• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Masa Muda

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 193-195)

Menduduki Pabrik Sebagai Bukti Buruh Bisa Berdaulat

I. Pengalaman Masa Muda

Lahir di Sragen pada 37 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 20 Maret 1972, Kiswoyo merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Di antara lima laki- laki dan tiga perempuan, Kiswoyo berada dalam keluarga besar, di mana orang tuanya harus berusaha keras untuk menghidupi seluruh anak-anaknya. Hidup di lingkungan masyarakat Jawa, keluarga Kiswoyo masih memegang nilai-nilai dan budaya Jawa. Apalagi kakek Kiswoyo adalah merupakan salah seorang Pamong Desa yang menjabat sebagai kebayan, yang memegang adat istiadat Jawa secara ketat. Ayah Kiswoyo adalah anak tunggal tanpa saudara kandung, sehingga sangat dimanja. Seluruh peninggalan dari kakek Kiswoyo, menjadi hak dari ayah Kiswoyo, sehingga kehidupan keluarga Kiswoyo dapat dibilang berkecukupan.

Walaupun anak tunggal dan berasal dari keluarga yang berkecukupan, ayah Kiswoyo hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah Rakyat SR (setingkat dengan Sekolah Dasar). Berbeda halnya dengan ibu Kiswoyo, yang walaupun sama-sama berasal dari keluarga yang berkecukupan, sang ibu bisa bersekolah sampai dengan Sekolah Calon Keperawatan.

Meskipun berpendidikan lebih tinggi dari sang suami, ibu Kiswoyo memiliih untuk menjadi ibu rumah tangga yang mengurus keluarga dan tidak bekerja. Hal ini dikarenakan adat Jawa yang sangat kental di lingkungan keluarga terse- but, di mana perempuan lebih baik tidak bekerja dan dirasa lebih baik me- ngurus keluarga di rumah. Konstruksi budaya yang masih bersifat patriarkhi, disadari atau tidak dalam suatu kondisi tertentu, perempuan dipandang seb- agai warga negara ”kelas dua”. Dalam masyarakat Jawa, perempuan seringkali digambarkan sebagai ”konco wingking” (teman belakang). Artinya perempuan hanya ikut laki-laki (suami) sehingga tidak memiliki otoritas yang otonom.1

Dibesarkan dalam keluarga yang cukup berada dan berkecukupan, keluarga besar Kiswoyo dipandang baik di mata masyarakat. Kiswoyo sendiri memi- liki sikap yang tidak pilih-pilih dalam bergaul dan hal ini berasal dari orang tuanya. Tentu saja, karena sikap itu, membuat Kiswoyo dan keluarganya dike- nal dekat dengan para tetangganya. Menurut Kiswoyo, yang membanggakan dari orang tuanya adalah beliau senang menolong. Sebagai contoh, sering ada orang yang akan punya hajatan dan membutuhkan pisang. Kebetulan cukup banyak pisang yang ditanam di kebun. Orang yang akan punya hajatan terse- but kemudian berniat untuk membeli pisang, namun oleh orang tua Kiswoyo pisang itu diberikan begitu saja. Beliau adalah tipe orang yang tidak pelit de-

1 Kesetaraan Gender dalam Perspektif Agama dan Budaya”, www.sinarharapan.co.id diakses pada 3 Januari 2009.

ngan barang yang dimilikinya. Bahkan suatu ketika pernah ada mangga yang dicuri oleh orang, beliau hanya mengikhlaskan saja. Dibesarkan bersama-sama dengan saudara-saudaranya, Kiswoyo tumbuh menjadi anak yang punya cita- cita untuk bisa mandiri. Di dalam keluarganya selalu ditekankan bahwa uku- ran kedewasaan seorang laki-laki adalah kemampuannya untuk mandiri, dan tidak menjadi beban orang lain. Oleh karena itu, dia memilih untuk bersekolah hanya sampai SMP dan terus bekerja untuk membantu orang tua serta adik- adiknya untuk bersekolah. Keputusan tersebut diambil bukan karena paksaan orang tua maupun terdesak kondisi, tetapi karena keyakinan yang tertanam dalam hati Kiswoyo. Keyakinan bahwa dia (laki-laki) harus mandiri setelah se- lesai bersekolah. Segala kebutuhan harus dicukupi sendiri, tanpa harus mere- potkan orang tua maupun orang lain. Bahkan menurut kisahnya, Kiswoyo bisa mencukupi kebutuhan untuk bersekolah bagi adik-adiknya.

Orang tua Kiswoyo selalu mengajarkan kepada-anaknya agar menjadi orang yang berguna di lingkungan sekitar. Mereka memiliki konsep “Lebih baik memberi daripada menerima dari orang lain”. Nilai-nilai seperti ini yang terta- nam dan selalu diamalkan oleh Kiswoyo dalam menjalani kehidupannya. Keputusan besar yang diambilnya adalah pergi ke Jakarta untuk bekerja. Kepu- tusan tersebut diambil pada saat dia berumur 20 tahun. Dengan berbekal se- mangat dan keyakinan yang bulat serta ijasah SMP, dia menanggapi ajakan temannya untuk bekerja di pabrik plastik di Tegal Alur, Jakarta. Karena tidak betah, Kiswoyo akhirnya hanya bertahan di pabrik plastik kurang lebih selama 6 bulan. Selanjutnya dia ikut kakaknya bekerja di home industri pabrik gar- men. Dan kemudian dia berpindah dari satu pabrik ke pabrik lain. Karena su- dah menguasai kemampuan di bidang garmen, maka dia memilih untuk terus bekerja di bidang garmen. Sampai akhirnya dia masuk ke PT. Istana Magno- liatama pada tahun 1995. Kiswoyo bertahan di PT. Istana Magnoliatama sam- pai sekarang, bahkan menduduki pabrik garmen, dengan alasan mereka (baca: Kiswoyo dan buruh lainnya) menolak PHK secara sepihak yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan.

Sebelum peristiwa PHK Sepihak oleh pengusaha, Kiswoyo bersama dengan beberapa buruh lainnya menginisiasi pembentukan Serikat Buruh Karya Uta- ma (SKBU). SKBU memang dibentuk karena pada saat itu ada buruh yang akan di PHK secara sepihak dengan alasan yang tidak jelas, tetapi tidak dilindungi oleh serikat yang sudah ada.

Walaupun sudah ada serikat yang berdiri, yaitu Serikat Pekerja Tingkat Perusa- haan (SPTP), para buruh selalu dikecewakan oleh kinerja dari SPTP yang selalu memihak perusahaan apabila ada kasus yang antara buruh dan pengusaha. Se- lain itu, SPTP pengurusnya berasal dari buruh di bagian manajemen, sehingga

perusahaan selalu ikut campur dalam proses pengambilan keputusan di SPTP. SKBU adalah merupakan bentuk kekecewaan buruh terhadap serikat yang su- dah ada, dan puncak dari kekecewaan tersebut adalah pada saat tidak diper- juangkannya ke-46 buruh yang akan di PHK.

Proses pembentukan SKBU juga tidak berjalan dengan lancar. Berkali-kali pengusaha menghalangi pembentukan SKBU. Beberapa tindakan anti serikat (union busting)2 dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh yang vokal, salah

satunya adalah Kiswoyo. Beberapa kali pengusaha melakukan intimidasi ter- hadap buruh yang tergabung dalam kelompok kerja (pokja) pembentukan SKBU, diantaranya dengan menggabungkan tempat kerja bersama dengan buruh yang sakit/mengandung, tidak memberikan lembur, tidak memberi- kan cuti dll. Tindakan pengusaha terus dilakukan walaupun sudah terbentuk SKBU yang anggotanya kurang lebih 200 orang. Pengusaha juga tidak men- gakui legalitas dari SKBU sebagai perwakilan dari buruh.

Dalam proses pembentukan SKBU, Kiswoyo kemudian terpilih menjadi koor- dinator SKBU. Sejak itulah dia diberikan tanggung jawab untuk memimpin. Tanggung jawab tersebut akan selalu dilaksanakan sampai proses perjuangan buruh PT. Istana dapat merebut haknya sebagai buruh.

Buruh-buruh yang tergabung di SKBU inilah yang akan melakukan pendudu- kan pabrik sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan penutupan pabrik dan PHK sepihak oleh pengusaha.

Dalam dokumen Anonim – Narasi Pembela Ham Berbasis Korban (Halaman 193-195)