• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenal Bedjo Untung

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 102-106)

Meniti Jalan tanpa Ujung

IV. Mengenal Bedjo Untung

Nama YPKP kini tidak bisa dilepaskan dari Bedjo Untung yang juga menjabat sebagai ketua. Bedjo Untung memiliki jaringan luas baik, dengan para komu- nitas keluarga korban tragedi 1965/1966 di seluruh Indonesia melalui YPKP, dengan organisasi korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang), JSKK (Jaringan Solidaritas Korban dan Kelu- arga Korban), maupun dengan lembaga-lembaga LSM dan jaringan masyara- kat sipil lainnya.

Hal di atas dikarenakan sikap aktif Bedjo Untung yang membuka diri untuk menyatukan tekad perjuangan advokasi menuntut negara agar memenuhi kewajiban mereka dalam memulihkan hak-hak warga Negara yang telah di- hilangkan (dalam konteks ini adalah para korban dan keluarga korban tragedi 1965/1966). Bedjo Untung memposisikan diri sebagai bagian dari para kor- ban lain yang menghadapi hal sama, yaitu pelanggaran HAM oleh Negara. Korban-korban lain itu misalnya keluarga korban peristiwa Tanjung Priok, keluarga korban peristiwa Talangsari lampung, keluarga korban kerusuhan Mei 1998, keluarga korban Semanggi I dan II, dan lain-lain. Bagi Bedjo Un- tung, perjuangan harus terus dilakukan sampai kapanpun. Bersama dengan

aktifits JSKK yang lain, Bedjo Untung menggagas dan menjalankan aktivitas

“Kamisan”, yaitu aksi diam dengan seragam hitam di depan istana presiden yang diikuti para korban pelanggaran HAM dan orang-orang yang mendu- kung mereka. Mereka tidak pernah bosan, tetap bertahan setiap Kamis sore

dalam 1,5 tahun sampai sekarang. “Kita selamanya nggak pernah pikirkan untuk berhenti. Kita terus. Kita semuanya sepakat. Sedikit atau banyak jalan terus. Pernah hujan tetap datang”, ujarnya.10 ” Kita kan merasa bahwa kita tidak salah. Nah kalau kita merasa benar, tapi didzalimi, kan begitu. Kita ditahan, dipenjara tanpa diadili. Jadi itu sampai kapanpun”.11

Siapakah Bedjo Untung sehingga memiliki semangat luar biasa dalam berjuang yang penuh tantangan dan tanpa harapan yang jelas tersebut?

IV.1. Masa Remaja di Jalan dan Penjara

Bedjo Untung lahir tanggal 14 Maret 1948. Pada saat pecah tragedi 1965, dia berumur 17 tahun. Ketika dia ditangkap pada tahun 1970 umurnya mencapai 22 tahun.12 Dia ditangkap pada tanggal 24 Oktober pukul 10.00 pagi di Jakarta,

saat dia masih bekerja sebagai kasir di Sarinah Department Store. Kemudian dia ditahan dan dikirim ke penjara khusus Salemba, kemudian dipindahkan ke dalam kamp kerja paksa yang terletak di Tangerang. Semua proses penahanan dan pemenjaraan tersebut dijalaninya tanpa proses hukum.

Pada tahun 1965 ini Bedjo Untung adalah siswa kelas tiga SPG (Sekolah Pendi- dikan Guru). Mestinya sebentar lagi dia akan lulus. Namun tidak lama sebelum kelulusan tiba, tragedi 1965 pecah. Banyak keluarganya yang ditangkap aparat. Kawan-kawan sekolah Bejo Untung yang aktif di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)13 banyak yang melaporkan diri kepada yang berwajib, namun mer-

eka kemudian diinterogasi. Banya diantara mereka yang ditendang dan disiksa pada saat interogasi. Karena Bedjo Untung tidak merasa bersalah, lagipula me- lihat temanya mendapatkan perlakuan kekerasan dan siksaan, Bedjo memutus- kan untuk tidak datang dan melarikan diri ke Jakarta. Alasan utamanya bukan karena dia anggota PKI namun karena menghindari tindakan kekerasan dan penyiksaan. Setelah melapor mereka ditangkap dan disiksa.14

10 Wawancara pada saat rapat evaluasi Kamisan, tanggal 23 Januari 2009, di kantor Kontras

11 Ibid

12 Wawancara dengan pak Bedjo oleh Feertje Liu melalui email terkirim tanggal 30 Jan- uari 2009, dan hasil wawancara dikirimkan oleh Bedjo Untung kepada Wakhit, peneliti, melalui email pada tanggal 31 Januari 2009.

13 IPPI adalah organisasi pelajar independen, berdiri pada tahun 27 September 1945. IPPI mendukung dan melaksanakan ajaran Bung Karno. Lihat dalam “Mengenang IPPI, Korban Tragedi ‘65”, ditulis oleh HD. Haryo Sasongko, mantan Ketua Umum IPPI di Jawa Tengah, Penulis buku “Catatan Harian Anak Bangsa Terpidana”, http://www. forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=20267&start=0

IV.2. Bertahan dalam Siksaan

Selama di penjara, Bedjo Untung mendapatkan perlakukan tidak manusiawi. Dia dipenjara tanpa proses pengadilan, seperti korban-korban lainnya. Penyik- saan saat interogasi tahun pertama penahanan sangat berat di hadapan operasi militer Angkatan Darat yang dikenal dengan Kamp Operasi Kalong. Sudah tak terhitung berapa kali, namun siksaan-siksaan diterimanya tanpa dapat mela- wan. Dia ditelanjangi, disiksa, diestrum, ditendang dan pukul.15

Ruang sempit berukuran 2x2 meter dihuni oleh 6 orang tanpa perlengkapan yang memadai. Di sana hanya ada 3buah sendok saat makan untuk nasi yang basi, tida ada obat dan dokter. Dia tidak bisa tidur karena kepalaran dan mend- erita kurang gizi. Dalam ruang tahanan itu para tahanan tidak boleh tak boleh ngobrol satu sama lain, suasanannya penuh teror.Setiap malam Bedjo selalu ada yang berteriak karena mendapt siksaan. Dalam ruang tahanan itu tidak ada

aktifitas lain kecuali menunggu interogasi berikutnya. Tahanan harus bangun

pada jam 5 pagi, kemudian harus berjalan memutar ruangan berukuran 40 m persegi. Kontak antar tahanan satu dengan yang lain dilarang lebih kurang 5 tahun sampai ada tekanan internasional16

Pada tahun berikutnya Bedjo dipindahkan ke penjara Salemba dan terakhir dipindah lagi ke penjara Tanggerang. Selama di sana dia dipaksa untuk ikut kerja paksa di sawah yang jarak tempuhnya mencapai 7 km tiap hari mulai jam 5 pagi hingga 6 sore dengan pengawasan yang ketat. Banyak teman-temannya sesama tahanan yang menderita kelaparan, banyak yang mati. Oleh karena itu mereka makan apa saja yang ada termasuk hewan-hewan seperti anjing, kuc- ing, cicak dan sebagainya. 17

Ayahnya juga mengalami nasib serupa. Ditahan di Nusa Kambangan dan dip- indahkan ke Pulau Buru untuk masa penahanan 14 tahun. Hal serupa juga di- alami oleh paman Bedjo yang dihilangkan hingga kini. Bedjo meyakini bahwa pamannya sudah mati dibunuh berikut juga dengan teman-teman, tetangga dan saudara yang ia kenal.

Dampak psikologis juga harus dirasakan oleh ibu dan kedua adiknya yang ti- dak pernah lepas dari rasa takut. Ibunya harus meninggalkan kedua adik Bedjo kepada sanak saudaranya karena takut mereka juga akan ditangkap dengan tuduhan yang sama.

15 Wawancara Floortje Liu, ibid

.

16 Wawancara Floortje Liu, ibid. 17 Wawancara Floortje Liu, ibid.

Ibu dari Bedjo Untung juga harus bertahan hidup dengan berbagai cara, salah satunya adalah berjualan ikan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan berjalan kaki demi bertahan hidup. Ketika Bedjo dibebaskan dari tahanan, ia berhasil bertemu kembali dengan ibu dan adik-adiknya, yang ia temui dalam kondisi susah.

IV.3. Memelihara Harapan Menunggu Pembebasan

Selama masa penahanan, Bedjo Untung selalau berkeyakinan bahwa suatu saat ia dan para tahanan yang masih berada di dalam penjara akan dibebaskan. Keyakinan itu selalu ia pupuk dan ia percayai melebihi apapun yanng sempat ia miliki. Meski kondisi tahanan tidak memadai dari segi higienisitas, namun Bedjo Untung selalu menjaga kesehatannya dan mencoba tetap berpikir rasion- al dalam menanti masa pembebasan. Berbagai tekanan internasional dilancar- kan untuk memberi peringatan kepada rezim Orde Baru terkait dengan ma- sih dilakukannya penahanan sewenang-wenang kepada mereka para tahanan politik kasus 1965/1966.

Aktivitas Bedjo Untung di dalam organisasi YPKP, agenda pertemuan rutin lintas korban, pertemuan rutin dengan institusi negara dan serangkaian ak- tivitas yang bisa mendukung kerja advokasi kasus 1965/1966, juga didukung dengan gerakan kultural lintas korban yang dinamai dengan Aksi Diam Hitam Kamisan. Aksi yang sudah berlangsung selama 2 tahun tersebut, merupakan aksi rutin yang dilakukan tidak saja oleh korban dan keluarga korban pelang- garan HAM berat masa lalu untuk menuntut negara menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang selama ini masih belum mendapat kejelasan status hukumnya. Aksi Diam Hitam Kamisan tidak saja didukung oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu, namun juga didukung oleh kelompok anak muda yang memiliki kepedulian sosial atas penderitaan dan kerugian lahir batin yang dialami oleh para eks tapol dan keluarga korban tragedi 1965/1966.

Pada masa itu, diakui oleh Bedjo, tidak ada pihak manapun yang akan mem- berikan dukungan maupun pertolongan terhadap orang-orang atau kelompok yang dituduh sebagai simpatisan PKI. Bagi siapapun yang memberikan ban- tuan secara terang maupun sembunyi-sembunyi akan ikut mengalami nasib se- rupa: ditahan, disiksa dan dijebloskan dalam rumah-rumah tahanan tanpa me- lalui proses hukum yang berlaku. Selepas dari masa penahanan, Bedjo bekerja sebagai pekerja sosial di sebuah panti asuhan. Ia memberi pelajaran musik dan bahasa inggris untuk anak-anak di sana.

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 102-106)