• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dibebaskan Tanpa Kebebasan

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 159-165)

Azwar Kaili Korban Peristiwa Talang Sari,

IV. Dibebaskan Tanpa Kebebasan

Pada 6 Mei 1989, Azwar, dengan nomor surat B/705/V/1989 yang dibuat oleh Komando Daerah Militer II Sriwijaya, Komando Resort Militer 043, dibebaskan dari penjara. Ia dianggap memiliki keterlibatan ringan sebagai eks Jamaah War- sidi.16 Betapa kaget ketika ia sampai di rumah. Rumahnya sudah hancur terba-

kar, dan semua isinya habis entah ke mana. Sementara isteri dan anak-anaknya juga tidak ada. Ia, dengan marah langsung ke kantor kepala Desa Sidorejo. Selain menginformasikan bahwa telah kembali dari tahanan, ia menanyakan perihal rumah dan seisinya yang hilang. Menurut Kepala Desa, sebenarnya ia dan para petugas sudah mengamankan dan mengunci rumahnya dengan baik. “Entah mengapa, rumah Bapak dihancurkan orang dan kami tidak tahu siapa orang- orangnya”, ujar Kepala Desa tanpa rasa bersalah. Azwar tidak puas dengan jawaban itu. Ia pergi ke kantor kepolisian setempat. Selain menginformasikan bahwa telah kembali, ia menanyakan perihal kondisi rumah dan isinya. “Kami tidak tahu apa yang terjadi di rumah Bapak, kami belum bertugas saat itu. Pertanyaan Bapak nanti kami sampaikan kepada atasan. Kami harap Bapak bisa bersabar”, kata petugas polisi menenangkannya.

Ia, karena sudah tidak memiliki apa-apa yang bisa dimakan dan kondisi rumah

15 Wawancara Azwar Kaili, korban Peristiwa Talang Sari, 3 Desember 2008

16 Surat Pembebasan Tahanan Komando Daerah Militer II Sriwijaya, Komando Resort Militer 043, 6 Mei 1989, dokumentasi Keluarga Azwar, 1989.

yang tidak layak untuk disinggahi, pergi ke tempat pamannya yang berada di Panjang untuk menginap. Empat hari kemudian, anak pertamanya yang seko- lah di Ngruki, Solo, Jawa Tengah datang menyusul ke Panjang. Selain merasa kangen dengan adik-adik dan kedua orangtuanya, alasan utama ia pulang ke rumah adalah karena sudah hampir empat bulan belum mendapatkan uang kiriman seperti biasa. Selama empat bulan itu gurunya di Ngruki tidak pernah menanyakan perihal SPP yang harus ia bayar. Ia, oleh gurunya, malah sering diberikan uang jajan. Ia sendiri memang sudah mengetahui apa yang terjadi di Lampung lewat cerita para gurunya. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa itu juga terjadi pada keluarganya.

Azwar dan anak pertamanya, setelah mendapatkan surat keterangan jalan dari Pemerintah Kabupaten Dati II Lampung Tengah Kecamatan Jabung, Kantor Desa Sidorejo bernomor 476/96/03/1989 dan juga kantor Korem 043, pergi menyusul isterinya di Painan, Padang. Ia tidak menyangka, isterinya ternyata juga ditahan di sana.17 Sesampainya di Korem Padang, ia menyerahkan surat

yang dibuat oleh Pemerintah Kecamatan Jabung dan juga Korem 043. Hari itu juga isterinya dibebaskan dan diantarkan kembali ke rumah orangtuanya Az- war. Selepas seminggu berada di Padang, mereka bersama keempat anaknya kembali ke Sidorejo, Lampung Tengah.

17 Sebenarnya, kepergian Ismini ke kampung halaman sang suami ingin memberitahu keluarga besar Azwar bahwa sang suami telah ditangkap akibat peristiwa tersebut. Informasi ini didapatkan Ismini dari para tetangganya. Karena itu, pasca peristiwa di mana ia juga berada di tempat kejadian dan sempat membantu mengobati luka yang dialami Bapak Zamzuri, ia bersama kedua anaknya pergi menuju Pariaman, Padang. Setelah berada 10 hari di Padang, ia didatangi oleh Pamong desa, Camat, Koramil, dan polisi. Namun kehadiran mereka hanya sekedar mengecek keberadaan Ismini. Den- gan demikian, ia tidak curiga dengan kedatangan mereka. Namun, setelah 45 hari di rumah Mertua, ia ditangkap oleh Kodim Painan. Alasan penangkapan dirinya adalah berdasarkan majalah Tempo yang mereka baca bahwa Azwar Kaili merupakan gem- bong kedua di Mujahidin (istilah yang sering digunakan oleh korban dan masyarakat sekitar ketika membicarakan peristiwa Talang Sari). Selain dipaksa untuk mengakui bahwa suaminya terlibat dalam peristiwa itu, ia, semasa di penjara, juga suruh mengi- yakan bahwa suaminya telah meninggal oleh Zulkarnaen, seorang militer dari Kodim yang menginterogasinya. Alih-alih mau menuruti begitu saja kemauan Zulkarnaen, ia malah membantah. “Suami saya tidak ikut campur dalam peristiwa itu. Suami saya juga masih hidup saat saya tinggal. Kalau dia sudah mati, saya tidak melihat mayatnya sampai sekarang”. Zulkarnaen naik pitam, ia langsung membenturkan kepala Ismini berkali-kali. Ia, merasa tidak mempan dengan kekerasan yang dilakukan kepada Ismini, mengancamnya akan menelanjangi. Ismini mendengar ancaman itu bukan membuat- nya menurut, ia malah menantang Zulkarnaen untuk menembaknya, daripada ia harus ditelanjangi. Zulkarnaen merasa dilecehkan. Ia langsung membakar rambut Ismini dua kali. Kurang lebih selama dua bulan ia dipenjara dengan ditemani anak-anaknya secara bergiliran atas permintaan dirinya. Wawancara dengan Ismini, isteri Azwar Kaili, 3 De- sember, 2008.

Mereka tinggal di atas sela-sela reruntuhan rumah yang sudah dihancurkan. Tidak ada barang tersisa sedikit pun yang bisa digunakan. Alih-alih sekedar ti- kar untuk alas tidur, beras untuk dimasak, piring, dan sendok mereka pun raib. Sebuah rumah yang dahulu begitu besar, luas dan kokoh berisi hasil panen dan tadahan padi, gula jawa, dan jagung, serta perabotan isi yang lainnya kini ting- gal puing-puing semen saja. Azwar bersama isterinya tidak putus asa. Mereka pergi mencari pinjaman uang selama seharian ke daerah Panjang dan Tanjung Karang. Mereka, dari hasil usaha tersebut, mendapatkan bantuan uang dari dokter Zaenuddin Rp. 150.000,- saudaranya di Panjang Rp. 100.000,- dan juga kawan baiknya sebesar. Rp. 100.000,-. Dengan uang inilah ia bersama isteri mencoba membangun kembali keluarga yang hancur.

Mereka kembali keesokan harinya ke rumah dengan wajah penuh harapan. Mereka membawa sekantong beras dan belanjaan makanan yang lainnya. Na- mun betapa kagetnya ketika sampai di rumah. Mereka melihat rumahnya telah gosong terbakar. Menurut cerita yang didapatkan, pada saat anak-anaknya sedang tertidur lelap, tepatnya jam 01.00 WIB, tiba-tiba ada kobaran api. Un- tung saja, anak-anaknya terselamatkan oleh bantuan masyarakat yang saat itu langsung memadamkannya ketika tahu kobaran api mulai merembet. Terang saja Azwar, sebagai kepala rumah tangga, sangat marah melihat kejadian itu. Ia lalu mendatangi kantor kepala desa untuk melaporkan peristiwa yang diha- dapinya. Ia, merasa tidak direspon, pergi ke kantor kepolisian. Sayang, pihak kepolisian juga sama sikapnya bahwa mereka tidak mengetahui apa yang ter- jadi di rumah keluarga Azwar. Padahal, kata Azwar, letak rumahnya dengan kantor kepolisian jaraknya hanya 50 meter.

Ia tidak menyerah. Pada 23 September 1989, ia membuat laporan kehilangan kepada Kepala Desa Sidorejo, dengan tembusan kepada Camat, Dan Ramil 411- 08, dan Kapolsek Jabung. Isi laporan mengenai barang yang hilang itu adalah (1). alat-alat rumah tangga, uang kontan sebesar Rp 37 juta, (2). perhiasan emas 78 gram, (3). alat kesehatan dan pengobatan, (4). segel kebun cengkeh di Se- rompok Panjang dengan luas 1 hektar, (5). satu lembar surat hibah tanah yang (disegel) luasnya 3 hektar, (6). 1 lembar ijazah SD Muhammadiyah atas nama Edy Arsadat, (7). 1 buku raport atas nama Erwanto, (8). 1 lembar polis asuransi kesehatan Bumi Putera atas nama Azwar, (9). dan sim C atas namanya juga.18

Sayang, laporan rinci yang dibuatnya ini tidak pernah digubris oleh pihak pemerintah desa yang terkait.

Akibat peristiwa itu tidak hanya berdampak pada segi ekonomi mereka saja, melainkan juga pada masa depan rumah tangga dan juga nasib anak-anak mer-

eka. Ini tampak semasa konflik yang terjadi antara Azwar dan isterinya menge-

18 “Surat Laporan Kehilangan”, Arsip dokumen Keluarga Azwar Kaili, 23 September 1989

.

nai upaya survival yang harus mereka lakukan. Bagi Ismini, lepas dari penjara di Padang dan dibebaskannya sang suami dari jeratan (yang dianggap) hukum bukanlah akhir dari segala penderitaaan keluarga mereka. Tapi, hal itu rentetan dari peristiwa pahit yang harus dijalani. Ia, sebelum peristiwa itu, selalu ti- dak merasa kekurangan secara ekonomi dan sangat dihormati oleh masyarakat sekitar Sidorejo, kini sebagian besar masyarakat menghindarnya. Mereka kha- watir terkena masalah dan berurusan dengan “orang-orang Mujahidin”. Den- gan demikian, perlahan-lahan Ismini dan keluarganya pun dikucilkan. Selain tidak mau berobat dan memberikan hasil panen, sebagian besar masyarakat juga tidak mau bergaul dengan keluarga Ismini. Hanya orang-orang (transmi- gran) Bali saja yang mau menerima dan menganggapnya seperti dahulu, ketika keluarga Ismini belum terkena musibah peristiwa tersebut.

Sementara, anak-anaknya, selain tidak boleh bergaul dengan teman-teman se- baya, mereka juga tidak diperbolehkan untuk sekolah di lingkungan Sidore- jo, di antaranya sekolah Muhammadiyah yang terletak tidak jauh dari depan rumah keluarga Azwar. Padahal, pendirian dan pembangunan sekolah Mu- hammadiyah itu atas inisiatif dan sumbangsih dana dari keluarga Azwar send-

iri. Karena itu, Irwan dan Taufik, anak kedua dan terakhir, dikirim oleh Azwar

ke Jakarta untuk sekolah di lembaga Islam. Tapi, ia harus memberikan status kepada kedua anaknya sebagai yatim, anak yang bapaknya sudah meninggal.19

Ini karena tekanan negara atas peristiwa itu begitu kuat, sehingga dikhawatir-

kan Taufik dan Iwan akan menerima nasib yang sama dengan kakak-kakaknya,

jika bapaknya masih dihidup dan dianggap “musuh negara”.

Hancurnya ekonomi keluarga dan stigma negara, lewat aparatusnya yang ke- mudian berimbas kepada masyarakat dalam memandang korban dan keluarga korban peristiwa itu membuat Ismini merasa “malu” dan tidak “betah” berada di rumah. Rumahnya serasa “panas” untuk ditempati. Terlebih lagi, tidak ada yang bisa dikerjakan untuk menghidupi keluarganya. Ia pernah meminta sua- minya untuk pindah dari rumah itu, namun sang suami melarang. Jika kami pindah, kata Azwar, itu sama saja mengamini pendapat masyarakat mengenai keluarganya. Di sisi lain, sejak peristiwa itu, Azwar tidak mau bekerja menjadi mantri kesehatan. Dengan demikian, Ismini, melihat kondisi seperti itu, tetap bersikeras untuk pindah. Ia, meskipun dilarang oleh sang suami, sempat akan pergi untuk kedua kalinya mencari penghidupan buat keluarga dan pindah dari rumahnya. Pertama, ia mendaftarkan diri untuk menjadi transmigran ke Kalimantan. Namun, saat barang sudah dikemasi dan bersiap akan pergi ke pelabuhan Tanjung Priok, ia mengurungkan niatnya. Kedua, ia, diam-diam dan tanpa persetujuan suami, pernah mendaftarkan diri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai perawat di luar negeri. Bahkan ia sempat mengikuti pelatihan selama tiga bulan. Namun, ketika puncak hari pemberangkatannya

di bandara Soekarno Hatta, ia terjatuh pingsan akibat terlalu banyaknya beban pikiran yang ditanggung.20

Setelah Ismini kembali ke rumah ini kondisi psikologis keluarga Azwar kemba- li agak “normal” kembali. Tapi, ia tidak berhenti sampai di sini untuk menuntut kembali hak dan keluarganya yang dirampas. Pada 5 Juli 1990, usai menggali informasi dari beberapa tetangganya mengenai rumahnya yang hancur dan di- bakar serta isinya yang hilang, Azwar, meskipun harus wajib lapor seminggu sekali oleh Korem 043 sebagai bentuk “pendisiplinan diri” dan kontrol negara selepas dari penjara, melaporkan gugatan kepada aparatus pemerintah dengan beberapa tembusan, mulai dari pihak Korem 043 Gatam Provinsi Lampung, Kanwil Departemen Kesehatan, Ketua DPR dan MPR RI, Menteri Penertiban Pendayagunaan, Menteri Kesehatan, Wakil Presiden. Ia, dibantu oleh Nurdin, seorang mantan pengacara kepolisian, menggugat M. Dahlan, pegawai negeri sipil yang bekerja di puskesmas Sidorejo. Menurutnya, M. Dahlan telah mem-

buat surat yang berisi fitnah terhadap diri dan keluarganya. Azwar dan Ismini

dituduh sebagai dana penyedia gudang logistik gerombolan pengacau ke- amanan. Akibatnya, mereka berdua ditahan, dengan perincian masing-masing Azwar dan Ismini 3 bulan tahanan, atau 2 x 90 hari = 180 hari, di Korem Padang dan Lampung. Tidak hanya itu, selain mengalami penderitaan moral, menurut Azwar, M. Dahlan, dengan mengajak dua orang aparat keamanan desa, dan dua orang lainnya, telah menghancurkan dan mengambil semua harta benda dan ternak miliknya. Diperkirakan ia menderita kerugian Rp. 40 juta.21

Lagi-lagi surat laporan dan gugatan itu tidak mendapatkan respon. Di saat yang bersamaan, Presiden Soeharto membuka program Tromol Pos 5000. Pro- gram itu diperuntukkan kepada masyarakat Indonesia yang memiliki keluhan dan persoalan yang terkait dengan pelayanan pemerintah serta memiliki per- soalan sosial terkait dengan hidup yang dijalani agar tidak sungkan-sungkan melaporkannya. Surat pengaduan mereka akan dijawab sendiri langsung oleh Presiden Soeharto. Dengan kata lain, program Tromol Pos 5000 ini adalah ben- tuk kepedulian seorang pemimpin kepada masyarakatnya. Adanya program tersebut membuat harapan Azwar dan keluarga kembali menguat. Setidaknya, dengan adanya media pengaduan itu ia dapat mencurahkan persoalan yang sedang dihadapi, sehingga pihak pemerintah Indonesia, lewat perintah pres- iden, dapat bertindak tegas terhadap aparatusnya di daerah, khususnya di desa Sidorejo.

20 Wawancara dengan Azwar Kaili, 4 Desember 2008; Isterinya Azwar Kaili, 5 Desem- ber 2008.

21 “Surat Permohonan Bantuan Pertimbangan dari Pemerintah Adanya Perusakan Rumah Pribadi oleh Masyarakat Sidorejo, Kecamatan jabung, Lampung Tengah” Arsip Dokumen Keluarga Azwar Kaili, 5 Juli 1990

.

Alih-alih mendapatkan jawaban pembelaan terhadap surat keluhan yang di- layangkan kepada presiden, ia malah ditangkap kembali dan mendekam di penjara selama 2 bulan, 10 hari. Alasan utama mengapa ia ditangkap ialah kare- na surat keluhan untuk Tromol Pos 5000 yang dikirimkannya itu merupakan suatu ejekan bagi petinggi dan anggota militer yang bekerja di Lampung itu. Dengan adanya surat pengaduan itu, mereka akan dianggap tidak becus dalam menjaga keamanan dan “kenyamanan” di lingkungan masyarakat mereka bekerja. Bagi Azwar, Tromol Pos 5000 itu adalah suatu pancingan kepada ko- rban dan keluarga korban agar mereka mau bersuara. Namun, ketika mereka bersuara langsung ditangkap kembali oleh aparat militer.

Bertolak dari kondisi di atas, Azwar dan Ismini mencoba realistis dalam me- nyikapi peristiwa yang mereka alami. Mereka lalu membangun kembali degup jantung perekonomian keluarga yang sempat luluh lantah. Azwar menjual wa- rungnya sebesar Rp 2,5 juta, yang berada di samping depan rumahnya, persis di depan jalan umum. Sementara Ismini menjadi perawat di rumah sakit Abdul Muluk membantu dokter Zaenuddin. Mereka juga dibantu oleh masyarakat yang beretnis Bali memenuhi kebutuhan dan perabotan rumah tangga dengan suka rela, mulai dari beras, piring, gelas, dan hasil panen ladang lainnya. Atas pinjaman uang dari seorang teman sebesar Rp 3 juta, Azwar membuka lahan untuk bertani. Berlahan-lahan pertumbuhan ekonomi yang dimilikinya mulai agak membaik. Meskipun stigma masyarakat, khususnya transmigran yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang notabene beragama Islam, ma- sih cukup kuat.

Ternyata cengkeraman penindasan tidak berhenti di sini. Sebagai orang yang dianggap “musuh negara”, meskipun sudah dibebaskan, Azwar masih belum lepas dari bayang kesewenang-wenangan aparatus pemerintah. Ini tampak dari perlakuan yang diberikan kepada Azwar Kaili dan keluarga. Ia pernah diundang oleh Lurah Desa untuk menghadiri rapat tahunan dalam rangka merayakan ulang tahun kemerdekaan RI, biasa dikenal dengan tujuh belas Agustusan. Rapat desa itu dihadiri oleh hampir seluruh kepala desa yang berada di Jabung. Namun, rapat itu bukan membahas persoalan tujuh belas agustus-an, tapi upaya meminta paksa tanah yang luasnya 10 x 50 meter mi- lik Azwar yang berada di utara, samping kiri rumahnya. Selain itu, pada hari Minggu 22 Juni 1994, lahan tanah milik Azwar seluas 4 hektar, berisikan jagung yang mulai panen, tanaman kacang kedelai berumur 1-2 bulan, pohon pepaya berumur 1 bulan, tiba-tiba dirampas begitu saja oleh beberapa orang polisi, Babinsa, dan dibantu gerombolan preman. Selain mengambil hasil panen mi- lik Azwar, mereka menggusur lahan miliknya dengan cara mentraktornya. Ironisnya, hasil panen rampasan itu dikumpulkan di kecamatan Sribowono sebagai perwakilan. Betapa marahnya Azwar, melihat hasil panen dan tana- mannya yang dipelihara dengan jerih payah dirampas dan dirusak. Ia, saking

marahnya, sambil mengumpat, sempat membawa golok mengejar mereka un- tuk mengusir mereka.

Ia, atas kerugian yang dialami, membuat surat aduan kepada Kapolres Metro, Lampung Tengah. Dengan harapan pihak kepolisian akan menghukum mere- ka secara setimpal. Alih-alih mendapatkan hak tanah dan hasil panennya yang dirampas, atas laporan pengaduan itu ia malah diputuskan oleh cabang Kejak- saan Negeri Metro di Sukadana sebagai terdakwa. Ia dianggap telah membawa senjata tajam tanpa ijin di muka umum dan juga melakukan ancaman kepada aparat keamanan yang bertugas. Ia, untuk ketiga kalinya, ditahan selama 20 hari.22 Dengan demikian, dalam konteks ini, korban dan keluarga korban “Mu-

jahidin”, bagi aparatus negara, seperti binatang yang bisa diperlakukan ses- uai dengan kehendak hatinya. Tidak ada keadilan hukum bagi mereka. Tapi, keadilan itu mutlak di tangan untuk, dari dan oleh aparatus negara sebagai pemegang otoritas tunggal.

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 159-165)