• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimulai dari Peristiwa Gerakan 30 September

Meniti Jalan tanpa Ujung

I. Dimulai dari Peristiwa Gerakan 30 September

Gerakan 30 September 1965/1966 merupakan peristiwa luar biasa yang mela- hirkan tragedi kemanusiaan paling besar pada abad ke 20 setelah pembunuhan etnis Yahudi oleh rezim Hitler.1 Tragedi ini menelan korban ratusan ribu orang,

bahkan ada yang menyebutkan jutaan orang terbunuh dan atau hilang tan- pa jejak. Para keluarga yang ditinggalkan tidak kalah menderita, mereka ter- singkir dari kehidupan sosial, tidak bisa mengakses layanan publik layaknya warga negara yang memiliki hak warga, kesulitan mencari penghidupan eko- nomi, dan kehilangan hak sipil dan politiknya.2 Pemerintah menandai anak

turun temurun dari orang-orang yang diidentifikasi sebagai anggota atau yang

berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia dengan status ET (Eks Tapol, ditulis dalam Kartu Tanda Penduduk) setelah mereka dibebaskan penjara. Se- belumnya, mereka dikejar, diburu, ditangkap, dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan, disiksa, dipaksa bekerja dan dinistakan. Gerakan pemerintah yang dipromosikan oleh Orde Baru itu mendapatkan dukungan dari banyak kelom- pok masyarakat yang turut menolak, menyingkirkan, bahkan ikut mengek- sekusi anggota atau yang diduga anggota PKI. Hingga kini ketika konsep hak asasi manusia mulai dipromosikan dengan masif melalui media massa, kam- panye publik dan berbagai cara pendekatan lainnya, rupanya masih banyak kelompok masyarakat yang tidak mau mengakui keberadaan para keluarga korban tragedi 1965/1966.

Beberapa orang yang memiliki akses dan kemampuan untuk melakukan advo- kasi telah mencoba mendukung keberadaan komunitas korban dan keluarga korban peristiwa 1965/1966. Salah satu organisasi yang sejak awal didirikan- nya berkomitmen untuk memperjuangkan kembalinya hak-hak korban, juga melakukan penelitian untuk meluruskan sejarah yang telah disalahtafsirkan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada September 1965, adalah Yaya- san Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP 1965/66). Kini YPKP dikepalai oleh Bedjo Untung, seorang aktivis yang pernah dipenjara selama 13 tahun tanpa

1Jumlah korban pembunuhan missal Yahudi (holocaust) selama 12 tahun antara tahun 1933-1945 lebih kurang 9-11 juta Jiwa. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Holocaust diakses pada 30 Januari 2009. Sementara dalam waktu 2 tahun dari tahun 1965-1966 di bawah pemerintahan Suharto korban PKI yang meninggal dan hilang kurang lebih 800 – 1juta jiwa, http://www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org/msg00875. html diakses pada 30 Januari 2009.

2 Peristiwa pembunuhan massal 1965-1966 adalah suatu tagedi kemanusiaan yang maha dahsyat di abad 20 sesudah perang Dunia II, dapat disejajarkan dengan facisme Hitler di Jerman, mengalahkan jumlah korban Perang Vietnam selama tiga tahun, padahal In- donesia hanya tempo 3 sampi 4 bulan korbannya mencapai 500.000-sampai 3.000.000 jiwa. Bukan itu saja korban masyarakat sipil tersebut bukan di masa perang tetapi masa damai. Tidak ada pengumuman peran. Ligat hasil wawancara dengan Pak Bejo Untung pada tanggal 1 Februari 2009

proses peradilan. Bedjo sempat dipindahkan dari satu penjara kepada penjara lainnya yaitu Penjara Salemba, Tanggerang dan Cipinang.3

I.1. Makna Peristiwa G 30 S Tahun 1965

1. Hanya Boleh Satu Pengertian tentang G30/S sebagai Gerakan Makar/Pem- berontakan

Pada rezim Suharto, tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pan-

casila. Untuk memperingatinya, anak-anak sekolah diwajibkan menonton film

G/30S/PKI. Film ini berkisah mengenai Pemberontakan PKI menentang ke- daulatan NKRI dan memvisualisasikan kebrutalan PKI dalam membunuh ang- gota Dewan Jendral, hingga akhirnya membuang mereka di sebuah sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Sebelum jendral-jendral itu meninggal, mereka disiksa dengan cara menyayat kulit mereka memakai silet, menyulut mereka dengan rokok dan siksaan lainnya yang dilakukan oleh tentara Ger-

wani (Gerakan Wanita Indonesia). Gerwani sendiri dalam film itu diidentik- kan sebagai sayap perempuan dari organisasi PKI. Dalam suasana penuh sik- saan itu, Gerwani diilustrasikan sebagai kerumunan perempuan yang tengah melakukan pesta seks (harum bunga) ketika para jenderal mengalami penyik- saan.

Orang-orang yang dibesarkan ketika Orde Baru berkuasa akan mengingat film

itu, karena Orde Baru melalui stasiun televisi nasional (TVRI) akan menayang-

kan film Pemberontakan G/30S/PKI tepat pada malam 30 September. Tontonan

film tersebut berusaha mengkonstruksikan pikiran masyarakat Indonesia un- tuk meyakini bahwa PKI sebagai organisasi massa dan salah satu partai terbe- sar di Indonesia memang ingin melakukan pemberontakan dengan cara-cara di luar nalar manusia. Orde Baru sebagai penguasa absolut kemudian melakukan propaganda atas sepak terjang PKI, dengan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi sesat yang tidak meyakini keberadaan Tuhan. Propaganda semakin digencarkan dengan membangun ilustrasi tentang kekejian PKI dan Gerwani yang melakukan pesta seks, ketika para jenderal mengalami penyiksaan. Generasi muda diajak untuk memberi penilaian negatif terhadap mereka yang memiliki irisan dengan PKI. Namun sayangnya, para orang tua dan komunitas di tengah masyarakat tidak memiliki keberanian untuk memberikan pemaha- man kepada para generasi muda tentang apa yang sesungguhnya terjadi, hal ini sangat mungkin berkaitan dengan kesimpangsiuran sejarah yang terjadi di balik peistiwa itu. Ambiguitas itu justru melahirkan dukungan penuh kepada

pemerintah dengan mengamini keseluruhan isi film tersebut.Kondisi tersebut

semakin memperkuat posisi pemerintah untuk tetap mereproduksi cerita keke-

jian PKI. Tidak hanya itu, kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto selama 32 tahun juga berhasil meluaskan diskriminasi terstruktur terhadap para korban dan keluarga korban peristiwa 1965/1966. Tidak ada seorang pun yang me- nentang tindakan diskriminatif itu. Apalagi PKI dicitrakan telah melecehkan simbol kesalehan ummat, sehingga rasanya setiap orang memiliki keabsahan untuk membenci mereka.

I.2. Keterkaitan Internasional

Apa yang terjadi seputar peristiwa 1965/1966 tidak bisa dilepaskan dari perkembangan yang terjadi di dunia internasional. Situasi Perang Dingin yang berlangsung antara tahun 1941 hingga 1947, menimbulkan ketegangan yang mewarnai Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika dan sekutunya versus Blok Timur yang dikomandoi oleh Uni Soviet dan sekutunya. Perang Dingin

merupakan periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antar

kedua belah pihak setelah berhentinya Perang Dunia II, hingga runtuhnya tem- bok pemisah antara Jerman Barat dan

Jerman Timur (1941-1947).4

Masing-masing negara pihak yang berseteru pada Perang Dingin, saling ber- lomba untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia dan negara-negara du- nia ketiga yang ingin meraih kemerdekaan. Pengaruh Blok Barat yang terta- nam pada golongan kanan yang menyetujui ide-ide liberalisme-kapitalisme, berhadapan dengan gagasan Blok Timur yang menyepakati ide sosialisme- kolektivisme, termasuk dalam hal ini adalah organisasi PKI yang memiliki hubungan baik dengan Partai Komunis China dan Partai Komunis Uni Sovyet.5

Pertarungan kepentingan di Indonesia akhirnya dimenangkan oleh pihak yang pro Barat, dengan serta merta menihilkan posisi pendukung Blok Timur. Dari segi pengaruh Perang Dingin, Soeharto merupakan suksesor nasional yang ikut memenangkan pertarungan Blok Barat dan Blok Timur di Indonesia.

I.3. Komunis Sebagai Hantu

Tragedi 1965/1966 merupakan salah satu tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi sepanjang sejarah bangsa-bangsa di dunia. Peristiwa itu tidak saja me- nimbulkan rasa takut yang menggoncang akal sehat dan hati nurani seluruh masyarakat Indonesia kala itu, namun juga tragedi itu telah berhasil menim- bulkan trauma kolektif berkepanjangan, di mana di dalamnya terkandung fak- ta-fakta kematian, penyiksaan, kekejian yang bertentangan dengan nilai-nilai

4 http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dingin.

5 DPP. LPR-KROB, DPP. LPKP 65 dan DPP. PAKORBA, Ringkasan Fakta Kebenaran Korban Tragedi 1965, pen. Forum kerjasama DPP. LPR-KROB, DPP. LPKP 65 dan DPP. PAKORBA, Jakarta, 2005, hal. 2

kemanusiaan yang tidak bisa dielakkan. Penandaan akan peristiwa kesadisan ini kemudian melekat pada frase “komunis”. Frase itu menjadi momok, terla- rang untuk dilafalkan apalagi untuk dipikirkan. Frase komunis dari waktu ke waktu sangat identik dengan peristiwa 1965/1966. Dalam hukum logika, setiap momok akan selalu membutuhkan penyebab, setiap kejahatan juga membu- tuhkan penjahat, dan setiap kesakitan membutuhkan penyakit. Frase komunis dipakai dari waktu ke waktu untuk menyangga apa yang telah terjadi peris- tiwa 1965/1966. Frase komunis digunakan untuk menandai para penjahat, di- ungkapkan untuk menghindari penyakit yang mengerikan: komunisme. Layaknya penyakit yang gampang menular, nalar publik akan mudah melihat- nya sebagai sesuatu yang harus dihindari dan dijauhkan dari ingatan kolek- tif. Penyakit ini diwacanakan dan diimajinasikan sebagai politik ingatan yang sangat menakutkan, bak hantu-hantu yang bergentayangan menghubungkan manusia dengan kematiannya. Cerita sukses Orde Baru memberangus ingatan pinggiran dari sebuah tragedi kemanusiaan, rupanya tidak serta merta meng hentikan wacana anti komunis untuk berkembang dari tahun ke tahun di ten- gah masyarakat. Kelompok-kelompok yang mendeklarasikan dirinya sebagai pembela Pancasila dan kedaulatan NKRI adalah cermin diri dari ketakutan jangka panjang sebuah komunitas bangsa yang tidak memiliki keberanian un- tuk menghadapi trauma dari peristiwa 1965. Trauma besar ini akan membutuh- kan “yang lain” (liyan) untuk dijadikan kambing hitam, siapa lagi jika bukan PKI dengan segala label yang dicapkannya. Aku tidak boleh ketularan penyakit, “yang lain” tidak boleh bercampur dengan “aku” supaya aku selamat, karena “yang lain” itu memiliki kemungkinan untuk bercampur dengan “aku”. Ko- munis sebagai “yang lain” sebetulnya mencerminkan gambaran mengenai ketakutan diri dari “aku” itu sendiri.6

I.4. Keluarga Korban Pasca-Tragedi 1965

Siapakah korban tragedi 1965/1966? Alasan patriotis dan moralis banyak dipakai sebagai dasar pengabsahan tindakan diskriminatif dan penyisihan kepada mereka yang terlibat dalam PKI rupanya berfungsi efektif. Kriminal- isasi terhadap bekas anggota PKI, simpatisan dan keluarga mereka dilakukan sangat intensif dan sangat efektif untuk menggiring pemahaman publik atas PKI sebagai pihak yang ingin menghancurkan kesatuan republik Indonesia. Tindakan kriminalisasi terhadap eks tapol dilakukan dengan berbagai cara dan melalui berbagai bentuk pendekatan. Cerita mengenai pemberontakan PKI disebarluaskan melalui medium materi pelajaran yang diajarkan di sekolah- sekolah. Materi itu dijadikan sebagai materi wajib ajar dalam pelajaran sejarah dan pendidikan moral di sekolah-sekolah. Bahan ajar itu diperkuat juga den-

6 Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti-Komunis danPolitik Rekon- siliasi Pasca-Suharto, pen. ELSAM, cet. Kedua, 2004, hal. 16

gan diputarnya film “Pemberontakan G/30S/PKI” secara periodik di TVRI

yang saat itu masih menjadi media audio visual serta pemberitaan yang sangat dihandalkan.

Kesadaran yang timbul dari informasi tunggal tersebut tidak memungkinkan untuk menumbuhkan rasa empati terhadap korban dan keluarga korban trage- di 1965/1966. Tampaknya negara masih belum bisa memberikan ruang atas apa yang mereka alami, apa yang mereka rasakan, apa yang mereka impikan. Dalam situasi yang tidak mengenal informasi pembanding, apa yang dialami oleh eks tapol untuk mencari sumber keadilan dan kebenaran adalah sebuah kemustahilan.