• Tidak ada hasil yang ditemukan

bentuk isi maupun bentuk yang menerima kutub al-sittah. Keenam kumpulan hadis standar, yang memandang ṭariqah atau tasawuf sebagai dimensi batin atau jantung pewahyuan Islam, yang percaya tentang islamitas seni Islam dalam hubungannya dengan dimensi batin Islam yang dalam segi politik selaluberangkatdarirealisme sesuai dengan norma-norma Islam.100

Alasan tradisionalis bersikeras untuk mengukuhkan pertentangan antara tradisi dan modernism, tidak lain karena sifat modernisme telah menimbulkan citra yang sama di bidang religius dan metafisika, yaitu menampakkan yang setengah benar sebagai kebenaran. Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai mahluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisance, tetapi sebagai makhluk suci yang tak lain adalah manusia tradisional.

Manusia suci kata Seyyed Ḥossein Nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal dan pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.101

dalam Islam, di samping mempunyai perbedaan. Istilah sufisme hanya digunakan dalam agama Islam, dengan kata lain muncul dari dalam Islam sendiri. Sementara itu, Tradisi dan Perennial digunakan untuk semua agama, dengan alasan bahwa kebenaran mutlak hanya satu, dan dari yang satu memancar berbagai kebenaran seperti matahari yang memancarkan cahayanya. Tradisi terkait dengan pengetahuan dan kesucian dalam berbagai aspek kehidupan yang dilalui manusia, tidak hanya dalam kaitannya dengan dunia fisik-material, tetapi juga dalam metafisk-transendental. Sementara itu, Perennial dapat bermakna timeless (tanpa waktu) dan spaceless (tanpa ruang). Ide ini berbicara seputar prinsip Ilahi, yang diyakini secara universal dan menjadipokokperhatiansertakesadaranspiritualmanusia dalam segala ruang dan waktu. Oleh karena itu, gagasan ini sangat tepat apabila disebut hikmah abadi.

Seyyed Ḥossein Nasr menegaskan bahwa, Islam mengajarkan keingkaran kepada Allah Swt. terjadi pada level psikis, bukan pada level jasmani. Jasmani hanyalah sebagai instrumen bagi kecenderungan-kecenderungan yang berasal dari dalam jiwa. Jiwa itulah yang harus dilatih dan didisiplinkan untuk mempersiapkannya kepada spirit.103 Manifestasi kekuatan-kekuatan Ilahi maupun kekuatan-kekuatan jahat terjadi pada level psikis, atau level menengah yang tidak bersifat material maupun spiritual secara murni. Keadaan surga dan neraka berhubungan dengan imbangan-imbangan makro kosmosnya di dalam berbagai level dari substansi menengah ini begitu ia bercampur dengan pengaruh-pengaruh baik maupun buruk. Selanjutnya, substansi ini di dalam mikro kosmosnya atau manusia mencakup jasad hingga pusat Ilahi di dalam hati manusia, sehingga salah dan berbahaya apabila manusia mempersamakan segala sesuatu yang nonmaterial dengan agama atau spiritual. Perbuatan ini terjadi karena ilusi optis dari pembatas relitas menjadi dua domain oleh dualisme Cartesian.

Inilah kesalahan yang terjadi secara merata dalam gerakan-gerakan keagamaan yang baru di Barat, terutama sekali di Amerika pada saat ini. Dalam hal-hal tertentu, kesalahan ini dapat membukakan jiwa pengaruh-pengaruh yang paling rendah, serta menghancurkan dan menggoyahkan kepribadiannya. Mempersamakan hal-hal yang bersifat

103Seyyed Ḥossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 52.

DU MM Y

nonmaterial dengan hal-hal yang bersifat spiritual adalah karena tidak memahami sifat realitas; kompleksnya jiwa manusia; sumber, serta realitas dari kejahatan; dan perjuangan spiritual yang perlu untuk mencapai mata air kehidupan. Satu-satunya yang dapat memuaskan dahaga-dahaga spiritual secara permanen, bukan secara ilusif dan sementara.104

Seyyed Ḥossein Nasr menyoroti kekeliruan yang terjadi, yakni mempersamakan hal-hal yang psikis dengan hal-hal spiritual yang menjadi ciri zaman modern ini, semakin digalakkan oleh kecenderungan kuat lainnya dari kebutuhan manusia untuk menembus alam pengalaman yang terbatas. Para sufi selalu mengajarkan bahwa manusia mencari Yang Tak Terhingga, bahkan perjuangan yang tak henti-henti untuk memperoleh kekayaan material, dan ketidakpuasannya terhadap segala sesuatu yang telah dimilikinya, adalah gema (echo) dari kehausannya kepada Yang Tak Terhingga itu, kehausan yang tidak dapat dilampiaskan dengan yang terhingga. Itulah sebabnya mengapa para sufi memandang tahap kepuasan (riḍa) sebagai kondisi spiritual yang tinggi.105

Kondisi spiritual yang tinggihanya dapat dicapai oleh manusia yang telah “hampir” kepada Yang Tak Terhingga dan telah memutuskan belenggu-belenggu eksistensi yang terbatas. Kebutuhan untuk mencari Yang Tak Terhingga ini dan untuk melampaui hal-hal yang terhingga, jelas terlihat di dalam kebangkitan gerakan-gerakan religius di Barat sekarang. Banyak manusia modern yang bosan dengan pengalaman-pengalaman psikis yang terbatas di dalam kehidupan sehari-hari meskipun kesenangan hidupnya secara material. Hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat memperoleh pengalaman spiritual yang otentik. Pengalaman yang di dalam masyarakat Tradisional merupakan cara-cara yang wajar untuk menemukan batasan-batasan dari eksistensi yang terbatas ini. Mereka berpaling kepada segala macam pengalaman psikis yang membukakan kepada mereka alam dan horizon baru, walaupun yang bersifat buruk. Perhatian yang besar terhadap fenomena psikis, seperti “proyeksi astral”, pengalaman-pengalaman yang lain dari pada yang biasa dan yang semacamnya sangat erat berhubungan dengan dorongan di dalam batin manusia. Demi mendobrak dunia yang

104Ibid.,hlm. 52.

105Ibid.,hlm. 52.

DU MM Y

terbatas dan menyesakkan di dalam suatu kebudayaan yang tujuannya tidak lebih daripada mempercepat suatu ideal kesejahteraan material yang khayal, yaitu kesejahteraan yang gampang diperoleh.106

Kompleksitas kecenderungan manusia menjadi penyebab pendorong ketidaksadaran manusia mempersamakan hal-hal yang nonmaterial dengan hal-hal yang spiritual. Menurut Seyyed Ḥossein Nasr, kondisi ini menciptakan kebingungan yang paling berbahaya di dalam kehidupan religius manusia modern di Barat, terutama sekali di Amerika, paling terasa betapa perlunya menemukan kembali alam spiritual. Dari sudut pandangan sufi, jelas membedakan fenomena psikis dengan fenomena spiritual. Sedemikian banyak orang-orang yang menyatakan diri mereka berbicara mengenai spirit, padahal berbicara mengenai jiwa dan memanfaatkan dahaga manusia modern terhadap hal-hal di luar pengalaman yang dimungkinkan oleh kebudayaan industri modern kepada mereka. Kebingungan yang terkandung dalam kekacauan yang hebat inilah, yang kita saksikan di bidang religius di Barat dan yang membuat unsur-unsur terjauh dari Tradisi-Tradisi suci dapat menyerap energi manusia-manusia yang berniat baikdanlebihmenghancurkan diridari pada mengintegrasikan kekuatan psikis mereka.107

Lebih lanjut, Seyyed Ḥossein Nasr menegaskan bahwa yang suci berhubungan dengan alam spirit, bukan dengan alam fisik. Ia sempurna dan suci, lebih memberikan penerangan dan lebih mengintegrasikan daripada membuat manusia terlunta-lunta di dalam liku-liku yang merupakan ciri dari alam psikis dan mental, apabila alam-alam ini tidak diterangi oleh spirit. Karena bersumber dari Allah Swt., hal yang suci itu mengharuskan kita semua menjadi manusia-manusia yang sesungguhnya.

Untuk mensucikan kehidupan kesucian ini, maka kita harus menjadi suci, seperti halnya dengan karya seni yang suci. Kita harus memahat substansi jiwa kita menjadi sebuah patung manusia suci yang menunjukkan kepada kita bagaimana kita dapat berada di dalam haribaan Allah Swt. seperti ketika kita diciptakan sebagai imago Dei (bayangan Allah Swt.) sesuai dengan ucapan Nabi Muhammad Saw.

Dalam sebuah Hadis dikatakan,

106Ibid.,hlm. 53.

107Ibid., hlm. 54.

DU MM Y

َع َمَدآ َقَلَخ لا ن ِإَف معص ِلا ُلْوُسَر َلاَق : َلَاق َةَرْيَرُه ْ ِبَأ ْنَع