• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peristiwa yang Merubah Segalanya

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 153-159)

Azwar Kaili Korban Peristiwa Talang Sari,

III. Peristiwa yang Merubah Segalanya

“Saya, dengan kemapanan ekonomi yang sudah dimiliki,9 tidak bisa membayangkan ketika harus menjadi orang melarat. ‘Bagaimana ya rasanya?’ ujar saya membatin”10 Ungkapan Ismini, isteri Azwar Kaili, di atas merupakan kondisi psikologis se- seorang yang sudah mencapai kesejahteraan dan kemapanan ekonomi yang sudah diraihnya. Satu bentuk kecemasan antara takut kehilangan atas apa yang diraih dan perasaan khawatir untuk menghadapi realitas pahit yang akan dihadapi jika jatuh miskin. Dengan kata lain, sikap tersebut adalah satu pem- bayangan untuk memulai segala sesuatunya dari awal di mana sebelumnya su- dah diraih dengan susah payah. Sikap semacam ini juga yang hampir dialami oleh semua orang yang sudah mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi di atas rata-rata masyarakat yang lainnya.

Ternyata kecemasan Ismini menjadi kenyataan. Kesejahteraan ekonomi yang yang dimiliki oleh keluarganya hancur dan raib seketika dalam hitungan hari. Peristiwa itu berawal dari surat pemanggilan yang ditujukan kepada suaminya agar segera melapor ke kantor Kecamatan Jabung pada 6 Februari 1989, jam 08.00 WIB. Surat itu sendiri dibawa oleh Tarmuji, Pamong Desa Sidorejo pada hari Sabtu, 4 Februari 1989, sekitar jam 11.00 WIB. Berhubung Azwar masih memiliki urusan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan, ia mendatangi kantor kecamatan satu hari setelah waktu ditentukan. Ia, dengan mengendarai sepeda motor, berangkat ke kantor Kecamatan pada pukul 08.00, 7 Februari, 1989. Sesampainya di sana, ia langsung menyerahkan surat pemanggilan itu kepada petugas piket pegawai kecamatan. Karena Camat sedang tidak berada di tem- pat, ia dipertemukan dengan wakil Camat Jabung untuk diperiksa mengenai aktivitas yang dilakukan di rumahnya. Sebagaimana laporan yang disampai- kan Puskesmas Sidorejo, ada tuduhan bahwa Azwar telah mendirikan balai pengobatan dan kursus kesehatan kepada sejumlah masyarakat. Sebelumnya, ia juga mendapatkan surat panggilan untuk menghadap ke kantor Koramil

8 Wawancara dengan Ismini, 4 Desember 2008. 9 Garis miring dari penulis

.

Jabung terkait dengan tuduhan serupa.11

Tuduhan yang dilayangkan oleh kedua lembaga pemerintah tersebut dibantah. Alih-alih mendirikan balai pengobatan dan mengadakan kursus kesehatan, ia, karena melihat ada dua puluhan orang muda yang putus sekolah, berinisiatif membuka kursus keterampilan. Dengan harapan, lewat keterampilan yang di- berikan tersebut bisa menjadi bekal hidup mereka kelak di masa depan. Ket- rampilan itu lebih terkait dengan dunia salon dan tata rias kecantikan, mulai dari cara mengeriting rambut, memotong rambut, hingga bagaimana merias pengantin. Kursus keterampilan itu baru berjalan dua bulan dan masih dalam tahap percobaan. Sebab itu, Azwar atas saran wakil Kecamatan Jabung diminta untuk membuat surat bantahan, dengan meminjam surat panggilan laporan palsu kepada lembaga pemerintah itu untuk digandakan, sebagai bukti pence- maran nama baik. Berhubung tidak ada rental fotokopi di kantor itu, ia me- minta ijin kepada wakil Kecamatan Jabung untuk pamit pulang ke rumah agar keesokan harinya surat-surat tersebut bisa digandakan di tempat lain. Selepas dari kantor kecamatan, pada pukul 12.30 WIB, Azwar bergegas ke kantor Kora- mil untuk menyerahkan surat bantahan atas laporan palsu yang ia terima. Namun sayang, orang yang dimaksud itu tidak berada di tempat. Azwar lalu pergi ke rumah komandan Koramil dan menyerahkan surat bantahan tersebut kepada pembantu laki-lakinya.12

Azwar, dengan perasaan lega, menaiki kendaraannya menuju rumah. Baru setengah jam perjalanan, kopling motor yang dikendarainya putus. Beruntung bengkel motor terletak tidak jauh dari tempat motornya rusak. Tidak sampai setengah jam kopling motor itu sudah dapat diganti dan berfungsi dengan baik. Ia meneruskan perjalanan. Tidak lama berselang, tiba-tiba hujan deras. Ia berhenti di warung kopi sampai jam 17.00 WIB. Khawatir terlalu malam diper- jalanan, ia berniat melanjutkan perjalanannya. Lagi-lagi motornya menghadapi persoalan. Motor itu tidak bisa dihidupkan meski sudah dicoba berkali-kali. Pa- dahal, saat itu waktu sudah menunjukkan jam 18.00 WIB. Tentu saja, menjelang malam seperti itu kendaraan umum sudah tidak ada yang melintas.13

Tidak disangka, ternyata ia melihat Hasan, teman kampung di Sidorejo, yang berasal dari Madura, sedang mengendarai sepeda motor berboncengan den- gan temannya, Suhadi. Azwar tanpa pikir panjang memanggil mereka untuk berhenti. Saat mereka berhenti, Azwar menceritakan mengenai kondisi yang terjadi dengan motornya. Mereka memeriksa kondisi motor miliknya. Setelah dicoba untuk dihidupkan berkali-kali motornya tetap tidak bisa dihidup- kan. Kesimpulan yang didapatkan setelah memeriksa kondisi dalam mesin,

11 Arsip dokumen Pribadi Keluarga Azwar Kaili, tidak diterbitkan, 1989 12 Ibid

motornya mengalami kerusakan pada perapian mesin yang terhubung dengan busi. Akhirnya, mereka menarik motor milik Azwar dengan seutas tali pinja- man dari pemilik warung kopi. Sementara Azwar sendiri mengendarai sepeda motornya yang ditarik itu.

Sekitar pukul 21.00 WIB Azwar dan kedua orang yang menolongnya sampai di depan rumahnya. Ia sangat kaget bercampur heran, mengapa semua lampu di sekitar rumah dan lingkungan tetangganya padam. Saat masuk ke rumahnya, Azwar bertambah khawatir ketika tidak ada satu pun isteri dan anak-anaknya menjawab panggilan dan ketukan pintu olehnya berkali-kali. Hasan, melihat kondisi yang mencurigakan itu, menawarkan Azwar menginap di rumahnya. Azwar, karena merasa kelelahan mendorong motornya yang mogok dengan kedua kakinya sebagai tumpuan yang ditarik dengan seutas tali tersebut, mengiyakan ajakan tersebut. Terlebih hari sudah larut malam.

Di rumah Hasan, sang isteri menyiapkan makan malam untuk mereka. Azwar dan Hasan, selepas makan malam, menikmati secangkir kopi sambil berbin- cang-bincang. Sang isteri kemudian ikut bergabung dan menceritakan kepada mereka mengenai apa yang terjadi di siang hari. Siang itu, kata isterinya Hasan, persis di depan rumah Azwar telah terjadi insiden yang menggemparkan ma- syarakat. Berita yang beredar, lanjutnya, adalah pengeroyokan masyarakat ke- pada garong (pencuri) yang masuk ke rumah Zamzuri. Akibat insiden itu ada tiga orang yang mati, Sarwoso, lurah desa Sidorejo, polisi, dan juga temannya Zamzuri dari Solo.

Azwar sangat khawatir ketika mendengarkan cerita tersebut. Terlebih lagi in- siden itu terjadi dekat di depan rumahnya. Ia teringat dengan isteri dan anak- anaknya yang masih kecil. Isterinya Hasan, melihat kecemasan di wajah Az- war, memintanya tenang dan tidur dulu, terlebih kondisinya sudah sangat kelelahan. Ia diminta untuk tidak perlu khawatir. Akibat letusan tembakan dalam insiden itu, kata isterinya Hasan, banyak dari masyarakat sekitar sudah menyingkir mencari tempat aman. Azwar kemudian pergi ke arah tempat ti- dur yang sudah disediakan oleh tuan rumah. Meski sangat lelah ia tidak dapat tertidur lelap. Sesekali ia terbangun, teringat isteri dan anak-anaknya. Saat ter- bangun itulah ia melihat Hasan berjalan masuk dan keluar rumah berulang kali dengan wajah penuh kecemasan.

Pada pukul 05.00 WIB Azwar bangun dari tempat tidur. Ia mengambil air wudhu untuk menunaikan salat subuh. Setelah sarapan pagi, ia membicarakan kembali persoalan yang diperbincangkan semalam dengan Hasan sambil me- nikmati teh panas. Ia mengungkapkan keheranannya kepada Hasan mengenai ketidaklaziman seorang pencuri yang beraksi di siang hari. Ini karena, orang bila ingin mencuri biasanya dilakukan di malam hari, saat semua orang terle-

lap. Sekitar jam 11.00, ia pamit dengan Hasan untuk menengok keluarganya di rumah seraya mengucapkan terima kasih.

Ia, dalam perjalanan pulang ke rumah, melihat banyak orang berkumpul di pasar tempat mereka berjualan. Azwar, dengan keingintahuan mendalam, ber- jalan mendekat untuk mengetahui perihal yang mereka bicarakan. “Ada apa sebenarnya yang terjadi kemarin siang”, tanyanya kepada salah seorang yang ber- kumpul tersebut. “Lho, jadi Bapak belum tahu ya atas apa yang terjadi kemarin?” Tanya salah satu warga. “Belum, karena kemarin saya ada urusan ke Jabung hingga larut malam sehingga tidak tahu atas apa yang terjadi”, jawabnya Azwar. Salah seorang di antara mereka lalu menceritakan peristiwa yang sama persis den- gan penjelasan isterinya Hasan. Namun, di antara mereka tidak mengetahui dengan pasti atas apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam waktu bersamaan, lewat dua orang Babinsa yang berjalan tidak jauh dari tempat posisi Azwar berdiri. Salah seorang Babinsa itu melambaikan tan- gan dan memanggilnya. Ia pun mendatangi mereka. “Bapak Azwar, kemarin saya mendapatkan pesan dari Komandan Koramil. Bila saya bertemu dengan anda, saya di- minta menyampaikan pesan agar Bapak Azwar datang ke kantor Koramil yang berada di Jabung”. Ucap petugas Babinsa tersebut. “Kapan? Apakah sekarang? Kalau seka- rang saya tidak memiliki sepeda motor? Sepeda motor saya rusak”, ungkap Azwar. Babinsa itu menawarkan boncengan kepadanya hingga perempatan Pogung. Sebelum menuju perempatan itu, ia meminta kepada petugas Babinsa untuk mampir sebentar ke rumahnya. Sayang, saat berada di rumah Azwar tidak menemui isteri dan anak-anaknya.

Di perempatan Pogung inilah mereka berhenti persis di depan warung makan. Ia turun dan makan bersama dengan petugas Babinsa yang juga ingin makan siang. Di tempat itu juga ada beberapa anggota kepolisian yang sedang menik- mati santap siang. Kebetulan, pemilik warung itu adalah orang Padang sehing- ga memudahkan dirinya untuk meminta tolong. Saat itu kenang Azwar, selain berhutang atas makan siang, ia memohon pinjaman uang sebesar Rp 5000 ke- pada pemilik warung makan tersebut. Dari perempatan Pogung, ia menggu- nakan kendaraan umum menuju kantor Koramil.

Ia, setelah sampai di kantor Koramil, langsung menemui anak buah Komandan Koramil. “Bapak, Komandan nya ke mana? Katanya saya dipanggil untuk bertemu dengannya?” tanya Azwar. “Oh, Komandan sedang berada di luar, Bapak tunggu saja dulu.” Jawab anak buah Komandan Koramil tersebut. Hampir satu jam Azwar menunggu, namun Komandan Koramil yang memanggilnya belum datang. Ti- ba-tiba datang seorang lelaki berbaju preman, dan menyuruh anak buahnya itu membawa Azwar ke kantor Kapolsek. Azwar dengan keras menolak. Ia merasa tidak memiliki urusan dengan kepolisian. Lagi pula kehadirannya di sini dim-

inta oleh Komandan Koramil. Karena itu, ia akan menunggunya untuk memin- ta penjelasan mengapa ia dipanggil. Anggota Koramil itu, melihat penolakan Azwar yang begitu keras, keluar ruangan dan masuk kembali beberapa menit kemudian. Ia lalu membujuk Azwar, “Oh tidak ada apa-apa. Bapak hanya dipang- gil saja oleh pihak kantor kepolisian. Mari, saya antarkan,” bujuk anggota Koramil. Mereka berdua pun berangkat ke kantor kepolisian.14

Sesampainya di sana, ia langsung digeledah, seluruh pakaiannya diperiksa oleh seorang anggota kepolisian. Tanpa ada jeda istirahat, ia langsung diintero- gasi, “Kartunya (Kartu Tanda Penduduk) mana? Bapak kemarin seharian ke mana dan ada di mana?” tanya salah seorang angggota kepolisian. Ia merasa kebingun- gan dengan penggeledahan dan pertanyaan tersebut. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, karena merasa tidak bersalah, ia menerangkan kronologis aktivitas yang dilakukannya sepanjang hari kemarin. Terlebih lagi dalam ruangan itu, ia mengenal dan berbincang-bincang dengan beberapa ang- gota kepolisian saat kemarin mereka makan siang di warung dekat perempa- tan Pogung. Karena itu, tidak ada satu anggota kepolisian yang memukulnya. Setelah itu, ia ditahan dalam sebuah sel. Di ruangan itu ia melihat seseorang dengan kondisi muka yang berlumuran darah. Azwar ditanya oleh anggota kepolisian yang mengantarkannya ke sel dan bertanya, “Bapak mengenal orang ini?” “Tidak”, jawab Azwar. Lelaki itu juga balik ditanya, apakah ia mengenal dengan Azwar. Jawabannya pun sama dengan Azwar.

Sekitar satu jam di ruangan tahanan, ia dan lelaki itu, dengan kondisi tangan diborgol, dibawa keluar oleh beberapa anggota kepolisian. Sontak, ia tambah kebingungan, “Ada apa ini sebenarnya? Mengapa saya dipanggil di sini?” tanya Azwar. “Begini Pak, Sidorejo dalam kondisi yang sangat genting dan gawat. Jadi, untuk sementara Bapak kami amankan dahulu ke Kantor Kodim, Metro,” jawab ang- gota kepolisian. Mendengar jawaban itu, Azwar makin penasaran, “Kalau me- mang Sidorejo dalam keadaan gawat, mengapa saya ditahan? Apakah di Sidorejo isinya seorang Azwar saja, mengapa yang lain tidak diamankan?”. Anggota kepolisian itu gelagapan, ia malah menuju arah ke depan mobil, seakan menghindar pertan- yaan itu, “Enggak ada apa-apa kok, kami hanya ingin mengambil keterangan saja dari Bapak Azwar,” jawab mereka.

Ia kemudian memasukkan Azwar bersama lelaki itu ke mobil menuju kantor Kodim di Metro. Azwar, lelaki itu, dan beberapa orang yang sudah berada di sana, dipanggil secara bergiliran saat berada di ruangan besar yang berada di kantor Kodim. “Julianto” ujar anggota militer yang bertugas. Lelaki yang mukanya berdarah itu langsung menuju ke arah suara ia dipanggil. Beberapa menit kemudian, “Azwir”, “Saudara Azwir, “Azwir”, kata anggota militer. Az- war, merasa yang dipanggil itu bukan namanya, hanya diam. Lalu datang tiga

orang anggota militer menghampirinya. Salah seorang dari mereka berbicara, “Mengapa dipanggil tidak mau menjawab”. “Siapa Pak yang dipanggil? Yang dipanggil namanya adalah Azwir, sedangkan saya adalah Azwar” jawab Azwar ten- ang. “Oh Azwar ya! masuk ke sini Pak!” kata seseorang dari ruang sebelah memotong pembicaraan.

Azwar kemudian dipisahkan, dan dibawa ke ruangan Bapak Ampusinga, Kasi satu dari Korem. Ampusinga meminta dompetnya dan mengeceknya sambil bertanya, “Bapak kemarin ke mana?” Azwar lalu menceritakan kembali waktu yang dihabiskannya kemarin. Ia, dalam dompet tersebut, menemukan surat dari anaknya Azwar yang sedang belajar di Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah, dan kemudian mengajukan pertanyaan, “Oh, anak Bapak mondok di Ngruki ya? Apakah Bapak tidak tahu bahwa gurunya itu sedang dalam pencarian, namanya Abdullah Sungkar?” Azwar, dengan polos, menjawab bahwa ia tidak tahu. Ia, dapat informasi dari tetangga sekitarnya bahwa sekolah di sana itu lebih tertib dan bagus. Banyak dari para tetangganya yang juga menyekolah- kan anak-anaknya di sana. Karena itu, ia menuruti saja kemauan anaknya ke- tika ingin menuntut ilmu di Ngruki. Ia, atas saran Ampusinga, diminta untuk mengambil anaknya agar tidak sekolah di tempat itu. Azwar mengangguk saja. Ampusinga lalu membuat surat kecil yang berisi catatan agar ia tidak “diapa- apakan” terlebih dahulu. Ini karena belum jelas persoalannya, apakah ia terli- bat atau tidak. Setelah memberikan surat itu kepada anak buahnya, ia bergegas pergi menuju kantor Kodim. Di ruangan besar yang berada di Kodim inilah Azwar, sambil duduk, melihat bagaimana para anggota militer, dengan mem- buka baju, menyiksa orang dewasa dan anak-anak yang masih berumur 16-17 tahun dengan tangan dan senjata. Ia tidak kuasa menahan air mata melihat itu. Setelah puas melakukan penyiksaan, salah seorang dari anggota militer mendatanginya sambil membentak, “Ini dia satu lagi!”. Azwar, merasa tidak bersalah, menantangnya dengan keras, “Saya dipanggil ke sini belum tahu duduk persoalan sebenarnya. Kalau memang Bapak mau memukul, silakan saja pukul saya. Ditembak saja saya berani, kalau memang saya benar-benar terlibat masalah ini”. Orang itu langsung mengurungkan niatnya.

Setelah dilakukan pemeriksaan, Azwar dipindahkan ke Lembaga Pemasyara- katan Tanjung Karang yang berada di daerah Lebak Budi. Selepas ditahan selama dua hari ini, ia dipindahkan ke Korem 043 di Tanjung Karang untuk diperiksa kembali selama dua hari. Ia, melalui pemeriksaan dengan seksa- ma, ternyata tidak terbukti bersalah. Keesokan harinya, pukul 09.00, setelah mendapatkan surat pembebasan, ia bersiap kembali menuju ke rumahnya, Sidorejo. Ia, saat akan pulang ke rumah, didatangi oleh seorang militer ber- pangkat Mayor. Menurutnya, ia telah berbohong, ia sebenarnya terlibat dalam peristiwa itu. Informasi ini didapatkan dari laporan kepolisian dan masyarakat

desa Sidorejo sendiri.

Akhirnya, Azwar ditahan kembali di Lembaga Pemasyarakatan Umum yang berada di Lebak Budi, Tanjung Karang di bawah pengawasan militer. Di sana, ia diinterogasi kembali terkait keterlibatannya dengan peristiwa yang terjadi pada 7 Februari 1989. Dalam proses interogasi itu penyiksaan demi penyik- saan ia alami. Ini karena, ia dianggap tidak mau menceritakan peristiwa yang sesungguhnya. Sementara ia sendiri sudah berkata jujur atas apa yang ia habis- kan waktu sehari penuh. Selama ditahan tiga bulan inilah ia diperlakukan se- wenang-wenang layaknya binatang. Sebagaimana diungkapkan olehnya:

“Ya, saya dianggap bukan manusialah waktu itu. Punggung saya dipukul sampai pingsan ditendang oleh sepatu mereka. Badan saya juga babak belur dipukul mereka. Sampai sekarang kondisi badan, akibat pemukulan itu, sering kumat. Ketika itu, makanan yang kotor-kotor sering dikasihkan kepada para tahanan, termasuk saya. Bahkan, saya, saking hausnya, meminum air bak sisa orang membersihkan buang hajat. Apalah boleh buat, dari pada saya mati kehausan, karena tidak pernah dikasih air minum. Pisang yang dikasihkan oleh sipir penjara juga habis tidak tersisa, saya habiskan dengan kulit-kulitnya, saking laparnya.” 15

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 153-159)