• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjadi Orang Hilang

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 107-111)

Mugianto Sipin Korban Penculikan Aktivis 1997/

I. Menjadi Orang Hilang

Akhir tahun 1997, para mahasiswa dan pemuda melakukan aksi-aksi kecil dan terserak baik di lingkungan kampus maupun instansi pemerintah. Jatuhnya nilai rupiah, semakin mendorong munculnya aksi-aksi. Pada Januari 1998, ak- si-aksi dilakukan berbagai kelompok seperti mahasiswa baik kelompok Cipa- yung (HMI, PMII, GMNI dan GMKI) maupun non Cipayung seperti koalisi LSM, Ormas, Kelompok Pemuda dan buruh. Jumlah massa yang terlibat dalam aksi-aksi tersebut antara puluhan hingga ratusan orang. Isu-isu utama yang menonjol adalah isu ekonomi.Bulan-bulan berikutnya aksi-aksi semakin me- ningkat, dan memasuki penghujung bulan Maret 1998 mulai muncul tuntutan- tuntutan politik terutama tuntutan mundurnya Presiden Soeharto. Masyarakat mulai menunjukkan respon mendukung aksi-aksi mahasiswa. Pada bulan Mei 1998, aksi mahaiswa semakin meningkat terlebih setelah pemerintah menaik- kan harga BBM dan terjadinya penembakkan di kampus Trisakti yang diikuti oleh kerusuhan di berbagai kota. Di Jakarta aksi mahasiswa terakumulasi pada gedung DPR/MPR yang mencapai puncak dengan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.1

Situasi politik Indonesia tidak saja memanas karena aksi-aksi mahasiswa, na- mun jauh sebelum ini yakni sejak tahun 1995 situasi politik Indonesia memang bergejolak. Hal ini ditandai dengan berkembangnya opini pemerintahan Soe- harto tidak lagi mampu menjaga keutuhan dan kekompakkan barisannya. Berita perpecahan elite politik, perpecahan kalangan petinggi militer ditambah dengan, berita-berita pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timtim, serta krisis ekonomi dunia yang juga berimbas ke Indonesia semakin menguatkan gejolak politik.2

I.1. Politik Penghilangan Paksa

Penghilangan orang secara paksa sering disebut sebagai ibu dari pelanggaran HAM. Di dalamnya terkandung banyak unsur pelanggaran HAM antara lain 1) Penghilangan hak kehidupan seseorang, 2) Perampasan kebebasan atau ke-

merdekaan fisik secara paksa, 3) Penyiksaan dan 4) Penganiayaan.3

Penghilangan paksa biasa dilakukan oleh rejim totaliter otoritarian misalnya terjadi di Jerman terhadap kaum Yahudi oleh rezim Hitler, di banyak negara Asia dan yang paling fenomental adalah di Amerika Latin, terutama di Argen-

1 Ester dkk., Kerusuhan Mei 1998: Fakta dan Peristiwa, hal. 57. 2 Ibid, hal 47

3 Lihat, Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad hoc Penyeli- dikan Pelanggaran Hak Asasi yang Berat, Peritiwa Penghilangan orang Secara Paksa Periode 1997-1998,dalam www.komnas.ham.org diakses pada 22 Juni 2009.

tina ketika dibawah kekuasaan junta militer pada tahun 1976-1983. Pimpinan Junta, Jenderal Videla pernah mengatakan ”Berapapun banyaknya orang harus mati, demi keamanan negeri ini”. Maka korban banyak sekali diculik, dieksekusi, jasadnya dibuang dan dihilangkan, bahkan ada yang dibuang dari pesawat ke lautan luas dalam keadaan masih hidup.4

Di Indonesia penghilangan paksa dilakukan sejak lama. Salah satu yang mo- numental dilakukan oleh Rejim Suharto pada tahun 1997-1998. Penghilangan orang pada saat menjelang runtuhnya Suharto dilakukan dalam tiga tahap, yang pertama untuk merespon gerakan Mega-Bintang-Kerakyatan. Megawati sebagai Icon perlawanan terhadap Orde Baru bersatu dengan PPP untuk me- mikirkan suatu kemungkinan timbulnya kepemimpinan baru ke depan untuk menjadi alternatif dari Golkar yang selama ini menjadi mesin kekuasaan Orde Baru menjelang pemilu tahun 1997. Rezim yang berkuasa merasa terancam dengan gerakan ini sehingga para simpatisan dari PDI (Partai Demokrasi Indo- nesia) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) banyak yang menjadi korban penculikan. Diantara korban penculikan saat itu adalah Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Sonny dan Yani Afri adalah aktivis PPP (Partai Persatuan Pem- bangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang menjadi korban pen- culikan di Jakarta ketika muncul fenomena koalisi akar rumput Mega-Bintang antara pendukung PPP dan PDI melawan Golkar pada saat kampanye pemilu 1997. Sampai kini kelima orang tersebut belum diketahui keberadaannya.Tu- juan dari penculikan ini adalah untuk menghambat gerakan Mega-Bintang untuk mendapatkan suara lebih banyak dalam pemilu mendatang yang akan membahayakan posisi Golkar sebagai mesin politik Orde Baru.

Tahap kedua terjadi pada awal tahun 1998 untuk pengamanan agenda Sidang Umum MPR untuk memenangkan kembali Suharto sebagai presiden yang ke-7 kalinya. Tindakan yang dilakukan adalah penangkapan dan penculikan terhadap aktivis-aktivis pro demokrasi yang diduga akan mengganggu Sidang Umum MPR yang akan dilakukan pada bulan Maret 1998. Mereka yang men- jadi korban pada penculikan ini antara lain adalah aktivis Aldera (Pius Lustril- anang) yang sebelumnya aktif di SIAGA (Solidaritas untuk Amin dan Mega), LBH Nusantara Bandung (Desmon Junaidi Mahesa), PDI Megawati (Haryanto Taslam, Sekjen DPD PDI DKI), Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Terdapat 14 korban yang dicu- lik, 9 orang diantaranya telah dilepaskan, termasuk Mugiyanto, 1 orang dite- mukan meninggal yaitu Gilang, dan 4 orang yang belum diketahui keberadaan- nya hingga saat ini. Mereka adalah Wiji Thukul, Petrus Bimo Anugerah, Suyat dan Herman Hendrawan.5

4 Mugiyanto, Mencontoh Argentina Menangani Masa Lalu, diposting pada 9 November 2007 dalam www.mugiyanto.blogspot.com diakses pada 22 Juni 2009.

Tabel

Korban Penghilangan Paksa yang Dikembalikan6

No Nama Korban Tanggal Hilang Keterangan

1 Aan Rusdiyanto 13 Maret 1998 Diambil paka di rumah susun Klender Jakarta Timur

2 Andi Arief 28 Maret 1998 Diambil paksa di Lampung 3 Desmon J Mahesa 4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta 4 Faisol Riza 12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS

Cipto Mangun Kusumo Jakar- ta Pusat

5 Haryanto Taslam 2 Maret 1998 Saat mengendarai mobil dike- jar dan diambil paksa di depan pintu Taman Mini Indonesia Indah

6 Mugiyanto 13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur

7 Nezar Patria 13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur

8 Pius Lustrilanang 4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta 9 Raharja Waluya

Jati

12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS Cipto Mangun Kusumo Ja- karta

Tahap ketiga merupakan puncak penghilangan orang, dimana menjelang pen- gunduran diri Suharto sebagai presiden RI tanggal 21 Mei 1998 banyak sekali masyarakat menjadi korban dan tidak diketahui keberadaanya hingga seka- rang. Dimulai tanggal 12 Mei 1998 ketika terjadi penembakan terhadap maha- siswa Trisaktif, kemudian disusul dengan kerusuhan di Jakarta pada tanggal 13, 14 dan 15 Mei 1998. Jakarta dan beberapa kota rusuh, banyak korban tak

teridentifikasi dan banyak orang tidak diketahui lagi rimbanya.7

Dengan tidak menyertakan korban pada kerusuhan Mei 1998, korban peng- hilangan orang pada tahun 1998 secara keseluruhan terdapat 23 orang. 1 (satu) orang meninggal dunia, 9 orang dikembalikan (sebagaimana di atas) dan 13

.blogspot.com, Mei 2008. Tulisan ini diambil dari VHR Media, diposting oleh penulisnya di www.mugiyanto.blogspot.com diakses pada 22 Juni 2009

6 Lihat: www.mugiyanto.blogspot.com

orang masih hilang. Tiga belas orang tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Tabel

Korban Penghilangan Paksa yang Hingga Kini Belum Kembali8

No Nama Korban Tanggal Hilang Keterangan

1 Dedy Hamdun 29 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta 2 Hermawan Hen-

drawan

12 Maret 1998 Diambil paksa di Jakarta 3 Hendra Hambali 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta 4 Ismail 29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta 5 M Yusuf 7 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta 6 Noval Al Katiri 29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta 7 Petrus Bima Anu-

grah

Minggu ke III bu- lan Maret 1998

Diambil paksa di Jakarta 8 Sony 26 April 1997 Diambil paksa di Jakarta 9 Suyat Februari 1997 Diambil paksa di Jakarta 10 Ucok Munandar

Siahaan

14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta 11 Yadin Muhidin 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta 12 Yani Afri 26 April 1997 Diambil paksa di Jakarta 13 Wiji Tukul Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

I.2. Politik Impunitas Bagi Pelanggar HAM

Mugiyanto berpendapat bahwa impunitas (membiarkan pelaku tetap bebas) secara umum memiliki tiga pola tindakan. Pertama, pelaku sama sekali tidak disentuh oleh proses hukum. Kasus tragedi kemanusiaan tahun 1965, yang meliputi peristiwa pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang, penahanan semena-mena, pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat se- dikit yang ditangani melalui proses hukum. Para pelaku pelanggaran HAM menikmati impunitasnya karena tidak diperkarakan secara hukum.

Kedua, pelaku dibebaskan oleh hakim dalam proses pengadilan, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Misalnya adalah pembebasan MA atas Mayor Jenderal (Purn) Pranowo terdakwa kasus pelanggaran berat HAM pada

peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dengan alasan bahwa perkara Pranowo tidak dapat diterima (niet ontvankelijkheid/NO). Kasus serupa yang dibebaskan

oleh MA lainnya menurut identifikasi Komisi untuk Orang Hilang dan Kor- ban Tindak kekerasan (Kontras) setidaknya MA ada 18 kali membebaskan para pelanggar HAM, yang meliputi 16 kasus Timor Timur 1999 dan kasus Tanjung Priok 1984 (Siaran Pers Kontras 16 Januari 2006). Sebelumnya, pada tanggal 8 dan 9 September 2005 Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura Berdarah tahun 2000 juga membebaskan 2 orang terdakwa yaitu Kombes Johny Wainal Usman dan AKBP Daud Sihombing.

Ketiga, kasus dipeti-eskan atau dibiarkan mengambang dengan alasan-alasan teknis yuridis-prosedural. Keberadaan undang-undang, seperti UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pangadilan HAM yang banyak kelema- han, serta belum adanya UU perlindungan Saksi dan Korban kerap dijadikan perlindungan bagi para pihak yang memiliki tanggung jawab untuk menun- taskan pelanggaran HAM seperti Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, teru- tama TNI yang sering menjadi pihak yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Contoh nyata dari pola ini terjadi antara lain kasus Trisakti-Semanggi I dan II yang berhenti di Kejaksaan Agung, kasus Lampung 1989, Bulukumba, tragedi 1965 dan Manggarai di Komnas HAM, dan yang sa- ngat menonjol akhir-akhir ini adalah kasus pembunuhan aktivis HAM Munir di Kepolisian.9

Cara mengulur waktu, menunggu situasi menguntungkan untuk pelanggar HAM supaya mendapat impunitas (bebas dari jeratan hukum) menjadi benang merah bagi seluruh pola di atas. Dan hal ini terjadi pada kasus penghilangan orang seperti di bawah ini.

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 107-111)