• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Minang di Tanah Rantau

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 149-151)

Azwar Kaili Korban Peristiwa Talang Sari,

I. Anak Minang di Tanah Rantau

Azwar Kaili lahir pada tahun 1942 di Painan, Padang. Ia anak terakhir dari enam bersaudara. Ia menempuh pendidikan hingga kelas III Sekolah Menen- gah Pertama (SMP) pada tahun 1957. Sayang, ia tidak sempat menamatkan pendidikannya. Dikarenakan ia bergabung dengan Tentara Pelajar Pasukan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang dipimpin oleh Komandan Ahmad Husein Simbolon.1 Sebagaimana diketahui, PRRI di mata

pemerintah pusat Indonesia dianggap sebagai pemberontak yang ingin me- misahkan diri dari republik. Di PRRI inilah ia dilatih untuk mendalami bidang kesehatan. Banyak hal yang ia pelajari dalam bidang ilmu kesehatan, mulai dari pengetahuan obat-obatan, cara merawat orang luka, menjahit luka akibat sayatan, ataupun tertembak oleh peluru. Setelah tiga tahun bergelut di bidang kesehatan, PRRI dapat dilumpuhkan oleh pemerintah Indonesia. Para anggota PRRI diminta bergabung kembali oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka diberikan pilihan; ingin meneruskan sekolah di akademi militer atau meneruskan ilmu kesehatan.

Sementara itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang menguat di pelbagai level nasional, dari tingkat pemerintah hingga tingkat Rukun Tangga (RT), dan persaingan partai politik di tingkat nasional semakin tajam. Solidaritas dan semangat komunis yang begitu kuat, secara tidak langsung, memaksa setiap warga untuk memiliki rasa simpati dan empati terhadap anggota masyarakat yang lainnya. Satu bentuk solidaritas yang “dipaksakan” itu adalah gotong royong dan pos ronda. Bagi orang yang tidak mau terlibat aktif dalam aktivitas tersebut, dengan alasan apapun akan terkena hukuman. Ia akan dianggap ti- dak memiliki solidaritas terhadap sesama warga kampung lainnya. Hal inilah yang dialami Azwar. Ia, dengan kondisi badan yang demam saat itu, pernah diancam untuk direndam tubuhnya di sungai jika tidak mau menjaga keaman- an kampung di malam hari. Tindakan-tindakan agresif yang hampir berujung dengan kekerasan semakin lama makin menyebar di seluruh kampungnya. Akhirnya, saat ia berumur 18 tahun, Azwar memutuskan untuk merantau ke tempat pamannya, Sahadi, di Tanjung Karang, Kabupaten Lampung Selatan di tahun 1959 ketimbang mengikuti pilihan yang diberikan pemerintah.2

Selama di Tanjung Karang, ia membantu Sahadi berjualan warung kelonton- gan. Salah satu barang dagangannya adalah rokok Cap Gentong. Saat itulah ia dipercaya oleh orang Tionghoa asal Serang, Banten, untuk menjadi agen rokok. Dengan menjadi agen, sedikit demi sedikit usahanya mulai membuahkan ha- sil. Di tengah kehidupannya, kondisi perpolitikan Indonesia sedang berubah drastis. Tepatnya pada satu Oktober tahun 1965 terjadi kudeta, yang oleh rezim

1 Wawancara dengan Azwar Kaili, Korban peristiwa Talang Sari, 3 Desember 2008 2 Wawancara dengan Azwar Kaili, Korban peristiwa Talang Sari, 2 Desember 2008

Orde Baru disebut sebagai “G 30 S/PKI”. Selain berpindahnya kekuasaan dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto, imbas dari “kudeta” itu adalah atas isti- lah “G 30 S/PKI itu sendiri: terjadi pembunuhan massal di seluruh Indonesia

dari tahun 1965-1966 kepada mereka yang berafiliasi dengan PKI maupun yang

di-PKI-kan. Sikap anti PKI dan pelbagai hal yang terkait dengannya pun mere- bak di seluruh penjuru Indonesia. Rokok Cap Gentong yang dijualnya menjadi sasaran amukan massa, yang terdiri dari gerakan pemuda, mahasiswa, dan masyarakat umum. Kejadian itu dipicu dari rokok yang dijualnya. Rokok Cap Gentong yang ia dapat dari orang Tionghoa, yang biasa disebut dengan pang- gilan China. Frase “China” sebagaimana direproduksi oleh rezim Orde Baru, distereotipkan dengan komunis. Dengan demikian, pelampiasan kemarahan dengan menghancurkan warung Azwar terhadap rokok Cap Gentong meru- pakan bentuk sikap anti komunis yang dilakukan oleh masyarakat luas. Aki- batnya, Azwar menderita kerugian besar, dan orang Tionghoa sebagai pihak pemasok, tidak mau mengirimkan kembali barang dagangannya.

Kondisi demikian tidak membuatnya patah semangat. Azwar lalu pergi meran- tau ke Palembang untuk mencari pekerjaan lain. Di tempat ini ia berdagang karet. Kepala desa tempat ia berdagang adalah Sirah. Lewat kekuasaannya sebagai kepala desa, Sirah sering menekan para pedagang yang lain, terma- suk Azwar, dalam meregulasi barang yang akan dikirim ke daerah lain. Dalam meregulasi karet yang mesti ditimbang dan dikirim, Sirah lebih mementingkan barang dagangannya. Merasa dirugikan, Azwar kemudian berpindah profesi menjadi pedagang ikan asin. Untung yang didapatkan dalam berjualan ikan asin terbilang besar, sekitar lima kali lipat dari modal yang ia tanamkan. Say- ang usaha itu tidak dilanjutkan. Lagi-lagi ia menderita kerugian besar. Peris- tiwa itu bermula dari kelalaian seorang kuli yang ia pekerjakan untuk men- gangkut peti-peti berisi ikan asin tersebut. Saat lima peti ikan asin sampai di pelabuhan Merak tiba-tiba hujan deras mengguyur. Sementara si kuli itu ter- lambat untuk menutupi peti-peti berisi ikan asin itu dengan terpal. Akibatnya, setelah dikirim selama 2-3 hari perjalanan menuju pelabuhan Tanjung Priok, ketika peti-peti yang berisi ikan asin dibuka isinya sudah banyak yang hancur. Sudah tentu lima peti besar yang berisi ikan asin tidak layak dijual.3

Namun, sebagai orang Minang yang memiliki mental merantau dan berdagang, peristiwa itu tidak membuatnya kapok. Sekitar tahun 1969, oleh Cepi Hidayat, ketua pembukaan lahan, ia diminta bergabung dengan kelompok masyarakat pendatang yang akan membuka Desa Sidorejo di kawasan Hutan Lindung Gu- nung Balak, Lampung. Alasan utama mengapa ia diminta bergabung adalah karena ia dianggap sebagai seorang mantri yang mengerti mengenai kesehat-

3 Wawancara dengan Azwar Kaili, Korban peristiwa Talang Sari, 5 Desember 2008

an. Dengan demikian, kehadirannya diharapkan dapat membantu kelompok masyarakat yang membutuhkan pengobatan. Pembayaran pengobatan itu akan dibayar setelah lahan mereka selesai dipanen.

Selama di desa Sidorejo, wilayah Gunung Balak, banyak dari anggota masyara- kat yang berobat kepadanya. Sayang, hanya satu kali ketua kelompok masyara- kat tersebut yang membayarnya setelah panen. Setelah itu, Azwar mengobati mereka dengan rasa penuh keikhlasan. Tidak ayal, modal yang dimiliki untuk membeli beragam obat dan peralatan kesehatan semakin menipis. Bahkan ia mengalami kerugian. Ini karena seluruh masyarakat wilayah Gunung Balak di- minta oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk meninggalkan tempat itu pada tahun 1972, termasuk Azwar. Gunung Balak, menurut Pemda, termasuk lahan hutan lindung, sehingga dilarang untuk dijadikan tanah hunian.

Dengan demikian, tidak ada orang yang membayar pengobatan kepadanya. Sebagian besar masyarakat desa Sidorejo yang “diusir” itu pindah ke daerah Gunung Sugi Bauk yang tidak jauh dari Sidorejo. Di sana mereka ditampung oleh Minah Raden. Azwar, dengan terpaksa, menjual modal satu-satunya, yai- tu sepeda motor dan kacamata. Kedua barang itu laku ia jual dengan harga 1.300 Rupiah. Namun uang itu tidak cukup untuk membeli beragam obat yang ia butuhkan untuk membuka praktik keliling. Ia lalu meminjam uang ke toko Apotik yang berada di daerah Metro. Dengan modal inilah ia kembali mem- buka praktik keliling sebagai seorang mantri di daerah Gunung Sugi Bauk. Di tempat itu pula ia bertemu dengan Ismini, yang baru saja pindah dari Bandar Jaya, pada tahun 1973. Mereka kemudian menikah pada tanggal 13 bulan Ma- ret 1973.4

Pada tahun 1974, sebagian masyarakat yang dipindah paksa itu kembali ke wilayah Gunung Balak, termasuk Azwar dengan isterinya ke desa Sidorejo. Di sana, ia diberikan lahan oleh ketua pembukaan untuk membuat rumah. Awal- nya, ia dijanjikan setengah hektar tanah. Tapi, setelah terjadi pergantian kepen- gurusan yang mengurusi pembukaan lahan, luas tanahnya mulai dikurangi untuk pendirian Gereja, sehingga ia hanya memiliki seperempat hektar tanah. Baru beberapa tahun menetap di Gunung Balak, masyarakat dipindahkan paksa kembali untuk pindah ke daerah Mesuji. Padahal, banyak dari mereka sudah membangun rumah secara permanen. Dari 12 desa yang berada di Gu- nung Balak itu hanya tiga desa yang bersikukuh tidak mau pindah, yaitu desa Sidorejo, Bandar Agung, dan Mojopahit.

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 149-151)