Chicago selama tahun 1966, berisi tentang bagaimana seharusnya manusia memandang atau memperlakukan alam. Seyyed Ḥossein Nasr memberi alternatif untuk keluar dari krisis ini dengan mengimbau agar manusia mengendalikan hawa nafsu dan menjadikan alam sebagai “Theofani” atau “Tajalli” Tuhan yang tampak, sehingga manusia memperlakukan alam dengan bersahabat dan bertanggung jawab.
79Ali Ma’sum, Tasawuf, Op. Cit., hlm. 55.
DU MM Y
Pemikiran Seyyed Ḥossein Nasr di atas yang dicetuskan pada tahun 1960-an, tidak hanya mempunyai relevansi bagi masyarakat Barat, tetapi juga untuk negara-negara dunia ketiga. Seperti Indonesia, yang sedang mengambil ancang-ancang untuk menggenjot pembangunannya.
Periode tahun 1970-an M, nampaknya tema pemikiran Seyyed Ḥossein Nasr masih merupakan kelanjutan dekade 1960-an. Namun, ada perkembangan baru yang menarik, yaitu ia bicara tentang sufisme dan filsafat Islam. Tentang sufisme, ia menulis “Sufi Essais” (tahun1972 M). Latar belakang ditulisnya buku ini berangkat dari kenyataan bahwa banyaknya masyarakat Barat yang gandrung dengan kehidupan spiritual, namun mereka banyak terperangkap dalam spiritual dan kultus-kultus yang sebenarnya hanya menghasilkan kedamaian semu.
Dalam buku ini, Seyyed Ḥossein Nasr melakukan pengkajian yang cukup menyentuh dasar dan lengkap tentang tasawuf dari akar sejarah.
Seyyed Ḥossein Nasr memberikan alternatif bagaimana sufisme harus dapat dipraktikkan dalam kehidupan modern sekarang. Buku yang materinya cukup berbobot ini, disajikan secara sederhana, sehingga mudah dipahami oleh berbagai kalangan dan tingkat intelektual, sehingga diharapkan menjadi kunci untuk membuka sejumlah pintu menuju gudang perbendaharaan tasawuf sejak dulu hingga sekarang, dan dapat dijadikan alternatif spiritual manusia modern.
Untuk membuktikan bahwa tasawuf merupakan suatu ilmu sebagaimana ciri-ciri yang terkandung dalam ilmu, maka dapat dilihat dari praktik yang dilakukan oleh para sufi tersebut. Awalnya, kaum sufi muncul dalam bentuk asketis (zuhud). Mereka menjauhi dunia dan terus melakukan ibadah, mereka mengembangkan suatu bentuk khusus dari persepsi yang terjadi melalui pengalaman eskotik. Menurut mereka, manusia berbeda dengan binatang karena kesanggupannya menyadari. Persepsinya ada dua macam: pertama, persepsi bagi ilmu dan bermacam-macam pengetahuan, dan ini boleh jadi berupa ketetapan di hati, sangkaan, ragu-ragu, atau khayalan. Kedua, persepsi bagi keadaan yang tumbuh pada diri manusia, seperti senang dan susah, gelisah dan rileks, puas, marah, sabar, syukur, dan sebagainya. Maka makna yang rasional dan yang aktif di dalam tubuh manusia adalah yang tumbuh dari persepsi, kehendak, dan keadaan. Itulah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pengetahuan berasal dari bukti, sedangkan senang, susah, berasal dari persepsi tentang sesuatu yang dirasakan
DU MM Y
seperti sakit atau gembira, segar setelah istirahat dan malas karena kelelahan. Demikian pula para sufi, latihan rohani dan ibadah yang mengarah pada suatu keadaan yang merupakan hasil dari latihan ruhani mujahadahnya. Keadaan itu bisa menjadi suatu bentuk ibadah hingga mendarah daging pada para pelaku sufi tersebut, dan menjadi suatu maqam pemberhentian baginya, atau, keadaan itu boleh tidak menjadi ibadah, tetapi menjadi suatu sifat yang memengaruhi jiwa, seperti susah dan gembira atau bersemangat dan malas.
Tempat-tempat pemberhentian maqāmat, membentuk suatu tata meningkat, dan berusaha naik tingkat dari satu maqam ke maqam yang lain, hingga sampai pada kematangan akan keesaan Tuhan (tauhid) dan gnosis (ma’rifat) yang merupakan puncak keinginan dari pada kebahagiaan.80 Sabda Nabi Saw.:
ْمَلْع َ
أ ا ِلَبَج ِنْب ِذاَعُمِل .معص لا ُلْوُسَر َلاَق . َلاَق ِكِلاَم ُنْب ِسَنَأ ْنَع
81
)ْدَ ْ ح َ
أ ُهاَوَر( َةَنَ ْ
لا َلَخَد لا َلاِا َلهِا لا ْن َ
أ ُدَه ْشَي َتاَم ْنَم ُهن َ
Artinya:
أ
Dai Anas ibn Malik berkata, bersabda Rasulullah Saw. Kepada Muaz bin Jabal ketahuilah, barangsiapa mati dalam keadaan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka ia masuk surga (riwayat Ahmad).
Oleh karena itu, bila sudah sampai pada tingkat/maqam tertentu para sufi tersebut memiliki bentuk tingkah laku dan bahasa khusus yang sulit dipahami bagi kalangan yang bukan sufi, disebut syaṭahat. Dengan demikian, mereka pun memiliki disiplin ilmu tersendiri, yang tidak dibicarakan oleh ahli-ahli syari’at dan akibatnya ilmu syari’at terbagi dua arah: pertama, ilmu yang merupakan lapangan khusus bagi para ahli fiqhi dan mufti, yaitu bidang yang berkenaan dengan hukum-hukum secara umum mengenai ibadah, tingkah laku dan muamalat. Kedua, ilmu yang merupakan lapangan khusus bagi sufi yang berkenaan dengan mujāhadah pemeriksaan ketat atas diri sendiri, pembicaraan tentang berbagai macam pengalaman mistik dan ekstetik yang terjadi dengan
80Ibnu Khaldum, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha, Muqaddimah Ibnu Khaldum (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2000), hlm. 625.
81Abū Abdillah Aḥmad Ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilal ibn Asadi al-Syaibāni, Musnad Aḥmad, juz 26 (http://www.islamic-council.com ), hlm. 199.
DU MM Y
jalan dan introspeksi terhadap terminologi teknis dari mistisisme yang dipergunakan di kalangan mereka.82 Maka sebagian sufi menulis tentang hukum mengenai asketisme dan pemeriksaan diri, bagaimana bertindak dan tidak bertindak. Sebagian lagi menulis tata cara ṭariqah, pengalaman mistik dan asketik mereka dalam berbagai kondisi. Ilmu tasawuf menjadi suatu disiplin ilmu yang tertulis dalam Islam, yang sebelumnya hanya merupakan suatu ibadah saja, dan hukum-hukumnya telah terwujud di dalam dada manusia. Hal yang sama terjadi pula pada semua disiplin ilmu lainnya, seperti tafsir Al-Quran, ilmu Hadis, fiqhi, usul fiqhi, dan sebagainya.
Latihan-rohani (mujāhadah), menyendiri (khalwat), dan berdoa (zikir) ini biasanya diikuti dengan tersingkapnya tabir perasaan dan melihat dunia ketuhanan, termasuk di dalamnya roh. Bilamana penutup perasaan telah tersingkap dan roh menjauh dari rasa lahir dan masuk ke dalam egonya sendiri, maka kekuatan yang ditimbulkan oleh perasaan itu menjadi lemah. Roh menjadi kuat memperbarui pertumbuhannya, doa memberi bantuan kepada roh, seperti makanan untuk menjadikan roh itu tumbuh. Pertumbuhan dan perkembangan berjalan terus hingga pengetahuan atau ilmu membawa kepada kesaksian. Zuhud dan tirai perasaan tersingkap, roh menemukan ego yang sebenarnya, lalu sampai pada pengertian (persepsi). Dari sini, sang sufi mulai memahami sifat-sifat Allah, mendapat bagian dari ilmu-Nya, menerima rahmat yang khusus daripada-Nya; dan rohnya menjadi lebih dekat mencapai kesempurnaan. Tersingkapnya tabir atau kasyf ini sering terjadi pada mereka yang berusaha membiasakan diri dengan latihan-latihan rohani.
Mereka itu paham akan berbagai rahasia ciptaan Tuhan yang tidak bisa ditangkap oleh orang lain, begitu pula mereka dapat mengetahui banyak peristiwa sebelum terjadi, mereka mempunyai kekuatan untuk menundukkan benda-benda lain kepada kemauannya.
Beberapa ulama mutaakhkhir mendiskusikan persepsi yang ada di belakang metafisika. Bagi mereka, jalan-jalan riyādah berbeda sesuai dengan perbedaan pengajaran tentang penekanan sampai tuntas.
Kekuatan perasaan dan memberi makanan roh melalui zikir, hingga jiwa memperoleh persepsinya yang ada padanya dari zatnya melalui kesempurnaan pertumbuhan dan peningkatannya. Mereka berasumsi,
82Ibnu Khaldum, Muqaddimah, Op. Cit., hlm. 626.
DU MM Y
apabila hal itu sudah diperoleh, alam wujud menjadi terbatas di dalam persepsi jiwa. Mereka dapat menyingkap esensi wujud dan menyaksikan hakikat-hakikatnya. Demikianlah pendapat al-Ghazālī di dalam kitab al-Ihyā’ Ulūm al-Dīn sesudah menyebutkan bentuk riyadhah.