• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperjuangkan Martabat dan Hak Asasi Manusia

Meniti Jalan tanpa Ujung

III. Memperjuangkan Martabat dan Hak Asasi Manusia

Martabat manusia melekat dengan hak asasi manusia dalam diri manusia itu sendiri. Dengan adanya hak asasi yang melekat tersebut maka manusia mem- peroleh martabatnya. Tercerabutnya hak asasi meletakkan manusia ke titik kehilangan martabat. Hal ini terjadi pada keluarga eks anggota PKI yang ke- hilangan segala-galanya dari hak-hak mereka untuk hidup, berkembang, me- nyampaikan pendapat, akses informasi, hak untuk berserikat, hak turut serta dalam pembangunan dan lain-lain. Keterbatasan akses atas kebenaran sejarah itu tidak saja dirasakan langsung oleh korban dan keluarga korban tragedi 1965/1966, namun juga kepada seluruh rakyat Indonesia.

Hingga kini masih banyak masyarakat belum bisa menerima PKI sebagai bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Masih banyak masyarakat yang menyatakan dirinya sebagai kelompok/komunitas anti-PKI. Sebagian dari mereka bahkan membentuk kelompok-kelompok anti PKI. Kondisi ini merupakan akibat dari pola pikir sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih menganggap PKI sebagai bahaya laten yang selalu mengancam dan menghantui kehidupan kita, oleh karena itu segenap hal yang berbau PKI, komunisme-sosialisme, ekstremis kiri harus selalu diwaspadai.

Praktik sosial dari stigmatisasi tersebut dipakai di mana-mana. Orde Baru den- gan aparatusnya cenderung untuk melakukan pengawasan ketat (surveillance) terhadap segala aktivitas yang dilakukan di tengah masyarakat. Pengawasan itu akan banyak memantau aktivitas yang memiliki kecenderungan kritis un- tuk merubah konsep kemapanan terminologi nasionalisme, maka aktivitas itu akan dicap sebagai aktivitas terlarang (baca: aktivitas komunis). Para aktivis

mahasiswa, terutama yang bergabung dengan organisasi seperti SMID dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjelang berakhirnya pemerintahan Soe- harto lebih sering dicap PKI atau komunis dan banyak mendapat pengawasan khusus dari aparatus intelijen negara.

Akibatnya, seseorang yang telah distigma sebagai PKI, terkebih dengan status eks tapol yang disandang dalam KTP mereka, akan kehilangan banyak akses sebagaimana praktik Orde Baru di bawa Soeharto yang menutup berbagai ak- ses kehidupan ekonomi, sosial dan politik bagi para eks tapol. Dengan jatuh- nya Rezim Soeharto, korban dan kelurga korban 1965/1966 banyak berharap praktik diskriminasi dan stigmatisasi akan segera berakhir, dengan keterbu- kaan arus informasi dan dijalankannya praktik demokrasi di tengah masyara- kat. Namun kenyataannya, masyarakat luas masih belum menerima peruba- han tersebut. Benak masyarakat masih dipenuhi produk kesadaran masa Orde Baru, dengan mengekpresikan frase ‘PKI” sebagai biang keladi keonaran. Hal ini lah yang hingga kini masih sering dialami oleh Bedjo Untung, ketua Yaya- san Penelitian Korban Pembunuhan 65/66 (YPKP) dalam aktivitas advokasi- nya untuk meluruskan sejarah mengenai PKI hingga sekarang.8

III.1. Ujian bagi Pekerja Kemanusiaan

Tidak banyak jumlahnya aktivis dan organisasi pendamping korban yang me- miliki konsentrasi untuk mengadvokasi kasus tragedi 1965/1966 secara penuh. Di antara mereka adalah para aktivis dan organisasi pejuang HAM yang me- miliki perhatian khusus untuk mempromosikan dan menegakkan nilai HAM, seperti KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan), HRWG (Human Rights Working Group), ELSAM (Lembaga Studi HAM), IKOHI (Ika- tan Keluarga Orang Hilang) dan lain-lain. Amat sedikit lembaga yang mena- ngani masalah khusus seperti tragedi 1965 yang berskala luas dan nasional dengan korban yang sangat banyak. YPKP merupakan, mungkin, satu-satunya lembaga yang secara terbuka menyatakan diri sebagai lembaga yang mengad- vokasi kasus 1965/1966, dan penanganan ini ditekankan pada kegiatan peneli-

8 Dalam rapat terbatas para pengurus YPKP pada tanggal 25 Januari 2009 di secretariat YPKP di Tanggerang, Bedjo Untung mendapatkan intimidasi dari orang yang mengaku berasal dari Polsek setempat yang mengaku bekerjasama dengan masyarakat setempat. Bedjo Untung sudah tinggal pulahan tahun di sana dan memiliki hubungan baik den- gan tetangga dan masyarakat sekitar, namun demikian pihak aparat mengaku beker- jasama denngan masyarakat sekitar untuk mengawasi kegiatan YPKP. Kini Peristiwa ini telah ditangani oleh Kontras dengan memberikan surat protes ditujukan kepada Polri, ditembuskan kepada polsek setempat dan instansi lain yang terkait. Pemerintah juga telah merespon dengan penerbitan surat untuk mengawasi keamanan keluarga Bedjo Untung, dibuat oleh Depkuham, ditujukan kepada dinas hukum dan HAM setempat, ditembuskan kepada polsek setempat dan Konstras atas nama korban.

tian untuk meluruskan sejarah seputar tragedi 1965/1966.

Tidak mudah bagi para aktivis dan organisasi pembela HAM untuk dapat memperjuangkan hak-hak asasi yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Peristi- wa ini sarat dengan nilai-nilai penolakan dari berbagai isu terkait. PKI dituduh ateis dan menyebarkan ateisme, hal yang sangat dihindari oleh masyarakat Indonesia yang bersifat religius. Upaya untuk meyakinkan bahwa PKI tidak anti agama adalah satu soal yang tidak mudah. PKI juga dituduh makar dan melakukan kudeta. Kendatipun ganjaran atas predikat pemberontak ini telah dilakukan, yaitu dengan penyingkiran mereka dari status penduduk penuh menjadi status penduduk dengan hak-hak terbatas, namun tuduhan makar itu masih melekat kuat di hati masyarakat. Butuh banyak sekali riset, dokumen- tasi dan publikasi kasus-kasus seputar ‘65 untuk membangun sejarah kesatuan baru, sejarah yang tidak membedakan sesama warga Negara. Sejarah yang kita maksud adalah yang dibangun atas dasar rangkaian historis perjalan bangsa yang jujur, sehingga kesalahan masa lalu yang menyembunyikan fakta, yang pada gilirannya tidak membantu perkembangannya pertumbuhan identitas bangsa secara progresif.

Melakukan advokasi kasus 1965 sangat rentan terhadap risiko diperlakukan kembali seperti negara Orde Baru menggelandang para anggota PKI, simpa- tisan dan keluarga mereka. Tidak jarang aktivis YPKP diikuti oleh aparat in- telijen. Keluarga mereka yang mengetahui hal ini juga merasa resah dan takut, seperti istri Bedjo Untung ketika melihat suaminya dicari oleh aparat inteli- jen seputar rapat pengurus YPKP tanggal 25 Januari 2009.9 Ketika itu, peneliti

hadir di rumah Bedjo Untung, dan menyaksikan ketakutan istrinya tersebut. Istrinya masih mengingat orang tua dan saudara mereka yang dulu keluar rumah dan tidak pernah kembali pada tahun 2006. Dia hanya tidak ingin sua- minya mengalami hal serupa.

III.2. Berjuang untuk Memelihara Harapan dan Ingatan

Apakah hasil dari semua upaya selama ini akan membuahkan hasil yang memuaskan untuk korban dan keluarga korban tragedi 1965/1966, dengan dipulihkannya hak-hak dasar mereka oleh negara? Sekalipun telah banyak pi- hak menyuarakan supaya eks tapol dan seluruh keluarganya diakui kembali menjadi warga negara Indonesia dengan segenap hak-hak dasar kewargaan yang utuh dan melekat. Namun hingga kini belum ada pengakuan resmi

9 Pada tanggal 10 Februari 2009 Bedjo Untung merelease surat protes atas diawasinya dan dibubarkannya rapat pengurus YPKP pada tanggal 25 Januari 2009 melalui mail- ing list jaringannya dengan judul “Kronologi Pengawasan dan Intimidasi di Sekretariat

YPKP 65”. Protes ini mendapatkan tanggapan positif dari para aktifis HAM baik dari

dari pemerintah bahwa mereka telah dipulihkan hak sipil dan politiknya se- bagaimana warga negara lainnya. Tidak hanya itu, pengusutan pelanggaran HAM yang terjadi seputar tahun 1965/1966 tidak pernah diusut tuntas, dan para pelakunya juga tidak diproses di pengadilan. Kondisi ini mengakibat- kan praktik impunitas berkepanjangan terutama kepada mereka, pelaku pem- bunuhan 1965/1966.

Sementara itu perkembangan sosial politik secara umum telah berjalan secara dinamis, demokrasi semakin maju, dan transparansi semakin meningkat. Na- mun situasi positif ini tidak berbanding lurus dengan pengakuan terhadap para korban dan keluarga korban tragedi 1965/1966 yang mengalami kerugian materiil dan inmateriil.

Dalam konteks perjuangan untuk meraih kebenaran dan keadilan ini, Bedjo Untung bersama dengan YPKP berjuang tanpa lelah untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Perjuangan mereka hanya satu yakni berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari negara bahwa tragedi 1965/1966 meru- pakan pelanggaran HAM berat.