• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melawan dan Tetap Melawan

Pergantian periode anggota DPR-RI dimanfaatkan oleh kalangan korban dan keluarga korban, pendamping KontraS dan juga masyarakat yang peduli HAM. Pada awal Januari 2005 mereka bertemu Komisi Hukum DPR-RI. Dalam perte- muan itu, anggota Komisi Hukum menyatakan bahwa seharusnya Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Ini karena, rekomendasi DPR tahun 2001 bukan merupakan produk hukum sehingga ti- dak mengikat. Pada 30 Juni 2005 seluruh fraksi di Komisi Hukum sepakat agar kasus TSS diungkapkan kembali. Hal ini secara tersirat didukung oleh Ketua Agung Laksono saat beraudiensi dengan korban dan keluarga korban pada 14 September 2005. Menurutnya, kesepakatan itu akan ditindaklanjuti melalui prosedur formal sesuai mekanisme yang berlaku dan akan dibahas dalam Rapat Bamus DPR-RI pada 22 September 2005. Yang terjadi, dalam Rapat Ba- mus itu, kasus TSS tidak masuk dalam agenda pembahasan.33

Perjuangan kalangan korban dan keluarga korban tidak berhenti. Pada 7 De- sember 2005, mereka melakukan audiensi kembali dengan Komisi Hukum DPR-RI yang diterima oleh 9 fraksi, minus Partai Golkar. Komisi Hukum itu berjanji kembali untuk mendesakkan kasus itu melalui Sidang Paripurna DPR- RI. Benar saja, Nursjahbani Katjasungkana dari fraksi Kebangkitan Bangsa dan Al Muzzamil Yusuf, wakil Ketua Komisi Hukum mengajukan interupsi dalam Rapat Paripurna DPR, 12 Januari 2006 kepada Pimpinan DPR agar segera memproses rekomendasi Komisi Hukum yang telah sepakat membuka kem- bali kasus TSS. Interupsi itu diterima dan ditampung oleh Agung Laksono. Ia merekomendasikan bahwa kasus itu akan dibahas di Rapat Bamus DPR.34

Pada 21 Februari 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan menggugurkan kata “dugaan” pada Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU.26 Tahun 2000 karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pertimbangan itu disebutkan bahwa DPR dalam merekomendasikan pemben-

33 Arief Priyadi, “Wawan, Tragedi Demi Tragedi”, hal. 91-94. 34 Ibid

tukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dari Komnas Ham dan hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung. Keputusan MK yang cukup berani ini memancing reaksi Menteri Pertahanan dan Kejaksaan Agung. Pada 17 Maret 2008, Juwono Sudarsono, Menteri Pertahanan, seusai melakukan pertemuan di Departemen Pertahanan dengan Wiranto, mantan Menhankam dan Henry Willem, Kabinkum Mabes TNI, mengajukan imbauan agar para purnawirawan TNI, khususnya mereka yang diduga terkait melaku- kan pelanggaran HAM berat, tidak perlu mengindahkan panggilan Komnas HAM. Menurutnya, kewenangan hukum Komnas HAM masih diragukan dan UUD 1945 menganut asas non-retroaktif.35

Putusan Mahkamah Konstitusi ini berimbas pada sikap Jampidsus Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman. Pada 13 Maret 2008, ia mengatakan bahwa berkas penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM tentang kasus TSS dan kasus Penghilangan Orang Secara Paksa telah hilang. Meskipun pernyataan ini sem- pat dibantah oleh Kapuspenkum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Naing- golan pada 27 Maret 2008. Ironisnya, pada 1 April 2008, Kejaksaan Agung malah mengembalikan empat berkas hasil penyelidikan itu kembali kepada Komnas HAM melalui kurir, yaitu (1) Kasus Wamena-Wasior untuk dilengkapi, (2) Ka- sus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, tidak akan dilanjutkan dengan ala- san sudah diselesaikan lewat dengan Peradilan Militer, meskipun sebenarnya, penyelesaian kasus Semanggi I belum pernah dipersidangkan dalam Peradi- lan Militer, (3) Kasus Kerusuhan Mei 1998, dengan catatan menunggu terben- tuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, dan (4) Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa, yang juga menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc.

Memang, upaya Sumarsih dan kalangan korban dan keluarga korban yang lain melakukan penuntutan pengungkapan kebenaran di meja hukum selalu mengalami kendala. Penegak hukum yang seharusnya berfungsi sebagai algo- jo keadilan malah berpihak kepada dan melindungi orang-orang yang diduga terkait dengan tindakan pelanggaran HAM berat. Di sini, kasus yang diper- juangkan Sumarsih dan juga kasus-kasus yang lain cenderung dijadikan ko- moditas politik oleh elit politik di Indonesia sebagai posisi tawar dan menaik- kan pamor agar terlihat berpihak kepada mereka yang diambil haknya, terlebih saat karnaval politik pemilihan umum. Namun, hal itu tidak menggoyahkan dirinya untuk terus melawan pengingkaran negara. Ia masih melawan, meski- pun dengan cara yang berbeda.

Satu bentuk perlawanan utama yang dilakukan Sumarsih adalah melawan pelupaan dengan mengingat-ingatnya dan membangun situs ingatan dengan beragam media. Di antaranya adalah; pertama, melakukan aksi kamisan (yang diadakan setiap Kamis sore dari jam 16.00-17.00) dengan berdiri diam di depan

istana negara selama satu jam sejak 2007. Aksi ini terinspirasi oleh ibu-ibu Plaza De Mayo dalam menuntut pengungkapan kebenaran anak, saudara, dan ayah, dan sanak keluarganya yang hilang selama era Junta Militer Marcos. Selain meminta pertanggungjawaban negara atas kejahatan masa lalu, dalam setiap Aksi Kamisan ini peserta aksi, yang kebanyakan berasal dari kalangan kor- ban, keluarga korban, pegiat HAM, dan juga elemen masyarakat yang peduli terhadap penuntasan kasus kejahatan masa lalu, selalu menyuarakan isu-isu dinamika politik kekinian terkait dengan persoalan HAM. Kedua, penggunaan pakaian hitam setiap melakukan aktivitas di luar rumah. Fungsi pakaian itu bagi Sumarsih bukanlah sekedar penutup badan, tapi hal itu sebagai bentuk perasaan duka, ketidakterimaan, dan juga bentuk perlawanan atas kejahatan hitam yang dilakukan oleh aparatus negara. Ketiga, melakukan Tirakat sejak Wawan tertembak. Tirakat adalah satu laku yang dilakukan oleh orang Jawa untuk melakukan usaha keras untuk mendapatkan dan mengharapkan se- suatu yang diinginkan. Nah, Tirakat ini biasanya dengan melakukan puasa, baik itu puasa menahan lapar dan minum, atapun puasa muteh, yang hanya memakan nasi putih tanpa lauk. Keempat, membangun ritus doa di makam Wawan. Bagi Sumarsih, kuburan Wawan itu bukanlah sekedar makam di mana orang terkasih itu meninggal. Tapi, itu menjadi makam keluarga yang juga ba- gian dari kehidupan Sumarsih, Arief Priyadi, dan Irma. Dalam makam inilah Sumarsih selalu berkunjung ke makam Wawan setiap pagi ketika ingin berang- kat melakukan aktivitas sebagai aktivitis HAM. Dengan berdoa kepada Tuhan untuk Wawan dengan doa yang berulang dan serupa, yaitu agar pembunuh Wawan itu segera diungkapkan ke meja hijau.

Tidak dipungkiri, dari sejumlah konsistensi perjuangan sejak Wawan ini ia mendapatkan satu penghargaan atas buah yang ia lakukan selama ini. Tepat- nya hari Rabu, 1 Desember 2004, ia ditemui oleh dua orang tamu dari Yayasan Yap Thiam Hien. Dua orang itu memberitahukan bahwa atas pertimbangan dewan juri, ia menerima penghormatan dan penghargaan Yam Thiam Hien Award atas konsistensi memperjuangan HAM khususnya mengenai kasus yang menimpa anaknya. Uang penghargaan yang ia terima itulah yang digu- nakan untuk melakukan pemberdayaan dan mendukung aktivitas korban dan keluarga korban dalam menghangatkan ingatan mereka melawan lupa dengan beragam media dan cara.