• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Sang Ayah; Riwayat Aktivisme dan Keberanian Ruyat

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 133-138)

Ruyati Darwin Korban Tragedi Mei

III. Anak Sang Ayah; Riwayat Aktivisme dan Keberanian Ruyat

Orang-orang memanggilnya Ibu Darwin, namun perempuan lembut berkaca- mata lebar itu memiliki nama asli Ruyati. Nama itu diberikan orang tuanya untuk mengenang “riwayat yang mengandung arti”, kepanjangan dari nama tersebut, yaitu peristiwa dijatuhkannya bom Atom di kota Nagasaki dan Hiro- shima menjelang berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945. Namun Ruyati juga diambil dari kata “yayat” yang berarti derajat, sebuah do’a supaya Ruyati akan menjadi orang yang bermartabat.6 Ruyati yang lahir di Bandung pada

tahun 1946 kini telah berumur 62 tahun dan memiliki 6 (enam) anak, 4 (empat) orang laki-laki yakni dan 2 (dua) orang lainnya perempuan. Mereka adalah 1) Almarhum Eten Karyana, 2) Tata Subrata, 3) Adi Aswadi, 4) Lilis Daruningsih, 5) Dian Mulyaningsih, 6) Cucu Ruyana Darwin.7

Ruyati mendapatkan pendidikan di Sekolah Rakyat, setingkat dengan Sekolah Dasar. Dia masih ingat ketika itu harus belajar membaca dan menulis dengan menggunakan asbak, semacam papan tulis kecil berwarna hitam, dan grip, semacam kapur tulis yang berasal dari batu.

Tidak lama setelah menikah, Ruyati pindah ke jakarta mengikuti suaminya. Mereka menumpang di rumah saudara tua suami di asrama Brimob, Puloga- dung jakarta Timur. Tidak lama setelah itu mereka pindah ke daerah Jatinegara dan selanjutnya mereka tinggal di kampung Penggilingan, Cawang, Jakarta Timur. Mereka tinggal di Penggilingan sampai sekarang.

III.1. Riwayat Aktivisme Ruyati

Ruyati merupakan pribadi yang aktif di lingkungannya. Ketika masih muda, dia aktif di kelompok PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dan men- duduki jabatan sebagai sekretaris PKK di desanya. Selain itu Ruyati juga aktif di kepengurusan arisan se- RW- I di desa Penggilingan. Melalui PKK Ruyati terbiasa mengelola kegiatan misalnya mengkordinir anak remaja untuk keg- iatan olah raga, kesenian, membuat kostum dari karton untuk persiapan per- ayaan hari besar nasional. Sering anak-anak di kampung itu memesan kostum yang terbuat dari kertas krep dan kertas manila berwarna-warni.

Kehidupan keluarga cukup harmonis ketika itu. Anak-anak mendukung keg- iatan Ruyati, ibunya. Anak-anak sudah berlajar mandiri sejak dini, mengurus sendiri urusan mereka misalnya mencuci pakaian, membersihkan rumah dan lain-lain. Dukungan ini memungkinkan Ruyati bisa beraktivitas secara aktif di

6 Wawancara dengan Ruyati tanggal 23 Januari 2009 7 Wawancara dengan Ruyati tanggal 22 Januari 2009.

kelurahan bahkan di kecamatan. “Saya baru menyadari sekarang, saya tidak ca- pek. Itu mulai dari (mereka sekolah di) SMP dan SMA. Ibu sangat terbantu, termasuk memasak. Sekarang juga masih didukung anak-anak, mereka di kampung Jembatan Penggilingan”.8

Latar belakang aktivitasnya di masyarakat sangat berpengaruh terhadap kip- rahnya dalam memperjuangkan hak-hak korban kerusuhan Mei 1998 di ke- mudian hari. Hal ini terlihat dengan keaktifan Ruyati dalam menekuni dunia gerakan pembelaan hak asasi manusia korban Mei 1998. Sejak mendapatkan undangan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) pimpinan Romo San- dyawan, sejak itu pula Ruyati terus aktif mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan TRK. Bahkan ketika pendamping dari LSM semakin bertambah, Ruyati turut aktif dalam menyambut kegiatan-kegiatannya. Pada saat itu be- berapa LSM turut mendampingi kelompok korban Mei 1998 misalnya dari El- sam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Kalyanamitra, SIP (Suara Ibu Peduli), KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan lain-lain.9

Ruyati menyadari posisinya sebagai ibu rumah tangga dengan kemampuan terbatas. Namun bukan berarti dia merasa kecil hati. Melalui aktivitasnya dalam organisasi tersebut Ruyati menyimak, mendengarkan, mempelajari ber- bagai hal yang diajarkan oleh pendamping dari LSM, misalnya pemahaman atas konteks kejadian kerusuhan 1998, wawasan mengenai sosial politik ne- gara, wawasan mengenai pembelaan terhadap masyarakat korban (advokasi), cara mengorganisir kelompok korban bahkan cara membuat proposal suatu kegiatan. Ruyati mulai mengerti mengapa dalam 30 tahun terakhir dia berakti- vitas di tengah masyarakat merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa adalah dise- babkan karena politik otoritarian model Suharto. Ketekunan ini mengantarkan dia terpilih menjadi ketua Paguyuban Kelurga Korban Kerusuhan Mei 1998 sejak berdiri tahun 2006 hingga sekarang.10

III.2. Dari Memasak Hingga Berorasi di Tempat Umum

Pendampingan LSM membawanya pada aktivitas-aktivitas yang tidak selalu aman. Barisan ibu-ibu tidak jarang ditempatkan di garis depan untuk mengha- dapi para penjaga keamanan supaya mereka tidak terlalu bertindak keras. Pada banyak kesempatan strategi ini berhasil, karena sikap polisi akan lebih hormat kepada ibu-ibu yang maju di depan. Kadang secara sengaja Ruyati menekank- an orasinya di depan aparat polisi dengan mengajak mereka berempati, mera- sakan apa yang mereka rasakan sebagai ibu yang kehilangan anaknya, yang

8 Ibid

9 Wawancara tanggal 22 Januari 2009. 10 Wawancara tanggal 20 Januari 2009.

menjadi korban kerusuhan Mei 1998.

Namun hal ini tidak selalu berhasil. Pada saat kelompok korban dari berbagai komunitas berkumpul dan menyuarakan protes kepada pemerintah supaya lebih mendengarkan suara korban, keadaan menjadi anarkis. Saat demonstra- si di kawasan Sarinah jalan Tamrin Jakarta, Ruyati pernah terjatuh di depan seorang penjaga polisi, dan ketika seorang teman berdiri ingin menolongnya tiba-tiba ada suara tembakan. Teman itu rubuh dan segera dilarikan ke rumah sakit. Ruyati tidak gentar dengan pengalaman keras ini, justru dia semakin solider kepada kawan-kawan seperjuangan, kawan-kawan yang mau membe- lanya bahkan sampai tertembak oleh aparat.

Melihat nasib Ruyati yang aktif di organisasi walaupun kondisi kehidupan keluarganya serba berkekurangan, saudara-saudaranya di Bandung sering mengharapnya untuk pulang kampung. Di Bandung, Ruyati memiliki rumah peninggalan orang tuanya. Namun Ruyati telah menikmati perjuangannya di Jakarta, Ruyati tidak bisa tinggal diam di Bandung sementara perjuangan bisa dilakukan untuk alamarhum Eten, anak tercintanya. Perjuangan ini harus di- lanjutkan supaya nasib anaknya tidak akan terulang kepada anak-anak lain- nya.

Saudara-saudaranya memahami sikap keras Ruyati ini. Mereka tidak heran, semangat inilah yang diturunkan ayah mereka di masa lalu. Bapaknya adalah seorang haji, dan berprofesi sebagai pengusaha keramik, kerajinan tangan, kayu berhias batik dan lain-lain yang cukup berhasil hingga dapat mengek- spor produknya ke luar negeri. Untuk itu kadang bapaknya membutuhkan penerjemah, dan salah satu penerjemah dan pembuat surat perusahaan saat itu adalah Eten Karyana, sang cucu yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998. Ke- aktifan bapaknya mengantarkan pada beberapa penghargaan dari pemerintah, sehingga suatu saat sang bapak pernah berfoto bersama dengan Soeharto. 11

“Semangat harus! Kalau kita nggak semangat, ya udah hilang nanti. Salah satunya harus ada yang kuat. Emang kebanyakan ibu-ibu sih..ya segen lah..males lah! Lebih- lebih masih belum ada perubahan apa-apa. Itulah nanti yang membuat kasus ini lama- lama menghilang. Jadi ya udahlah, saya akan usaha untuk memberikan kepada ibu-ibu

yang lainnya supaya tetap semangat. Walaupun nggak setiap ini, tapi selalu ada. Selalu perjuangan kita ada. Jangan sampai tidak ada perjuangan sama sekali. Karena itu perbuatan Negara yang membuat kita jadi begini. Membuat kita jadi kehilangan anak, bapak, istri, itu kan negara! Negara harus bertanggungjawab....”12

11Wawancara dengan Ruyati tanggal 23 Januari 2009. 12 Wawancara dengan Ruyati, Selasa 20 Januari 2009

.

III.3. Trauma Itu Masih Tersisa

Kerusuhan Mei 1998 sudah berlalu sebelas tahun yang lalu. Namun tiap kali menjawab pertanyaan mengenai soal kematian anaknya, Eten Karyana, Ruyati selalu masih merasakan sedihnya. Kadang-kadang Ruyati masih bisa berbicara lancar mengenai bagaimana anaknya dulu tekun bekerja untuk membantu ke- luarganya. Namun jika cerita itu sampai pada detik dimana Eten Karyana me- ninggal di Yogya Plaza itu hatinya masih terasa ngilu. Rasa marah, kecewa dan sedih menjadi satu. Kadang-kadang air mata mengalir tanpa diminta. Sambil meminta maaf kepada peneliti, Ruyati kembali tersenyum melanjutkan ceri- tanya.

Malam itu tanggal 13 Mei 1998, Ruyati yang sendiri di rumah merasa gundah karena anaknya belum pulang sejak pagi. Semua perasaan itu mencapai pun- caknya ketika Ruyati mendengar kepastian bahwa anaknya telah meninggal, ketika abu jenazahnya dengan identitas KTP dalam dompet yang masih utuh, di bawa ke rumah malam itu, dan ketika pagi berikutnya abu jenazah itu di- buka. Ruyati tidak kuat, menangis histeris, dan jatuh pingsan saat itu. Peristiwa ini merupakan hal traumatik yang pernah dia rasakan dalam hidupnya. Hari-hari berganti dan Ruyati tidak tahan melihat barang-barang yang meng- ingatkan Ruyati pada almarhum anaknya. Maka barang-barang almarhum pun dikumpulkan dalam sebuah karung dan disimpan. Hanya sisa KTP Eten yang masih di bawa oleh Ruyati.

III.4. Terjebak dalam Pusaran Kekerasan dan Kemiskinan

Ruyati tidak sekedar mengalami penderitaan karena meninggalnya Eten Kary- ana yang sempat menjadi harapan gantungan hidup keluarga, namun dia juga mengalami masalah lain yang tidak kalah beratnya. Ruyati mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Jika dalam berjuang bersama Paguyuban dia menuntut keadilan dalam ruang publik supaya pemerintah mengakui adanya pelanggaran HAM pada kasus kerusuhan Mei 1998 dan bertanggungjawab akan hal itu, maka di ranah domestik Ruyati juga tidak bebas dari situasi ke- kerasan.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1997, setahun menjelang kerusuhan Mei 98. Krisis moneter yang berujung pada krisis ekonomi tak bisa teratasi oleh pemer- intah. Banyak perusahaan gulung tikar dan harus mem-PHK (Putus Hubun- gan Kerja) para buruh. Angka pengangguran melonjak, dan suami Ruyati adalah salah satu korbannya. Sejak itu pula, kondisi keluarga menjadi goncang. Setelah beberapa kali usaha dilakukan akhirnya tidak ada yang berjalan lancar. Mungkin karena depresi dan kehilangan rasa harga diri, sang suami menjadi

bertemperamen keras. Hubungan suami istri diwarnai dengan konflik. Ruyati

yang cukup aktif melakukan aktivitas sosial tidak menyelesaikan masalah, jus- tru membuat sang suami sering merasa cemburu yang memicu emosi. Hubun- gan yang dipenuhi dengan kekerasan akhirnya menjadi mode dari hubungan suami istri.

Ketika kerusuhan itu terjadi, dan Eten sang anak menjadi korban, maka apa yang dialami Ruyati bagaikan jatuh tertimpa tangga pula. Ruyati mengabaikan situasi domestiknya dan berkonsentrasi pada kegiatan memperjuangkan nasib keluarga korban Mei 1998. Namun tak pelak, jika kondisi Ruyati sangat lelah dan membutuhkan istirahat di rumah, harapan ini sering kandas dan kembali komunikasi dalam keluarga kembali memanas. Ruyati terjebak dalam pusaran kekerasan, namun dia tidak tinggal diam.

Situasi kekerasan yang dialami Ruyati berhubungan erat dengan kondisi eko- nomi keluarga yang semakin lama semakin buruk sejak suaminya mendapat- kan PHK. Latar belakang suami yang menjadi sekretaris pada sebuah kantor keuangan tidak memberinya keahlian memadai untuk membangun usaha bisnis di luar. Ketika suami mencoba bisnis dengan rekanan, kehidupan bis- nis yang kejam tak dapat dikuasainya. Suaminya bangkrut karena ditipu oleh rekanan kerjanya.

Sejak itu suami tidak bisa bangkit kembali setelah mencoba dua kali usaha bisnis dan berakhir kegagalan. Sejak itu pula Ruyati mengambil tanggungja- wab untuk melakukan apapun yang dapat mendukung supaya mereka dapat makan. Meskipun anak-anak sudah berkeluarga, dan mereka juga membantu Ruyati dan suaminya, namun kondisi kemiskinan yang melilit tak kunjung teratasi. Kini, Ruyati yang dulu pernah hidup bersama suami dan keluarga secara berkecukupan jatuh ke dalam kemiskinan. Kadang-kadang dia tak mampu membayar rumah petak kontrakannya tepat waktu. Bahkan kadang- kadang uang untuk makan di hari esok juga masih belum tentu tersedia. Na- mun, Ruyati tidak tinggal diam.13

III.5. Menggerakkan Diri, Mengobati Luka Batin

Situasi kekerasan baik di ranah domestik maupun ranah publik yang selalu mengancam tak membuat Ruyati gentar. Dia merasa harus tetap bergerak. Dia tidak bisa diam menghadapi masalah ini kalau tidak ingin menjadi gila. Maka dia putuskan untuk aktif mencari tahu masalah yang sedang menimpanya. Untuk merespon masalah keluarga dia berkonsultasi kepada Kalyanamitra, sebuah lembaga pendamping perempuan korban kekerasan di Jakarta. De-

ngan proses yang berat namun berani, Ruyati belajar memahami relasi laki-laki dan perempuan yang diwarnai kekerasan. Dengan usahanya yang gigih, kini hubungan keluarga ini dapat bertahan, walaupun sekali waktu situasi tegang masih muncul. Itu hal biasa dalam kehidupan rumah tangga.

Ruyati juga memutuskan untuk aktif dan belajar sebanyak-banyaknya dari para pendamping korban kerusuhan Mei 1998. Ketulusan para pendamping, terutama di awal-awal proses setelah peristiwa kerusuhan, yakni dari TRK tidak sia-sia. Ruyati belajar menghadapi situasi sulit. Ruyati juga belajar ber- organisasi, mengorganisir keluarga korban, bahkan kini Ruyati memegang ja- batan sebagai ketua Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998.

Aktivitas demi aktivitas tersebut dapat membuat Ruyati tidak saja terhibur, namun juga digunakan olehnya untuk memelihara harapan. Kadang-kadang jika Ruyati sedang melakukan orasi, ingatan akan segala kepahitan ini hadir. Maka dia kadang merasa marah sembari berorasi, merasa semua sesak di dada dia keluarkan. Kadang-kadang dia juga berlari dari rumah menghindari situasi kegerahan, sehingga kadang dia berangkat pagi sekali menuju kantor IKOHI, dan pulang ke rumah pada sore menjelang malam. Dengan demikian dia sudah melepaskan beban-beban batin itu. Kini dia lebih tenang dalam menghadapi masalah sempitnya hidup ini. Esok selalu ada harapan kehidupan yang lebih baik. Akan ada uluran tangan baginya untuk menyambung kehidupan, entah dari siapa. Esok juga korban Mei 1998 akan diakui sebagai korban, dan akan mendapatkan hak-haknya untuk dipulihkan, entah kapan.14

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 133-138)